إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ، إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ
الْبَرِيَّةِ، جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Sesungguhnya
orang-orang kafir, yakni ahlul kitab dan orang-orang musyrik (akan
masuk) ke Neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah
seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal salih adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di
sisi Tuhan mereka ialah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah meridhai mereka dan mereka pun meridhai-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya (QS al-Bayyinah [98]: 6-8).
Kandungan ayat
ini memberikan penjelasan lebih lanjut dari yang telah dijelaskan
ayat-ayat sebelumnya. Dalam ayat-ayat sebelumnya diterangkan mengenai
keadaan kaum kafir, baik dari kalangan Ahlul Kitab maupun musyrik.
Mereka tidak pernah meninggalkan kekufurannya hingga petunjuk yang
nyata. Petunjuk itu tak lain adalah Rasulullah saw. yang membawa dan
membacakan kitab yang disucikan. Kitab yang di dalamnya berisi risalah
yang lurus. Setelah datangnya petunjuk tersebut, kaum kafir tersebut
kemudian terbelah menjadi beberapa firqah. Sebagian ada yang mengimani petunjuk tersebut, sebagian lainnya mengingkari. Ayat ini kemudian menjelaskan konsekuensi yang bakal mereka terima oleh masing-masing.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Inna al-ladzîna kafarû min Ahl al-Kitâb wa al-musyrikîn (Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik). Mereka adalah orang-orang yang mengingkari dan menolak al-bayyinah (petunjuk yang terang)—baik sebagian meaupun seluruhnya—yang datang
kepada mereka, yakni Rasulullah saw., al-Quran, dan seluruh risalahnya
sebagaimana diterangkan dalam ayat sebelumnya. Dalam ayat ini kembali
ditegaskan bahwa al-ladzîna kafarû itu mencakup kalangan Ahlul
Kitab dan musyrik. Pengertian dua golongan tersebut tidak berbeda dengan
yang disebutkan dalam awal surat ini. Ahlul Kitab adalah Yahudi dan
Nasrani. Musyrik adalah seluruh orang kafir selain penganut dua agama
tersebut.
Ayat ini diawali dengan harf inna yang berfungsi sebagai tawkîd (penegasan). Ditegaskan bahwa mereka yang tetap dalam kekufurannya atau menjadi kafir setelah dating al-bayyinah tersebut dipastikan menerima balasan atas sikap dan tindakan mereka. Dalam frasa berikutnya dinyatakan: fî nâr Jahannam khâlidîna fîhâ ([akan masuk] ke Neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya). Menurut ath-Thabari, frasa ini berarti mâkitsîn lâbitsîn fîhâ (tinggal dan menghuni di dalamnya).1 Balasan
berupa siksa neraka tersebut akan ditimpakan di akhirat kelak. Selain
ayat ini, ancaman ini tersebar dalam banyak ayat al-Quran. Dijelaskan al-Baghawi, kata khâlidîn fîhâ berarti dâimîna fîhâ (kekal di dalamnya).2
Patut dicatat,
ancaman tersebut berlaku tatkala kekufuran mereka itu terus berlangsung
hingga mereka mati (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 161). Hal ini juga
dijelaskan dalam QS Ali Imran [3]: 90, al-Nisa’ [4]: 18, dan Muhammad
[47]: 34. Namun, jika mereka mau bertobat dan mengadakan perbaikan
sebelum kematian tiba, kesempatan mendapatkan ampunan dan terbebas dari
azab neraka masih terbuka (Lihat: QS Ali Imran [3]: 89, an-Nisa’ [4]:
46).
Selain menjadi penghuni Neraka Jahanam selama-lamanya, mereka juga dinyatakan: Ulâika hum syarr al-bariyyah (Mereka itulah seburuk-buruk makhluk). Menurut bahasa yang populer, kata al-bariyyah tanpa huruf al-hamzah. Awalnya kata tersebut terdapat huruf al-hamzah, yakni dari kata bara’a yang berarti khalaqa. Pengertian al-bâri’ adalah al-khâliq, sedangkan al-bariyyah bermakna al-khalîqah (makhluk, ciptaan).3 Kalimat bara’al-Lâh al-khalq berarti ibtada’ahu (Dia menciptakan makhluk) (Lihat: QS al-Hadid [57]: 22). Dengan demikian, al-bariyyah bermakna al-khalîqah (makhluk, ciptaan).4 Pengertian syarr al-bariyyah adalah syarr al-khalîqah (seburuk-buruk makhluk).5 Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, frasa hum syarr al-bariyyah memberikan makna an-nafiyy wa al-itsbât (negasi sekaligus pengukuhan). Artinya: hanya mereka, bukan yang lain.
Kemudian dijelaskan tentang keadaan orang-orang yang bersikap dan bertindak sebaliknya. Allah SWT berfirman: Inna al-ladzîna âmanû wa ‘amilû ash-shâlihah (Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih). Dalam ayat ini
disebutkan mengenai orang yang memiliki dua sifat sekaligus. Pertama: beriman dengan keimanan yang benar. Kata âmanû merupakan al-fi’l al-muta’addî (kata
kerja yang membutuhkan obyek). Ketika obyeknya tidak disebutkan maka
perkara yang mereka imani merujuk pada seluruh perkara yang wajib
diimani. Itulah keimanan yang benar. Tatkala ada yang diingkari dari
perkara tersebut, baik sebagian atau seluruhnya, maka tidak termasuk
dalam cakupan ayat ini. Orang yang beriman terhadap sebagian dan ingkar
terhadap sebagian lainnya, dikategorikan sebagai orang kafir (Lihat: QS
an-Nisa’ [4]: 150-151).
Kedua:
beramal salih. Keimanan yang benar akan memancarkan perbuatan dan
perilaku yang membuktikan kebenaran pengakuan keimanan tersebut. Sifat
inilah yang dimiliki orang yang disebutkan dalam ayat ini. Mereka
membuktikan keimanan mereka dengan mengerjakan amal salih, yakni
ketaatan pada seluruh perintah dan larangan-Nya yang dilandaskan
keikhlasan semata karena Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat
sebelumnya (ayat 5). Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan, “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya Muhammad saw.,
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, mendirikan shalat, menunaikan zakat
serta menaati Allah dalam perkara yang Dia perintahkan dan Dia larang.6
Fakhruddin ar-Razi menuturkan bahwa ayat ini dijadikan sebagai hujjah orang yang berpendapat bahwa ketaatan tidak termasuk dalam cakupan iman. Sebab, dalam ayat ini amal salih ma’thûf (ditambahkan) pada iman. Al-ma’thûf berbeda dengan al-ma’thûf ‘alayhi (perkara yang ditambahkan padanya).7
Orang-orang yang menggabungkan dua sifat dalam dirinya itu dinyatakan: Ulâika hum khayr al-bariyyah (Mereka itulah sebaik-baik makhluk). Inilah predikat kebalikan dari orang-orang kafir. Sebagaimana makna sebelumnya, khayr al-bariyyah berarti khayr al-khalîqah (sebaik-baik
makhluk, ciptaan). Oleh Abu Hurairah ra. dan sebagian ulama, ayat ini
dijadikan sebagai dalil tentang keutamaan manusia di atas malaikat.8
Kemudian Allah SWT berfirman: Jazâuhum ‘inda Rabbihim Jannah ‘Adn tajrî min tahtihâ al-anhâr (Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai). Pengertian jazâuhum di sini adalah tsawâbuhum (pahala, ganjaran mereka);9 bahwa pahala yang akan diberikan kepada mereka di akhirat kelak adalah al-jannah. Pengertian al-jannah yang banyak diberitakan dalam al-Quran dan al-Hadis adalah dâr al-na’îm fî al-âkhirah.10 Di dalamnya tersedia berbagai kelezatan, kesenangan, kebahagiaan, kesejukan dan aneka kenikmatan yang tak terbayangkan.
Surga yang bakal dihuni oleh yang beriman dan beramal salih itu digambarkan
memiliki sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Di samping ayat ini,
gambaran semacam ini juga dikabarkan dalam banyak ayat al-Quran, seperti
QS al-Baqarah [2]: 25, al-Hajj [22]: 23, al-Furqan [25]: 10, dll.
Ditegaskan bahwa: khâlidîna fîhâ abad[an] (Mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya). Artinya, mereka tinggal di dalamnya
selama-lamanya. Tidak mati dan tidak keluar darinya. Mereka berada
berada dalam kenikmatan abadi lagi tak terputus.11
Juga diberitakan: radhiyal-Lâh ‘anhum (Allah meridhai mereka). Artinya, Allah SWT meridhai amal mereka. Demikian menurut Ibnu ‘Abbas sebagaimana disitir al-Qurthubi.12 Demikian pula sebaliknya: wa radhû ‘anhu (Mereka pun ridha kepada Allah). Mereka juga ridha atas balasan dan pahala yang Allah SWT berikan kepada mereka.13
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dzalika liman khasyiya Rabbahu (Yang demikian itu adalah [balasan] bagi orang yang takut kepada Tuhannya). Kata khasyiya artinya khâfa (takut). Implikasinya, mereka pun meninggalkan berbagai kemaksiatan.14 Dijelaskan
Ibnu Katsir, frasa ini memberikan pengertian bahwa balasan tersebut
diberikan kepada orang yang takut kepada Allah SWT dan bertakwa
kepada-Nya dengan takwa yang sebenar-benarnya; menyembah-Nya seolah-olah
melihat-Nya dan yakin bahwa jika dia tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihat dirinya.15
Akidah dan Amal sebagai Penentu
Di antara
perkara penting yang ditekankan dalam ayat ini adalah urgensitas akidah.
Karena faktor akidah, manusia terbelah menjadi dua golongan, yakni
kafir dan Mukmin (Lihat juga: QS at-Taghabun [64]: 2). Predikat dan
nasib keduanya amat bertolak belakang.
Tatkala al-bayyinah (yakni
Rasulullah saw., al-Kitab, dan risalahnya) datang kepada manusia, ada
dua macam respon manusia: meyakini atau mengingkari; membenarkan atau
mendustakan; menerima atau menolak. Orang-orang yang mengingkari,
mendustakan dan menolak al-bayyinah tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya, terkategori sebagai golongan kafir. Oleh karena itu, Ahlul Kitab termasuk dalam cakupan kafir.
Berkenaan dengan kekufuran Ahlul Kitab, Muhammad Izzat mengatakan:
Di dalam ayat
pertama (surat ini, penerj.) terdapat dalil lain bahwa orang-orang yang
mengingkari risalah Nabi Muhammad saw. dari kalangan Ahlul Kitab tidak
terselamatkan pada Hari Kiamat oleh keimanan mereka terhadap kitab-kitab
dan risalah nabi-nabi mereka. Bahkan seandainya mereka belum menyimpang
dan mengubah (Kitab atau risalah itu) sekalipun. Inilah yang telah
diingatkan kepada kita sebelumnya. Tentang hal ini, Rasulullah saw. juga
bersabda:
وَالَّذِى
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ
يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى
أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di
tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik
dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang
aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Ayat-ayat ini
memberitakan bahwa predikat di hadapan Allah dan balasan yang bakal
diterima kedua golongan itu amat bertolak belakang. Sebagaimana telah
dipaparkan, kelompok pertama disebut sebagai syar al-bariyyah (seburuk-buruknya
makhuk). Predikat tersebut memang sesuai dengan fakta mereka. Perangkat
akal, pendengaran dan penglihatan yang diberikan kepada mereka tidak
digunakan dengan benar sehingga mereka berperilaku seperti
binatang ternak, bahkan lebih sesat (Lihat: QS al-A’raf [7]: 179). Hidup
mereka juga hanya diisi dengan bersenang-senang dan makan seperti
layaknya binatang (Lihat: QS Muhammad [47]: 12). Tak mengherankan jika
kaum kafir itu disebut sebagai syarr ad-dawâb (seburuk-buruk binatang) (Lihat: QS al-Anfal [8]: 55).
Ayat ini pun menegaskan bahwa balasan yang layak bagi manusia yang berpredikat syarr al-bariyyah adalah neraka; tempat yang disebut sebagai bi’sa al-mashîr/seburuk-buruk tempat kembali (QS al-Baqarah [2]: 126, al-Mulk [67]: 6) dan sâat mashîr[an]/seburuk-buruk tempat kembali (QS an-Nisa’ [4]: 97).
Sebaliknya, ayat ini juga menyebut orang-orang yang beriman dan beramal salih sebagai khayr al-bariyyah (sebaik-baik
makhluk). Predikat tersebut memang juga sesuai dengan fakta kehidupan
mereka. Ketaatan dan ketundukan mereka terhadap risalah dari Allah SWT
itu—agama dan ideologi terbaik bagi manusia—mengantarkan mereka
menjadi manusia terbaik. Rincian predikat manusia terbaik ini, banyak
dijelaskan dalam beberapa hadis. Misalnya disebutkan: Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan al-Quran. (HR al-Bukhari dan Abu Dawud). Orang yang paling baik Islamnya adalah yang paling baik akhlaknya (HR Ahmad). Manusia
terbaik adalah manusia yang paling banyak bacaan al-Qurannya, paling
takwa, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar, dan menyambung
silaturahmi (HR Ahmad). Allah SWT juga menyebut umat Rasulullah
saw. sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia lantaran
memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar dan beriman kepada
Allah SWT (Lihat: QS Ali Imran [3]: 110).
Sebagai makhluk
terbaik, balasan yang diberikan kepada mereka pun tempat terbaik, yakni
surga. Dalam al-Quran, surga disebut sebagai hasunat mustaqarr[an] wa muqâm[an]/sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (lihat QS al-Furqan [24]: 36); juga disebut sebagai ni’ma dâr al-muttaqîn/ sebaik-baik tempat bagi orang-orang bertakwa (lihat QS an-Nahl [16]: 30). Balasan yang diberikan itu dinyatakan sebagai ni’ma ajr al-‘âmilîn/sebaik-baik pahala bagi orang yang beramal (lihat QS Ali Imran [3]: 136); juga disebut ni’ma al-tsawâb wa ni’ma murtafaq[an]/sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang paling indah (lihat QS al-Kahfi [18]: 31).
Jelaslah bahwa
predikat manusia di hadapan Allah SWT ditentukan oleh aqidah dan
amaliahnya. Demikian pula balasan yang bakal diterima manusia di akhirat
kelak. Baik akidah maupun amaliah berada dalam daerah yang
dikuasai oleh manusia. Semoga kita termasuk dalam golongan makhluk
terbaik dengan balasan yang terbaik pula.
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 542.
2 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 499.
3 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 8 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 581.
4 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 8, 581.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964), 145; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 439; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 499.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 542.
7 Ath-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 348.
8 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 439.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 146.
10 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 13 (Beirut: Dar Shadir, tt), 92.
11 Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, vol. 3, 561.
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 146.
13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 146.
14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 146;
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 439.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar