Rabu, 24 Desember 2014

PENGHUNI NERAKA : TANDA DAN PENYEBABNYA


وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا، وَيَصْلَى سَعِيرًا، إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا، إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ، بَلَى إِنَّ رَبَّهُ كَانَ بِهِ بَصِيرًا،

Adapun orang yang kitabnya diberikan dari belakang akan berteriak, “Celakalah aku!” Dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya). Bukan demikian, yang benar sesungguhnya Tuhannya selalu melihat dia (QS al-Insyiqaq [84]: 10-15).

Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang orang yang kitab catatan amalnya diberikan dari sebelah kanannya. Penyerahan kitab catatan amal dari sebelah kanan itu menjadi pertanda baik bagi penerimanya. Mereka akan dihisab dengan ringan lagi mudah. Selanjutnya, mereka akan dimasukkan ke dalam surga, bertemu dengan keluarga yang telah disediakan Allah SWT di dalam surga.

Kemudian dalam ayat-ayat ini diberitakan tentang orang yang menerima kitab catatan amalnya dari belakang. Penyerahan itu menjadi pertanda nasib buruk yang akan menimpa mereka selanjutnya. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wa ammâ man ûtiya kitâbahu warâ‘a zhahrihi (adapun orang yang kitabnya diberikan dari belakang). Diterangkan Ibnu Abbas, orang tersebut mengeluarkan tangan kanan untuk mengambil kitabnya, tetapi malaikat menarik kitab itu. Ia harus melepaskan tangan kananya, lalu mengambil kitab dengan tangan kirinya dari belakang.1

Dikemukakan juga oleh al-Khazin, tangan kanan orang tersebut dibelenggu hingga lehernya, sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang punggungnya, lalu ia diberi kitab catatan amalnya dengan tangan kirinya dari belakang punggungnya.2

Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa kitab catatan amal itu diberikan dari balik punggungnya dan diterima dengan tangan kirinya.3 Al-Baidhawi menuturkan, kitabnya diberikan dengan tangan kirinya dari arah belakang.4

Menurut Ibnu Juzyi al-Kalbi, orang tersebut adalah orang kafir.5 Kesimpulan ini tepat tatkala dicermati ayat berikutnya, yakni: Innahu zhanna an lan yahûr (Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali [kepada Tuhannya]).

Kemudian Allah SWT berfirman: Fasawfa yad’û tsubûr[an] (maka dia akan berteriak: “Celakalah aku!”). Ketika dia mendapatkan kitab catatan amal dari arah belakang, dia pun berteriak. Kata yang terlontar adalah tsubûra[an].

Secara bahasa, pengertian tsubûr[an] adalah al-halâk wa al-fasâd (binasa dan rusak).6 Dikatakan pula oleh al-Alusi, ats-tsubûr bermakna al-halâk (binasa, celaka), yakni kumpulan semua jenis yang tidak disukai.7 Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan bahwa al-tsubûr bermakna al-halâk. Artinya, ketika dia mengetahui kitab catatan amalanya diberikan tidak dari sebelah kanannya, dia mengetahui bahwa dia adalah penghuni neraka, lalu dia pun berkata: Wâ tsubûrâh. Menurut al-Farra‘, orang Arab mengatakan: Fulan yad’û lahfah ketika Fulan berkata: Wâ lahfâh (alangkah sedihnya).8

Penjelasan senada juga dijelaskan banyak mufassir lainnya. Dikatakan al-Khazin, ketika mengetahui sebagai penghuni neraka, dia lalu berteriak, “Celaka dan binasa!” dan berkata, “Aduhai, celaka!”9

Asy-Syaukani menuturkan, “Ketika dia membaca kitabnya, dia berkata, “Yâ waylah! Yâ tsubûrah! (Aduh celaka, Aduh binasa!”).10 Ungkapan ini menunjukkan penyesalan mereka yang tak terhingga. Namun, kesedihan dan itu tidak berguna. Mereka harus mendapatkan hukuman atas kekufuran dan kejahatan mereka selama di dunia.

Allah SWT berfirman: Wa yashlâ sa’îr[an] (dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [neraka]). Kata ash-shaly pada asalnya berarti al-îqâd bi an-nâr (menyalakan dengan api).11 Adapun makna as-sa’îr adalah an-nâr (neraka).12

Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa orang itu akan dimasukkan ke dalam neraka. Dikatakan al-Biqa’i, dia ditenggelamkan di dalam neraka yang nyalanya berada pada puncak dan merasakan panasnya. Neraka itu mengurung dan mengepung dirinya.13 Dua kata tersebut juga digunakan dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat: QS al-Nisa [4]: 10; QS al-A’la [87]: 12).

Kemudian Allah SWT berfirman: Innahu kâna fî ahlihi masrûr[an] (Sesungguhnya dia dulu [di dunia] bergembira di kalangan kaumnya [yang sama-sama kafir]). Dikatakan oleh asy-Syaukani dan al-Alusi, kalimat ini merupakan penjelasan tentang ‘illah (penyebab) bagi kalimat sebelumnya.14 Itu artinya, dia dimasukkan ke dalam neraka disebabkan oleh perilakunya ketika di dunia. Dia bersama dengan orang-orang kafir lainnya bersikap masrûr[an].

Menurut al-Baidhawi, masrûr[an] adalah angkuh dengan harta dan kehormatan serta kosong dari akhirat.15 Al-Jazairi menuturkan, dia tidak takut kepada Allah dan tidak mengharapkan kehidupan akhirat; mengerjakan dan meninggalkan perbuatan sesuai dengan keinginannya.16

Diterangkan oleh az-Zamaksyari, selama di dunia orang tersebut hidup bermewahan; semaunya sendiri, angkuh, dan bersenang-senang; sebagaimana kebiasaan orang-orang jahat yang tidak mementingkan urusan akhirat dan tidak memikirkan akibat; tidak merasa prihatin dan sedih seperti kebiasaan orang-orang shalih dan muttaqin, sebagaimana diceritakan dalam QS ath-Thur [52]: 26.17

Ibnu Zaid berkata, “Allah SWT menggambarkan penghuni surga dalam suasana takut, sedih, isak tangis dan belas kasihan selama di dunia. Lalu Allah SWT memberikan balasan kepada mereka dengan kenikmatan dan kesenangan di akhirat.”

Dia pun membaca firman Allah SWT:


قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ، فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ،

Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).”Lalu Allah memberi kami karunia dan memelihara kami dari azab neraka (QS ath-Thur [52]: 26-27).

Dia berkata, “Allah SWT menggambarkan penghuni neraka dengan suasana gembira, canda tawa dan bersenang-senang selama di dunia.” Lalu dia membaca ayat ini.18

Kemudian Allah SWT berfirman: Innahu zhanna an lan yahûra (Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali [kepada Tuhannya]). Diterangkan oleh asy-Syaukani dan al-Alusi, ayat ini merupakan penjelasan tentang sebab kegembiraan mereka di dunia.19 Artinya, dia bersenang-senang di dunia karena menyangka tidak akan kembali kepada Allah dan tidak dibangktikan untuk dihisab dan dihukum lantaran pengingkarannya terhadap Hari Kebangkitan dan akhirat.20

Kata al-hawr berarti ar-rujû’.21 Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah dia yakin bahwa tidak akan kembali kepada Allah dan tidak dikembalikan kepada Dia setelah mati. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Qatadah dan yang lainnya.22 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh banyak mufassir lain seperti al-Kalbi, al-Baidhawi, al-Khazin, al-Jazairi, dan lain-lain.23

Kemudian Allah SWT berfirman: Balâ inna Rabbahu kâna bihi bashîr[an] ([Bukan demikian], yang benar sesungguhnya Tuhannya selalu melihat dia). Ayat ini membantah persangkaan mereka. Persangkaan mereka tidak akan dikembalikan kepada Allah SWT dan diadili serta diberikan balasan atas perbuatan yang mereka lakukan merupakan sangkaan yang salah.

Kata balâ merupakan jawaban terhadap perkara yang dinafikan: Lan yahûr (tidak akan kembali). Artinya, Ya, mereka benar-benar akan kembali.24 Menurut Ibnu Katsir, ayat ini berarti: Benar, Allah SWT akan mengembalikan dia sebagaimana pada awalnya, dan membalas semua perbuatannya, yang baik maupun yang buruk.25

Dikatakan juga oleh al-Baidhawi, ayat ini berarti Allah SWT mengetahui amal perbuatan mereka sehingga tidak diabaikan, namun mengembalikan dan membalasnya.26

Karakter Kaum Kafir dan Hukuman Atas Mereka

Ayat-ayat ini mengandung banyak pelajaran penting. Pertama: tanda manusia yang akan menjadi penghuni neraka. Diberitakan ayat ini, mereka adalah yang menerima catatan amal dari arah belakang. Ketika itu terjadi, penerimanya pun mengetahui nasib mereka berikutnya. Mereka pasti akan celaka dan sengsara. Karena itu mereka berteriak yang menunjukkan kesedihan dan penyesalan amat besar: Yâ tsubûrah (aduh, celaka!).

Penyesalan telah terlambat. Kesedihan mereka tak bisa mengubah keadaan dan nasib mereka karena akhirat merupakan dâr al-jazâ‘ (negeri pembalasan). Setelah pemberian kitab catatan itu, mereka segera dilemparkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Seluruh tubuhnya dikurung dan dikepung oleh api yang amat panas. Selain merasakan panasnya api neraka yang tak terkira, mereka masih harus menerima berbagai siksaan dahsyat lainnya. Sungguh, hanya orang yang bodoh berani nekad menjerumuskan dirinya ke dalam neraka. Allah SWT berfirman:

فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ

Alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS al-Baqarah [2]: 175).

Kedua: penyebab seseorang dimasukkan ke dalam neraka. Dalam ayat ini dijelaskan, mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hidupnya di dunia hanya untuk bersenang-senang menuruti syahwat dan hawa nafsu belaka. Mereka bisa melakukan apa saja asalkan dapat membuat diri mereka senang dan gembira. Tidak peduli dengan ketentuan syariah. Akibatnya, pola kehidupan mereka tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih buruk dan sesat daripada binatang. Karena itu neraka adalah balasan yang layak buat mereka. Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

Orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Neraka adalah tempat tinggal mereka (QS Muhammad [47]: 12).

Ketiga: pengingkaran terhadap akhirat merupakan pangkal perilaku bebas. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa orang-orang yang menghabiskan hidupnya hanya untuk bersenang-senang, menuruti hawa nafsu dan tanpa mempedulikan ketentuan syariah, adalah disebabkan oleh pengingkaran mereka terhadap Hari Pembalasan. Mereka menyangka setelah mati tidak akan dihidupkan kembali dan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang dilakukan. Bagi mereka, setelah kematian selesai. Anggapan salah inilah yang membuat mereka bertindak semaunya. Penilaian baik dan buruk hanya didasarkan pada pertimbangan kesenangan dan ukuran materi. Tidak ada pahala dan dosa. Kalaupun mereka meninggalkan riba, zina atau khamr bukan karena takut terhadap dosa, namun hanya karena taku tertimpa bahaya di dunia. Demikian pula kalau bertindak jujur dan dermawan, bukan karena ingin mendapatkan pahala, namun karena adanya manfaat yang dapat dirasakan di dunia. Bagaimana mungkin ada motivasi pahala dan dosa, surga dan neraka, sementara dia tidak meyakini semua itu? Selain dalam ayat ini, pengingakaran orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya juga diberitakan dalam firman Allah SWT:

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلا الدَّهْرُ

Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup; tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (QS al-Jatsiyah [45]: 24).

Keempat: kesalahan orang yang mengingkari kehidupan akhirat. Ayat ini dengan jelas membantah orang-orang kafir yang mengingkari Hari Kebangkitan dan Pembalasan. Allah SWT sebagai Pencipta manusia mengetahui benar semua tindak-tanduk manusia yang notabene adalah makhluk-Nya. Semuanya dicatat tanpa ada yang tertinggal. Selanjutnya, mereka akan diadili dan diberi balasan atas perbuatan yang dilakukan. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih dimasukkan ke dalam surga, bersama ahli surga lainnya. Sebaliknya, orang-orang kafir, yang menyia-nyiakan hidupnya di dunia, hanya memperturutkan hawa nafsu, hanya mengejar kesenangan duniawi serta melalaikan urusan akhirat, neraka adalah tempatnya. Sungguh, merugilah mereka.

Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang diberi kitab catatan amal dari belakang.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:

1       Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964).
2       Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 408.
3       Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 358.
4       Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 297.
5       Al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Syarikah Dar al-Arqam bin AB al-Arqam, 1996), 465.
6       Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 171.
7       Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 289.
8       Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 99
9       Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 409.
10      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 493.
11      Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 490.
12      Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 148.
13      Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 344.
14      Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 289.
15      Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 298.
16      Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa Hikam, 2003), 544.
17      Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1984), 726-727. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 289.
18      Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 273.
19      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 493; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 289.
20      Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 493.
21      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 100; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8, 358.
22      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8, 358.
23      Al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 465; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5, 298; al-Khazin, Lubâb at-Ta`wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 409; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 544.
24      Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 727. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 298.
25      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-Azhîm, vol. 8, 358.
26      Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 298.

PERJALANAN HIDUP MANUSIA


فَلا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ، وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ، وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ، لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ


Sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah pada waktu senja, dengan malam dan apa yang ia selubungi serta dengan bulan saat purnama. Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan) (QS al-Isnyiqaq [84]: 16-19).

Ayat ini memberitakan perjalanan hidup manusia, yakni bahwa manusia akan mengalami perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Untuk menegaskan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, Allah SWT bersumpah dengan menyebut beberapa makhluk-Nya.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Falâ uqsimu bi asy-syafaq (Sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah pada waktu senja). Ayat ini diawali dengan kata yang secara sharîh menyebut kata yang bermakna sumpah: uqsimu (aku bersumpah). Frasa tersebut didahului dengan dua huruf, yakni fa dan lâ.

Menurut Mahmud Shafi, huruf al-fâ‘ merupakan istinâfiyyah, sedangkan merupakan zâydah (tambahan).1 Dikatakan ash-Shabuni, huruf tersebut berguna li ta’kîd al-qasam (untuk menegaskan sumpah). Artinya, “Aku bersumpah dengan sumpah yang ditegaskan.2

Penyebutan huruf sebelum qasam terdapat dalam banyak ayat, seperti dalam firman Allah SWT: Lâ uqsimu bi hadzâ al-balad (QS al-Balad [90]: 1); Lâ uqsimu biyawm al-Qiyâmah (QS al-Qiyamah [75]: 1), dan lain-lain.

Yang disebutkan sebagai al-muqsam bih adalah makhluk-makhluk-Nya. Ini untuk memuliakan makhluk-makhluk tersebut; disodorkan untuk dijadikan sebagai pelajaran karena sumpah dengan makhluk-makhluk tersebut dapat terbangkitkan darinya.3

Makhluk yang disebutkan pertama dalam sumpah ini adalah asy-syafaq. Kata asy-syafaq berarti al-hamrah (warna merah). Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Ubadah bin ash-Shamit, Abu Hurairah, Syaddad bin Aus, Ibu Umar, Muhammad bin Ali bin al-Husain, Makhul, Bakar, Bakar bin Abdullah al-Muzani, Bakir bin al-Asyaj, Malik, Ibnu Abu Dzaib, Abdul Aziz bin Abu Salamah al-Majisyun dan lain-lain.4

Menurut yang lainnya, kata asy-syafaq tidak menunjuk semua warna merah, namun warna merah yang keluar di ufuk, baik sebelum matahari terbit—sebagaimana dikatakan oleh Mujahid—atau sesudah matahari terbenam, sebagaimana dikenal oleh para ahli bahasa.5

Menurut Khalil bin Ahmad, asy-syafaq adalah warna merah di ufuk sejak matahari terbenam hingga waktu isya. Jika warna merah sudah tidak ada, syafaq telah lenyap. Al-Jauhari juga mengatakan bahwa asy-syafaq adalah sisa cahaya matahari yang berwarna merah pada permulaan malam dan hampir gelap. Ikrimah menuturkan, asy-syafaq adalah warna merah sisa cahaya matahari yang ada di antara waktu magrib hingga isya.6

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Asyhab, Abdullah bin al-Hakam, Yahya bin Yahya, dan lan-lain. Dikatakan dari Malik, “Asy-Syafaq adalah warna merah pada waktu maghrib. Jika warna merah itu lenyap maka waktu maghrib telah habis dan wajib shalat isya.”7

Dalam Shahih Muslim juga Rasulullah saw. bersabda:

وَ وَقْتُ صَلاَة الْمَغْرِبِ مَا لمَ يَغِبِ الشَّفَقُ

Waktu shalat maghrib adalah sebelum syafaq (cahaya merah di ufuk barat) habis (HR Muslim dari Abdullah bin Amru).

Beberapa mufassir yang berpendapat sama adalah az-Zamakhsyari, aay-Syaukani, al-Alusi, Ibnu Athiyah, Ibnu Juzyi, al-Baidhawi, al-Jazairi, dan aah-Shabuni.8

Kemudian Allah SWT berfirman: wa al-layl wa mâ wasaq (dengan malam dan apa yang ia selubungi). Huruf al-wâwu ini adalah athf. Karena itu kata sesudahnya, yakni al-layl,berkedudukan sebagai al-muqsam bih,sebagaimana kata sebelumnya: asy-syafaq.

Kata al-layl menunjuk pada waktu setelah siang hari, yakni sejak matahari terbenam hingga terbit.9 Adapun merupakan ism al-mawshûl yang di-áthaf-kan pada kata al-layl.10Kata wasaq merupakan al-fi’l al-mâdhî dari kata al-wasq.

Menurut Raghib al-Asfahani, kata al-wasq berarti jam’u al-mutafarriq (mengumpulkan yang terpisah).11Dikatakan juga oleh asy-Syaukani, menurut ahli bahasa al-wasaq berarti dhamm al-syay‘ badhihi ilâ ba’dh (menggabungkan sesuatu, sebagiannya dengan sebagian lainnya).12 Dengan demikian, seperti dikemukakan az-Zamakhsyari, al-Alusi, Ibnu Athiyah, Ibnu Juzyi, an-Nasafi, as-Samarqandi, dan lain-lain, wamâ wasaq berarti wamâ jama’a wa dhamma (apa yang dihimpunkan dan dikumpulkan).13

Dalam konteks ayat ini, kata wasaq berarti mengumpulkan dan menghimpun segala sesuatu yang bertebaran pada siang hari baik manusia, hewan ternak, maupun binatang buas. Hal itu karena ketika malam tiba, segala sesuatu kembali ke tempatnya.14

Menurut as-Samarqandi, wa al-layl wa mâ wasaq berarti apa yang berkumpul bersama malam, yakni kegelapan dan bintang-bintang.15

Oleh karena itu, menurut ash-Shabuni, Allah SWT menyebut malam sebagai kebaikan atas hamba-Nya (QS al-An’am [6]: 96).

Saat pagi telah datang, mereka bertebaran, dan tatkala malam datang, semuanya kembali istrahat di tempat tinggalnya.16

Kemudian Allah SWT berfirman: wa al-qamar idza [i]ttasaq (dengan bulan saat purnama). Benda terakhir yang disebutkan sebagai al-muqsam bih adalah al-qamar (bulan). Ini adalah nama benda langit yang terbit pada malam hari dengan cahaya paling terang yang telah dikenal.

Kata [i]ttasaq merupakan bentuk ifta’ala dari kata al-wasq, artinya al-jam’u (mengumpulkan, menghimpun). Menurut al-Qurthubi kata ini bermakna: sempurna, berhimpun dan lurus. Al-Hasan berkata, “i[I]ttasaqa artinya imtala’a wa [i]jtama’a (penuh dan berkumpul).17

Saat dikaitkan dengan bulan, maknanya adalah bulan saat cahayanya penuh. Asy-Syaukani memaknai kata itu sebagai ijtama’a wa takâmala (berhimpun dan sempurna).18 Ibnu Abbas berkata, “Saat bulan berhimpun dan rata.” Pendapat yang sama juga dikemukakan Ikrimah, Mujahid, Said bin Jubair, Masruq, Abu Shalih, adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid. Mereka juga memaknai kata itu: idzâ [i]stawâ (saat rata). Al-Hasan berkata, “Saat berhimpun dan terisi penuh.” Qatadah, “Saat menjadi bulat.”

Setelah mengutip beberapa pendapat tersebut, Ibnu Katsir menyimpulkan, “Semua pendapat mereka itu menjelaskan bahwa bulan, jika cahayanya menjadi sempurna dan saat purnama, menjadikannya sebagai lawan wa al-layl wa mâ wasaq.”

Bahwa al-muqsam bih dalam ayat ini adalah bulan saat purnama dijelaskan pula oleh para mufassir lain seperti al-Baidhawi, Ibnu Juzyi, as-Sa’di, dan lain-lain.19 Menurut al-Farra’, itu terjadi pada tanggal tiga belas hingga enam belas.20

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Latarkabunna thabaq[an] ‘an thabaq (Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat [dalam kehidupan]). Ini merupakan jawâb al-qasam, yakni perkara yang disumpahkan.21

Dalam ayat ini, secara dhahir khithâb-nyaditujukan kepada Rasulullah saw. Meskipun demikian, khithâb tersebut juga berlaku bagi seluruh manusia.22 Sebab, tidak ada qarinah yang menunjukkan sebuah khithab hanya untuk Nabi saw. Kesimpulan itu makin kuat jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya: Yâ ayyuhâ al-insân (Wahai manusia [ayat 6]). Yang diseru dalam ayat ini adalah manusia sebagai suatu jenis. Makna ini pula yang terkandung dalam ayat ini. Menurut an-Nasafi dan as-Sa’di, frasa latarkabunna (sungguh kamu akan melalui), yakni: ayuhâ al-nâs (wahai manusia), dengan maksud untuk jenis. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh az-Zamakhsyari.23 Dengan demikian ayat ini memastikan bahwa Rasulullah saw. dan umatnya akan melalui thabaq ‘an thabaq.

Menurut Ibnu Juzyi, kata ath-thabaq memiliki dua makna. Pertama: mâ thâbaqa ghayrahu (sesuatu yang bersesuaian atau setara dengan lainnya). Dikatakan: hadzâ thâbaqa hadzâ (ini sesuai dengan ini) saat bersesuaian. Kedua: merupakan bentuk jamak dari kata thabaqah (tingkat). Jika yang pertama, maka maknanya: Kamu berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain. Masing-masing dari keduanya bersesuaian. Jika yang kedua maka bermakna: Kamu berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain, yang keadaan lain di atas sebagian yang lain.24

Terdapat banyak penjelasan para mufassir tentang berbagai keadaan yang dialami manusia. Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata, Melalui keadaan demi keadaan. Ini disabdakan oleh Nabi kalian saw.”

Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ikrimah, Murrah ath-Thayyib, Mujahid, al-Hasan, al-Dhahhak, Masruq, dan Abu Shalih.25

Al-Hasan berkata, “Perkara demi perkara, mudah setelah sukar, sukar setelah mudah, kaya setelah miskin, miskin setelah kaya, sehat setelah sakit dan sakit setelah sehat.”26

Menurut as-Sa’di, berbagai keadaan yang dialami manusia adalah dari nuthfah, lalu menjadi mudhghah, kemudian ditiupkan ruh; setelah itu menjadi bayi, anak-anak, mumayyiz, kemudian berlaku baginya taklîf berupa perintah dan larangan; lalu mati, kemudian dibangkitkan dan diberi balasan atas amalan mereka. Menurut as-Sa’di, ini merupakan berbagai tingkatan yang berbeda-beda yang dialami manusia. Itu semua menunjukkan bahwa Dialah satu-satunya Yang disembah, Yang diesakan serta Yang mengatur hamba-Nya dengan hikmah dan rahmat-Nya. Sesungguhnya manusia lemah dan membutuhkan pengaturan Zat Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.27

Semua penjelasan tersebut termasuk dalam cakupan berbagai keadaan yang dialami manusia dalam kehidupannya.


Perjalanan Kehidupan Manusia

Terdapat banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini. Di antaranya adalah adanya berbagai keadaan yang dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya. Menurut al-Qurthubi, “Ayat ini merupakan petunjuk paling jelas tentang barunya alam semesta sekaligus ketetapan tentang keberadaan Sang Pencipta. Para ahli hikmah mengatakan bahwa siapa saja yang hari ini berada dalam suatu keadaan, dan esoknya berada dalam keadaan yang lain, maka ketahuilah bahwa di sana ada yang mengatur dirinya.”28             

Firman Allah SWT latarkabunna thabaq[an] ‘an thabaq jelas menunjukkan kesimpulan demikian. Sebagaimana telah dipaparkan, ayat ini menerangkan berbagai keadaan yang dialami manusia. Manusia tidak berhenti dalam suatu keadaan, tetapi melalui hâl[an] ba’da hâl, suatu keadaan setelah keadaan lain.

Manusia akan melalui berbagai keadaan baik setara, berbeda-beda maupun lebih tinggi tingkatnya. Berkaitan dengan perubahan fisik, tampak jelas manusia mengalami berbagai keadaan. Manusia berawal dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu menjadi segumpal darah, segumpal daging, hingga disempurnakan kejadiannya setelah beberapa waktu yang telah Allah tetapkan. Kemudian Allah mengeluarkan dia dari rahim ibunya sebagai bayi, kemudian menjadi dewasa; lalu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan umurnya sampai pikun (lihat QS al-Hajj [22]: 5).

Dalam hal kekuatan, manusia juga mengalami perubahan (lihat QS ar-Rum [30]: 59).


Keadaan besar yang pasti dialami manusia adalah kematian. Peristiwa ini menghentikan perjalanan manusia hidup di dunia. Namun, kematian bukanlah akhir perjalanan manusia. Saat Hari Kiamat tiba, manusia kembali akan dihidupkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Seperti yang diberitakan dalam ayat sebelumnya, manusia akan mendapatkan kitab berisi catatan amal perbuatan manusia; kemudian menerima balasan sesuai dengan amalnya masing-masing. Ada yang dimasukkan ke dalam surga. Ada pula yang dimasukkan ke dalam neraka. Itu semua adalah berbagai thabaq yang dilalui manusia.

Berbagai benda yang dijadikan sebagai objek ayat-ayat ini makin mengukuhkan betapa Allah SWT berkuasa mengubah berbagai keadaan yang dialami manusia. Benda pertama yang disebut adalah warna merah di ufuk barat setelah matahari terbenam. Warna merah menjadi penanda bagi berakhirnya siang hari. Berbagai aktivitas manusia yang lazim dilakukan pada siang hari, suka atau tidak, harus berhenti setelah matahari terbenam. Tak ada seorang pun bisa menunda, apalagi mencegah peristiwa ini terjadi; termasuk ketika warna merah di ufuk barat kemudian menghilang, yang menandakan malam makin larut.

Demikian pula dengan malam beserta semua yang berkumpul ketika itu. Kehidupan di dunia tak hanya diisi dengan siang yang terang-benderang, namun juga malam yang diselimuti dengan kegelapan. Malam dan siang yang datang silih berganti adalah keadaan yang terus-menerus di alami makhluk di dunia, termasuk manusia. Pergantian itu juga menunjukkan perjalanan waktu bagi makhluk. Seiring dengan itu, usia yang tersisa pada setiap makhluk terus berkurang hingga akhirnya pada suatu saat habis. Saat itulah manusia harus meninggalkan kehidupan dunia dan melanjutkan perjalanan berikutnya, yakni: alam barzakh.

Bulan saat purnama yang disebutkan dalam ayat ini juga menjadi al-muqsam bih. Bulan purnama adalah bulan berbentuk bundar dengan cahayanya yang sempurna. Keberadan bulan purnama pada malam hari menjadi penerang yang pada selainnya gulita. Kehadiran bulan purnama biasanya disambut dengan gembira. Namun, harus diingat, bulan purnama hanyalah salah satu fase yang terjadi pada bulan. Pada awalnya, bulan yang sebelumnya tidak terlihat muncul sebagai bulan sabit. Terus membesar hingga bulat sempurna. Perlahan bulatan itu terus berkurang hingga tak terlihat sama sekali. Begitulah perubahan terus-menerus pada bulan.

Realitas alam itu pula yang dialami oleh manusia. Ibarat hari, kehidupan manusia di dunia diawali dengan pagi dan berakhir dengan matahari terbenam. Ibarat bulan, lahirnya manusia sepertinya lahirnya bulan baru. Terus membesar hingga bentuk dan cahayanya menjadi sempurna. Setelah fase itu dilalui, kemudian berangsur-angsur berkurang, hingga akhirnya menghilang sama sekali dari penglihatan. Semua itu terjadi atas kekuasaan Allah SWT. Tak ada sama sekali peran manusia.

Begitulah berbagai keadaan dan fase kehidupan manusia. Siapa pun yang mampu membaca tanda-tanda alam ini dengan benar, niscaya akan segera melemparkan keangkuhan dan kesombongan dari dirinya seraya merebahkan dirinya dalam ketaatan kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT.

Kita memohon kepada Allah SWT agar diberikan pertolongan dalam melewati semua keadaan yang kita hadapi.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]


Catatan kaki:


1               Mahmud Shafi, Al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 283; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: 1994), 494.
2               Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 512.
3               Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 458.
4               Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 358.
5               Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
6               Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
7               Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 10 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 275.
8               Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 727; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 494; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 289-290; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 458; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li’Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 465; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1998), 298; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 545; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
9               Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-Mu’âshrah, vol. 3(tt: ‘Alam al-Kutub, 2008), 2055.
10             Ahmad Ubaid, I’râb al-Qur‘ân al-‘Azhîm (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 432.
11             Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 871.
12             Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 494
13             Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 727; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 290; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 458; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li’Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 465; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 621; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 562;. Lihat juga ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
14             Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 409; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 494.
15             As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 562.
16             Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
17             Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 10 , 278; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 621; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li’ Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 466.
18             Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495.
19             Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5, 298; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 466; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: al-Rsalah, 2000), 917.
20             Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495.
21             Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
22             Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 358; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 290.
23             An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 621; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 917; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 727.
24             Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ’Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 466; An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3, 621; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 290.
25             Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 359.
26             Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 10, 279.
27             As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 917.
28             Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 10, 279.

PEMBANGKANGAN ORANG KAFIR DAN BALASANNYA

(Tafsir QS al-Insyiqaq [84]: 20-25)

فَمَا لَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٢٠ وَإِذَا قُرِئَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقُرۡءَانُ لَا يَسۡجُدُونَۤ۩ ٢١ بَلِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُكَذِّبُونَ ٢٢ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُوعُونَ ٢٣ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٢٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُمۡ أَجۡرٌ غَيۡرُ مَمۡنُونِۢ ٢٥

Mengapa mereka tidak mau beriman? Jika al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud. Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan (al-Quran). Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan (di dalam hati mereka). Karena itu gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih. Akan tetapi, orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka pahala yang tidak terputus (QS al-Isnyiqaq [84]: 20-25)

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Famâ lahum lâ yu’minûn (Mengapa mereka tidak mau beriman?). Huruf al-fâ’ pada awal kalimat merupakan harf al-isti’nâf. merupakan ism al-istifhâm (kata tanya).1 Bentuk istifhâm dalam ayat ini merupakan istifhâm inkârî (kata tanya yang mengandung pengingkaran, sebagai celaan).2

Dhamîr al-ghâib atau kata ganti pihak ketiga jamak dalam ayat ini menunjuk kepada orang-orang yang diberitakan dalam ayat sebelumnya, yakni orang-orang kafir. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, mereka adalah orang-orang musyrik.3 Ini berarti, ayat ini merupakan celaan terhadap sikap orang-orang kafir yang menolak untuk beriman. Oleh karena itu, makna ayat ini, menurut ath-Thabari adalah: “Mengapa orang-orang musyrik itu tidak meyakini tawhidulLah dan membenarkan kebangkitan setelah kematian? Padahal Tuhan mereka telah bersumpah kepada mereka, bahwa mereka niscaya melewati tingkat demi tingkat, juga mereka telah melihat dengan mata kepala mereka sendiri berbagai hujjah kebenaran tauhid-Nya.”4

Imam al-Qurthubi juga memaknai ayat ini, “Apa yang mencegah mereka untuk beriman setelah jelas berbagai bukti kebenaran dan terbukti berbagai petunjuk?”5

Ibnu Katsir pun menyatakan, “Apa yang menghalangi mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Kiamat?”6

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ quri’a ‘alayhim al-Qur’ân lâ yasjudûn (Jika al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud). Secara bahasa, kata as-sujûd berarti ath-tathâman wa at-tadzallul (patuh dan merendahkan diri). Kata ini dijadikan sebagai ungkapan untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan beribadah kepada-Nya. Ini berlaku umum, baik pada manusia, hewan, maupun benda-benda. Hal ini karena sujud meliputi dua bentuk. Pertama: sujud ikhtiyâr (dilakukan secara sukarela). Ini hanya ada pada manusia dan yang bisa diharapkan mendapatkan pahala, seperti perintah sujud dalam QS an-Najm [53]: 62. Kedua: sujud taskhîr (dilakukan secara paksa). Ini terjadi pada manusia, hewan dan tumbuhan, seperti yang diberitakan dalam QS ar-Ra’d [13]: 15, an-Nahl [16]: 49, al-Baqarah [2]: 34 dan an-Nisa [4]: 154.7

Adapun secara syar’i, sujud merupakan salah satu rukun dalam shalat. Tercakup pula di dalamnya sujud tilawah dan sujud syukur. Kata sujud kadang juga digunakan untuk menyebut shalat (Lihat: QS Qaf [50]: 40). Shalat dhuha juga disebut dengan sabhat adh-dhuhâ dan sujûd adh-dhuhâ. Kata al-masjid yang merupakan tempat shalat juga disebut sebagai tempat sujud (Lihat: QS Jin [72]: 18).

Penafsiran tentang ayat ini yang dikemukakan para mufassir juga berkisar pada makna-makna tersebut. Menurut ath-Thabari, kata sujud di sini bermakna tunduk dan patuh. Ayat ini berarti: “Jika dibacakan Kitab Tuhan mereka, mereka tidak tunduk dan tidak patuh.”8Abu Muslim berpendapat: al-khudhû’ wa al-istikânah (tunduk dan patuh).9 Pendapat serupa juga dikemukakan beberapa mufassir lainnya, seperti az-Zamakhsyari dan as-Sa’di.10

Ada pula yang menafsirkan lâ yasjudûn (mereka tidak sujud) sebagai lâ yushallûn (mereka tidak shalat). Di antaranya adalah al-Hasan, Atha’, Muqatil, al-Kalbi, al-Qurthubi dan al-Khazin.11 Menurut al-Khazin, shalat diungkapkan dengan sujud karena sujud merupakan bagian dari shalat.12

Ada juga yang memahami kata itu dengan sujud. Ibnu Katsir berkata, “Jika dibacakan Kalam-Nya, yakni al-Quran, mereka tidak bersujud sebagai bentuk pengagungan, penghormatan dan pemuliaan.”13

Abu Hurairah, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, membaca surat al-Insyiqaq, lalu sujud di dalamnya. Setelah selesai, dia memberitakan bahwa Rasulullah saw. juga sujud dalam surat tersebut.14

Sebagaimana ayat sebelumnya yang mencela sikap mereka yang menolak untuk beriman, ayat ini juga mencela sikap mereka tatkala dibacakan al-Quran. Mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap isinya, tidak mau shalat dan tidak mau sujud. Padahal mereka telah mengetahui kemukjizatan al-Quran.

Kemudian Allah SWT berfirman: Bal al-ladzîna kafarû yukadzdzibûna (Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan [al-Quran]). Ayat ini memberitahukan tentang sikap kaum kafir terhadap al-Quran. Mereka tidak sekadar tidak bersujud dan menaati al-Quran, namun mereka juga mendustakan al-Quran. Menurut Ibnu Katsir, termasuk watak mereka adalah mendustakan, menentang dan menyelisihi kebenaran.15

Dalam ayat ini tidak disebutkan perkara yang mereka dustakan. Menurut Asy-Syaukani, mereka mendustakan Nabi Muhammad saw. beserta semua yang beliau bawa dalam al-Quran yang meliputi penetapan tauhid, Hari Kebangkitan, pahala dan dosa.16

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, mereka menentang kebenaran setelah jelas. Karena itu tidak aneh jika mereka tidak beriman dan tidak tunduk terhadap al-Quran. Sesungguhnya mendustakan kebenaran merupakan sikap durhaka, tidak ada alasan di dalamnya.17

Ayat ini juga mengandung celaan keras kepada orang-orang kafir itu. Menurut Fakhruddin ar-Razi, “Maknanya, sesungguhnya dalil-dalil yang mewajibkan untuk beriman, meskipun amat terang dan jelas, tetap didustakan oleh orang-orang kafir itu. Sikap itu bisa jadi disebabkan oleh sikap taklid mereka terhadap pendahulunya, sikap hasad, atau karena takut kehilangan bagian dan manfaat dunia jika menampakkan keimanan.”18

Kemudian Allah SWT berfirman: WalLâh a’lamu bimâ yu’ûn (Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan [dalam hati mereka]). Kata yû’ûn berasal dari kata al-wi’â’ (bejana). Dikatakan: Aw’aytu asy-syay’a, artinya ja’altuhu fî wi’â’ (saya menjadikan sesuatu itu terkumpul di bejana). Ini sebagaimana firman Allah SWT: Wajam’a faw’â (serta mengumpulkan [harta benda] lalu menyimpannya (QS al-Ma’arij [70]: 18). Allah mengetahui apa yang mereka kumpulkan dalam dada mereka berupa kemusyrikan dan pengingkaran, kemudian Dia membalas mereka di dunia dan akhirat.19

Ibnu Zaid berkata tentang ayat ini: Al-Mar‘u yû’î matâ’ahu wa mâlahu hadzâ fî hadzâ, wa hadâ fî hadzâ (Seseorang mengumpulkan harta bendanya; ini di sini dan ini di sini). Demikianlah, Allah telah mengetahui perbuatan-perbuatan yang mereka kumpulkan; perbuatan buruk yang mereka simpan di hati mereka dan berkumpul di di dalamnya antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Hati merupakan wi’â‘ (bejana) bagi seluruh perbuatan, yang baik maupun yang buruk. Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan.20

Menurut az-Zamaksyari, Allah SWT mengetahui apa yang mereka kumpulkan dalam dada mereka beserta kekufuran, hasad, kedurhakaan dan kebencian yang mereka sembunyikan; atau apa yang mereka kumpulkan dalam catatan amal mereka berupa berbagai perbuatan yang buruk dan yang menghinakan diri mereka dengan berbagai macam azab.21

Dengan demikian, menurut As-Sa’di, ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT mengetahui apa pun yang mereka kerjakan dan mereka niatkan secara tersembunyi. Allah mengetahui rahasia mereka dan yang mereka tampakkan, kemudian Dia membalas mereka atas dasar amal mereka.22

Kemudian Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya: Fabasysyirhum bi ‘adzâb alîm (Karena itu gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. agar beliau menyampaikan ancaman kepada orang-orang kafir itu, bahwa mereka akan mendapatkan adzâb alîm. Pengertian al-alîm adalah al-mu’lim al-mûji` (yang menyakitkan dan menyusahkan); azab yang pedih. Menurut Ibnu Katsir, “Beritahu mereka, wahai Muhammad, bahwa Allah SWT telah menyediakan azab yang pedih untuk mereka.”23

Ath-Thabari juga menafsirkan ayat ini dengan ungkapan: “Kabarilah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dengan azab yang pedih; di sisi Allah bagi mereka azab yang menyakitkan.”24

Terakhir, Allah SWT berfirman: Illâ al-ladzîna âmanû wa ‘amilû al-shâlihât lahum ajr[un] ghayru mamnû[un] (Akan tetapi, orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka pahala yang tak terputus). Huruf illâ dalam ayat ini merupakan istitsnâ’ munqathi` (yang dikecualikan tidak sejenis dengan frasa sebelumnya). Artinya, lâkinna (tetapi) orang-orang yang beriman dengan hati mereka dan beramal shalih dengan perbuatan mereka.25

Mereka akan diberi ajr[un] ghayru mamnûn. Menurut al-Alusi, tanwîn pada kata ajr[un] bermakna li al-ta’zhîm (untuk mengagungkan). 26 Adapun terkait makna ghayru mamnûn, ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para mufassir. Menurut Ibnu Abbas, kata itu berarti ghayru manqûsh (tidak dikurangi); sedangkan menurut Mujahid dan adh-Dhahhak berarti ghayru mahsûb (tidak terhitung).27 Ada juga yang memaknai kata itu dengan ghayru maqthû’ (tidak terputus).28

Secara keseluruhan, menurut Ibnu Jarir: Frasa illâ al-ladzîna âmanû bermakna: kecuali orang-orang yang bertobat di antara mereka serta meyakini dan membenarkan tauhid-Nya, kenabian Muhammad saw. dan kebangkitan setelah kematian. Frasa wa ‘amilû al-shâlihât berarti: orang-orang yang menunaikan fardhu-fardhu Allah dan menjauhi apa yang Dia haramkan atas mereka. Frasa lahum ajr[un] ghayru mamnûn bermakna: Allah SWT mengingatkan bahwa untuk orang-orang yang beriman dan beramal shalih itu pahala yang tak terhitung dan tak dikurangi.29

Beberapa Catatan Penting

Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama: jelas dan terangnya dalil yang mengharuskan keimanan. Beberapa bukti tersebut telah disampaikan dalam ayat-ayat sebelumnya. Pergantian hari yang ditandai dengan matahari terbenam, malam gelap dan segala yang dikumpulkan olehnya, serta perubahan terus pada bentuk bulan (dari tidak ada, sabit, separuh hingga menjadi bulat sempurna) membuktikan keberadaan dan kemahakuasaan Allah SWT; juga menunjukkan betapa mudahnya bagi Allah SWT untuk menghidupkan kembali seluruh manusia pada Hari Kiamat, menghisab mereka dan memberikan balasan kepada mereka.

Karena begitu terang dan jelas, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak beriman dan mendustakannya. Ayat ini pun mencela mereka yang tidak mau beriman: Famâ lahum lâ yu‘minûn (mengapa mereka tidak mau beriman).

Bukti lainnya yang amat jelas adalah al-Quran. Siapa pun yang paham bahasa Arab, apalagi para pemilik bahasanya, tentu mengetahui bahwa uslub atau gaya bahasa al-Quran berbeda dengan semua uslub bahasa yang pernah dikenal dalam bahasa Arab; bahkan berbeda dengan uslub bahasa yang digunakan oleh Rasulullah saw. dalam keseharian. Itu menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah buatan Rasulullah saw., namun berasal dari wahyu Allah SWT.

Siapa pun yang masih meragukan kebenaran al-Quran ditantang untuk membuat yang serupa dengannya sepuluh surat saja (lihat QS Hud [11]: 13). Bahkan mereka ditantang mendatangkan satu surat saja yang serupa (lihat QS Yunus [10]: 30, al-Baqarah [2]: 23). Namun, tidak ada seorang pun yang bisa memenuhi tantangannya. Al-Quran pun memastikan mereka tidak akan bisa melakukan itu (lihat QS al-Baqarah [2]: 24). Fakta ini menunjukkan secara pasti kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah SWT.

Oleh karena itu tidak ada alasan bagi siapa pun untuk ingkar, tidak menaati perintah dan larangannya, termasuk perintah shalat dan sujud kepada Allah SWT.

Kedua: orang-orang kafir memang layak mendapatkan azab. Dalam ayat ini diberitakan tentang azab yang amat pedih untuk mereka. Hukuman yang dahsyat itu sesungguhnya merupakan balasan yang setimpal buat mereka. Betapa tidak, berbagai kenikmatan telah mereka terima. Bahkan karena begitu banyak, semua itu tak akan mampu mereka hitung. Mereka hanya diperintahkan untuk beriman dan beribadah kepada Allah SWT. Bagi yang mau melakukan itu dijanjikan untuk mendapatkan pahala yang tidak terputus. Sebaliknya, yang ingkar diancam dengan siksa neraka. Untuk itu, Allah SWT telah memberikan berbagai dalil dan bukti yang terang-benderang. Karena itu azab yang pedih itu sepadan dengan kekufuran, kejahatan dan kedurhakaan mereka (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 26).

Ketiga: Ayat ini juga memberitakan tentang besarnya pahala yang akan diterima orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Demikian besarnya hingga pahala itu disebut ghayru mamnûn. Menurut para mufassir, itu berarti ghayru mamnûn bermakna ghayru maqthû’ (tak terputus), ghayru manqûsh (tak berkurang)dan ghayr mahsûb (tak terhitung).

Inilah perbedaan azab dengan pahala. Jika azab yang ditimpakan kepada orang kafir merupakan balasan yang sepadan, maka pahala bagi orang beriman dan beramal shalih merupakan pemberian yang tak terkira (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 36).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:

1         Ahmad Ubaid, I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 433.
2         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 274; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 103; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 409; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1997), 376.
3         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Rusalah, 2000), 326.
4         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 326.
5         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19, 274.
6         Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 361.
7         Al-Asfahan, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaksus: Dar al-Qalam, 1992), 397.
8         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 326.
9         Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1999), 495.
10        Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 729.
11        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 376; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19, 280; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 4, 409.
12        Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl, vol. 4, 409.
13        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 361.
14        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19, 280.
15        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 361.
16        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495.
17        As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 917.
18        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 104.
19        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 104.
20        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 327.
21        Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 729; Lihat juga dalam al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15          (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 292.
22        As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 917.
23        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 361.
24        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 327.
25        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 362. Lihat juga dalam al-Syaukani, Fat-h 
 al-Qadîr, vol. 5, 496; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 729.
26        Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 293.
27        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 362.
28        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 496.
29        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 326.

Kamis, 18 Desember 2014

ANCAMAN BAGI PENGHALANG SYARIAH

كَلا إِنَّ الإنْسَانَ لَيَطْغَى، أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى، إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى، أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى، عَبْدًا إِذَا صَلَّى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى، أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى، أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى، أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى، كَلا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ، نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ، فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ، سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ، كَلا لا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ.

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidakkah Dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami bakal menarik ubun-ubunnya; (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolongnya). Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Bersujudlah engkau dan mendekatlah (dirimu kepada Tuhan) (QS al-‘Alaq [96]: 6-19).

Ayat-ayat ini termasuk dalam surat al-Alaq. tetapi tidak turun bersamaan dengan lima ayat sebelumnya. Lima ayat sebelumnya merupakan ayat yang pertama kali diturunkan. Adapun ayat-ayat ini turun setelah beberapa ayat dalam surat lainnya. Telah maklum bahwa susunan ayat dalam surat tidak didasarkan pada urutan turunnya, namun didasarkan pada perintah Allah SWT.
1

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Kallâ inna al-insâna layathghâ (Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas). Kata kallâ merupakan harf yang memiliki beberapa arti. Menurut al-Qurthubi, al-Baghawi, al-Abyari, as-Samarqandi dan al-Wahidi kata kallâ di sini berarti haqq[an] (benar).2 Az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, asy-Syaukani dan al-Alusi menafsirkan kallâ sebagai rad’[un] (mencegah, menghalangi) bagi orang yang mengingkari nikmat Allah dengan melakukan tindakan melampaui batas. Meskipun tidak disebutkan, penunjukan kalimat menunjukkan makna demikian.3

Pengertian al-insân merujuk kepada anak-cucu Adam. Meskipun kata tersebut menunjukkan li al-jins, dalam konteks ayat ini tidak mencakup semua jenis manusia. Menurut Muqatil, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Jahal. Apabila mendapatkan harta, maka dia menambah pakaian, kendaraan dan makanannya. Tindakan tersebut melampaui batas.4

Ditegaskan bahwa manusia itu layathghâ. Ath-thughyân adalah mujâzawah al-hadd fî al-‘ishyân (melampaui batas dalam kemaksiatan). Oleh karena itu, kata yathghâ di sini berarti melampaui batas dan bersikap sombong terhadap Tuhannya.5 Realitas tersebut ditegaskan oleh dua huruf yang menunjukkan makna tawkîd, yakni huruf inna dan huruf al-lâm.

Kemudian disebutkan: an ra’âhu [i]staghnâ (karena dia melihat dirinya serba cukup). Huruf an merupakan harf mashdariyyah. Menurut al-Alusi, frasa tersebut berkedudukan sebagai maf’ûl min ajlihi. Artinya, dia bertindak melampaui batas karena dia merasa dirinya cukup.6 Kata mustaghniyy[an] berarti dia merasa dirinya cukup dengan harta, anak-anak dan kekuasaannya.7

Lalu Allah SWT berfirman: Inna ilâ Rabbika ar-ruj’â (Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali). Kata ar-ruj’â merupakan bentuk mashdar ber-wazan fu’lâ seperti halnya kata al-busyrâ. Kata ar-ruj’â, al-marji’ dan ar-rujû’ merupakan bentuk mashdar, maknanya al-mashîr wa al-‘awdah (tempat kembali atau kembali).8 Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa manusia akan dikembalikan kepada Allah SWT. Manusia pun tidak bisa mengelak dari hisab Allah dan menerima balasan atas semua perbuatan yang mereka kerjakan selama di dunia, termasuk tindakan melampaui batas dan sikap sombong yang dilakukan. Oleh karena itu, menurut ar-Razi dan al-Baidhawi ayat ini memberikan tahdîd[an] wa tahdzîr[an] (ancaman dan peringatan) bagi manusia akibat tindakan melampaui batas yang mereka lakukan.9

Setelah itu Allah SWT berfirman: Ara’ayta al-ladzî yanhâ ‘abd[an[ idzâ shallâ (Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat). Dijelaskan al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan asy-Syaukani, al-ladzî yanhâ adalah Abu Jahal, sedangkan yang dimaksud ‘abd[an] adalah Rasulullah saw.10 Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata, “Jika aku melihat Muhammad shalat, sungguh akan kupukul lehernya.” Kemudian turunlah ayat-ayat ini sebagai ta’ajjub[an] (bentuk keheranan).11 Penjelasan serupa juga dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan Qatadah.12

Huruf hamzah pada kata ara’ayta merupakan istifhâm yang menunjukkan li al-inkâr wa at-ta’ajjub (pengingkaran dan keheranan), yang bermakna akhbirnî (kabarkanlah kepadaku).13 Sungguh, amat mengherankan ada orang yang melarang seorang hamba untuk beribadah kepada Tuhannya.

Kemudian ditegaskan: Ara’ayta inkâna ‘alâ al-hudâ (Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran). Karena masih kelanjutan ayat sebelumnya, hamba yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. Ditegaskan bahwa hamba tersebut alâ al-hudâ, yakni ‘alâ al-tharîqah al-mustaqîmah fîqawlihi wa fi’lihi (berada di atas jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatannya).14

Juga: Aw amara bi al-taqwâ (atau dia menyuruh bertakwa [kepada Allah). Tak hanya berada di atas petunjuk, hamba tersebut juga mengajak orang lain seperti dirinya yang berada di atas petunjuk. Dia memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah, yakni mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; atau menurut al-Baghawi, memerintahkan untuk ikhlas dan tauhid.15 Ajakan ini seharusnya disambut dengan baik dan penuh sukacita. Sebab, ajakan tersebut dapat mengantarkan manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jadi, sungguh mengherankan jika ajakan tersebut ditolak, apalagi dihalangi.

Kemudian ditegaskan lagi: Ara’ayta in kadzdzaba wa tawallâ (Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?). Berkebalikan dengan yang dilarang. Orang yang melarang tersebut adalah kaddzaba wa tawallâ (yang mendustakan dan berpaling), yakni mendustakan apa yang dibawa Rasulullah saw. dan berpaling dari keimanan.16 Al-Farra’ berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang hamba ketika dia mengerjakan shalat, padahal orang yang dilarang tersebut berada di atas petunjuk dan memerintahkan ketaatan, sedangkan yang melarang justru orang yang mendustakan dan berpaling dari peringatan. Apa yang lebih mengherankan dari ini?17

Kemudian Allah SWT berfirman: Alam ya’lam bi annal-Lâh yarâ (Tidaklah Dia mengetahui bahwa Allah melihat segala perbuatannya). Semua tindakan zalim yang dilakukan tidak akan dibiarkan begitu saja. Semua dilihat dan didengar oleh Allah dan Dia akan membalas semua yang dikerjakan dengan balasan yang sempurna.18 Ini merupakan takhwîf[an] syadîd[an] li al-‘ushâh wa targîb[an] ‘azhîm[an] l ahl al-thâ’ah (ancaman keras bagi pelaku ketaatan dan dorongan besar bagi pelaku ketaatan).19

Allah SWT berfirman: Kallâ la in lam yantahi lanasfa’an bi al-nâshiyah (Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti [berbuat demikian] niscaya Kami bakal menarik ubun-ubunnya). Ini merupakan teguran keras kepada Abu Jahal dan orang-orang yang melakukan tindakan serupa dengannya. Apabila tidak juga berhenti dari tindakannya yang zalim dan durhaka, maka hukuman keras akan ditimpakan kepada mereka. Hukuman tersebut adalah lanasfa’an bi al-nâshiyah.

Kata as-saf’u berarti al-qabdhu ‘alâ asy-syay’ wa jadzabahu bi syiddah (menggenggam sesuatu dan menariknya dengan keras). Ini seperti yang disebutkan dalam QS ar-Rahman [55]: 41.20 Adapun an-nâshiyah adalah sya’r muqaddam ar-ra’s (rambut bagian depan kepala). Kata ini digunakan untuk mengungkapan diri seseorang secara keseluruhan. Disebutkan nâshiyah secara khusus karena kebiasaan orang Arab jika ingin menghinakan atau merendahkan seseorang ditarik jambulnya.21

Lalu dijelaskan lagi: Nâshiyat[in] kâdzbat[in] khâthi’at[in] ([yaitu] ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka). Yang ditarik tersebut adalah nâshiyah kâdzibah khâthi’ah, yakni kâdzibah fî qawlihi (pendusta dalam ucapannya); dan khâthi’ah fí fi’lihi (salah dalam ucapannya).22 Kata al-khâthi‘ berarti orang yang menyengaja berbuat seuatu yang tidak selayaknya. Adapun al-mukhti‘ adalah orang yang menginginkan kebenaran, lalu terjerumus pada yang lain. Apabila al-khâthi‘ dihukum (lihat QS al-Haqqah [69]: 37), al-mukhthi‘ tidak dihukum.

Kemudian Allah SWT berfirman: Falyad’u nâdiyah (Biarlah Dia memanggil golongannya [untuk menolongnya]). Menurut az-Zamakhsyari, pengertian al-nâdî adalah majelis tempat berkumpulnya suatu kaum. Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir dan al-Baghawi memaknainya sebagai kaum dan keluarganya. Maka dari itu, mintalah pertolongan kepada mereka.23

Akan tetapi permintaan tolong itu sama sekali tidak berguna. Sebab, Allah SWT berfirman: Sanad’u az-zabâniyyah (kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah). Kata Az-zabaniyyah merupakan bentuk jamak dari kata az-zabani yang berarti al-daf’ (mendorong). Menurut Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud dengan itu adalah zabaniyyah Jahannam. Dinamakan demikian karena merekalah yang mendorong ahli neraka ke dalam neraka. Al-Zujjaj mengatakan: mereka adalah al-malâikah al-ghilâzh asy-syidâd (malaikat yang kasar lagi keras).24

Lalu surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Kallâ lâ tuthi’hu wa[u]sjud wa [i]tarib (Sekali-kali jangan. Janganlah kamu patuh kepada dia. Bersujudlah dan mendekatlah (dirimu kepada Tuhan). Kallâ di sini berarti: perkaranya tidak seperti yang diduga Abu Jahal. Lâ tuthi’hu berarti: Janganlah kamu menaati perkara yang diminta untuk meninggalkan shalat. Larangan ini seperti yang terdapat dalam QS al-Qalam [68]: 8). Kemudian diperintahkan: wa[u]sjud. Perintah bersujud berarti: shalatlah untuk Allah; dengan mengabaikan orang yang melarang dan tidak mempedulikan larangannya. Adapun wa[i]qtarib berarti bertaqarrublah kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah.25

Ancaman bagi Penghalang Syariah

Patut dicatat, sekalipun ayat-ayat di atas turun berkenaan dengan Abu Jahal, ia berlaku atas siapa yang bersikap sama atau mengikuti jejak Abu Jahal. Sebagaimana dinyatakan Abdurrahman as-Sa’di, ayat ini berlaku umum untuk semua orang yang melarang kebaikan dan yang dilarang atas dirinya.26

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari ayat-ayat ini. Pertama: tentang orang yang melampaui batas dan bertindak sombong terhadap Tuhannya. Telah maklum bahwa Allah SWT telah memberikan syariah bagi seluruh manusia. Syariah tersebut berfungsi sebagai hudûdul-Lâh (batas-batas Allah) yang tidak boleh dilanggar. Barangsiapa yang melanggar berarti telah melampaui batas. Terhadap pelakunya, Allah SWT memberikan ancaman dan peringatan keras. Dalam ayat ini juga diberitakan mengenai penyebab munculnya sikap tercela tersebut, yakni merasa dirinya serba cukup dan tidak membutuhkan yang lain, termasuk Allah SWT. Oleh karena itu, jika ingin mengubah sifat tercela tersebut dari dirinya, maka orang tersebut harus menghilangkan sikapnya yang merasa dirinya serba cukup.

Kedua: tentang orang yang melarang dan menghalangi manusia melakukan ketaatan. Orang yang dilarang tersebut berada di atas petunjuk dan memerintahkan orang lain berbuat takwa. Sebaliknya, orang yang melarang tersebut justru mendustakan Rasul dan risalahnya serta berpaling darinya. Terhadap mereka, ayat ini memberikan acaman keras. Mereka akan ditarik rambutnya dan dimasukkan ke dalam neraka-Nya. Segala kekuatan yang dimiliki tidak berguna sama sekali karena berhadapan dengan Malaikat Zabaniyyah yang amat kasar lagi keras dan mendorongnya ke dalam neraka.

Ancaman ini tidak hanya berlaku berlaku penghalang shalat, namun juga bagi penghalang semua hukum syariah lainnya seperti zakat, puasa, haji, dakwah, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya adalah orang yang menghalangi tegaknya Khilafah dan para pejuangnya. Sebab, Khilafah bukan saja perkara yang disyariatkan, namun tanpa Khilafah banyak hukum syariah yang terlantar dan terabaikan.

Ketiga: orang yang dilarang melakukan ketaatan. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa mereka dilarang untuk mengikuti perintah dan keinginan orang durhaka tersebut. Perintah tersebut tidak boleh didengar dan dipedulikan sama sekali. Sebaliknya, mereka harus tetap kukuh mengikuti perintah kepada Allah SWT, apa pun risikonya. Sebab, mereka di atas petunjuk kebenaran. Maka dari itu, mereka harus tetap bersujud, shalat, beribadah dan menghamba kepada Allah SWT. Mereka juga diperintahkan untuk menambah taqarrub kepada Alllah SWT. Di antara taqarraub yang paling besar adalah berjuang menegakkan Khilafah. Sebab, dengan tegaknya khilafah, syariah secara kaffah bisa diterapkan. Inilah yang harus dilakukan. Ketika ini dilakukan, maka kebahagiaan di dunia dan akhirat akan didapat. Ampunan, surga dan ridha-Nya adalah balasan yang bakal diterima. Siapa yang tidak senang menyambut?

Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Mishriyyah, 1963), 123.
2 Al-Qurthubi, Ibid.,; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (tt: Dar al-Thayyibah, 1997), 479; al-Abyari, Al-Mawsû’ah al-Qur‘âniyyah, vol. 11 (tt: Sajjal al-‘Arab, 1984), 481; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Beirut: Dar al-Qalam, 1995), 1216.
3 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 777; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turast al-‘Arabi, 1998), 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1994), 571; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 403.
4 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 479
5 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 571
6 Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 404
7 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 594
8 Al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 315.
9 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2000), 221; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5, 325. Lihat juga dalam al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1997), 663.
10 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairoi: Dar al-Kutub al-Mishiriyyah, 1964), 124; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 422; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 572.
11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 124.
12 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 565.
13 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 322.
14 Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 555. Lihat juga dalam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
15 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 282.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 574.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 124.
18 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
19 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 3; 223; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 778 menyebutnya sebagai wa’îd (peringatan keras, ancaman).
20 Ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb, vol. 3; 224; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 778.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 125.
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 126.
23 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 778; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 8, 282; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 423.
24 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 282
25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 2, 128; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 574
26 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 930.