Kamis, 13 November 2014

SUAP MENYUAP DAN HUKUM SYARA TERHADAPNYA

Suap Menyuap dan Hukum Syara terhadapnya

Kasus dugaan suap yang menjerat anggota DPR Bulyan Royan diduga melibatkan sejumlah anggota DPR yang lain dan pejabat Departemen Perhubungan (Dephub) dengan jumlah uang suap yang lebih besar. Menurut Penasihat hukum Dirut PT Bina Mina Karya Perkasa, pengusaha yang diduga memberikan uang kepada kepada anggota DPR Bulyan Royan yang ditangkap oleh KPK karena diduga menerima 66 ribu dolar AS dan 5.500 Euro. Pemberian itu diduga terkait dengan pengadaan 20 unit kapal patroli oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Dephub. Menurutnya lagi, uang itu hanyalah sebagian dari nilai uang “terima kasih” atau “fee” dari pemenang tender. Kliennya hanya salah satu dari lima pemenang tender untuk pengadaan 20 unit kapal.

Dalam kerja sama tender, masing-masing pemenang tender diwajibkan memberikan “fee” (suap) sebesar tujuh persen atau delapan persen dari nilai proyek kepada DPR dan pejabat Dephub. Nilai tujuh persen itu adalah Rp1,68 miliar. Dengan kata lain, DPR dan pejabat Dephub masing-masing akan menerima Rp1,68 miliar dari setiap pengusaha pemenang tender. “Itu suatu kebiasaan di sana, harus ada fee,”…
Dan ternyata tidak hanya suap-menyuap kepada seorang pejabat saja terjadi di negeri ini. Suap juga dilakukan sebagai korupsi berjamaah kepada para anggota dewan yang terhormat itu. Ini terlihat amat gamblang sebagaimana terungkap sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 yang menerima uang pelicin dari Bank Indonesia, diam-diam, mengembalikan uang itu. Dan kini terkuak aliran dana Bank Indonesia ke 50 anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Inilah daftar para penerima uang:
  1. Fraksi Golkar: 12 orang total Rp 4 miliar
  2. Fraksi PDIP: 16 orang total Rp 3,85 miliar
  3. Fraksi PPP: 5 orang total Rp 1,5 miliar
  4. Fraksi PKB: 5 orang total Rp 1,4 miliar
  5. Fraksi Reformasi: 5 orang total Rp 1,25 miliar
  6. Fraksi TNI/Polri: 4 orang total Rp 1 miliar
  7. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia: 1 orang total Rp 250 juta
  8. Fraksi Partai Bulan Bintang:1 orang total Rp 300 juta
  9. Fraksi Partai Daulat Ummat: 1 orang total Rp 250 juta (Koran Tempo, 8 juli 2008).
Demikianlah dalam dunia birokrasi di sistem kapitalis, ornamen suap adalah suatu keniscayaan dan merupakan mekanisme yang pasti terjadi. Oleh karena itu bagi kita yang menginginkan kehidupan yang lebih sehat, lebih bersih dan penuh dengan tenteram dalam naungan Islam, tradisi kriminal yang sudah mendarah daging ini harus musnah dalam sistem pemerintahan dan birokrasi.
Lantas apa hukum Islam terhadap suap-menyuap? Tulisan berikut ini insyaallah akan memberikan gambaran yang jelas tentang suap menyuap dan hukumnya dalam Islam.
Pengertian Risywah (Suap)

Risywah (suap) secara terminologis berarti harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik utntuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kemudharatan) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Meskipun terdapat kemiripan, ada perbedaan mendasar antara suap dengan upah atau gaji (ujrah). Upah atau gaji diperoleh sebagai imalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) tidak harus dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kemobil, dia tidak berkewajiban untuk mengantarkan orang lain ke tempat tertentu. Ketika dia diminta oleh orang lain untuk mengantarkan ke suatu tempat, maka imbalan yang diterima bisa disebut sebagai upah. Demikian juga seorang guru. Dia tidak berkewajiban mengajarkan ilmunya kepada orang tertentu, di tempat terntu, dan waktu tertentu. Namun ketika ada orang atau institusi meminta dirinya untuk mengajarkan ilmunya di tempat dan waktu terntu, maka imbalan yang dia dapatkan bisa disebut sebagai upah atau ujrah.
Berbeda halnya dengan suap. Suap adalah imbalan atas terlaksananya pekerjaan tertentu (yang semestinya) wajib dilaksanakan tanpa imbalan apa pun dari orang yang memenuhi kepentingannya. Sebagai contoh, seorang pegawai di sebuah instansi pemerintahan yang bertugas melayani pembuatan KTP atau SIM. Pekerjaan itu telah menjadi kewajiban yang dilakukan. Dia sudah mendapatkan upah dari pemerintah dari pekerjaannya itu. Namun dia masih meminta imbalan kepada orang yang ingin mendapatkan KTP atau SIM. Maka itu dapat disebut sebagai risywah atau suap.
Bertolak dari pegertian dan contoh tersebut, maka fee yang diterima oleh pejabat Departemen Perhubungan dari pengusaha yang memenangkan tender dapat dapat dikatagorikan sebagai suap. Pasalnya, menyelenggarakan tender berbagai proyek merupakan tugas yang harus dikerjakan. Para pejabat itu pun sudah mendapatkan gaji atas pekerjaan yang dilakukan. Apa pun istilah dan nama yang diberikan, uang yang diterima para pejabat dari pengusaha itu adalah risywah atau suap. Demikian pula uang yang diterima oleh para anggota DPR.

Hukum Suap

Tidak ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya risywah. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Quran yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap.

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau beRpalinglah dari mereka (QS al-Maidah [5]: 42).
Kalimat ` akkâlûna li al-suhti ` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 188).
Selain itu ada banyak sekali dalil dari al-Sunnah yang mengharamkan suap-menyuap dengan ungkapan yang sharîh. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan) (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amru, Rasulullah saw juga bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Laknat Allah bagi penyuap dan penerima suap (HR Khamsah kecuali al-Nasa`i dan di shahihkan oleh al-Tirmidzi).
Dari Tsauban ra:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَ
Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya (HR Ahmad).
Yang Termasuk Diharamkan Terkait dengan Suap
Kalau dicermati, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat suap-menyuap itu berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta suap-menyuap, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu: penerima suap, pemberi suap, dan mediator suap-menyuap.
Sebab tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari suap-menyuap, kalau tidak ada yang menyuapnya. Maka orang yang melakukan suap-menyuap pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. Sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta suap-menyuap. Dan biasanya dalam kasus suap-menyuap seperti itu, ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
Sebab bisa jadi pihak yang menyuap tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator. Atau sebaliknya, pihak yang menerima suap tidak akan mau bertemu secara langsung dengan si penyuap, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator, maka hal itu sering dianggap wajar bila mendapatkan komisi uang tertentu dari hasil jasanya itu. Maka ketiga pihak itu oleh Rasulullah saw dilaknat sebab ketiganya sepakat dalam kemungkaran. Dan tanpa peran aktif dari semua pihak, suap-menyuap itu tidak akan berjalan dengan lancar. Sebab dalam dunia suap-menyuap, biasanya memang sudah ada mafianya tersendiri yang mengatur segala sesuatunya agar lepas dari jaring-jaring hukum serta mengaburkan jejak.
Tidak Ada Perkecualian
Meskipun ada ulama yang memberikan pengecualian dengan berpendapat, kalau kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang tertentu maka yang meminta suap berdosa karena menghalangi seseorang mendapatkan haknya, sedangkan yang membayar untuk mendapatkan haknya tidak berdosa, karena dia melakukan untuk mendapatkan apa yang jelas-jelas menjadi haknya secara khusus. Mereka mensifati membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa dengan beralasan demikian mengutip beberapa referensi.
Pendapat tersebut tidak dapat diterima. Alasannya, lafadz pelarangan suap (risywah) serta laknat Allah dan Rasulullah terhadap al-râsyi, wa al-murtasyi, wa al- raisy adalah dalam bentuk umum. Dan tidak ada dalil yang mengkhusukannya. Karena bersifat umum dan tidak ada yang mengkhusukannya, maka tetap dalam keumumannya, sebagaimana ditetapkan dalam kaidah:

العَامُّ يِبْقَى عَلَى عُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Lafazh umum tetap dalam keumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya
Dengan demikian, suap-menyuap tetap haram dalam keadaan apapun juga.
Hukum memanfaatkan uang hasil suap
Harta perolehan dari aktivitas suap dan yang semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun penggunaan dan keperluannya, karena harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan!
Lalu, jika harta tersebut digunakan untuk amal kebaikan, apakah statusnya tidak berubah? Jawabnya, tetap haram. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ جَمَعَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang mengumpukan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya (HR Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan al-Hakim).
Hadits Rasul ini dengan tegas menunjukkan bahwa apa pun motivasinya, walau untuk kebaikan, harta yang diperoleh melalui jalan yang haram tetap kedudukannya (maupun penggunaannya) haram juga!
Perbuatan baik (‘amal hasan) adalah amal perbuatan yang dilakukan hanya dengan membalut keikhlasan kepada Allah dengan kesesuaian amal perbuatan tersebut dengan ketentuan hukum syariat. Amal baik tetapi tidak dilakukan dengan keikhlasan tidak akan diterima. Sebaliknya, amal baik yang disertai dengan keikhlasan namun tidak dijalankan sesuai dengan syariat Islam juga tidak diterima.
Berbagai dalih yang disampaikan ke tengah-tengah masyarakat untuk membolehkan penggunaan ‘uang haram’ hanyalah rekaan dan buatan manusia, yang bersandar pada adanya maslahat/manfaat sekilas yang bisa dijangkau oleh akal. Tidak jarang, hawa nafsu manusia turut terlibat di dalamnya. Padahal, telah jelas pula bagi kita bahwa akal manusia tidak memiliki otoritas untuk menetapkan apakah suatu benda atau perbuatan tertentu itu halal atau haram. Mereka mengira bahwa apa yang telah dilakukannya itu adalah kebaikan di sisi Allah, meski berasal dari harta yang telah diharamkan. Mahabenar Allah Swt dalam firman-Nya:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً(103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya (QS al-Kahfi [18]: 103-104).
WaLlâh a’lam bi al- shawâb
(Gus Jun & Labib – Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar