كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ
مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١)فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (١٥٢)
Sebagaimana
(kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus
kepadamu seorang Rasul diantara kalian, yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kalian, menyucikan kalian, mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan
al-Hikmah (as-Sunnah), serta mengajarkan kepada kalian apa yang belum
kamu ketahui. Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya aku ingat
pula kepada kalian, bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian
mengingkari (nikmat)-Ku. (QS al-Baqarah: 151)
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kamâ arsalnâ fîkum Rasûl[an] minkum (sebagaimana [Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu] Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian). Kata rasûl[an] di sini adalah Rasulullah Muhammad saw. Sebagaimana dituturkan Ibnu ‘Athiyyah, khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada umat Nabi Muhammad saw.1 Kesimpulan
ini dapat diambil dari perintah ayat sebelumnya yang ditujukan kepada
kaum Mukmin untuk menghadapkan wajah mereka ke Masjid al-Haram. Ada pula
yang berpendapat, mukhâthab (pihak yang diseru) adalah bangsa Arab.2
Huruf al-kâf dalam ayat ini adalah li at-tasybîh (untuk menunjukkan adanya keserupaan) dan membutuhkan sesuatu yang lain untuk dirujuk.3 Menurut kebanyakan mufassir, huruf tersebut merujuk pada frasa akhir ayat sebelumnya (yang artinya): agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu dan supaya kamu mendapat petunjuk (QS al-Baqarah [2]: 150).4
Itu berarti, nikmat penetapan Masjid al-Haram sebagai kiblat, serupa dengan nikmat diutusnya Rasulullah saw. kepada mereka.5 Dengan demikian, Allah SWT telah menyempurnakan nikmat-Nya.
Kemudian disebutkan beberapa sifat rasul yang diutus itu. Allah SWT berfirman: yatlû ‘alaykum ayâtinâ (yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian). Menurut an-Nasafi, kata yatlû ‘alaykum berarti yaqra’u ‘alaykum (membacakan kepada kalian).6 Adapun yang dimaksud dengan ayâtinâ adalah ayat-ayat al-Quran.7
Telah maklum bahwa al-Quran merupakan wahyu Allah SWT, lafzh[an] wa ma’na[n] (redaksional
bahasa dan isinya). Berbeda dengan as-Sunnah yang memberikan peran
kepada Rasulullah saw. untuk mengungkapkan wahyu dengan redaksi beliau
sendiri, tidak demikian dengan al-Quran. Al-Quran diterima Rasulullah
saw. dari Jibril sudah berupa ‘teks’. Dalam menerimanya, beliau
diperintahkan mendengarkannya secara seksama dan dilarang tergesa-gesa
untuk menguasainya. Sebab, Allah SWT menjanjikan kepada beliau untuk
mengumpulkan al-Quran di dada beliau dan membuat beliau pandai
membacanya (lihat QS al-Qiyamah [75]: 16-17).
Imam
al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ra., bahwa Jibril as.
membacakan al-Quran kepada Rasulullah saw. sekali setiap tahun. Pada
tahun wafatnya beliau, dibacakan dua kali. Riwayat senada juga berasal
dari Fathimah ra.
Ketika
suatu ayat turun, Rasulullah saw. segera membacakannya kepada khalayak
dan memerintahkan agar dihapal dan ditulis dalam lembaran-lembaran.
Beliau juga memberitahukan kedudukan surah dan urutan ayatnya. Beliau
bersabda, “Letakkanlah ayat ini pada surat ini setelah ayat ini.” Begitu
seterusnya hingga al-Quran diturunkan seluruhnya sampai beliau wafat.
Oleh karena itu, semua ayat al-Quran beserta bacaan, tulisan dan urutan
ayatnya berasal dari Jibril, dari Allah SWT.
Selain membacakan ayat-ayat-Nya, rasul tersebut juga: wa yuzakkîkum (menyucikan kalian). Kata yuzakkîkum berarti yuthahhirukum (mensucikan). Sihabuddin al-Alusi berkata, “Dia menyucikan kalian dari kesyirikan.”8 Dikatakan Ibnu Jarir ath-Thabari bahwa frasa itu bermakna mensucikan mereka dari kotoran dosa.9
Ibnu
Katsir menyatakan, “Rasul itu mensucikan mereka dari akhlak yang hina,
jiwa yang rendah dan perbuatan Jahiliyah. Dia juga mengeluarkan mereka
dari kegelapan menuju cahaya.”10
Kendati berbeda ungkapan, pengertiannya tidak jauh.
Di samping itu: wa yu’allimukum al-Kitâb wa al-Hikmah (mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan al-Hikmah). Yang dimaksud dengan al-Kitab adalah al-Quran.11 Semua
perkara yang berkaitan dengan al-Quran diajarkan Rasulullah saw. Memang
beliau ditugaskan untuk menerangkan al-Quran kepada umat manusia (lihat
QS al-Nahl [16]: 44). Adapun al-Hikmah adalah al-Sunnah.12 Menurut an-Nasafi dan Ibnu ‘Athiyah, selain an-Sunnah juga fikih.13
Lalu wa yu’allimukum mâ lam takûnû ta’lamûn (serta mengajari kalian apa yang belum kalian ketahui). Menurut an-Nasafi dan al-Alusi, perkara yang dimaksudkan adalah semua perkara yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu.14 Ibnu ‘Athiyah menafsirkannya dengan kisah-kisah kaum terdahulu dan perkara gaib yang akan datang.15
Dengan
demikian, diutusnya rasul tersebut benar-benar merupakan kenikmatan
besar. Atas kenikmatan itu dan semua kenikmatan lainnya, mereka
diperintahkan untuk mengingat-Nya. Allah SWT berfirman: Fadzkurûnî adzkurkum (Karena
itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepada kalian).
Menurut al-Ajili dan Nizhamuddin an-Naisaburi, zikir kepada Allah SWT
mencakup zikir dengan lisan, hati dan gerakan badan.16Zikir
lisan dengan mengucapkan hamdalah, tasbih dan tahmid; membaca
kitab-Nya, dan lain-lain. Zikir hati dengan berpikir tentang
perkara-perkara yang menunjukkan kepada Zat dan sifat-Nya. Adapun zikir
anggota badan adalah dengan mengerjakan semua perbuatan yang
diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang.17 Jika
itu dilakukan, Allah SWT akan membalasnya dengan ampunan, pahala dan
ridha-Nya. Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Ingatlah Aku dengan taat kepada-Ku,
niscaya Aku akan mengingat kalian dengan ampunan-Ku.”18
Mereka juga diperintahkan untuk bersyukur kepada-Nya. Allah SWT berfirman: wa[i]sykurûlî wa lâ takfurûni (bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkari [nikmat]–Ku). Menurut al-Jazairi, asy-syukr adalah menampakkan kenikmatan dengan menggunakannya sesuai dengan tujuannya yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.19 Dalam
konteks nikmat Rasul beserta risalahnya, maka bersyukur dilakukan
dengan mengimani dan mengamalkan petunjuk-Nya. Sikap sebaliknya adalah al-kufr (ingkar), yang dilarang oleh ayat itu. Pelakunya diancam dengan ancaman yang keras (Lihat: QS Ibrahim [14]: 28).
Memperbaiki Keadaaan Masyarakat
Ayat
ini memberitakan sebagian sifat Rasulullah saw. Jika dicermati, semua
sifat itu menghasilkan perbaikan dan peningkatan derajat manusia. Dalam
ayat ini disebutkan bahwa beliau membacakan ayat-ayat Allah SWT kepada
umatnya. Sejarah mencatat, aktivitas yang beliau lakukan bukan tanpa
rintangan. Beliau mendapat penolakan keras, celaan dan cercaan dari
kaumnya. Bahkan siksaan fisik juga pernah beliau alami. Kendati begitu,
beliau tetap tegar dan pantang menyerah. Al-Quran—wahyu sekaligus
mukjizat kenabian—yang beliau bacakan ke tengah-tengah umat mampu
menarik banyak orang untuk beriman. Akhirnya, beliau bertemu dengan
pemuka suku ‘Aus dan Khazraj yang mau beriman. Bahkan mereka memberikan nushrah (pertolongan)
bagi dakwah sekaligus menyerahkan kepemimpinan mereka kepada beliau.
Madinah pun menjadi pusat pertama bagi Daulah Islam. Setelah itu,
perubahan besar pun terjadi. Ketika beliau menghadap ke haribaan-Nya,
seluruh Jazirah Arab berada dalam kekuasaan Islam.
Beliau
juga membersihkan umatnya dari segala dosa dan maksiat yang mengotori
akal dan jiwa. Pembersihan tersebut, di samping dilakukan secara
individual, juga dilakukan secara sistemik. Masyarakat yang sebelumnya
ditata dengan hukum Jahiliah diubah menjadi masyarakat yang ditata
dengan hukum Islam. Penerapan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan
meniscayakan tersingkirnya berbagai ide sesat dan perilaku destruktif.
Hasilnya, bangsa Arab yang sebelumnya didominasi dengan kesyirikan dan
kekufuran, gemar berbuat mungkar dan maksiat dan memiliki aneka perangai
tercela, berubah menjadi bangsa yang beriman, gemar melakukan amal
salih serta memiliki sifat mulia dan terpuji. Bahkan ada di antara
mereka (as-sâbiqûna al-awwalûn, dari kalangan Muhajirin dan Anshar) yang diridhai Allah SWT dan dijanjikan surga (lihat: QS at-Taubah [9]: 100).
Selain itu, beliau juga mengajarkan al-Quran dan as-Sunnah yang menjadi petunjuk
bagi manusia. Siapa pun yang berpegang teguh pada keduanya, niscaya
hidupnya akan lurus dan bahagia. Sebaliknya, siapa pun yang berpaling
dari keduanya, pasti akan tersesat dan sengsara. Oleh karena itu,
memahami al-Quran dan as-Sunnah dengan seluk-beluknya menjadi kebutuhan
mutlak setiap orang. Kebutuhan itu pun terjawab dengan aktivitas
Rasulullah saw. yang mengajarkan keduanya kepada manusia. Untuk itu,
beliau tidak meminta upah sedikit pun dari manusia (Lihat: QS al-An’am [6]: 90).
Sebagaimana
dinyatakan dalam ayat ini, beliau juga mengajarkan perkara-perkara yang
sebelumnya tidak diketahui manusia. Beliau pun berhasil mengangkat
manusia ke derajat yang paling tinggi. Oleh karena itu, diutusnya
Rasulullah saw. dengan beberapa sifat itu merupakan anugerah bagi kaum
Mukmin (lihat: QS Ali Imran [3]: 164).
Mewarisi Sifat Nabi saw.
Bagi
kaum Mukmin, apalagi bagi para ulama, sifat-sifat mulia Rasulullah saw.
itu patut diteladani. Ulama adalah pewaris para nabi. Rasulullah saw.
bersabda:
«وَإِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»
Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, berarti
telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna (HR Abu Dawud).
Sebagai
pewaris nabi, mereka tentu akan menempuh jalan sebagaimana Rasulullah
saw.; tak kenal lelah membacakan ayat-ayat-Nya dan menyebarluaskannya di
tengah-tengah manusia. Mereka pantang menyerah meskipun harus
menghadapi beragam risiko.
Para pewaris para nabi itu juga mengikuti jejak Rasulullah saw. dalam membersihkan masyarakat
dari kekufuran dan kemaksiatan. Dengan ilmu yang dimiliki, mereka dapat
menjelaskan kesesatan dan kerusakan berbagai pemikiran kufur seperti
komunisme, sekularisme-kapitalisme, pluralisme, HAM dan lain-lain.
Dengan penjelasan itu, masyarakat bisa terselamatkan dari pemikiran
kufur itu. Dalam menghadapi kemungkaran dan kemaksiatan,
mereka pasti memilih berada di garda depan. Mereka tidak rela jika ada
hukum Islam diabaikan, apalagi dilecehkan. Mereka akan memimpin umat
berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Sebab, hanya dengan diterapkan
syariah dan ditegakkan Daulah, masyarakat benar-benar bisa diproteksi
dari ide sesat, kemungkaran dan perangai tercela.
Para
pewaris para nabi itu juga rajin mengajarkan al-Quran dan al-Sunnah.
Mereka sadar, untuk meraih predikat terbaik, belajar atau mengajarkan
al-Quran merupakan salah satu resepnya.20 Dalam
perkara hukum, mereka bersikap tegas. Apa pun status hukum yang berasal
al-Quran dan al-Sunnah, akan disampaikan. Mereka tidak akan menjual
ayat-ayat Allah SWT dengan harta dunia.
Patut
ditegaskan, dalam melakukan semua aktivitas itu, ulama pewaris nabi
didorong oleh keikhlasan, semata-mata hanya karena mencari ridha Allah
SWT. Sebab, mereka adalah hamba-hamba yang takut kepada-Nya. Allah SWT
berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (QS Fathir [35]: 28).
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 226. Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 93.
2 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’ wîl, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 92; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 167; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 431.
3 Al-Baghawi, Al-Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 88; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 87
4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 39; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 115; Ibnu ‘Athiyyah Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1, 226; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 233.
5 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 157. Lihat juga al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 115.
6 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 1, 92.
7 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 2, 40; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 1, 92
8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 417.
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 2, 41.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 184.
11 Penafsiran demikian disampaikan para mufassir, seperti Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz,, vol. 1, 226; Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, vol. 1, 94.
12 Ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, vol. 1, 94; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1 (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1993), 130.
13 Ibnu ‘Athiyyah Al-Muharrar al-Wajîz,, vol. 1, 226; al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 1, 198; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 92
14 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 1, 92; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, 417.
15 Ibnu ‘Athiyyah Al-Muharrar al-Wajîz,, vol. 1, 226
16 Al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 1, 198
17 Nizhamuddin an-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 437.
18 Al-Baghawi, Al-Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1, 88. Penjelasan yang sama juga disampaikan Said bin Jubair, lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 184; az-Zamakhsyari, Al-Kassâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 205; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 95; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 168.
19 al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 131.
20 HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar