يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Dalam beberapa
ayat sebelumnya dijelaskan beberapa kewajiban yang dibebankan kepada
kaum Mukmin. Di dalam ayat ini hingga ayat 187, kecuali ayat 186,
menerangkan seputar kewajiban berpuasa.
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyhuhâ al-ladzîna âmanû kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa). Seruan ayat
ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Seruan kepada kaum Mukmin dalam ayat
ini dan ayat-ayat lainnya mengandung isyarat bahwa penyifatan iman
mewajibkan pelakunya untuk mematuhi, mengikuti, dan mendengarkan
perintah maupun larangan yang hendak disampaikan dalam kalimat
berikutnya.
Disebutkan
dalam ayat ini, orang-orang yang beriman itu diwajibkan untuk berpuasa.
Sebagaimana dijelaskan banyak mufassir, seperti Ibnu Jarir ath-Thabari,
Ibnu ‘Athiyah, al-Khazin dan al-Biqa’I, kata kutiba ‘alaykum di sini bermakna furidha ‘alaykum (difardhukan atas kalian).1 Bahkan menurut al-Farra’, semua frasa kutiba ‘alaykum dalam al-Quran bermakna furidha ‘alaykum (difardhukan kepadamu). 2 Kata kutiba ‘alâ juga digunakan dalam QS al-Baqarah [2]: 178: kutiba ‘alaykum al-qishâsh. Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah Swt. juga berfirman: kutiba ‘alaykum al-qitâl. Semua frasa kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna furidha ‘alaykum.
Di samping frasa kutiba ‘alâykum, wajibnya berpuasa juga didasarkan qarînah (indikasi)
yang terdapat pada ayat selanjutnya; bahwa orang-orang yang sakit atau
bepergian diizinkan untuk tidak berpuasa, namun mereka wajib mengganti
atau meng-qadhâ’-nya di luar Ramadhan. Kewajiban meng-qadhâ’
puasa pada hari yang lain ini menunjukkan bahwa hukum berpuasa itu
wajib. ‘Atha bin Khalil menyatakan bahwa setiap seruan yang di dalamnya
terdapat ucapan atau perbuatan yang mengharuskan terus dikerjakan
kecuali ada uzur, lalu diberikan rukhshah, qadhâ’ atau maaf merupakan salah satu qarînah bagi jazm (ketegasan dan kepastian)-nya sebuah seruan.3
Secara bahasa, kata ash-shiyâm berarti al-imsâk (menahan diri) dari mengerjakan sesuatu, baik makan, berbicara maupun berjalan.4 (Lihat, misalnya, QS Maryam [19]: 26). Adapun secara syar’i, ash-shiyâm berarti menahan diri dari makan, minum dan jimak sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.5 Pengertian
ini diambil dari beberapa dalil dalam al-Quran dan as-Sunnah. Berkaitan
dengan larangan makan, minum dan jimak disebutkan dalam ayat
selanjutnya (yakni QS al-Baqarah [2]: 187). Dalam ayat
ini ditegaskan bahwa kaum Muslim dibolehkan melakukan hubungan
suami-istri pada malam hari dalam bulan puasa. Itu artinya, mereka
dilarang melakukannya pada siang harinya. Dalam hal makan dan minum,
kaum Muslim juga dipersilakan untuk mengerjakannya pada malam hari.
Batasnya hingga terbit fajar. Tatkala fajar telah terbit, kaum Muslim
diperintahkan untuk berpuasa hingga malam, yakni hingga matahari
terbenam.
Berkaitan
dengan adanya niat untuk melakukan puasa, hal ini didasarkan pada Hadis
dari Umar bin al-Khaththab, yang pernah mendengar Rasulullah saw
bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niat dan sesungguhnya semua perkara bergantung pada niatnya (HR Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Berdasarkan
hadis ini, sebuah amal puasa bisa dinyatakan absah jika disertai niat
oleh pelakunya untuk berpuasa. Apabila tidak dilandasi dengan niat
berpuasa, maka amal perbuatannya tidak dikategorikan sebagai puasa,
sekalipun secara lahir amalnya sama atau menyerupai puasa. Imam
an-Nawawi menyatakan, disyariahkannya niat adalah untuk membedakan
antara ‘âdah (perbuatan biasa) dengan ibadah, atau ibadah satu
dengan ibadah lainnya. Beliau mencontohkan perbuatan orang yang duduk di
dalam masjid. Perbuatan tersebut bisa diniatkan untuk istirahat sebagai
perbuatan biasa, bisa pula dilakukan untuk ibadah dengan niat iktikaf.
Yang menjadi pembeda antara keduanya (ibadah dengan perbuatan biasa itu)
adalah niat.6
Khusus untuk
puasa wajib, niat berpuasa itu harus dilakukan sebelum terbitnya fajar.
Diriwayatkan dari Hafshah ra., bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Siapa saja yang tidak berniat puasa sebelum fajar tidak [sah] puasa baginya (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Hadis ini
menjadi dalil atas wajibnya niat pada malam menjelang puasa. Dengan kata
lain, niat puasa itu harus dilakukan pada malam hari, waktunya mulai
magrib.7 Adapun pada puasa sunnah, dibolehkan niat setelah fajar. Hal ini didasarkan pada Hadis dari Aisyah ra. yang menceritakan bahwa: Pada
suatu hari Rasulullah saw. masuk ke tempatnya seraya bertanya, “Apakah
engkau memiliki sesuatu (untuk di makan)?” Aisyah menjawab, “Tidak.”
Kemudian beliau bersabda, “Kalau begitu saya berpuasa.” (HR Muslim).
Fi’liyyah Rasulullah saw. ini menjadi dalil atas bolehnya niat berpuasa sunnah dilakukan pada siang hari asalkan belum makan atau minum.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: kamâ kutiba ‘alâ al-ladzîna min qablikum (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian). Ibnu ‘Abbas menyatakan mereka adalah Ahlul Kitab.8 Az-Zamakhsyari, al-Alusi dan al-Baidhawi berpendapat, umat yang terdahulu itu mulai Nabi Adam as. hingga umat ini. 9 Menurut Abdurrahman as-Sa’di, pemberitaan itu berguna untuk menggairahkan semangat umat ini.
“Hendaklah kalian berlomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal
dan bersegera dalam memperbaiki perilaku, dan itu bukan perkara yang
berat.10
Terdapat perbedaan pendapat mengenai tasybîh (penyerupaan)
puasa yang diwajibkan dengan umat terdahulu. Ada yang mengatakan
keserupaan puasa itu dalam segi waktu dan ukurannya. Pendapat lainnya
menyatakan, keserupaan itu dalam segi kewajiban puasanya saja. 11 Tampaknya pendapat kedua lebih dapat diterima karena kesamaan kewajiban tidak mengharuskan adanya kesamaan kayfiyyah (tatacara). Bahkan, dalam syariah masing-masing rasul diberikan kayfiyyah sendiri-sendiri (lihat: QS al-Maidah [5]: 48).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: la’allakum tattaqûn (agar
kalian bertakwa). Di akhir ayat ini dijelaskan bahwa hikmah
diwajibkannya puasa adalah agar pelakunya menjadi orang-orang yang
bertakwa. Abdurrahman as-Sa’di menyatakan bahwa puasa adalah sarana
paling besar untuk bertakwa.12
Kata taqwâ berasal dari kata waqâ yang berarti melindungi.13 Kata
tersebut kemudian digunakan untuk menunjuk pada sikap dan tindakan
untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah Swt. Caranya adalah
dengan menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. Inilah
pengertian takwa.14
Ayat
selanjutnya menjelaskan bahwa kewajiban puasa itu dibebankan untuk
beberapa hari (ayat 184). Hari-hari yang diwajibkan berpuasa itu adalah
seluruh hari pada bulan Ramadhan. Pada bulan yang diturunkan al-Quran
itu, siapa pun yang tidak ada ada uzur diwajibkan berpuasa (ayat 185).
Meraih Takwa dengan Berpuasa
Di antara
perkara penting yang dijelaskan ayat ini adalah hikmah yang didapat
tatkala puasa dikerjakan. Menurut ayat ini, puasa dapat membuat
pelakunya memiliki sikap takwa, yakni kesediaan untuk taat dan tunduk
pada segala perintah dan larangan Allah Swt.
Jika
dicermati, ibadah puasa memang dapat mengantarkan pelakunya meraih
takwa, dengan catatan, puasa itu dipahami dan dilaksanakan dengan benar.
Dalam berpuasa, seseorang dilatih untuk mengingat Allah Swt. dalam
setiap ruang dan waktu. Ketika menjalankan puasa, seseorang diingatkan
bahwa tidak ada tempat yang tersembunyi dari penglihatan dan pendengaran
Allah Swt. Dengan itu, di mana pun berada, dia tidak berani makan nasi,
walau hanya sesuap; minum air meski hanya seteguk; atau berhubungan
intim dengan istrinya kendati berada dalam ruang tertutup. Apabila
keyakinan itu diimplementasikan tidak hanya dalam puasa, namun juga di
dalam seluruh aktivitas kehidupan, niscaya akan menghasilkan
pribadi-pribadi yang bertakwa; yakni pribadi yang selalu patuh dan taat
pada perintah dan larangan-Nya, di mana pun dan kapan pun berada.
Puasa juga
melatih manusia untuk mengendalikan hawa nafsu. Benar bahwa manusia
membutuhkan makan, minum, atau lawan jenis. Namun, hal itu tidak boleh
menjadi alasan bagi manusia untuk mengumbar hawa nafsu sesukanya seperti
binatang. Manusia hanya dibolehkan mengkonsumsi makanan atau minuman
yang halal. Demikian pula dalam hubungannya dengan lawan jenis. Manusia
hanya diizinkan melampiaskannya dengan pasangan yang dihalalkan. Orang
yang mampu berpuasa berarti telah berhasil mengendalikan hawa nafsunya
itu.
Dengan puasa,
manusia dilatih untuk hidup berdisiplin dengan syariah-Nya. Sekalipun
haus atau lapar, manusia harus tetap menahannya untuk tidak minum atau
makan hingga waktu magrib tiba. Sekalipun hasrat seksualnya sedang
menggebu, manusia harus tetap mampu meredamnya hingga waktu yang
dibolehkan untuk melakukannya. Jika itu berhasil dikerjakan, jalan untuk
menjadi pribadi takwa lebih mudah dicapai. Betapa tidak. Jika dalam
puasa dia mampu menahan haus dan lapar dari makanan yang pada bulan lain
dihalalkan, maka selayaknya dia lebih mampu menahan diri dari makan
atau minum dari harta yang diharamkan. Jika seseorang mampu menahan diri
tidak menggauli istrinya pada siang hari, sepatutnya dia lebih mampu
menahan diri untuk melakukan perbuatan zina. Oleh karena itu, tak aneh
jika orang yang belum mampu menikah diperintahkan untuk berpuasa (HR
al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah ra).
Walhasil,
apabila dipahami dan dikerjakan secara benar, puasa akan mengantarkan
pelakunya menjadi pribadi yang bertakwa. Bukan hanya puasa, semua
aktivitas ibadah kepada Allah Swt., jika dipahami dan dilaksanakan
dengan benar, akan berbuah takwa (QS al-Baqarah [2]: 21).
Kita bermohon
kepada Allah Swt. semoga puasa dan semua ibadah dapat mengantarkan kita
menjadi pribadi takwa dan meraih surga yang luasnya seluas langit dan
bumi.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar