Rabu, 19 November 2014

MENGAMBIL HIKMAH

الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا
Kalimat hikmah adalah barang berharga kaum Mukmin yang hilang. Dimana saja ia menemukannya, ia lebih berhak terhadapnya. (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

At-Tirmidzi meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Umar bin al-Walid al-Kindi, sedangkan Ibn Majah meriwayatkannya dari Abdurrahman bin Abdul Wahab. Keduanya, yakni Muhammad dan Abdurrahman, menerimanya dari Abdullah bin Numair, dari Ibrahim bin al-Fadhli, dari Said al-Maqburi, dari Abu Hurairah.  At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadis gharîb (asing). Kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini.”  Ibrahim bin al-Fadhli al-Makhzumi di-dha‘îf-kan hadisnya dari sisi hapalannya.

Al-Qadha’i meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari: Muhammad bin Ahmad al-Ashbahani, Abu Said al-Hasan bin Ali as-Saqathi dan Abu Abad—yaitu Dzu an-Nun bin Muhammad bin Amir ash-Shaighi at-Tastar. Keduanya meriwayatkannya berturut-turut dari: Abu Ahmad al-Hasan bin Said bin Abdullah al-‘Askari, Suhail bin Ya‘qub ash-Shifar, Muhammad bin Muawiyah az-Ziyadi, Isa bin Ibrahim, Afif bin Salim,  Ibrahim bin al-Fadhli, Said bin Abi Said al-Maqburi dari Abu Hurairah. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
كَلِمَةُ الْحِكْمَةِ ضَالَةُ كُلِّ حَكِيْمٍ وَإِذَا وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا

Kalimat hikmah adalah perhiasan yang hilang dari setiap hakim. Jika ia menemukannya maka ia lebih berhak atasnya.

Semua riwayat di atas di dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin al-Fadhli. Dia adalah: perawi dha‘îf (At-Tirmidzi); munkar al-hadîts (Al-Bukhari dalam at-Târîkh al-Kabîr);1 matrûk dan termasuk thabaqat ke delapan;2(Ibn Hajar al-‘Ashqalani); bukan termasuk perawi yang kuat dalam hadis, ia dha‘îf al-hadîts (Ahmad bin Hanbal, Abu Zur‘ah); dha‘îf, hadisnya tidak (boleh) ditulis (Ibn Ma‘in) berkata, Ibrahim bin al-Fadhli adalah dha‘îf; matrûk (An-Nasai dan Jamaah); munkar al-hadîts, tidak tsiqah dan hadisnya tidak boleh ditulis (An-Nasa’i);  bukan perawi yang kuat (Al-Hakim);  tidak boleh ber-hujjah dengan hadisnya (Al-Mazi); hadisnya kadang diakui dan kadang diingkari (Ya‘qub bin Sufyan); fâkhis al-khatha’/sangat berat kesalahannya (Ibn Hibban); matrûk (Ad-Daruquthni dan al-Azadi).3

Dengan penilaian seperti itu tidak aneh jika al-Albani menilai hadis di atas sebagai dha‘îf jiddan (lemah sekali). Dengan demikian, riwayat ini harus ditinggalkan dan tidak bisa dijadikan dalil.

Al-Qadha’i4 meriwayatkan matan hadis yang senada berturut-turut dari: Abu al-Hasan Abdul Aziz bin Muhammad bin Dawud, Muhammad, Dawud, Qirshafah Muhammad bin Abdul Wahab, Adam bin Abi Iyas, Layts bin Saad, Hisyam bin Saad dan Zaid bin Aslam. Dinyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الْحِكْمَةُ ضَالَةُ الْمُؤْمِنِ حَيْثُمَا وَجَدَ الْمُؤْمِنُ ضَالَتَهُ فَلْيَجْمَعَهَا إِلَيْهِ

Hikmah adalah perhiasan seorang Mukmin yang hilang. Dimana saja seorang Mukmin menemukan perhiasannya, hendaklah ia mengumpulkannya kepadanya.

As-Sakhawi mengatakan di dalam Al-Maqâshid, 5″Al-Hikmah dhâlah al-mu’min. Al-Qadha’i dalam Musnad-nya dari al-Laits, dari Hisyam bin Saad, dan dari Zaid bin Aslam secara marfû‘ darinya hadis ini ada tambahan: haytsu mâ wajada al-mu’min dhâlatahu falyajma’hâ ilayhi. Hadis ini mursal.”

Jadi, hadis ini yang berasal dari Nabi adalah lafal: Al-Hikmah dhâlah al-mu’min (Hikmah adalah benda berharga Mukmin yang hilang).  Adapun kalimat selanjutnya adalah tambahan dan bukan bagian dari sabda Nabi saw. 

Selebihnya riwayat-riwayat lain yang menyatakan lafal di atas atau senada tidak ada yang sampai kepada Nabi saw., dengan kata lain, bukan hadis. Di antara riwayat itu adalah: riwayat al-‘Askari dari ucapan Anas; riwayat al-Baihaqi dalam Al-Madkhal6 dari ucapan Ikrimah, Said bin Abiy Burdah dan Abdullah bin Ubaid bin Umair; riwayat ad-Dailami dari ucapan Ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas; dan riawayat ad-Dailami tanpa sanad dari ucapan Ibn Umar.7 Riwayat-riwayat tersebut hanya berhenti pada ucapan Sahabat, artinya riwayat mawqûf.  Dalam hal ini, ucapan atau pendapat Sahabat bukanlah dalil syariah.

Meski riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah, sebagian orang seperti kalangan liberal sering menjadikannya sebagai alasan. Dengan alasan riwayat itu, menurut mereka sah-sah saja mengambil pendapat orang-orang kafir, terutama ide-ide Kapitalisme dan turunannya (demokrasi, HAM, pluralisme, dsb) karena dinilai sebagai hikmah, yakni sebagai pendapat dan ide yang bijak. Kata hikmah pun mereka maknai menurut pendapat dan keinginan mereka sendiri. Dengan cara seperti itu, sebagian dari kaum Muslim akhirnya menerima pendapat mereka, karena dianggap memiliki dasar syar‘i.  Karena itu makna riwayat di atas perlu dijelaskan. 

Kata hikmah tersebut tidak boleh dimaknai kebijaksanaan; apalagi bijak dan tidaknya ditentukan menurut akal semata dan keinginan hawa nafsu.  Kata tersebut harus dimaknai dengan merujuk pada nash serta penjelasan para ulama terhadapnya.
Hikmah berasal dari hakama yang arti asalnya menghalangi. Kata ini di dalam al-Quran dinyatakan dua puluh kali dalam sembilan belas ayat yang ada di dua belas surah.  Kata hikmah juga dinyatakan dalam sejumlah hadis sahih maupun dha‘îf

Ar-Razi mengatakan, tafsir kata hikmah di dalam al-Quran berputar pada empat aspek: (1) peringatan-peringatan al-Quran; (2) pemahaman dan ilmu; (3) nubuwwah; (4) al-Quran dan segala rahasia di dalamnya.8

Fayruz Abadi menyatakan, tafsir hikmah dalam al-Quran ada enam: (1) nubuwwah dan risalah; (2) al-Quran, tafsir dan takwilnya serta kebenaran pendapat tentangnya; (3) pemahaman mendalam dan faqîh fî ad-dîn; (4) peringatan dan nasihat; (5) ayat-ayat al-Quran, perintah-perintah dan larangan-parangannya; (6) hujjah akal yang sesuai dengan hukum-hukum syariah.9

Adapun Ibn Abbas memaknai hikmah sebagai pengetahuan tentang al-Quran, nâsikh dan mansûkh-nya, muhkam dan mutasyâbih-nya, yang lebih awal dan lebih akhirnya, halal dan haramnya serta kisah-kisahnya.10

Masih banyak pendapat dari para mufassir lainnya. Semua penafsiran mereka itu bisa diperas menjadi dua: (1) nubuwwah serta pengetahuan akan al-Quran dan as-Sunnah; (2) ilmu dan keyakinan; taufik; kecemerlangan ketajaman dan kedalaman pemikiran; aktivitas yang benar; menghalangi kezaliman dan meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Ibn al-Qayim mengatakan, yang paling baik dari yang dikatakan tentang hikmah adalah pendapat Mujahid dan Malik, yakni bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang al-haq dan beramal dengannya serta benar dalam ucapan dan perbuatan.  Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan memahami al-Quran, syariah Islam dan hakikat-hakikat keimanan. 
Syaikh Rasyid Ridha juga mengatakan, hikmah adalah ilmu yang benar, yang membangkitkan keinginan untuk melaksanakan amal yang bermanfaat, yaitu amal kebaikan.11 Amal kebaikan tidak akan terpenuhi kecuali didasari keimanan, dilakukan secara benar menurut syariah dan dilakukan secara ikhlas.

Kesimpulan

Dengan demikian, menjadikan riwayat di atas sebagai dalil untuk membenarkan upaya mengambil pendapat dan ide-ide di luar—atau bertentangan dengan—Islam adalah bukan hikmah.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Yahya Abdurrahman]

Catatan kaki:
  1. Lihat: Al-Bukhari, at-Târîkh al-Kabîr,  I/311, Sayid Hasyim an-Nadwi, Dar al-Fikr, tt.
  2. Lihat: Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Taqrîb at-Tahdzîb, I/92, ed. Muhamamd ‘Awamah, Dar ar-Rasyid, Suria, cet. i. 1986.
  3. Lihat: Ibn Abi Hatim, Al-Jarh wa at-Ta’dîl, II/122, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet. i. 1952; Adz-Dzahabi, Mizân al-I’tidâl fî Naqdi ar-Rijâl, I/176, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. i. 1995; Abu Ja’far Muhammad bin Umar bin Musa al-‘Aqili, Dhu’afâ’ al-‘Aqîli, I/60, ed. Abdul Mu’thi Amin Qal’aji, Dar al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. i. 1984; Yusuf bin az-Zaki Abdurrahman Abu al-Hajaj al-Mazi, Tahdzîb al-Kamâl, II/166, ed. Dr. Basyar ‘Awad Ma’ruf, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. i. 1980.
  4. Muhammad bin Salamah bin Ja’far Abu Abdillah al-Qadha’i, Musnad Syihab al-Qadha’i, I/234, ed. Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. ii. 1986-1407.
  5. Lihat: As-Sakhawi, Al-Maqâshid al-Hasanah, I/105.
  6. Lihat: Al-Baihaqi, Al-Madkhal ilâ Sunan al-Kubrâ, I/447, ed. Dr. Muhammad Dhiya’u ar-Rahman al-A’zhami, Dar al-Khulafa lil Kitab al-Islami, Kuwait. 1404.
  7. Lihat: Al-‘Ajluni al-Jiraha, Kasyf al-Khafâ’, I/435-436, ed. Ahmad al-Qalasy, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. iv. 1405; As-Sakhawi, al-Maqâshid al-Hasanah, I/105.
  8. Lihat: ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, VII/67.
  9. Lihat: Bashâir Dzaway at-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, II/490.
  10. Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, I/322.
  11. Lihat: Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, III/77.

MENIMBUN HARTA

Kanz al-Mâl (Menimbun Harta)


Kanzu adalah mashdar dari kanaza–yaknizu–kanz[an]. Al-Kanzu secara bahasa artinya harta yang dipendam.1 Al-Kanzu juga merupakan sebutan untuk harta yang disimpan di dalam kotak dan sebutan untuk apa saja yang disimpan di dalamnya.2  Dalam pembicaraan orang Arab, al-kanzu artinya adalah apa saja yang dikumpulkan sebagian atas sebagian yang lain, baik di dalam tanah atau di atas tanah.3  Harta yang dikumpulkan itu untuk ditimbun, yaitu dikumpulkan dan disimpan.  Dengan demikian, al-kanzu adalah harta yang dikumpulkan dan disimpan, baik di dalam atau di atas tanah.4 
Pengumpulan harta, khususnya uang, oleh seseorang itu ada dua bentuk: menabung dan menimbun.  Jika seseorang mengumpulkan uang dan menyimpannya dengan tujuan untuk membiayai suatu rencana tertentu (misal: untuk membangun rumah, membeli kendaraan, menikah, naik haji dan sebagainya) maka pengumpulan uang semacam itu disebut menabung. Sebaliknya, jika seseorang mengumpulkan uang dan menyimpannya semata-mata hanya mengumpulkan dan menyimpannya tanpa ada rencana tertentu, pengumpulan seperti itu disebut menimbun. 
Penimbunan uang akan berpengaruh terhadap perekonomian secara umum.  Penimbunan uang itu akan mempengaruhi sirkulasi dan pertukaran harta di tengah masyarakat, dan akhrinya akan mempengaruhi jalannya roda perekonomian.  Hal itu karena pendapatan seseorang atau lembaga, tidak lain, bersumber dari orang atau lembaga lain; alat pertukarannya adalah uang. Jika seseorang menimbun uang, itu artinya uang itu tidak masuk ke pasar. Karena penimbunan itu, sirkulasi harta di masyarakat pun terganggu.  Pada taraf tertentu, jika jumlah uang yang ditimbun banyak, roda perekonomian pun akan berjalan sangat lambat dan akibatnya perekonomian akan merosot.
Namun, bahaya itu terjadi dari penimbunan uang bukan, dari menabung uang.  Sebab, uang yang ditabung itu pada waktunya akan dibelanjakan sehingga pertukaran harta terjadi sehingga sirkulasi kekayaan tetap terjadi di masyarakat dan roda perekonomian tetap berjalan. 
Islam membolehkan seseorang menabung uang untuk membiayai suatu keperluan yang ia rencanakan. Islam hanya mewajibkan pengeluaran zakat dari uang yang ditabung itu jika sudah mencapai batas nishâb dan berlalu haulnya. Sebaliknya, Islam mengharamkan penimbunan emas dan perak.  Pada saat diharamkan, emas dan perak menjadi alat tukar dan standar bagi tenaga, jasa atau manfaat suatu harta.  Atas dasar itu, larangan penimbunan emas dan perak itu juga terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Artinya, larangan  itu juga mencakup larangan terhadap penimbunan uang secara umum.
Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, kepada mereka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapat siksaan yang sangat pedih. (QS at-Taubah [9]: 34).
Adanya ancaman berupa siksaan yang pedih atas orang yang menimbun emas dan perak merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat tegas (jâzim). Dengan demikian, menimbun emas dan perak hukumnya haram.  Keharaman itu bersifat pasti dan umum, alasannya:
Pertama: ayat ini bersifat umum berlaku untuk semua penimbunan emas dan perak. Keharaman menimbun emas dan perak dalam ayat ini ditunjukkan dengan penunjukan yang pasti.  Penerapan larangan menimbun dalam ayat ini hanya untuk emas dan perak yang tidak dikeluarkan zakatnya, atau dengan kata lain membolehkan penimbunan emas dan perak setelah dikeluarkan zakatnya, memerlukan adanya nash lain yang memalingkan larangan dalam ayat ini atau yang me-nasakh-nya. Padahal tidak terdapat nash yang memalingkannya atau me-nasakh-nya.  Adapun riwayat yang menyatakan bahwa emas dan perak yang dikumpulkan baik yang dipendam atau tidak, jika dikeluarkan zakatnya tidak termasuk penimbunan yang dilarang, semuanya bukanlah hadis yang sahih.  Sebabnya, riwayat-riwayat itu adalah riwayat mawqûf, yakni sanad-nya berhenti pada Sahabat dan tidak sampai kepada Nabi saw.
Kedua: ath-Thabari meriwayatkan berturut-turut dari: al-Hasan, Abd ar-Razaq, Ma‘mar dari Qatadah, Syahr bin Hawsyab dari Abu Umamah bahwa ia berkata: Seorang laki-laki dari kalangan Ahlush Shuffah meninggal dunia. Di sakunya terdapat uang satu dinar. Rasulullah saw. bersabda, “Kayyah (satu stempel dari api).” Kemudian seorang Ahlush Shuffah yang lain meninggal dunia dan di sakunya terdapat dua dinar. Rasulullah saw bersabda, Kayyatân (Dua stempel dari api).”
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas‘ud.  Hal itu karena keduanya adalah orang yang hidup dari sedekah, sementara keduanya memiliki emas.  Sabda Rasul saw, kayyah dan kayyatân, itu mengisyaratkan pada larangan menimbun emas dan perak di atas. Sabda Rasul itu juga mengisyaratkan bahwa keduanya telah menimbun emas.  Hal itu karena keduanya adalah Ahlush Shuffah yang kehidupannya telah dipenuhi dari harta sedekah (zakat).  Itu menandakan bahwa keduanya menyimpan emas tersebut bukan dalam rangka menabung karena kehidupannya telah dijamin dari shadaqah.  Jumlah satu dan dua dinar jelas belum memenuhi nishâb zakat. Ini menunjukkan bahwa penimbunan emas dan perak yang terkena ancaman ayat di atas bukan hanya dalam jumlah yang sudah mencapai nishâb dan tidak dikeluarkan zakatnya. Setiap penimbunan emas dan perak berapapun terkena ancaman ayat di atas dan hukumnya haram, meski hanya satu atau dua dinar.
Ketiga: ancaman ayat di atas terkait dengan dua macam aktivitas: aktivitas menimbun emas dan perak; dan aktivitas tidak membelan-jakannya di jalan Allah. Artinya, ada orang yang tidak menimbun emas dan perak tetapi tidak membelanjakannya di jalan Allah; orang yang menimbun emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah; dan orang yang menimbun emas dan perak saja meski ia membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah. Semuanya terkena ancaman ayat di atas. Al-Qurthubi mengatakan di dalam tafsirnya, “Siapa yang tidak menimbun, sementara ia menahan pembelanjaanya di jalan Allah, ia mesti demikian juga (terkena ancaman ayat tersebut)”.5  Frasa di jalan Allah (fî sabîlillâh) di dalam al-Quran, jika dikaitkan dengan infak, maksudnya adalah jihad fî sabîlillâh, bukan yang lain.
Keempat: Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahab tentang perbedaan pendapat Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Abu Dzar tentang ayat di atas.  Muawiyah berkata, “Ayat ini bukan untuk kita, melainkan ayat ini hanya untuk Ahlul Kitab.” Abu Dzar membantah dengan mengatakan, “Sungguh, ayat ini untuk kita dan mereka.”
Muawiyah lalu melaporkan Abu Dazar kepada Khalifah Utsman. Lalu Khalifah memanggil Abu Dazar ke Madinah, dan berlangsunglah peristiwa seperti yang diceritakan dalam riwayat tersebut.  Perbedaan pendapat yang terjadi antara Muawiyah dan Abu Dzar adalah untuk siapa ayat tersebut diturunkan.  Seandainya saat itu sudah masyhur riwayat dari Nabi saw. bahwa emas dan perak yang telah dikeluarkan zakatnya tidak termasuk al-kanzu, tentu Muawiyah akan ber-hujjah dengannya dan Abu Dzar pun akan diam karenanya.  Namun, sampai ketika Abu Dzar menghadap Khalifah Utsman sekalipun, tidak disampaikan riwayat itu meski banyak dari Sahabat yang masih tinggal di Madinah.
Kelima: kanzu adz-dzahab wa al-fidhah secara bahasa maknanya mengumpulkan/menimbun emas dan perak dan menyimpannya baik di dalam tanah maupun di atas tanah. Lafal al-Quran dimaknai dengan makna bahasanya saja, kecuali terdapat makna syariah yang dinyatakan oleh nash; dalam kondisi tersebut makna syariah dikedepankan atas makna bahasa.  Lafal al-kanzu tidak terdapat makna syariahnya.  Karena itu, lafal ini dalam ayat di atas harus dimaknai menurut makna bahasanya saja.
Dengan demikian, kanzu adz-dzahab wa al-fidhah (menimbun emas dan perak) atau menimbun uang adalah mengumpulkannya dan menyimpannya baik di dalam tanah maupun di atas tanah.  Hal itu dilakukan semata untuk mengumpulkan dan menyimpannya saja, bukan untuk menabung dalam rangka membiayai suatu keperluan yang direncanakan. Semua bentuk penimbunan emas dan perak atau penimbunan uang itu hukumnya haram dan pelakunya diancam dengan siksaan yang amat pedih di akhriat kelak.  
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
  1. Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/124, ed. Mahmud Khathir, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, thaba’ah jadidah. 1415-1995 
  2. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, V/401, Dar Shadir,
  3. Beirut, cet. I. tt3  Ibn Jarir ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî, X/121, Dar al-Fikr, Beirut. 1405 H
  4. Al-Minawi, Faydh al-Qadîr, V/29, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Mesir, cet. I. 1356 H 
  5. Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî, VIII/128, ed. Muhammad Abdul Halim al-Barduni, Dar asy-Sya’b, Kaero, cet. II. 1372

KEHARAMAN MENERAPKAN HUKUM NON-SYARIAH

Keharaman Menerapkan Hukum Non-Syariah

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, jangan mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan  kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka karena sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS al-Maidah [4]: 49).
Sabab Nuzûl
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam Ad-Dalâ’il meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya, dan Syasy bin Qais berkata, “Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkan dia dari agamanya.”
Sesampai di tempat Nabi saw. mereka berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta Yahudi, orang-orang terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, niscaya kami akan beriman kepadamu dan membenarkanmu.”
Nabi saw. menolak permintaan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49-50.1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa an[i]hkum baynahum bimâ anzala Allâh (Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan penegasan (ta’kîd) terhadap perintah dalam ayat sebelumnya agar berhukum Nabi saw. dengan apa yang diturunkan Allah Swt. dan larangan menyalahinya.2 Pengulangan itu untuk menjadikan perintah tersebut menempati  ghayât at-ta’kîd (puncak penegasan).3
Sebagian mufassir lainnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut mereka, ayat ini tidak mengulangi ayat sebelumnya, namun turun pada topik yang berbeda. Jika ayat sebelumnya turun berkenaan dengan hukuman rajam atas pelaku zina muhshan, ayat ini turun berkenaan dengan darah dan diyat.4
Pihak yang diperintah ayat ini adalah Rasulullah saw. Meskipun demikian, perintah tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya. Sebab, khithâb (seruan) kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya, selama tidak ada qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah ini hanya khusus untuk Beliau.
Dalam hal ini, pihak yang menjadi obyek penerapan hukum, yang diungkapkan dengan menggunakan dhamir hum (kata ganti mereka), adalah Yahudi. Demikian kesimpulan para mufassir seperti al-Thabari, Abu Hayyan al-Andalusi, al-Qinuji, al-Wahidi al-Naysaburi, dan lain-lain.5 Kesimpulan tersebut amat tepat jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya.
Kata bimâ anzala Allâh (menurut apa yang telah Allah turunkan) tidak bisa dilepaskan dengan ayat sebelumnya, bahwa yang Allah turunkan kepada Rasulullah saw. adalah al-Kitab. Setelah Allah Swt. memberitakan bahwa kepada Nabi Musa as. diturunkan at-Taurat dan kepada Nabi Isa as. diturunkan Injil, maka kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan al-Kitab atau al-Quran. Sejak saat itu, hukum yang wajib diterapkan Rasulullah saw. dan umatnya dalam memutuskan perkara adalah yang bersumber dari al-Quran.
Dengan demikian, ayat ini mewajibkan kaum Muslim agar memutuskan perkara dengan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Pihak yang wajib menjadi obyek penerapan hukum syariah tersebut tidak terbatas kaum Muslim saja, namun juga kaum kafir. Menurut sebagian mufassir, ketentuan ini me-nasakh (membatalkan hukum) QS al-Maidah ayat 42 yang memberikan pilihan kepada Nabi saw. untuk memutuskan perkara kaum kafir atau tidak.6 Dalam ayat tersebut Allah Swt. berfirman: Fahkum baynahum aw a‘ridh ‘anhum (Putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka).
Mufassir dan fukaha lainnya tidak melihat adanya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat tersebut. Sebab, untuk memasukkan sebuah ayat telah di-naskh oleh ayat lain diperlukan qarînah (indikasi) yang jelas. Dalam kedua ayat tersebut tidak ada qarînah yang jelas yang menunjukkan tentang itu. Memang, secara lahiriah terlihat adanya pertentangan di antara keduanya. Akan tetapi, sekadar tampak bertentangan secara lahiriah tidak otomatis menunjukkan adanya nâsikh-mansûkh.  Masih ada kemungkinan lain yang membuat kedua dalil tersebut justru sama-sama dapat digunakan. Kemungkinan ini didapat dengan cara mendudukkan kedua dalil itu pada kedudukan dan obyek masing-masing sehingga menjadi tidak bertentangan. Cara semacam ini dikenal dengan al-jam‘u bayna al-dalîlayn (mengkompromikan dua dalil).
Inilah cara yang ditempuh oleh Imam asy-Syafii. Menurut asy-Syafii, kedua ayat itu tidak bertentangan. Jika ayat pertama berkenaan dengan kafir mu‘âhid (kaum kafir yang terikat perjanjian dengan Negara Islam), ayat kedua tentang kafir dzimmi (kaum kafir yang menjadi warga Daulah Khilafah).7Pendapat senada disampaikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Menurut an-Nabhani, ayat pertama berkaitan dengan kaum kafir yang hidup di luar wilayah Negara Islam, yakni jika ada di antara sesama kaum kafir tersebut terlibat perselisihan dan meminta Negara Islam untuk memutuskan perkara di antara mereka. Dalam hal ini, kaum Muslim berhak memilih antara memutuskan hukum atau berpaling darinya. Kesimpulan ini didasarkan pada sabab nuzûl ayat ini yang berkait dengan kaum Yahudi di Madinah yang datang kepada Nabi saw. meminta keputusan hukum. Mereka adalah sebuah kabilah,  yang dapat dianggap sebagai negara lain.8
Adapun ayat kedua berkaitan dengan kaum kafir yang tunduk kepada Pemerintahan Islam dengan menjadi kafir dzimmi, musta’min (meminta perlindungan), atau orang kafir secara sukarela masuk ke wilayah Negara Islam untuk menjadi mu‘âhid dan musta’min.9 Tampaknya, pendapat inilah yang râjih (kuat).
Patut dicatat, meskipun para mufassir dan fukaha berbeda pendapat tentang ada-tidaknya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat itu, mereka tidak berbeda pendapat akan wajibnya penerapan hukum syariah terhadap non-Muslim.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa lâ tattabi‘ ahwâ’ahum (dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka). Kata al-hawâ, sekalipun kadang-kadang digunakan untuk sesuatu yang terikat dengan kebaikan, pada galibnya digunakan untuk sesuatu yang di dalamnya tidak ada kebaikan.10 Jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini, hawa nafsu yang dimaksudkan memang mengandung makna negatif. Karena itu, frasa ini dapat dipahami sebagai penegasan terhadap perintah sebelumnya. Ath-Thabari menyatakan, “Ini merupakan larangan Allah kepada Nabi Muhammad saw dari mengikuti hawa nafsu kaum Yahudi yang meminta keputusan hukum kepada beliau dalam kasus orang-orang terbunuh dan fasik mereka, sekaligus perintah tetap konsisten dengan Kitab yang diturunkan Allah kepada beliau.11
Selanjutnya Allah berfirman: wahdzarhum an yaftinûka ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu).
Menurut Ibnu Abbas12 dan Abu Ubaidah,13yang dimaksud dengan yaftinûka (memfitnah kamu) adalah mengembalikanmu pada hawa nafsu mereka. Sebab, setiap orang yang terpalingkan dari kebenaran pada kebatilan berarti telah terfitnah.
Frasa ini memberikan peringatan terhadap kaum Muslim untuk berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang berkeinginan memalingkan mereka dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada mereka. Dalam ayat ini disebutkan: ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dari sebagian yang diturunkan Allah kepadamu). Jika berpaling dari sebagian saja tidak boleh, apalagi semua. Oleh karenanya, menurut al-Jashshah dan az-Zuhaili, kata al-ba‘dh (sebagian) bermakna al-kull (keseluruhan). Dengan demikian, frasa tersebut bermakna: ‘an kulli mâ anzalaLlâh ilayka (dari seluruh wahyu yang telah Allah turunkan).14
Allah Swt. mengingatkan: Fa in tawallaw fa‘lam annamâ yurîdullâh an yushîbahum bi ba‘dhi dzunûbihim (jika mereka berpaling [dari hukum yang telah diturunkan Allah] maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak akan menimpakan musibah atas mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka).
Makna kata tawallaw adalah sikap berpaling dari hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw. dan justru menginginkan hukum lainnya.15 Menurut al-Alusi dan al-Wahidi an-Naysaburi maknanya lebih luas, yaitu berpaling dari keimanan dan berhukum dengan al-Quran.16
Dalam frasa ini ditegaskan, mengabaikan hukum Nabi saw. dan berpaling darinya menjadi sebab ditimpakannya musibah di dunia.17 Disegerakannya azab di dunia itu karena pembangkangan mereka yang melakukan sebagian dosa.18  Menurut Sulaiman al-Ajili, jika dalam ayat ini disebutkan bi ba‘dhi dzunûbihim, karena memang hukuman yang diberikan kepada mereka di dunia hanya pada sebagian dosa, seperti pembunuhan, penawanan, atau pengusiran. Adapun hukuman atas keseluruhan dosa ditimpakan di akhirat kelak.19
Menurut Ibnu Mas‘ud, makna bi ba‘dhi dzunûbihim (disebabkan sebahagian dosa mereka) adalah dosa berpalingnya mereka dari hukum Allah Swt. Hal itu untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai banyak dosa, namun dari semua dosa itu ada yang amat besar. Secara tersirat, ungkapan ini menunjukkan besarnya dosa berpaling dari hukum-Nya.20
Allah Swt. menutup ayat dengan firman-Nya: Wa inna katsîran min al-nâs lafâsiqûn (dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik). Frasa ini menunjukkan, tindakan berpaling dari hukum Allah Swt. dapat dikategorikan sebagai fisq,21orangnya disebut fâsiq. Kata fasiq dapat dimaknai sebagai orang yang keluar dari ketaatan.22
Dalam frasa ini diberitakan, sebagian besar manusia tergolong sebagai kaum fasik. Kenyataan ini banyak diungkap dalam al-Quran (Lihat, misalnya: QS Yusuf [10]: 103; QS al-An‘am [6]: 116).
Beberapa Pelajaran
Ayat ini berbicara tentang penerapan syariah di tengah-tengah kehidupan. Ada beberapa hal penting yang bisa dicatat:
Pertama: wajibnya penerapan syariah. Syariah itu wajib diterapkan tidak hanya kepada kaum Muslim, namun juga kepada kaum kafir. Asal mereka menjadi warga Daulah Khilafah, syariah wajib diterapkan atas mereka. Memang, ada beberapa perkara yang dibedakan di antara mereka, namun perbedaan hukum itu memerlukan dalil khusus yang mengecualikannya.
Syariah yang wajib diterapkan juga harus total. Peringatan kepada Nabi saw agar berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang memalingkan Beliau dari  sebagian hukum yang diturunkan-Nya menunjukkan makna demikian.
Kedua: akibat berpaling dari syariah. Ayat ini memberikan ancaman keras kepada setiap orang yang menolak syariah-Nya. Ancaman itu berupa adanya musibah yang ditimpakan kepada pelakunya. Musibah itu tidak hanya akan diterima di akhirat kelak, namun juga di dunia. Hukuman di dunia ini seharusnya membukakan mata mereka, bahwa menolak syariah hanya akan menyebabkan kesengsaraan manusia. Semestinya hal itu membukakan mata mereka yang menolak syariah.
Ketiga: kebenaran tidak selalu sejalan dengan suara terbanyak. Bahkan ayat ini menyebut sebagian besar manusia terkategori fasik. Oleh sebab itu, wajar hukum yang wajib diterapkan adalah yang berasal dari-Nya, yang pasti dijamin kebenarannya, bukan hukum buatan manusia.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Catatan kaki:
  1. As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/513-512 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990); al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/614 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, II/51-52 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
  2. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, II/87. (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997).
  3. Al-Biqai, Nazhm al-Durar, II/479. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
  4. Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003); al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/621 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Qinuji, Fath al-Bayân  fî Maqâshid al-Qur’ân, III/446 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988).
  5. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, IV/613; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, III/512 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, III/446 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989); al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, II/195 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
  6. Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, II/61 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, 1/236 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); Nidzamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601, 1992 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/609; Abu Hayyan al-Andalusi, Abu Hayyan al-Andalusi Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, III/515; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth, II/195; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/514.
  7. Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/520 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 216-217; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr al-Wâdhîh (tt: Dar al-Tasir, 1992).
  8. Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/232 (
    Beirut: Dar al-Ummah, 2003).
  9. An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/232.
  10. Ibu ‘Athiyyah al-Andalusi, Al-Muharrar al-Wajîz, II/202 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
  11. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, IV/612 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992).
  12. Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, XII/13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990); Nidzamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601.
  13. Al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth, II/196.
  14. Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/621; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/218; Pendapat ini juga disitir Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, II/137 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
  15. Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf,  1/627 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, IV/159 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
  16. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, II/35 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth, 196.
  17. Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/221; al-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, 1/442 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
  18. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, II/35.
  19. Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250.
  20. Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250; Ungkapan senada juga disampaikan al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf,  1/627; al-Qinuji, Fath al-Bayân , III/446.
  21. Nizhamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601.
  22. As-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, 1/442.

Selasa, 18 November 2014

MEMAKNAI NI'MAT DAN MEMILIH PETUNJUK

Tafsir QS Al Balad : Memaknai Ni’mat dan Memilih Petunjuk

Tafsir QS al-Balad [90]: 7-10
أَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ * أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ * وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ * وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ *
Apakah Dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya? Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (QS al-QS al-Balad [90]: 7-10).

Dalam ayat-ayat sebelumnya dijelaskan mengenai kesalahan persangkaan sebagian manusia. Mereka menyangka tidak ada yang berkuasa atas dirinya. Padahal manusia diciptakan dalam keadaan sempit dan berkeluh-kesah. Realitas tersebut jelas menunjukkan kesalahan nyata persangkaan mereka. Ayat-ayat berikutnya masih membeberkan persangkaan yang salah beserta bantahan terhadapnya.

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Ayahsabu an lam yarahu ahad (Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihat dirinya?). Pengertian yahsabu dalam ayat ini, sebagaiamana ayat sebelumnya, bermakna yazhunnu (menduga, menyangka).1 Dijelaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, pelakunya adalah orang yang mengatakan dalam ayat sebelumnya: Ahlaktu mâl[an] lubad[an] (Aku telah menghabiskan harta yang banyak). Dengan demikian ayat ini memberitakan: Apakah orang yang mengatakan perkataan tersebut menyangka tidak ada seorang pun yang melihat dia ketika menginfakkan hartanya?2 Qatadah menafsirkan ayat ini: Apakah mereka menyangka Allah tidak melihat dia serta tidak menanyakan tentang hartanya dari mana berasal dan untuk apa dibelanjakan.3
Menurut Ibnu Juzyi al-Kalbi, ayat ini bisa mendustakan perkataan orang yang disebutkan dalam ayat sebelumnya: Ahlaktu mâl[an] lubad[an] (Aku telah menghabiskan harta yang banyak) atau mengisyaratkan bahwa orang tersebut menginfakkan hartanya dengan riya’.4
Sebagaimana ayat sebelumnya, bentuk istifhâm dalam ayat ini juga bermakna inkâri li al-tawbîkh (pengingkaran yang berguna sebagai teguran).5 Artinya, ayat ini menyalahkan dan memberikan teguran kepada orang yang memiliki persangkaan bahwa tidak ada satu pun yang melihat mereka. Pasalnya, Allah Maha Melihat segala perbuatan hamba-Nya, termasuk terhadap mereka (Lihat: QS Ali Imran [3]: 15).
Kemudian dalam ayat selanjutnya dijelaskan tentang berbagai kenikmatan yang dianugerahkan kepada mereka dengan firman-Nya: Alam naj’al lahu ‘aynayni (Bukankah Kami telah memberi dia dua buah mata). Kata al-‘ayn dalam konteks ayat inimenunjuk pada organ tubuh tertentu yang berfungsi sebagai indera penglihatan. Dengan organ tersebutlah manusia bisa melihat dan menyaksikan aneka realitas dan fakta dalam alam semesta.
Ditegaskan ayat ini, bahwa Allahlah yang telah menciptakan dua mata untuk manusia. Dijelaskan Wahbah az-Zuhaili, kalimat istifhâm dalam ayat ini bermakna istifhâm taqrîri (pertanyaan untuk menetapkan), berguna untuk mengingatkan berbagai kenikmatan. Penetapan ini jelas menepis persangkaan salah mereka. Mereka bukan pencipta dua mata tubuh mereka. Mata itu juga tidak menempel dengan sendirinya. Organ sangat penting itu diciptakan Allah SWT.
Tak hanya mata, namun juga: wa lisân[an] wa syafatayn (lidah dan dua buah bibir). Kata al-lisân menunjuk pada satu organ tubuh tertentu yang memiliki khasiat berbicara. Dengan lisan itu manusia bisa mengungkapkan apa yang dalam pikiran dan hati. Lidah juga berfungsi sebagai indera pengecap; bisa merasakan lezatnya aneka makanan dan minuman.6
Adapun kata as-safatayn berasal dari kata asy-syafah (bibir). Kedua bibir tersebut berfungsi untuk membantu manusia dalam berbicara, makan, minum dan meniup;7juga untuk memperindah wajah dan mulutnya.8
Semua itu menunjukkan besarnya kekuasaan Allah SWT atas manusia. Jika Allah SWT berkuasa membuat semua organ tubuh manusia tersebut, maka Dia juga berkuasa atas manusia dan mengetahui semua tindak-tanduk manusia. Ayat tersebut sekaligus mengingatkan manusia tentang besarnya kenikmatan yang telah mereka terima.
Kemudian disebutkan dalam ayat berikutnya: Wa hadaynânhu an-najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepada dia dua jalan). Pada asalnya, kata an-najd berarti al-makân al-murtafi’ (tempat yang tinggi). Bentuk jamaknya an-nujûd. Dinamakan an-najd karena jalan tersebut naik atau mendaki setelah ada penurunan. Oleh karena itu, makna an-najdâyn adalah ath-tharîqâni al-‘âliyâni (jalan yang tinggi, mendaki).9 Dipaparkan Fakhruddin ar-Razi, seolah-olah tatkala berbagai petunjuk itu telah terang, maka petunjuk tersebut dijadikan seperti jalan yang mendaki tinggi. Sebab, petunjuk tersebut amat jelas bagi akal sebagaimana layaknya jalan yang mendaki tinggi bagi penglihatan. Ini merupakan penafsiran para mufassir mengenai an-najdyn, yakni dua jalan, sabîla al-khayr wa a-syarr (kebaikan dan keburukan).10
An-Najdayn dalam ayat ini yang berarti ath-tharîqayn (dua jalan) juga dikemukakan banyak mufassir seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, an-Nasafi, al-Baghawi, Ibnu Juzyi, dan lain-lain. Maknanya adalah tharîq al-khayr wa asy-syarr (kebaikan dan keburukan).11 Demikian juga menurut Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Ali, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abu Wail, Abu Shalih, Muhammad bin Kaab dan ‘Atha’ al-Khurasani.12
Dengan demikian pengertian ayat ini, sebagaimana dinyatakan az-Zujjaj, adalah: Bukankah Kami telah menerangkan kepada dia jalan kebaikan dan jalan keburukan, sebagaimana jelasnya dua jalan yang tinggi.13
Menurut al-Qurthubi ayat ini bermakna: Kami menjelaskan dua jalan tersebut kepada dia dengan mengutus para rasul.14

Memahami Nikmat dan Petunjuk Penggunaannya
Di antara perkara penting yang dikandung ayat-ayat ini adalah bantahan telak terhadap persangkaan sebagian manusia, yakni bantahan terhadap persangkaan bahwa tidak ada satu pun yang melihat perbuatan mereka.
Persangkaan tersebut jelas salah besar. Mungkin ketika melakukan suatu perbuatan, manusia bisa menyembunyikannya dari penglihatan orang lain. Akan tetapi, mustahil manusia bisa menghindar dari penglihatan Allah SWT. Di mana pun manusia berada, Allah SWT senantiasa mengawasi perbuatan mereka (Lihat: QS al-Mujadilah [58]: 7).
Ayat-ayat ini juga telah memberikan bantahan atas persangkaan salah mereka dengan argumentasi yang telak dan tak terbantahkan. Bukankah mata yang melekat pada tubuh mereka dan berguna sebagai indera penglihat diciptakan Allah SWT? Jika Allah SWT berkuasa menciptakan mata buat mereka sehingga mereka bisa melihat, bagaimana mungkin Dia tidak berkuasa melihat semua tingkah-polah mereka?
Dengan mata itu pula, seharusnya manusia bisa menyaksikan dengan jelas berbagai tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT di alam semesta. Alam semesta beserta isinya yang serba teratur, namun lemah dan terbatas jelas membutuhkan al-Khaliq yang menciptakan dan mengaturnya. Semua itu tak mungkin ada dan berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan mengaturnya. Maka dari itu, penglihatan manusia tersebut bisa mengantarkan manusia untuk beriman kepada-Nya. Itulah yang semestinya dilakukan dengan mata mereka.
Ayat-ayat ini juga mengingatkan keberadaan organ tubuh penting lainnya, yakni lidah dan dua bibir. Keduanya juga diciptakan Allah SWT untuk manusia. Dengan kedua organ tersebut manusia bisa mengungkapkan kesan dan kesimpulan dari apa yang dilihat oleh matanya, juga mengungkapkan semua hal yang terpikir dalam akalnya dan terlintas dalam benaknya. Ini merupakan kelebihan yang menjadi ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Meskipun hewan di sekitarnya juga memiliki lidah dan dua bibir, namun organ tersebut tidak bisa digunakan untuk berbicara. Kedua organ tersebut juga berguna sebagai indera pengecap yang dapat merasakan lezatnya aneka makanan dan menjadi pelengkap keindahan tubuh manusia. Sungguh, ini merupakan kenikmatan terkira buat manusia.
Realitas itu seharusnya memudahkan manusia untuk beriman dan bersyukur kepada Allah SWT. Keimanan itu melahirkan ketundukan terhadap semua perintah dan larangan-Nya. Adapun bersyukur atas anugerah kenikmatan-Nya diwujudkan dengan mempergunakannya sesuai dengan petunjuk-Nya. Untuk itu, manusia tidak perlu repot dan bingung. Sebab, Allah SWT telah memberikan petunjuk yang terang, jelas dan gamblang. Dalam ayat ini ditegaskan: Wa hadaynâhu al-najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan). Pengertian an-najd adalah jalan naik dan mendaki setelah ada penurunan. Dengan demikian, dua jalan tersebut amat terang dan jelas sehingga memudahkan manusia dalam dalam memilih yang dia kehendaki.
Sebagaimana telah dipaparkan, dua jalan yang dimaksud adalah jalan kebaikan dan jalan keburukan; jalan yang mengantarkan pada kebahagiaan dan kesengsaraan; jalan al-fujûr dan al-taqwâ, seperti disebutkan dalam QS al-Syams [91]: 8; juga sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya Kami telah menunjuki dia jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS al-Insan [76]: 3).

Tatkala manusia dikaruniai mata untuk melihat, disertakan pula petunjuk penggunaannya. Apabila digunakan di jalan takwa, seperti belajar, membaca al-Quran, menuntunnya untuk melakukan jihad dan amal shalih lainnya, maka mata tersebut dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya. Sebaliknya, apabila mata itu digunakan di jalan kemaksiatan, seperti melihat perkara yang diharamkan, maka itu bisa mendatangkan dosa bagi pemiliknya. Abu Raihanah ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
حُرِّمَتِ النَّارُ عَلَى عَيْنٍ دَمَعَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وحُرِّمَتِ النَّارُ عَلَى عَيْنٍ سَهِرَتْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ،. قَالَ: وَنَسِيْتُ الثَّالِثَةَ. قَالَ أَبُو شُرَيْحٍ سَمِعْتُ بَعْدُ أَنَّهُ قَالَ: حُرِّمَتِ النَّارُ عَلَى عَيْنٍ غَضَّتْ عَنْ مَحَارِمِ اللَّهِ ، أَوْ عَيْنٍ فُقِئَتْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Neraka diharamkan atas mata yang mengeluarkan air mata karena takut kepada Allah. Neraka diharamkan atas mata yang tidak tidur di jalan Allah.” Abu Raihanah berkata, “Aku lupa yang ketiganya.” Abu Syuraih berkata, “Saya mendengar setelah itu beliau bersabda, ‘Neraka diharamkan atas mata yang berpaling dari segala yang diharamkan Allah atau mata yang tercukil di jalan Allah.”’ (HR Ahmad al-Hakim).

Demikian pula dengan lidah dan dua bibir. Kedua organ tubuh tersebut juga dilengkapi dengan petunjuk penggunaannya. Apabila digunakan di jalan ketakwaan seperti berzikir, membaca al-Quran, berdakwah, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, amar makruf nahi munkar dan perkataan baik lainnya, maka itu dapat mendatangkan pahala bagi pemiliknya. Demikian pula dengan perkataan yang benar (kalimah haqq) yang disampaikan kepada penguasa zalim. Nabi saw menyebut itu sebagai afdhal al-jihâd (jihad yang paling utama) dan pelakunya yang terbunuh sebagai sayyid al-syuhadâ‘ (penghulu para syahid).
Namun sebaliknya, organ tersebut juga dapat menggelincirkan pelakunya ke dalam neraka apabila digunakan di jalan kemaksiatan, seperti berdoa kepada selain Allah, berdusta, bersaksi palsu, ghibah, memecah-belah umat Islam, dan merusak kehormatan seorang Muslim; juga ketika digunakan untuk mempropagandakan ide-ide kufur seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi, pluralisme, dan lain-lain. Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
Sesungguhnya ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Sesungguhnya ada seorang hamba yang benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahanam (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan makna “dia tidak menganggapnya penting”, yaitu dia tidak memperhatikan dengan pikirannya, tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu.
15
Oleh karena itu, manusia harus berhati-hati dalam menggunakan lidah. Rasulullah saw. pernah ditanya oleh Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, “Wahai Rasulullah, apakah yang paling Anda khawatirkan atasku?”. Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda, “Ini.” (HR al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Tak hanya menurunkan petunjuk bagi mata, lidah dan bibir manusia. Allah SWT telah memberikan petunjuk lengkap bagi manusia dalam menempuh kehidupannya. Dengan bekal petunjuk yang jelas, semestinya manusia tidak akan salah dalam memilih jalan hidupnya.
Semoga kita diberi kemudahan untuk memilih dan menempuh jalan ketakwaan, jalan yang mengantarkan pada surga dan ridha-Nya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Mishriyyah, 1964), 64; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihyâ‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 167.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassah ar-Risalah, 2000), 436.
3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 167; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 255.
4 Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 484.
5 Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 243.
6 Lihat: QS al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalam ath-Thayyib, 1998), 644.
7 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 775.
8 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 393.
9 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 540.
10 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 167.
11 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 65; Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 775; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 393; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol.3, 644; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5, 256; Ibnu Juzyi, at-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 484.
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 167; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 393.
13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 540.
14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 65.
15 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fat-h al-Barri,