Senin, 01 Desember 2014

MENOLAK HUKUM THAGHUT

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.  (QS. An-Nisa [4]: 60)

Sabab Nuzul
Diriwayatkan dari asy-Sya’bi, bahwa ada orang munafik dan orang Yahudi terlibat perselisihan. Orang Yahudi mengajak orang munafik kepada Nabi saw. karena mengetahui bahwa Beliau tidak menerima risywah (suap). Adapun orang munafik justru mengajak orang Yahudi kepada hakim-hakim mereka karena mengetahui hakim-hakim itu menerima suap. Ketika keduanya berselisih, akhirnya mereka bersepakat untuk berhakim di Juhainah. Kemudian turunlah ayat ini hingga ayat 65.1
Diriwayatkan ats-Tsa’labi dari Ibnu Abbas:
Ayat ini turun berkenaan dengan orang munafik bernama Basyar yang berselisih dengan orang Yahudi. Orang Yahudi mengajak berhakim kepada Nabi saw., sedangkan orang munafik mengajak kepada Ka’ab bin Asyraf.’ Akhirnya, mereka berhakim kepada Nabi saw. Dalam keputusannya, Beliau memenangkan  orang Yahudi. Orang munafik tidak ridha dengan keputusan itu, seraya berkata, “Marilah kita berhakim kepada Umar bin al-Khaththab.”
Ketika menghadap Umar, orang Yahudi berkata, “Rasulullah saw. telah memenangkanku. Namun, dia tidak rela dengan keputusan itu.”
Umar bertanya kepada orang munafik, “Benarkah demikian?”
Dijawab, “Ya.”
Umar berkata, “Tetaplah kamu di tempatmu hingga aku keluar.”
Umar masuk, lalu mengambil pedangnya. Kemudian keluar dan memenggal leher orang munafik hingga mati seraya berkata, “Inilah keputusanku bagi orang yang tidak ridha dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya.”
Lalu turunlah ayat ini.2

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Alam tara ilâ al-ladzîna yaz’umûna (Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku). Seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw.,3 juga berlaku umum untuk seluruh umatnya. Sebab, seruan kepada Rasulullah saw. adalah seruan bagi umatnya. Penggunaan kata tarâ (kamu memperhatikan) menunjukkan bahwa orang-orang yang diberitakan itu benar-benar ada dalam realita sehingga bisa dilihat siapa pun.
Secara bahasa, kata al-za’m atau al-zu’m bisa digunakan untuk pernyataan yang benar maupun dusta. Namun, dalam perkembangan-nya, kata itu banyak digunakan untuk pernyataan dusta.4 Jika dikaitkan dengan keseluruhan ayat ini, tampak jelas bahwa al-za’m di sini menunjuk pada pernyataan dusta. Nizhamuddin an-Naisaburi bahkan berani memastikan, kesimpulan itu telah menjadi kesepakatan (ittifâq).5
Bentuk istifhâm (kalimat tanya) pada ayat ini kian menguatkan makna tersebut. Sebagaimana disampaikan beberapa mufassir, bentuk istifhâm itu memberikan makna li al-inkâr (menunjukkan pengingkaran). Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dan az-Zuhaili, ini merupakan pengingkaran dari Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengaku mengimani apa yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya dan kepada para nabi terdahulu, namun mereka justru berhukum pada selain Kitabullah dan sunnah Rasul.6Ayat ini juga merupakan celaan terhadap mereka;7 bisa pula berarti ta’jîb, untuk menyatakan keheranan.8 Semua makna tersebut menunjukkan kedustaan pengakuan keimanan mereka.
Mereka telah memberikan pengakuan dusta tentang keimanan mereka terhadap kitab-kitab-Nya. Allah Swt. berfirman: annahum âmanû bimâ unzila ilayka (dirinya telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu). Apa yang diturunkan kepada Rasulullah saw. tidak lain adalah al-Quran. Adapun firman Allah Swt.: wamâ unzila min qablika (dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu) meliputi semua kitab yang diturunkan sebelumnya9 seperti Taurat, Zabur, atau Injil.
Meskipun mereka mengaku demikian, perilaku dan sikap yang ditampakkan oleh mereka justru kontradiktif. Mereka tidak merujuk pada kitab yang mereka imani, namun meminta keputusan kepada thaghut. Allah Swt. berfirman: yurîdûna an yatahâkamû ila al-thâghût (Mereka hendak berhakim kepada thaghut).
Secara bahasa, kata thâghût berasal dari thaghâ (melampaui batas). Makna ini terdapat dalam QS al-Haqqah [69]: 11. Menurut al-Asfahani, kata tersebut digunakan untuk menunjukkan tajâwaz al-hadd fî al-‘ishyân (tindakan melampau batas dalam kedurhakaan).10 Makna ini terdapat dalam banyak ayat al-Quran, seperti dalam firman Allah Swt.
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya dia telah melampaui batas (QS Thaha [20]: 24).
Kata tersebut terdapat juga dalam QS Thaha [20]: 43, al-Naziat [79]: 17, al-‘Alaq [96]: 6, dan al-Kahfi [18]: 80. Kata thaghâ yang digunakan dalam semua ayat itu mengandung pengertian tindakan melampaui batas dalam kedurhakaan. Oleh karena itu, kata thâghût juga diartikan sebagai al-katsîr al-thughyân (yang banyak melampaui batas dalam kedurhakaan).11  Menurut al-Jazairi, al-thâghût berarti semua yang disembah selain Allah Swt. (kullu mâ ‘ubida min dûni Allâh). Al-Asfahani juga memaknainya sebagai kullu mu’tad[in] wa kullu ma’bûd[in] min dûni Allâh (setiap yang melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allah Swt.).12
Dalam banyak ayat, kata thaghût memang sering dihadapkan dengan lafazh al-Jalâlah, Allah Swt., seperti dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (QS al-Nahl [16]: 36).
Dalam ayat ini, perintah menyembah Allah Swt dilawankan dengan perintah menjauhi thâghût. Itu berarti, thâghût  adalah segala sesembahan selain Allah Swt. Pengertian itu juga dapat dipahami dari beberapa ayat lainnya seperti: QS al-Baqarah [2]: 256, 257, an-Nisa’ [4]: 76, dan az-Zumar [39]: 17.
Dalam konteks ayat ini, kata thaghût sering dikaitkan dengan Ka’ab bin al-Asyraf. Banyak mufassir menyatakan, dialah yang dimaksud dengan thaghût itu.13Az-Zamakshyari dan al-Nasafi menuturkan, hal itu disebabkan karena kezaliman dan permusuhannya terhadap Rasulullah saw. yang melampaui batas; bisa juga karena dia menyerupai setan; atau karena dia dipilih untuk dijadikan sebagai hakim selain Rasulullah saw. dan berhakim kepada setan.14 
Jika dihubungkan dengan sabab nuzul ayat ini, penafsiran itu memang relevan. Sebab, pemuka Yahudi itulah yang dijadikan sebagai hakim untuk memutuskan perselisihan. Meskipun demikian, pengertian thâghût ini tidak bisa dibatasi hanya untuk Ka’ab bin al-Asyraf. Semua orang yang menduduki posisi dan peran yang sama dengannya tercakup dalam lingkup makna thâghût.
Ibnu Katsir dan al-Zuhaili menegaskan, thâghût di sini lebih umum dari itu (Ka’ab bin al-Asraf). Orang-orang yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah serta berhukum kepada selain keduanya berupa kebatilan adalah thâghût yang dimaksud ayat ini.15 Abdurrahman al-Sa’di juga memaknai thâghût dalam ayat ini adalah setiap orang yang berhukum dengan selain syariah Allah (kullu man hakama bi ghayri syar’illâh).16 
Jelaslah, thâghût dalam konteks ayat ini adalah semua hakim yang memutuskan perkara dengan hukum selain al-Quran dan as-Sunnah. Keinginan mereka berhakim kepada thâghût itu menunjukkan adanya kotradiksi pada sikap mereka. Mereka mengaku mengimani kitab-kitab Allah, tetapi dalam praktiknya justru berhukum kepada selainnya. Sikap itu tentu amat mengherankan. Karena itu, wajarlah jika penyataan keimanan mereka patut diragukan, bahkan diingkari. Allah Swt berfirman: waqad umirû an yakfurû bih (Padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu). Di samping ayat ini, perintah mengingkari dan menjauhi thâghût itu disampaikan dalam QS an-Nahl [16]: 36.
Bagaimana mungkin pengakuan keimanan mereka bisa diterima? Iman meniscayakan ketundukan terhadap syariah Allah dan berhakim padanya dalam setiap perkara. Keniscayaan itu makin jelas jika dikaitkan dengan nas-nas lainnya seperti QS an-Nisa’ [4]: 65, an-Nur [24]: 51-52, al-Ahzab [33]: 36, dan lain-lain. Semua ayat itu menegaskan bahwa keimanan menuntut kesediaan pelakunya untuk tunduk dan taat terhadap syariah.
Iman juga mengharuskan pelakunya menjauhi thâghût. Abdurrahman al-Sa’di menyatakan, siapa saja yang mengaku sebagai Mukmin dan memilih untuk berhakim kepada thâghût, dia adalah pendusta dalam perkara ini.17 Abu Hayyan al-Andalusi juga menyimpulkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kaum munafik.18
Kemudian Allah Swt. berfirman: wayurîdu asy-syaythân an yudhillahum dhalâl[an] ba’îd[an] (setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya). Ditegaskan bahwa solusi perselisihan perkara kepada thâghût itu sejalan dengan keinginan setan. Dalam ayat lainnya, Allah Swt. mempersamakan  thâghût dengan setan (Lihat, misalnya, QS an-Nisa’ [4]: 74).

Membebaskan dari Hukum Thâghût
Pasca runtuhnya Khilafah, umat Islam di berbagai negara hidup dalam tatanan ideologi selain Islam; tepatnya ideologi sekular. Dalam pandangan Sekularisme, agama dianggap hanya berisi ajaran yang menjelaskan tatacara ibadah ritual dan tuntunan moral, tidak menyentuh urusan publik.
Meskipun tidak diakui secara terang-terangan, ideologi sekular inilah yang juga dianut negara ini. Eksistensi agama memang diakui, tetapi fungsi yang diperankan agama hanya terkait dengan hal-hal yang sifatnya personal-individual. Perkara-perkara yang mengatur dan mengurusi pelayanan negara terhadap rakyatnya, seperti politik, pemerintahan, ekonomi, hukum pidana-perdata, sosial-budaya, dan pendidikan disterilkan dari agama.
Keadaan inilah yang membuat kaum Muslim tidak bisa memutuskan perkara yang mereka perselisihkan dengan syariah. Mereka memang masih diizinkan menjalankan ibadah ritual. Mereka juga tidak dilarang meyakini kebenaran al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi, keyakinan itu tidak boleh diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Mereka dipaksa tunduk dengan hukum buatan manusia. Mereka harus menerima keputusan hukum warisan penjajah. Sekalipun mereka ingin diadili dan diputusi dengan syariah, mereka juga tidak kuasa menolak ketika harus diadili oleh mahkamah yang mendasarkan pada selain syariah, yang oleh ayat ini disebut dengan thâghût.
Padahal, keinginan para thâghût, sebagaimana disinyalir ayat ini, sejalan dengan keinginan setan, yakni menyesatkan manusia dari jalan yang lurus dengan kesesatan yang amat jauh. Mereka memiliki karakter yang sama, yakni menjerumuskan manusia kepada kegelapan atau kekafiran (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 257).
Oleh karena itu, siapa pun yang tidak ingin tersesat, dia harus mengingkari dan menjauhi thâghût. Masyarakat mana pun yang tidak ingin terjerembab dalam lembah kegelapan, tidak memiliki pilihan lain kecuali harus melepaskan diri dari kungkungan sistem thâghût. Sebagai gantinya, mereka harus memilih dan menerapakan syariah yang berasal dari-Nya. Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang beriman dari kegelapan menuju cahaya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 257).
Walhasil, jika ingin membebaskan diri, masyarakat, dan negara dari jeratan thâghût, Daulah Khilafah Islamiyah  jawabannya. Sebab, hanya Daulah Khilafah Islamiyah yang bisa menerapkan syariah secara kaffah dalam kehidupan.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.EI.]

Catatan kaki:
1   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/170, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1993. Lihat juga dalam ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 4/152, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1992; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, 2/319, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1990.
2   As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, 2/320.
3   Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 3/65, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1994.
4   Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/130, Dar al-Fikr, Beirut. 1991; Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih, 1/391, Dar at-Tafsir, Zaqaziq. 1992. Lihat juga dalam ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 10/123, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1990; al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 2/73, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1996.
5   Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Beirut. 1996.
6   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132.
7   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634.
8   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/610, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1994;  al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 3/65; al-Ajili, al-Futûhât al-Islâmiyyah, 2/78, Dar al-Fikr, Beirut. 2003.
9   As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 1/364, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993.
10   Al-Ashfahani. Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314, Dar al-Fikr, Beirut. t.t.
11   Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/130.
12   Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 314.
13   Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 2001;  al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, 1/355, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 1/393, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1995; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 1/221, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. 1998; Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 2/436;  al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 2/73; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 1/364;  al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 1/499, Nahr al-Khair, Madinah. 1993.
14   Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 1/514 dan  an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl.
15   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/634; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 3/66; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 5/132
16   As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215, Jamiyyah Ihya’ al-Turats al-Islami, tt. 2000.
17   As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 1/215.
18   Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr Bahr al-Muhîth, 3/292, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar