(Tafsir QS al-Insyiqaq [84]: 20-25)
فَمَا لَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٢٠ وَإِذَا
قُرِئَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقُرۡءَانُ لَا يَسۡجُدُونَۤ۩ ٢١ بَلِ ٱلَّذِينَ
كَفَرُواْ يُكَذِّبُونَ ٢٢ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يُوعُونَ ٢٣
فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٢٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُمۡ أَجۡرٌ غَيۡرُ مَمۡنُونِۢ ٢٥
Mengapa mereka tidak mau beriman?
Jika al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud. Bahkan
orang-orang kafir itu mendustakan (al-Quran). Padahal Allah mengetahui
apa yang mereka sembunyikan (di dalam hati mereka). Karena itu
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih. Akan tetapi, orang-orang
yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka pahala yang tidak terputus (QS al-Isnyiqaq [84]: 20-25)
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Famâ lahum lâ yu’minûn (Mengapa mereka tidak mau beriman?). Huruf al-fâ’ pada awal kalimat merupakan harf al-isti’nâf. Mâ merupakan ism al-istifhâm (kata tanya).1 Bentuk istifhâm dalam ayat ini merupakan istifhâm inkârî (kata tanya yang mengandung pengingkaran, sebagai celaan).2
Dhamîr al-ghâib atau kata ganti
pihak ketiga jamak dalam ayat ini menunjuk kepada orang-orang yang
diberitakan dalam ayat sebelumnya, yakni orang-orang kafir. Menurut Ibnu
Jarir ath-Thabari, mereka adalah orang-orang musyrik.3 Ini berarti,
ayat ini merupakan celaan terhadap sikap orang-orang kafir yang menolak
untuk beriman. Oleh karena itu, makna ayat ini, menurut ath-Thabari
adalah: “Mengapa orang-orang musyrik itu tidak meyakini tawhidulLah
dan membenarkan kebangkitan setelah kematian? Padahal Tuhan mereka
telah bersumpah kepada mereka, bahwa mereka niscaya melewati tingkat
demi tingkat, juga mereka telah melihat dengan mata kepala mereka
sendiri berbagai hujjah kebenaran tauhid-Nya.”4
Imam al-Qurthubi juga memaknai ayat ini,
“Apa yang mencegah mereka untuk beriman setelah jelas berbagai bukti
kebenaran dan terbukti berbagai petunjuk?”5
Ibnu Katsir pun menyatakan, “Apa yang menghalangi mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Kiamat?”6
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa idzâ quri’a ‘alayhim al-Qur’ân lâ yasjudûn (Jika al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud). Secara bahasa, kata as-sujûd berarti ath-tathâman wa at-tadzallul (patuh
dan merendahkan diri). Kata ini dijadikan sebagai ungkapan untuk
merendahkan diri di hadapan Allah dan beribadah kepada-Nya. Ini berlaku
umum, baik pada manusia, hewan, maupun benda-benda. Hal ini karena sujud
meliputi dua bentuk. Pertama: sujud ikhtiyâr (dilakukan
secara sukarela). Ini hanya ada pada manusia dan yang bisa diharapkan
mendapatkan pahala, seperti perintah sujud dalam QS an-Najm [53]: 62. Kedua: sujud taskhîr (dilakukan
secara paksa). Ini terjadi pada manusia, hewan dan tumbuhan, seperti
yang diberitakan dalam QS ar-Ra’d [13]: 15, an-Nahl [16]: 49, al-Baqarah
[2]: 34 dan an-Nisa [4]: 154.7
Adapun secara syar’i, sujud merupakan salah satu rukun dalam shalat. Tercakup pula di dalamnya sujud tilawah dan sujud syukur. Kata sujud kadang juga digunakan untuk menyebut shalat (Lihat: QS Qaf [50]: 40). Shalat dhuha juga disebut dengan sabhat adh-dhuhâ dan sujûd adh-dhuhâ. Kata al-masjid yang merupakan tempat shalat juga disebut sebagai tempat sujud (Lihat: QS Jin [72]: 18).
Penafsiran tentang ayat ini yang dikemukakan para mufassir juga berkisar pada makna-makna tersebut. Menurut ath-Thabari, kata sujud
di sini bermakna tunduk dan patuh. Ayat ini berarti: “Jika dibacakan
Kitab Tuhan mereka, mereka tidak tunduk dan tidak patuh.”8Abu Muslim
berpendapat: al-khudhû’ wa al-istikânah (tunduk dan patuh).9 Pendapat serupa juga dikemukakan beberapa mufassir lainnya, seperti az-Zamakhsyari dan as-Sa’di.10
Ada pula yang menafsirkan lâ yasjudûn (mereka tidak sujud) sebagai lâ yushallûn (mereka
tidak shalat). Di antaranya adalah al-Hasan, Atha’, Muqatil, al-Kalbi,
al-Qurthubi dan al-Khazin.11 Menurut al-Khazin, shalat diungkapkan
dengan sujud karena sujud merupakan bagian dari shalat.12
Ada juga yang memahami kata itu dengan
sujud. Ibnu Katsir berkata, “Jika dibacakan Kalam-Nya, yakni al-Quran,
mereka tidak bersujud sebagai bentuk pengagungan, penghormatan dan
pemuliaan.”13
Abu Hurairah, sebagaimana dikutip
al-Qurthubi, membaca surat al-Insyiqaq, lalu sujud di dalamnya. Setelah
selesai, dia memberitakan bahwa Rasulullah saw. juga sujud dalam surat
tersebut.14
Sebagaimana ayat sebelumnya yang mencela
sikap mereka yang menolak untuk beriman, ayat ini juga mencela sikap
mereka tatkala dibacakan al-Quran. Mereka tidak mau tunduk dan patuh
terhadap isinya, tidak mau shalat dan tidak mau sujud. Padahal mereka
telah mengetahui kemukjizatan al-Quran.
Kemudian Allah SWT berfirman: Bal al-ladzîna kafarû yukadzdzibûna (Bahkan
orang-orang kafir itu mendustakan [al-Quran]). Ayat ini memberitahukan
tentang sikap kaum kafir terhadap al-Quran. Mereka tidak sekadar tidak
bersujud dan menaati al-Quran, namun mereka juga mendustakan al-Quran.
Menurut Ibnu Katsir, termasuk watak mereka adalah mendustakan, menentang
dan menyelisihi kebenaran.15
Dalam ayat ini tidak disebutkan perkara
yang mereka dustakan. Menurut Asy-Syaukani, mereka mendustakan Nabi
Muhammad saw. beserta semua yang beliau bawa dalam al-Quran yang
meliputi penetapan tauhid, Hari Kebangkitan, pahala dan dosa.16
Menurut Abdurrahman as-Sa’di, mereka
menentang kebenaran setelah jelas. Karena itu tidak aneh jika mereka
tidak beriman dan tidak tunduk terhadap al-Quran. Sesungguhnya
mendustakan kebenaran merupakan sikap durhaka, tidak ada alasan di
dalamnya.17
Ayat ini juga mengandung celaan keras
kepada orang-orang kafir itu. Menurut Fakhruddin ar-Razi, “Maknanya,
sesungguhnya dalil-dalil yang mewajibkan untuk beriman, meskipun amat
terang dan jelas, tetap didustakan oleh orang-orang kafir itu. Sikap itu
bisa jadi disebabkan oleh sikap taklid mereka terhadap pendahulunya,
sikap hasad, atau karena takut kehilangan bagian dan manfaat dunia jika menampakkan keimanan.”18
Kemudian Allah SWT berfirman: WalLâh a’lamu bimâ yu’ûn (Padahal Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan [dalam hati mereka]). Kata yû’ûn berasal dari kata al-wi’â’ (bejana). Dikatakan: Aw’aytu asy-syay’a, artinya ja’altuhu fî wi’â’ (saya menjadikan sesuatu itu terkumpul di bejana). Ini sebagaimana firman Allah SWT: Wajam’a faw’â (serta
mengumpulkan [harta benda] lalu menyimpannya (QS al-Ma’arij [70]: 18).
Allah mengetahui apa yang mereka kumpulkan dalam dada mereka berupa
kemusyrikan dan pengingkaran, kemudian Dia membalas mereka di dunia dan
akhirat.19
Ibnu Zaid berkata tentang ayat ini: Al-Mar‘u yû’î matâ’ahu wa mâlahu hadzâ fî hadzâ, wa hadâ fî hadzâ (Seseorang
mengumpulkan harta bendanya; ini di sini dan ini di sini). Demikianlah,
Allah telah mengetahui perbuatan-perbuatan yang mereka kumpulkan;
perbuatan buruk yang mereka simpan di hati mereka dan berkumpul di di
dalamnya antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Hati merupakan wi’â‘ (bejana)
bagi seluruh perbuatan, yang baik maupun yang buruk. Allah mengetahui
apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka tampakkan.20
Menurut az-Zamaksyari, Allah SWT mengetahui apa yang mereka kumpulkan dalam dada mereka beserta kekufuran, hasad,
kedurhakaan dan kebencian yang mereka sembunyikan; atau apa yang mereka
kumpulkan dalam catatan amal mereka berupa berbagai perbuatan yang
buruk dan yang menghinakan diri mereka dengan berbagai macam azab.21
Dengan demikian, menurut As-Sa’di, ayat
ini menegaskan bahwa Allah SWT mengetahui apa pun yang mereka kerjakan
dan mereka niatkan secara tersembunyi. Allah mengetahui rahasia mereka
dan yang mereka tampakkan, kemudian Dia membalas mereka atas dasar amal
mereka.22
Kemudian Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya: Fabasysyirhum bi ‘adzâb alîm (Karena itu gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih). Khithâb
atau seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. agar beliau
menyampaikan ancaman kepada orang-orang kafir itu, bahwa mereka akan
mendapatkan adzâb alîm. Pengertian al-alîm adalah al-mu’lim al-mûji` (yang
menyakitkan dan menyusahkan); azab yang pedih. Menurut Ibnu Katsir,
“Beritahu mereka, wahai Muhammad, bahwa Allah SWT telah menyediakan azab
yang pedih untuk mereka.”23
Ath-Thabari juga menafsirkan ayat ini
dengan ungkapan: “Kabarilah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah
dengan azab yang pedih; di sisi Allah bagi mereka azab yang
menyakitkan.”24
Terakhir, Allah SWT berfirman: Illâ al-ladzîna âmanû wa ‘amilû al-shâlihât lahum ajr[un] ghayru mamnû[un] (Akan tetapi, orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka pahala yang tak terputus). Huruf illâ dalam ayat ini merupakan istitsnâ’ munqathi` (yang dikecualikan tidak sejenis dengan frasa sebelumnya). Artinya, lâkinna (tetapi) orang-orang yang beriman dengan hati mereka dan beramal shalih dengan perbuatan mereka.25
Mereka akan diberi ajr[un] ghayru mamnûn. Menurut al-Alusi, tanwîn pada kata ajr[un] bermakna li al-ta’zhîm (untuk mengagungkan). 26 Adapun terkait makna ghayru mamnûn, ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para mufassir. Menurut Ibnu Abbas, kata itu berarti ghayru manqûsh (tidak dikurangi); sedangkan menurut Mujahid dan adh-Dhahhak berarti ghayru mahsûb (tidak terhitung).27 Ada juga yang memaknai kata itu dengan ghayru maqthû’ (tidak terputus).28
Secara keseluruhan, menurut Ibnu Jarir: Frasa illâ al-ladzîna âmanû bermakna:
kecuali orang-orang yang bertobat di antara mereka serta meyakini dan
membenarkan tauhid-Nya, kenabian Muhammad saw. dan kebangkitan setelah
kematian. Frasa wa ‘amilû al-shâlihât berarti: orang-orang yang menunaikan fardhu-fardhu Allah dan menjauhi apa yang Dia haramkan atas mereka. Frasa lahum ajr[un] ghayru mamnûn bermakna:
Allah SWT mengingatkan bahwa untuk orang-orang yang beriman dan beramal
shalih itu pahala yang tak terhitung dan tak dikurangi.29
Beberapa Catatan Penting
Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama:
jelas dan terangnya dalil yang mengharuskan keimanan. Beberapa bukti
tersebut telah disampaikan dalam ayat-ayat sebelumnya. Pergantian hari
yang ditandai dengan matahari terbenam, malam gelap dan segala yang
dikumpulkan olehnya, serta perubahan terus pada bentuk bulan (dari tidak
ada, sabit, separuh hingga menjadi bulat sempurna) membuktikan
keberadaan dan kemahakuasaan Allah SWT; juga menunjukkan betapa mudahnya
bagi Allah SWT untuk menghidupkan kembali seluruh manusia pada Hari
Kiamat, menghisab mereka dan memberikan balasan kepada mereka.
Karena begitu terang dan jelas, maka
tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak beriman dan mendustakannya.
Ayat ini pun mencela mereka yang tidak mau beriman: Famâ lahum lâ yu‘minûn (mengapa mereka tidak mau beriman).
Bukti lainnya yang amat jelas adalah
al-Quran. Siapa pun yang paham bahasa Arab, apalagi para pemilik
bahasanya, tentu mengetahui bahwa uslub atau gaya bahasa al-Quran berbeda dengan semua uslub bahasa yang pernah dikenal dalam bahasa Arab; bahkan berbeda dengan uslub
bahasa yang digunakan oleh Rasulullah saw. dalam keseharian. Itu
menunjukkan bahwa al-Quran bukanlah buatan Rasulullah saw., namun
berasal dari wahyu Allah SWT.
Siapa pun yang masih meragukan kebenaran
al-Quran ditantang untuk membuat yang serupa dengannya sepuluh surat
saja (lihat QS Hud [11]: 13). Bahkan mereka ditantang mendatangkan satu
surat saja yang serupa (lihat QS Yunus [10]: 30, al-Baqarah [2]: 23).
Namun, tidak ada seorang pun yang bisa memenuhi tantangannya. Al-Quran
pun memastikan mereka tidak akan bisa melakukan itu (lihat QS al-Baqarah
[2]: 24). Fakta ini menunjukkan secara pasti kebenaran al-Quran sebagai
wahyu Allah SWT.
Oleh karena itu tidak ada alasan bagi
siapa pun untuk ingkar, tidak menaati perintah dan larangannya, termasuk
perintah shalat dan sujud kepada Allah SWT.
Kedua: orang-orang kafir memang
layak mendapatkan azab. Dalam ayat ini diberitakan tentang azab yang
amat pedih untuk mereka. Hukuman yang dahsyat itu sesungguhnya merupakan
balasan yang setimpal buat mereka. Betapa tidak, berbagai kenikmatan
telah mereka terima. Bahkan karena begitu banyak, semua itu tak akan
mampu mereka hitung. Mereka hanya diperintahkan untuk beriman dan
beribadah kepada Allah SWT. Bagi yang mau melakukan itu dijanjikan untuk
mendapatkan pahala yang tidak terputus. Sebaliknya, yang ingkar diancam
dengan siksa neraka. Untuk itu, Allah SWT telah memberikan berbagai
dalil dan bukti yang terang-benderang. Karena itu azab yang pedih itu
sepadan dengan kekufuran, kejahatan dan kedurhakaan mereka (Lihat: QS
an-Naba’ [78]: 26).
Ketiga: Ayat ini juga
memberitakan tentang besarnya pahala yang akan diterima orang-orang yang
beriman dan beramal shalih. Demikian besarnya hingga pahala itu disebut
ghayru mamnûn. Menurut para mufassir, itu berarti ghayru mamnûn bermakna ghayru maqthû’ (tak terputus), ghayru manqûsh (tak berkurang)dan ghayr mahsûb (tak terhitung).
Inilah perbedaan azab dengan pahala.
Jika azab yang ditimpakan kepada orang kafir merupakan balasan yang
sepadan, maka pahala bagi orang beriman dan beramal shalih merupakan
pemberian yang tak terkira (Lihat: QS an-Naba’ [78]: 36).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Ahmad Ubaid, I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 433.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 274; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 103; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 409; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1997), 376.
3 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah al-Rusalah, 2000), 326.
4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 326.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19, 274.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 361.
7 Al-Asfahan, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Damaksus: Dar al-Qalam, 1992), 397.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 326.
9 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1999), 495.
10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 729.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 376; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19, 280; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 4, 409.
12 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl, vol. 4, 409.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 361.
14 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol 19, 280.
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 361.
16 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495.
17 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 917.
18 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 104.
19 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 104.
20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 327.
21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 729; Lihat juga dalam al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 292.
22 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 917.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 361.
24 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 327.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 362. Lihat juga dalam al-Syaukani, Fat-h
al-Qadîr, vol. 5, 496; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 729.
al-Qadîr, vol. 5, 496; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 729.
26 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 293.
27 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 362.
28 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 496.
29 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 326.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar