أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa [4]: 60)
Sabab Nuzul
Diriwayatkan
dari asy-Sya’bi, bahwa ada orang munafik dan orang Yahudi terlibat
perselisihan. Orang Yahudi mengajak orang munafik kepada Nabi saw.
karena mengetahui bahwa Beliau tidak menerima risywah (suap).
Adapun orang munafik justru mengajak orang Yahudi kepada hakim-hakim
mereka karena mengetahui hakim-hakim itu menerima suap. Ketika keduanya
berselisih, akhirnya mereka bersepakat untuk berhakim di Juhainah.
Kemudian turunlah ayat ini hingga ayat 65.1
Diriwayatkan ats-Tsa’labi dari Ibnu Abbas:
Ayat
ini turun berkenaan dengan orang munafik bernama Basyar yang berselisih
dengan orang Yahudi. Orang Yahudi mengajak berhakim kepada Nabi saw.,
sedangkan orang munafik mengajak kepada Ka’ab bin Asyraf.’ Akhirnya,
mereka berhakim kepada Nabi saw. Dalam keputusannya, Beliau memenangkan orang
Yahudi. Orang munafik tidak ridha dengan keputusan itu, seraya berkata,
“Marilah kita berhakim kepada Umar bin al-Khaththab.”
Ketika menghadap Umar, orang Yahudi berkata, “Rasulullah saw. telah memenangkanku. Namun, dia tidak rela dengan keputusan itu.”
Umar bertanya kepada orang munafik, “Benarkah demikian?”
Dijawab, “Ya.”
Umar berkata, “Tetaplah kamu di tempatmu hingga aku keluar.”
Umar
masuk, lalu mengambil pedangnya. Kemudian keluar dan memenggal leher
orang munafik hingga mati seraya berkata, “Inilah keputusanku bagi orang
yang tidak ridha dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya.”
Lalu turunlah ayat ini.2
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Alam tara ilâ al-ladzîna yaz’umûna (Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku). Seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw.,3 juga berlaku umum untuk seluruh umatnya. Sebab, seruan kepada Rasulullah saw. adalah seruan bagi umatnya. Penggunaan kata tarâ (kamu
memperhatikan) menunjukkan bahwa orang-orang yang diberitakan itu
benar-benar ada dalam realita sehingga bisa dilihat siapa pun.
Secara bahasa, kata al-za’m atau al-zu’m bisa
digunakan untuk pernyataan yang benar maupun dusta. Namun, dalam
perkembangan-nya, kata itu banyak digunakan untuk pernyataan dusta.4 Jika dikaitkan dengan keseluruhan ayat ini, tampak jelas bahwa al-za’m di
sini menunjuk pada pernyataan dusta. Nizhamuddin an-Naisaburi bahkan
berani memastikan, kesimpulan itu telah menjadi kesepakatan (ittifâq).5
Bentuk istifhâm (kalimat tanya) pada ayat ini kian menguatkan makna tersebut. Sebagaimana disampaikan beberapa mufassir, bentuk istifhâm itu memberikan makna li al-inkâr (menunjukkan
pengingkaran). Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dan az-Zuhaili, ini
merupakan pengingkaran dari Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengaku
mengimani apa yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya dan kepada para
nabi terdahulu, namun mereka justru berhukum pada selain Kitabullah dan
sunnah Rasul.6Ayat ini juga merupakan celaan terhadap mereka;7 bisa pula berarti ta’jîb, untuk menyatakan keheranan.8 Semua makna tersebut menunjukkan kedustaan pengakuan keimanan mereka.
Mereka telah memberikan pengakuan dusta tentang keimanan mereka terhadap kitab-kitab-Nya. Allah Swt. berfirman: annahum âmanû bimâ unzila ilayka (dirinya
telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu). Apa yang
diturunkan kepada Rasulullah saw. tidak lain adalah al-Quran. Adapun
firman Allah Swt.: wamâ unzila min qablika (dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu) meliputi semua kitab yang diturunkan sebelumnya9 seperti Taurat, Zabur, atau Injil.
Meskipun
mereka mengaku demikian, perilaku dan sikap yang ditampakkan oleh
mereka justru kontradiktif. Mereka tidak merujuk pada kitab yang mereka
imani, namun meminta keputusan kepada thaghut. Allah Swt. berfirman: yurîdûna an yatahâkamû ila al-thâghût (Mereka hendak berhakim kepada thaghut).
Secara bahasa, kata thâghût berasal dari thaghâ (melampaui
batas). Makna ini terdapat dalam QS al-Haqqah [69]: 11. Menurut
al-Asfahani, kata tersebut digunakan untuk menunjukkan tajâwaz al-hadd fî al-‘ishyân (tindakan melampau batas dalam kedurhakaan).10 Makna ini terdapat dalam banyak ayat al-Quran, seperti dalam firman Allah Swt.
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya dia telah melampaui batas (QS Thaha [20]: 24).
Kata tersebut terdapat juga dalam QS Thaha [20]: 43, al-Naziat [79]: 17, al-‘Alaq [96]: 6, dan al-Kahfi [18]: 80. Kata thaghâ yang digunakan dalam semua ayat itu mengandung pengertian tindakan melampaui batas dalam kedurhakaan. Oleh karena itu, kata thâghût juga diartikan sebagai al-katsîr al-thughyân (yang banyak melampaui batas dalam kedurhakaan).11 Menurut al-Jazairi, al-thâghût berarti semua yang disembah selain Allah Swt. (kullu mâ ‘ubida min dûni Allâh). Al-Asfahani juga memaknainya sebagai kullu mu’tad[in] wa kullu ma’bûd[in] min dûni Allâh (setiap yang melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allah Swt.).12
Dalam banyak ayat, kata thaghût memang sering dihadapkan dengan lafazh al-Jalâlah, Allah Swt., seperti dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
“Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (QS al-Nahl [16]: 36).
Dalam ayat ini, perintah menyembah Allah Swt dilawankan dengan perintah menjauhi thâghût. Itu berarti, thâghût adalah
segala sesembahan selain Allah Swt. Pengertian itu juga dapat dipahami
dari beberapa ayat lainnya seperti: QS al-Baqarah [2]: 256, 257,
an-Nisa’ [4]: 76, dan az-Zumar [39]: 17.
Dalam konteks ayat ini, kata thaghût sering dikaitkan dengan Ka’ab bin al-Asyraf. Banyak mufassir menyatakan, dialah yang dimaksud dengan thaghût itu.13Az-Zamakshyari
dan al-Nasafi menuturkan, hal itu disebabkan karena kezaliman dan
permusuhannya terhadap Rasulullah saw. yang melampaui batas; bisa juga
karena dia menyerupai setan; atau karena dia dipilih untuk dijadikan
sebagai hakim selain Rasulullah saw. dan berhakim kepada setan.14
Jika dihubungkan dengan sabab nuzul
ayat ini, penafsiran itu memang relevan. Sebab, pemuka Yahudi itulah
yang dijadikan sebagai hakim untuk memutuskan perselisihan. Meskipun
demikian, pengertian thâghût ini tidak bisa dibatasi hanya
untuk Ka’ab bin al-Asyraf. Semua orang yang menduduki posisi dan peran
yang sama dengannya tercakup dalam lingkup makna thâghût.
Ibnu Katsir dan al-Zuhaili menegaskan, thâghût
di sini lebih umum dari itu (Ka’ab bin al-Asraf). Orang-orang yang
menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah serta berhukum kepada selain
keduanya berupa kebatilan adalah thâghût yang dimaksud ayat ini.15 Abdurrahman al-Sa’di juga memaknai thâghût dalam ayat ini adalah setiap orang yang berhukum dengan selain syariah Allah (kullu man hakama bi ghayri syar’illâh).16
Jelaslah, thâghût dalam
konteks ayat ini adalah semua hakim yang memutuskan perkara dengan
hukum selain al-Quran dan as-Sunnah. Keinginan mereka berhakim kepada thâghût
itu menunjukkan adanya kotradiksi pada sikap mereka. Mereka mengaku
mengimani kitab-kitab Allah, tetapi dalam praktiknya justru berhukum
kepada selainnya. Sikap itu tentu amat mengherankan. Karena itu,
wajarlah jika penyataan keimanan mereka patut diragukan, bahkan
diingkari. Allah Swt berfirman: waqad umirû an yakfurû bih (Padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu). Di samping ayat ini, perintah mengingkari dan menjauhi thâghût itu disampaikan dalam QS an-Nahl [16]: 36.
Bagaimana
mungkin pengakuan keimanan mereka bisa diterima? Iman meniscayakan
ketundukan terhadap syariah Allah dan berhakim padanya dalam setiap
perkara. Keniscayaan itu makin jelas jika dikaitkan dengan nas-nas
lainnya seperti QS an-Nisa’ [4]: 65, an-Nur [24]: 51-52, al-Ahzab [33]:
36, dan lain-lain. Semua ayat itu menegaskan bahwa keimanan menuntut
kesediaan pelakunya untuk tunduk dan taat terhadap syariah.
Iman juga mengharuskan pelakunya menjauhi thâghût. Abdurrahman al-Sa’di menyatakan, siapa saja yang mengaku sebagai Mukmin dan memilih untuk berhakim kepada thâghût, dia adalah pendusta dalam perkara ini.17 Abu Hayyan al-Andalusi juga menyimpulkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kaum munafik.18
Kemudian Allah Swt. berfirman: wayurîdu asy-syaythân an yudhillahum dhalâl[an] ba’îd[an] (setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya). Ditegaskan bahwa solusi perselisihan perkara kepada thâghût itu sejalan dengan keinginan setan. Dalam ayat lainnya, Allah Swt. mempersamakan thâghût dengan setan (Lihat, misalnya, QS an-Nisa’ [4]: 74).
Membebaskan dari Hukum Thâghût
Pasca
runtuhnya Khilafah, umat Islam di berbagai negara hidup dalam tatanan
ideologi selain Islam; tepatnya ideologi sekular. Dalam pandangan
Sekularisme, agama dianggap hanya berisi ajaran yang menjelaskan
tatacara ibadah ritual dan tuntunan moral, tidak menyentuh urusan
publik.
Meskipun
tidak diakui secara terang-terangan, ideologi sekular inilah yang juga
dianut negara ini. Eksistensi agama memang diakui, tetapi fungsi yang
diperankan agama hanya terkait dengan hal-hal yang sifatnya
personal-individual. Perkara-perkara yang mengatur dan mengurusi
pelayanan negara terhadap rakyatnya, seperti politik, pemerintahan,
ekonomi, hukum pidana-perdata, sosial-budaya, dan pendidikan disterilkan
dari agama.
Keadaan
inilah yang membuat kaum Muslim tidak bisa memutuskan perkara yang
mereka perselisihkan dengan syariah. Mereka memang masih diizinkan
menjalankan ibadah ritual. Mereka juga tidak dilarang meyakini kebenaran
al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi, keyakinan itu tidak boleh
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Mereka dipaksa tunduk dengan
hukum buatan manusia. Mereka harus menerima keputusan hukum warisan
penjajah. Sekalipun mereka ingin diadili dan diputusi dengan syariah,
mereka juga tidak kuasa menolak ketika harus diadili oleh mahkamah yang
mendasarkan pada selain syariah, yang oleh ayat ini disebut dengan thâghût.
Padahal, keinginan para thâghût,
sebagaimana disinyalir ayat ini, sejalan dengan keinginan setan, yakni
menyesatkan manusia dari jalan yang lurus dengan kesesatan yang amat
jauh. Mereka memiliki karakter yang sama, yakni menjerumuskan manusia
kepada kegelapan atau kekafiran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 257).
Oleh karena itu, siapa pun yang tidak ingin tersesat, dia harus mengingkari dan menjauhi thâghût. Masyarakat
mana pun yang tidak ingin terjerembab dalam lembah kegelapan, tidak
memiliki pilihan lain kecuali harus melepaskan diri dari kungkungan
sistem thâghût. Sebagai gantinya, mereka harus memilih dan
menerapakan syariah yang berasal dari-Nya. Dialah yang mengeluarkan
orang-orang yang beriman dari kegelapan menuju cahaya (Lihat: QS
al-Baqarah [2]: 257).
Walhasil, jika ingin membebaskan diri, masyarakat, dan negara dari jeratan thâghût, Daulah Khilafah Islamiyah jawabannya. Sebab, hanya Daulah Khilafah Islamiyah yang bisa menerapkan syariah secara kaffah dalam kehidupan.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.EI.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/170, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1993. Lihat juga dalam ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 4/152, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1992; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, 2/319, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1990.
2 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, 2/320.
3 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 3/65, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1994.
4 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/130, Dar al-Fikr, Beirut. 1991; Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih, 1/391, Dar at-Tafsir, Zaqaziq. 1992. Lihat juga dalam ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 10/123, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1990; al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 2/73, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1996.
5 Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1996.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132.
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634.
8 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/610, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1994; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 3/65; al-Ajili, al-Futûhât al-Islâmiyyah, 2/78, Dar al-Fikr, Beirut. 2003.
9 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 1/364, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993.
10 Al-Ashfahani. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314, Dar al-Fikr, Beirut. t.t.
11 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/130.
12 Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314.
13 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 2001; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, 1/355, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 1/393, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 1/221, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1998; Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436; al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 2/73; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 1/364; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 1/499, Nahr al-Khair, Madinah. 1993.
14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514 dan an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl.
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 3/66; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132
16 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215, Jamiyyah Ihya’ al-Turats al-Islami, tt. 2000.
17 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215.
18 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr Bahr al-Muhîth, 3/292, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar