Senin, 01 Desember 2014

SEPUTAR ORANG MURTAD

كَيْفَ يَهْدِي اللهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ، أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنْظَرُونَ، إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ، إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الضَّالُّونَ
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwa laknat Allah ditimpakan kepada mereka; (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya; mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh; kecuali orang-orang yang tobat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima tobatnya dan mereka itulah orang-orang yang sesat. (QS Ali Imran [3]: 86-90).  

Sabab Nuzul
An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan al-Hakim menuturkan riwayat dari Ibnu Abbas yang berkata: Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang masuk Islam. Kemudian murtad dan bergabung dengan kaum musyrik. Setelah itu dia menyesal dan mengirim utusan kepada kaumnya seraya berkata, “Tanyakalah kepada Rasulullah saw. untukkku. Apakah masih ada (kesempatan) tobat bagiku?” Kemudian kaumnya mendatangi Rasulullah saw. dan menanyakan perkara tersebut, lalu turunlah ayat QS Ali Imran [3]: 86-89. Kemudian kaumnya mengirim utusan kepadanya. Ia pun kembali masuk Islam.1

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Kayfa yahdîllâh qawm[an] ba‘da îmânihim (Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman). Ayat ini berbentuk istifhâm, namun maknanya li al-ja­hd (untuk pengingkaran); bahwa Allah Swt tidak memberikan petunjuk.2  Menurut al-Khazin kata hidayah berarti taufik pada al-haqq dan ash-shawâb.3 
Tiadanya hidayah taufik dari Allah Swt. itu sebagai hukuman atas kejahatan yang mereka lakukan. Mereka berubah menjadi kafir setelah mereka beriman. Padahal kelezatan iman seharusnya menambah keimanan mereka, bukan menipis atau bahkan lenyap. Karena itu, menurut asy-Syaukani dan al-Qinuji, dosa orang murtad lebih besar daripada orang yang tetap dalam kekafiran. Sebab, mereka telah mengetahui yang haq, kemudian berpaling lantaran kedurhakaan dan kecongkakan.4
Di samping sudah beriman, kekafiran itu juga dilakukan sesudah mereka memberikan kesaksian atas kebenaran Rasulullah saw. Allah Swt. berfirman: wa syahidû anna al-Rasûl haqq (serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu [Muhammad] benar-benar rasul). Kata syahidû di-athaf-kan pada kata îmânihim. Sekalipun berupa al-ism, îmânihim bermakna al-fi’l—yakni an âmanû—sehingga bisa di-athaf-kan dengan syahidû.5 Adapun ar-Rasûl di sini adalah Nabi Muhammad saw. Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, ini adalah pendapat jumhur.6 
Menurut ar-Razi, di-athaf-kannya syahâdah atas kebenaran Rasul dengan iman menunjukkan makna keduanya berbeda. Jika iman menunjuk pada keyakinan dalam hati (at-tashdîq bi al-qalb) maka syahâdah berarti ikrar dengan lisan (al-iqrâr bi al-lisân).7 Seharusnya, ikrar dengan lisan atas kebenaran Rasulullah saw. dan risalahnya juga mengokohkan keimanan mereka. Jika yang terjadi justru sebaliknya maka itu menambah daftar kesalahan mereka.
Selain itu, mereka juga sudah mendapati bukti-bukti kebenaran Rasul dan risalahnya. Allah Swt. berfirman: wa jâ’ahum al-bayyinât (dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka). Secara bahasa, pengertian al-bayyinât adalah ad-dalâlah al-wâdhihah (petunjuk yang terang), baik secara ‘aqli maupun penginderaan;8 atau menurut az-Zuhaili, ia juga berarti al-hujaj al-zhâhirah, bukti-bukti yang jelas atas kebenaran Nabi saw.9 Menurut an-Nasafi, az-Zamakhsyari, asy-Syaukani, al-Khazin, al-Jazairi, al-Qinuji, dan yang lainnya, yang dimaksud dengan al-bayyinât di sini adalah al-Quran dan berbagai mukjizat lainnya yang menjadi bukti kenabian Rasulullah saw.10 Setelah datangnya petunjuk, hujjah, dan bukti yang nyata itu seharusnya keimanan mereka kian kuat. Jika mereka justru menjadi kafir maka wajar mereka mendapatkan hukuman yang amat berat, yakni tidak mendapat petunjuk-Nya.
Allah Swt. menegaskan: Wallâh lâ yahdî al-qawm azh-zhâlimîn (Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim). Menurut Fakhruddin ar-Razi dan al-Khazin, kata zalim dalam ayat ini menunjuk kepada kaum kafir secara umum, baik yang sebelumnya beriman (murtad) maupun yang sejak awal telah kafir.11 Semua orang kafir itu memang pantas disebut zalim karena, kata al-Khazin, mereka meletakkan penyembahan tidak pada tempatnya.12 Dalam QS Luqman [31]: 13 juga disebutkan bahwa syirik adalah kezaliman yang besar. Ditegaskan dalam ayat ini, mereka semua mendapatkan hukuman yang sama, yakni tidak mendapatkan petunjuk-Nya.
Lalu bagaimana dengan fakta banyaknya orang murtad yang kembali berislam, yang berarti bisa mendapatkan hidayah-Nya? Al-Qurthubi menjawab, ketentuan itu terus berlaku selama mereka kukuh dalam kekufuran dan kezaliman serta tidak menerima Islam. Apabila mereka bersedia masuk Islam dan bertobat maka Allah Swt. akan memberikan taufik kepada mereka.13
Karena mereka telah melakukan kekufuran dan kezaliman, maka mereka layak menerima hukuman yang amat berat. Allah Swt. berfirman: Ulâika jazâ’uhum anna ‘alayhim la’natallâh wa al-malâikati wa an-nâs ajma’în (mereka itu, balasannya ialah ditimpakannya laknat Allah kepada mereka, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya). Kata al-la’n berarti ath-thard wa al-ib’âd (membuang dan menjauhkan) dalam konteks kemurkaan. Laknat dari Allah Swt. di akhirat adalah hukuman, sedangkan di dunia berarti terputusnya rahmat dan taufik-Nya.14 Adapun laknat malaikat dan manusia adalah dengan mendoakan jauhnya rahmat-Nya atas mereka.15 Dalam hal ini, seluruh manusia, termasuk orang-orang kafir pun, melaknat mereka. Kalau kaum Mukmin melaknat mereka tentu mudah dipahami. Lalu bagaimana dengan kaum kafir, bukankah mereka juga kafir? Sebagian mufassir menjelaskan, peristiwa ini akan terjadi pada Hari Akhir kelak. QS al-A’raf [7]: 38 dan al-‘Ankabut [29]: 25, memberitakan bahwa pada Hari Kiamat nanti sesama orang kafir itu akan saling melaknat. Menurut al-Alusi, manthûq ayat ini (QS Ali Imran [3]: 87) menjadi dalil bolehnya melaknat mereka; dan mafhûm-nya menafikan kebolehan melaknat selain mereka.16 
Hukuman itu ditimpakan terhadap mereka secara kekal, tidak diperingan dan tiada ditangguhkan. Allah Swt. menegaskan: khâlidîn fîhâ lâ yukhaffafu ‘anhum al-‘adzâb walâhum yunzharûn (mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak [pula] mereka diberi tangguh). Kekal di sini bisa dipahami kekal dalam laknat, siksa, atau neraka.17 
Kendati kesalahan mereka telah berderet dan dosa mereka juga demikian besar, mereka masih diberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Allah Swt. berfirman: illâ al-ladzîna tâbû min ba’di dzâlika  wa ashlahû (kecuali orang-orang yang bertobat, sesudah [kafir] itu dan mengadakan perbaikan). Ayat ini memberikan perkecualian bagi mereka yang mau bertobat dan melakukan ishlâh. Tobatnya adalah dengan berhenti dari kekufuran dan masuk Islam serta melakukan islâh dengan mengerjakan amal shalih. Menurut al-Khazin dan al-Qasimi, ayat ini menjelaskan bahwa tobat saja tidak cukup, namun juga harus disertai dengan amal shalih.18 Jika kedua hal itu mereka lakukan maka Allah Swt. akan menerima tobatnya dan mengampuni dosa-dosa mereka. Sebab: fainna Allâh Ghafûr Rahîm; Maha Pengampun dengan meniadakan azab-Nya dan Maha Penyayang dengan memberikan pahala-Nya. Ini juga ditegaskan Allah Swt. dalam QS al-Anfal [8]: 38. 
Menurut asy-Syaukani dan al-Qinuji, ayat ini menjadi dalil diterimanya tobat orang murtad jika kembali pada Islam secara ikhlas. Bahkan menurutnya, tidak ada perbedaan mengenai perkara ini.19 Namun, menurut al-Qasimi, ini adalah pendapat jumhur. Masih ada yang tidak sepakat. Di antaranya adalah Ahmad bin Hanbal. Menurutnya, orang yang murtadnya berulang-ulang, tobatnya tidak diterima, namun harus dibunuh. Sebab, itu menunjukkan kerusakan akidahnya dan sedikitnya perhatiannya terhadap Islam.20
Jika mereka tidak bertobat dan memperbaiki diri dan mati di atas kekafiran, maka Allah Swt. tidak akan menerima lagi tobat mereka. Dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman: Innalladzîna kafarû ba’da îmânihim tsumma [i]zdâdû kufr[an] lan tuqbala tawbatuhum (sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima tobatnya). Mereka bukan hanya tidak mau bertobat, lebih dari itu kekafiran kian bertambah. Menurut sebagian mufassir, itu ditandai dengan dosa-dosa yang mereka perbuat.21 Dalam keadaan demikian, tobat mereka tidak akan diterima.
Menurut para mufassir, seperti al-Hasan, Qatadah, dan Atha’, tobat mereka tidak diterima karena dilakukan ketika datang kematian.22 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir.23 (Lihat juga: QS an-Nisa’ [4]: 18).  
Kemudian Allah Swt. berfirman: Waulâika hum adh-dhâllûn (mereka itulah orang-orang yang sesat). Menurut Ibn Katsir, frasa ini memberikan pengertian bahwa mereka telah keluar dari manhaj yang haq menuju jalan yang bengkok.24 Jika ayat ini ditujukan kepada orang yang menunda tobatnya hingga datangnya ajal, maka bagi orang kafir yang tetap kukuh dalam kekafirannya sampai mati diberitakan dalam ayat berikutnya, yakni QS Ali Imran [3]: 91.

Hukuman Bagi Orang Murtad
Ayat ini menjelaskan hukuman bagi orang murtad di akhirat. Jika tidak mau bertobat dan memperbaiki diri dengan amal shalih hingga ajal datang, mereka akan mendapatkan hukuman yang amat berat, yakni siksa neraka selama-lamanya. Hal itu juga ditegaskan oleh QS. al-Baqarah [2]: 217, an-Nisa’ [4]: 137, al-Maidah [5]: 21, dan Muhammad [48]: 25. Dahsyatnya siksa itu seharusnya membuat takut dan ngeri bagi pelakunya.
Adapun sanksi bagi orang murtad di dunia dijelaskan secara gamblang dalam Hadis Nabi saw. Orang murtad itu dinasihati untuk bertobat kembali pada Islam. Jika ia mau bertobat dengan ikhlas maka tobatnya diterima. Jika ia masih bersikukuh dengan kekafirannya maka ditetapkan atasnya hukuman mati. Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Siapa saja yang mengubah (menukar) agamanya, bunuhlah dia (HR Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan at-Tirmidzi).
Ini merupakan dalil amat jelas mengenai hukuman di dunia yang harus diterapkan Khalifah terhadap orang murtad. Para ulama juga sepakat bahwa orang yang murtad harus diminta bertobat. Jika tidak mau maka dia harus dihukum mati. Ibnu Mundzir menegaskan, dalam hal ini, tidak adanya perbedaan pendapat tentangnya.25 Ini pula yang diamalkan para Sahabat setelah Rasulullah saw wafat. Demikian pula yang dilakukan oleh generasi penerusnya.
Tidak bisa dikatakan, seperti propaganda kaum Liberal, bahwa hadis-hadis itu harus ditolak karena bertentangan dengan ayat di atas. Sebab, obyek pembahasan keduanya berbeda. Ayat-ayat di atas menjelaskan hukuman di akhirat, sedangkan hadis-hadis ini menerangkan sanksi di dunia. Jadi, tidak saling menafikan. Di dalam hadis Abu Dawud, pelaku murtad tidak langsung dihukum mati; terlebih dulu dia diminta untuk bertobat. Jika mau bertobat, diterima tobatnya. Tak ada perbedaan antara ayat dan hadis dalam hal ini. Namun, jika tetap menolak dan bersikukuh dengan kekafirannya, hukuman mati harus dijatuhkan. Inilah ketentuan yang ditetapkan hadis Nabi saw. Tiadanya ketetapan dalam al-Quran, bukan menjadi dalil untuk melarangnya.  Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:
1   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/83, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/465, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997.
2   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/451, Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, 1/251, Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, 2/279, Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar. 1989.
3   Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl,1/266, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995. Senada dengan penafsiran al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 2/346, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1997.
4   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/452; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, 2/279.
5   Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 2/209, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf,1/373, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
6   Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 2/541, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993
7   Ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, 8/112, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
8   Aal-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, hal.67, Dar al-Fikr, Beirut. tt
9   Az-Zuhaili, at-Tafsîr al-Munîr, 3/287, Dar al-Fikr, Beirut. 1991.
10   An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl,1/188, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2001; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 1/373; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/452; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,1/342, Nahr al-Khair, Madinah. 1993; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, 2/279.
11   Ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, 8/112; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 1/266.
12   Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 1/266.
13   Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 2/84
14   Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât al-Qurân, hal. 471.
15   Mahmud Hijazi, at-Tafsîr al-Wâdhih, 1/251, Dar al-Tafsir, Zaqaziq. 1992.
16   Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 2/209.
17   Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 2/209; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 2/346.
18   Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 1/266; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 2/346.
19   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/452; al-Qinuji, Fath al-Bayân, 2/280.
20   Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 2/346.
21   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/452; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, 1/267.
22   Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 1/452.
23   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/466.
24   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/466.
25   Ibnu al-Mundzir, al-Ijmâ’, hal. 76, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar