Kamis, 18 Desember 2014

ANCAMAN BAGI PENCELA DAN PENGGILA HARTA

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ * الَّذِي جَمَعَ مَالا وَعَدَّدَهُ * يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ * كَلا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ * نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ * الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الأفْئِدَةِ * إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ * فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ *

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Tahukah kamu, apa Huthamah itu? Yaitu api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka dan mereka diikat pada tiang-tiang yang panjang (QS al-Humazah [104]: 1-9).

Surat ini dinamai al-Humazah, diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama. Surat yang terdiri diri dari sembilan ayat ini termasuk Makkiyyah.1 Jika di dalam surat sebelumnya, yakni surat al-‘Ashr, diberitakan mengenai kerugian yang dialami oleh manusia, maka dalam surat ini dijelaskan tentang suatu kelompok manusia yang mendapatkan kerugian. Tak hanya merugi, mereka juga menerima azab yang amat pedih di akhirat kelak.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wayl likulli humazat[in] lumazah (Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela). Menurut Ibnu ‘Athiyyah, kata al-wayl menghimpun keburukan dan kesedihan.2 Dalam konteks ayat ini, Imam al-Qurthubi menafsirkannya sebagai al-hizy wa al-‘adzâb wa al-halakah (kehinaan, azab, dan kecelakaan).3

Menurut as-Samarqandi, makna kata tersebut adalah asy-syiddah min al-‘adzâb (azab yang pedih).4 Tak jauh berbeda, Wahbah az-Zuhaili juga memaknainya sebagai hizy[un] wa ‘adzâb[un] syadîd[un] (kehinaan dan azab yang pedih); dan yang dimaksudkan adalah an-nadam wa at-taqbîh (penyesalan dan celaan).5

Kata al-wayl yang menunjukkan penyesalan terdapat pada beberapa ayat, seperti QS Yasin [36]: 52 dan al-Qalam [68]: 31. Di samping itu, ada juga yang menafsirkan al-wayl sebagai nama sebuah lembah yang mengalir dari nanah bercampur darah para penghuni neraka.6

Ditegaskan ayat ini, kecelakaan, kehinaan dan siksa yang amat pedih akan ditimpakan kepada al-humazah dan al-lumazah. Dijelaskan as-Samin al-Halbi dan al-Jazairi, kata humazah berarti katsîr al-hamz. Demikian pula al-lumazah, berarti katsîr al-lamz.7 Dalam konteks ayat ini, terdapat banyak pendapat mengenai makna kedua kata tersebut.

Ath-Thabari memaknai al-humazah sebagai mughtâb li an-nâs, yaghtâbuhum wa yabghudhuhum (pemfitnah atau pengumpat manusia; mengumpat dan membenci mereka).8 Menurut Muqatil dan an-Nasafi, al-humazah adalah orang yang mencela orang lain ketika tidak ada, sedangkan al-lumazah adalah mencela orang lain di hadapannya.9 Pengertian sebaliknya dikemukakan oleh Abu al-‘Aliyah, al-Hasan, Mujahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah. Menurut mereka, al-humazah adalah orang yang mengumpat dan mencela orang lain di hadapannya, sedangkan al-lumazah adalah mengumpat dan mencela orang lain di belakangnya ketika tidak ada.10

Menurut Ibnu Katsir, al-hammâz itu berupa ucapan, dan al-lammâz berupa perbuatan, yakni sikap memandang rendah manusia dan mencelanya.11

Meskipun berbeda-beda, ada hal yang sama, yakni bahwa al-humazah al-lumazah adalah orang-orang yang suka mencela, memfitnah dan meremehkan orang lain.

Memang ada sebagian ulama menyatakan bahwa ayat ini turun untuk beberapa orang tertentu, seperti Akhnas bin Syariq, Walid bin al-Mughirah, dan Ubay bin Khalaf yang semuanya suka mencela dan mengumpat. Namun demikian, menurut Mujahid, “Ayat ini tidak hanya khusus berlaku pada seseorang, namun bagi semua orang yang memiliki sifat tersebut.12

Kemudian Allah SWT berfirman: al-ladzî jama’a mâl[an] wa ‘addadahu (yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya). Para pencela itu disifati sebagai orang-orang yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Kata mâl[an] di sini berbentuk nakirah, memberikan makna li al-tafkhîm (untuk mengagungkan). Artinya, dia mengumpulkan harta yang banyak.13

Menurut ath-Thabari, orang tersebut mengumpulkan harta dan menghitung-hitung jumlahnya, tidak menginfakkan di jalan Allah dan tidak menunaikan hak Allah di dalamnya.14 Imam al-Qurthubi juga menuturkan, maksud dari ayat ini adalah celaan terhadap sikap menahan harta dari infak di jalan ketaatan, sebagaimana disebutkan dalam QS Qaf [50]: 25 dan QS al-Ma’arij [70]: 18).15

Dijelaskan asy-Syaukani, al-Qinuji dan al-Khazin, sifat tersebut dilekatkan sebagai sebab; bahwa ‘illat (penyebab) humazah dan lumazah itu adalah karena kekagumannya terhadap harta yang dikumpulkan. Dengan harta itu, dia mengira sebagai orang terhormat, dan oleh karenanya berhak merendahkan orang lain.16 Wahbah az-Zuhaili juga menyatakan, “Al-Humazah al-lumazah yang meremehkan dan menganggap rendah orang lain serta menganggap dirinya lebih tinggi itu disebabkan oleh kekagumannya terhadap harta yang dikumpulkan dan dihitung-hitungnya. Dia pun mengira bahwa dia memiliki kemuliaan melebihi orang lain disebabkan oleh perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-Ma’arij [70]: 18.”17

Selanjutnya Allah SWT menjelaskan tentang anggapan salah yang melatari sikap mereka: Yahsabu anna mâlahu akhladahu (dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya). Al-Khazin menjelaskan ayat ini dengan ungkapan, “Dia mengira bahwa dia akan kekal di dunia dan tidak mati karena kemudahan dan kekayaan yang dimilikinya.”18 Setidaknya, seperti dinyatakan Ikrimah mereka mengira harta itu dapat menambah usianya.19

Anggapan salah mereka itu kemudian dibantah oleh ayat berikutnya: Kallâ layunbadzanna fî al-huthamah (Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah). Kata kallâ menunjukkan penolakan terhadap anggapan mereka. Harta yang dia punyai sama sekali tidak membuatnya kekal. Yang mengekalkan mereka justru ilmu dan amal salih.20

Tak hanya dibantah, mereka pun diancam dengan azab yang pedih: dilemparkan ke dalam al-huthamah. Allah SWT berfirman: Wamâ adrâka mâ al-huthamah (Tahukah kamu apa Huthamah itu?). Dalam ayat ini digunakan kalimat berbentuk istifhâm (tanya). Kalimat tersebut memberikan makna li at-tahwîl wa at-tafzhî’ (menakut-nakuti dan menumbuhkan kengerian) sehingga seolah-olah neraka tidak terbayangkan oleh akal dan tidak dapat dimengerti.21

Kemudian Allah SWT berfirman: Nârul-Lâh al-mûqadah ([yaitu] api [yang disediakan] Allah yang dinyalakan). Secara bahasa, kata huthamah berarti al-katsîr al-hatham (banyak memecahkan, banyak melahap).22 Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan huthamah adalah nama sebuah neraka, sebagaimana halnya Jahannam, Saqar dan Lazhzhâ.23 Neraka itu dinamakan al-huthamah karena memecahkan semua yang dijumpainya; memecahkan dan meremukkan-nya.24 Di­-mudhâf-kannya kata nâr dengan lafdz al-Jalâlah, Allah SWT, memberikan makna at-tafkhîm wa at-ta’zhîm (membesarkan dan mengagungkan).25

Dahsyatnya neraka huthamah itu dijelaskan dalam ayat berikutnya: al-Latî taththali’u ‘alâ al-af’idah (yang [membakar] sampai ke hati). Kata al-af’idah merupakan bentuk jamak dari kata al-fu’âd (hati). Adapun kata al-ithlâ’ bermakna al-bulûgh (sampai). Dengan demikian, maknanya: neraka tersebut membakar sekujur tubuhnya sampai ke hatinya.26 Setelah semuanya terbakar, kemudian tubuh mereka kembali seperti sediakala. Lalu disiksa lagi, demikian seterusnya (lihat QS an-Nisa’ [4]: 56). Demikian dahsyatnya, para penghuni neraka itu tidak mati dan tidak hidup (lihat QS al-A’la [87]: 13).

Dijelaskan pula: Innahâ ‘alayhim mu’shadah (Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka). Kata mu’shadah berarti muthbaqah mughlaqah (tertutup dan terkunci).27 Artinya, semua pintunya tertutup rapat sehingga mereka sama sekali tidak bisa keluar darinya. Ini sebagaimana disebutkan dalam QS al-Balad [90]: 20 dan QS al-Hajj [22]: 22.
Tak hanya itu, mereka juga diikat: Fî ‘amad[in] mumaddadah ([sedangkan mereka itu] diikat pada tiang-tiang yang panjang). Kata ‘amad[in] merupakan bentuk jamak dari ‘amûd (tiang).28 Mereka diazab dengan diikat di tiang-tiang panjang di nereka. Ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak bisa keluar dari neraka dengan siksa yang dahsyat itu.

Nasib Pencela, Kedudukan Harta dan Kepastian Akhirat

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari surat ini. Pertama: haram perbuatan al-hamz dan al-lamz; mencela, memfitnah dan menganggap rendah orang lain. Selain dalam ayat ini, keharaman perbuatan tersebut juga terdapat pada QS al-Qalam [68]: 10-11.

Dalam ayat ini pun dijelaskan mengenai perkara yang menjadi penyebab lahirnya sikap tercela itu, yakni kesalahan dalam standar penilai rendah dan tingginya kedudukan manusia. Harta dijadikan sebagai standar untuk menilai seseorang; dianggap hina atau mulia. Kesalahan ini akan berakibat pada kesalahan lainnya, yakni salah dalam menimpakan celaan kepada seseorang. Orang-orang yang mulia di hadapan Allah SWT—karena ketakwaannya—dianggap hina dan rendah hanya karena miskin (Lihat: QS al-Taubah [9]: 79).

Kedua: Tak dapat dipungkiri, keberadaan harta amat diperlukan manusia. Namun, salah besar jika harta dianggap dapat mengekalkan manusia hidup di dunia; harta dapat melahirkan sikap bakhil dan enggan menginfakkan harta di jalan Allah SWT. Apalagi harta dijadikan sebagai standar penilai kemuliaan seseorang. Ayat ini dengan tegas membantah semua anggapan salah itu. Kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh banyaknya harta, namun oleh ketakwaannya kepada Allah SWT (lihat QS al-Hujurat [49]: 13).

Ketiga: kepastian kehidupan akhirat dan hukuman bagi pelaku kejahatan. Secara jelas hal ini diberitakan dalam surat ini. Di dunia para pelaku kejahatan itu boleh jadi masih bisa bernafas lega, mengelak dari jeratan hukum, bahkan hidup dalam kemewahan. Akan tetapi, itu tidak akan terjadi di akhirat kelak itu. Para pelaku kejahatan dipastikan akan menerima azab yang amat pedih sebagai balasan terhadap kejahatan yang dia lakukan. Harta yang dibanggakan sama sekali tidak berguna. Demikian pula kekuasaan yang dipegangnya, lenyap tak bersisa (lihat QS al-Haqqah [69]: 28-29). Karena itu, celakalah para penggila harta. Semoga kita dijauhkan dari semua sifat buruk itu.

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

Catatan kaki:
1 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 288; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Nafais, tt), 286; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 509.
2 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 521.
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), 181. asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (tt: Dar al-Wafa’, tt), 664.
4 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 510.
5 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 399.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 595.
7 As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 11 (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 105; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 4, 427; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 663.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 595.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 181; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at- Ta’wîl, vol. 4, 286.
10 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 181; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 382; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 510.
11 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 481.
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 183; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 598.
13 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 398
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 598.
15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 183; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 383; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 521.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 663; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15 (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 382; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 289.
17 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 399
18 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 289.
19 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 184.
20 Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 7, 289.
21 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 664; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 383.
22 As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 11, 107.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 598; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 289; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 510.
24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 184; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 481.
25 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 290.
26 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 2000), 304.
27 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 72 & 185; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7, 290; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 15, 384.
28 Al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 553.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar