WANITA PENGHUNI NERAKA
إِنَّ
الْفُسَّاقَ هُمْ أَهْلُ النَّارِ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ
، وَمَنِ
الْفُسَّاقُ ؟ قَالَ:
اَلنِّسَاءُ قَالَ رَجُلٌ:
يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ
، أَوَلَسْنَ
أُمَّهَاتِنَا وَأَخَوَاتِنَا
وَأَزْوَاجَنَا ؟
قَالَ: بَلَى ، وَلَكِنَّهُمْ
اِذَا أُعْطِيْنَ لَمْ يَشْكُرْنَ وَاِذَا اُبْتُلِيْنَ لَمْ يَصْبِرْنَ .
“Sesungguhnya orang-orang fasik adalah penduduk
neraka.” Dikatakan, “Ya Rasulullah, siapakah mereka?” Rasul bersabda, “Para
wanita.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu
ibu-ibu, saudari-saudari dan istri-istri kita?” Rasul menjawab, “Benar, tetapi
mereka itu, jika diberi, tidak bersyukur; jika diuji, tidak bersabar
(HR Ahmad dan
al-Hakim).
Imam Ahmad
meriwayatkan hadis di atas dalam Al-Musnad dari Ismail bin Ibrahim dan
Waki’. Imam al-Hakim meriwayatkannya dalam Al-Mustadrok dari Ibrahim bin
‘Ashmah al-Adl, dari as-Sari bin Khuzaimah, dari Muslim bin Ibrahim. Ketiganya
(Ismail bin Ibrahim, Waki’ dan Muslim bin Ibrahim) menuturkannya dari Hisyam
ad-Dastuwa’i, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Rasyid al-Habroni, dari
Abdurrhman bin Syiblin.
Al-Hakim
mengomentari jalur ini: Ini adalah hadis sahih menurut syarat syaikhayn (Al-Bukhari
dan Muslim), tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya. Hal ini disepakati
oleh adz-Dzahabi di dalam At-Talkhish.
Syu’aib
al-Arnauth mengomentari jalur Imam Ahmad ini: Ini hadis sahih, para perawinya
perawi syaikhayn kecuali Abu Rasyid al-Habroni. Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud,
Ibn Majah, al-Bukhari di dalam Adab al-Mufrad dan sejumlah orang
meriwayatkan darinya.
Imam Ahmad
juga meriwayatkannya dari Afan, dari Aban dan Musa bin Kholaf. Imam al-Hakim
meriwayatkannya dari Abu Abdillah Muhammad bin Ali ash-Shon’ani, dari Ishaq bin
Ibrahim, dari Abdurrazaq, dari Ma’mar. Ketiganya (Aban, Musa bin Kholaf dan
Ma’mar) menuturkannya dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu
Salam, dari Abdurrahman bin Syiblin.
Imam
al-Hakim berkomentar, “Ini adalah hadis sahih menurut syarat Muslim, tetapi
al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Hal ini disepakati oleh
adz-Dzahabi.
Makna
Hadis
Hadis ini
menyebutkan wanita penghuni neraka di antaranya adalah yang memiliki dua sifat
tercela: tidak bersyukur (berterima kasih) kepada suaminya; jika diuji
dengan suatu ujian, ia tidak bersabar. Hadis ini juga diperkuat oleh sabda
Rasul yang lain. Abdullah bin Amru meriwayatkan bahwa Rasul pernah bersabda:
لَا
يَنْظُرُ اللّٰهُ اِلَى
اِمْرَأَةٍ لَا تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِىَ لَا تَسْتَغْنِى عَنْهُ .
Allah tidak akan memandang
seorang wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya dan tidak (berusaha)
mencukupkan diri dari (pemberian) suaminya (HR an-Nasai, al-Hakim, ath-Thabrani dan
al-Bazzar).
Syaikh
Muhammad bin Ishaq al-Kalabadzi di dalam kitab Bahr al-Fawâ’id / Ma’âni
al-Akhyâr menjelaskan, “Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih)
terhadap pemberian, ia tidak akan bisa bersabar saat mendapat ujian.” Syukur
bisa timbul jika ada rasa (قَنَاعَة) qona’ah (merasa cukup) atas
pemberian meski sedikit jumlahnya; juga menghargai pemberian meski tidak
seberapa harganya, karena di dalamnya terkandung nilai maknawi yang besar,
yaitu ketaatan suami atas kewajiban nafkah dan rasa cintanya kepada istri dan
keluarganya.”
Berikut
sekelumit teladan dari Umahatul Mukminin dan penghulu wanita surga
Fathimah binti Rasulullah saw.
Ummul
Mukminin Aisyah ra. menceritakan, “Pernah datang kepada kami satu bulan penuh
saat kami tidak pernah menyalakan api (tidak pernah memasak), (makanan kami)
tidak lain adalah kurma kering dan air, kecuali kami dibawakan daging.” (HR
al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi).
Beliau
juga bercerita, “Tidaklah keluarga Muhammad makan dua kali dalam sehari kecuali
salah satunya adalah kurma kering.”
Nabi saw.
pernah bersabda, “Belum pernah lewat satu sore dimana keluarga Muhammad
memiliki satu sho’ kurma kering atau satu sho’ biji-bijian.” (HR al-Bukhari,
at-Tirmidzi dan an-Nasai).
Begitulah
makanan yang dinikmati ibunda kita, para istri Rasul saw. Namun, mereka adalah
para wanita yang senantiasa dipenuhi rasa syukur, rasa berterima kasih dan
kesabaran serta jauh dari keluh-kesah.
Dalam hal
pakaian, Rasul saw. pernah berpesan kepada Bunda Aisyah ra., “Jika engkau
senang bersamaku (di surga) maka cukuplah bagimu bagian dari dunia seperti
bekal seorang pengendara unta (orang bepergian), jauhilah bergaul erat dengan
orang kaya (khawatir dirasuki sifat tamak), dan jangan engkau meminta ganti
pakaianmu hingga engkau menambalnya.” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Urwah
menceritakan bahwa Aisyah ra. tidak mengganti pakaiannya dengan yang baru
hingga ia menambal pakaiannya. Namun, ketakwaan, kedermawanan, kesalihan dan
keilmuannya menjadikannya selalu jelita di mata Allah, Rasul saw. dan seluruh
manusia.
Imam Ali
kw. pernah bercerita kepada Ibn A’buda tentang Fathimah, anggota keluarga yang
paling Rasul cintai:
Ia memutar
penggilingan hingga berbekas tangannya, memanggul timba hingga membekas di
pundaknya, dan membersihkan rumah hingga pakaiannya penuh debu. Lalu datang
pembantu kepada Rasul saw. Kamudian aku berkata, “Seandainya engkau datang
kepada ayahmu dan meminta seorang pembantu.”
Lalu ia
mendatangi Rasul, tetapi banyak orang bersama beliau. Ia datang lagi besoknya.
Rasul bertanya, “Apa keperluanmu?”
Fathimah
diam saja. Lalu Ali kw. berkata, “Aku ceritakan kepadamu, ya Rasulullah. Ia
memutar penggilingan hingga berbekas tangannya, memanggul timba hingga berbekas
pundaknya. Lalu ketika datang pembantu kepadamu, aku menyuruhnya mendatangimu
agar meminta pembantu yang bisa menghilangkan kesusahannya itu.”
Rasul
bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, Fathimah, tunaikan kewajiban Tuhanmu dan
kerjakan pekerjaan (mengurus) keluargamu. Jika engkau menghampiri peraduanmu,
bertasbihlah 33 kali, bacalah hamdalah 33 kali, lalu takbir 34 kali, dan itu
genap 100 kali. Itu lebih baik bagimu daripada seorang pembantu.”
Fathimah
pun berkata, “Aku ridho dengan pemberian dari Allah dan Rasulnya.” (HR Abu
Dawud). Wallôhul-Muwaffiq
ilâ aqwâmith-thorîq. [Al-Wa'ie/Hadits Pilihan/No.107/Juli 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar