وَأَيُّمَا
أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ اُمْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ
ذِمَّةُ اللّٰهِ
تَعَالَى .
penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang
kelaparan maka jaminan Allah telah lepas dari mereka
(HR Ahmad, al-Hakim dan Abu Ya’la)
Abu Ya’la mengeluarkan hadis ini dari Zuhair dari Yazid bin
Harun. Imam Ahmad mengeluarkannya dari
Yazid bin Harun; Yazid bin Harun dari Ashbagh bin Zaid, dari Abu Bisyr, dari
Abu az-Zahiriyah, dari Katsir bin Murrah al-Hadhrami, dari Ibn Umar, dari Nabi
saw. yang pernah bersabda, “Siapa saja yang menimbun makanan selama empat puluh
malam, maka sungguh ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah pun berlepas
diri darinya dan penduduk negeri manapun …”
Adapun al-Hakim mengeluarkan hadis ini dari Abu Bakar bin Ishhaq
al-Faqih, dari Muhammad bin Ayyub, dari Amru bin al-Hushain al-‘Aqili, dari
Ashbagh bin Zaid al-Juhani, dari Abu az-Zahiriyah, dari Katsir bin Murrah al-Hadhrami
dan dari Ibn Umar.
Al-Hafizh Nuruddin al-Haitsami mengeluarkannya dari Dawud bin
Rasyid, dari Muhammad bin Harb dari Abu Mahdi, dari Abu az-Zahiriyah, dari
Katsir bin Murrah dan dari Ibn Umar.
Hadis ini juga dikeluarkan oleh ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabîr dan
Mu’jam al-Awsâth, Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaibah, al-Bazzar
dalam Musnad al-Bazzâr, ad-Daruquthni dalam Gharâ’ib Mâlik dan Abu Nu’aim dalam
Hilyah al-Anbiyâ’.
Status hadis ini diperselisihkan oleh para ulama sesuai dengan
penilaian mereka terhadap para perawinya.
Menurut Ibn Hazm, Katsir bin Murrah al-Hadhrami majhul. Namun, menurut ulama hadis yang lain, Katsir
bin Murrah makruf. Ibn Hajar
al-‘Ashqalani dalam Tahdzîb at-Tahdzîb (3/383) menyatakan, “Ibn Saad menyatakannya
di dalam thabaqah kedua termasuk Tabi’in dari penduduk Syam dan ia
tsiqah.” Al-‘Ajili berkata, “Ia syamiy
tabi’i tsiqah.” An-Nasa’i berkata,
“Tidak ada masalah.” Ibn Khirasy
berkata, “Ia jujur.” Ibn Hibban
menyebutkannya di ats-Tsiqât…”.
Al-Haytsami di dalam Majma’ az-Zawâ’id menyatakan, di dalam sanad
hadis ini terdapat perawi Abu Bisyr al-Amluki; Ibn Ma’in mendhaifkannya. Namun, Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Lisân
al-Mîzân menyatakan, “Abu Bisyr dari Abu az-Zahiriyah lâ syay-a (tidak ada apa-apa). Hal itu dikatakan oleh Ibn Ma’in. Ashbagh meriwayatkan darinya (yakni Abu
Bisyr).”
Tentang Ashbagh bin Zaid, Ibn Saad menilainya dhaif. Namun, Imam
Ahmad, an-Nasa’i, Ibn Ma’in dan lainnya, menilainya tsiqah. Ibn ‘Adi
menyebutkan dalam Al-Kâmil fî Dhu’afâ’, termasuk riwayat di atas. Ibn ‘Adi berkata, “Laytsat bi mahfûzhah.” Ia
juga berkata, “Saya tidak tahu orang yang meriwayatkan dari dia (Ashbagh bin
Zaid) selain Yazid bin Harun.” Namun,
Adz-Dzahabi menyebutkan dalam Mizân al’-I’tidâl bahwa ada sepuluh orang yang
meriwayatkan dari Ashbagh bin Zaid.
Abu Hatim menilai riwayat di atas sebagai hadis mungkar. Ibn
al-Jauzi memasukkannya dalam al-Mawdhu’ât. Namun, Ibn Hajar dalam Talkhîsh
al-Habîr menilai bahwa Ibn al-Jauzi dalam hal ini telah rancu. Ibn Hajar dalam al-Qawl al-Musaddad
mengomentari riwayat di atas, “Abu Bisyr di sini ia adalah Ja’far bin Abi
Wahsyiyah, termasuk rijâl asy-syaykhayn, dan Abu az-Zahiriyah namanya Hudair
bin Kuraib, termasuk perawi imam Muslim.
Riwayat Abu Bisyr dari dia termasuk bentuk riwâyat al-aqrân karena
keduanya termasuk shighâr at-tâbi’în (tabi’in yunior), sedangkan Katsir bin
Murrah adalah seorang tabi’i tsiqah berdasarkan kesepakatan (bi-ittifâq)
termasuk perawi al-arba’ah. Jadi, dalam
sanad hadis ini terdapat tiga orang tabi’in.”
Makna
Hadits
‘Arshah (عَرْصَةٍ) secara
bahasa artinya tanah lapang yang luas dan tidak ada bangunan di atasnya. Maksudnya dalam hadis ini adalah suatu daerah
atau negeri.
Dzimmah Allah artinya adalah perjanjian, jaminan, penjagaan dan
pemeliharaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Ungkapan (بَرِئَتْ
مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللّٰهِ) bari’at minhum dzimmatuLlâh (dzimmah Allah telah terlepas dari
mereka) maknanya bahwa penduduk daerah/negeri itu telah diharamkan atau
dihalangi dari penjagaan dan pemeliharaan Allah. Hal itu terjadi karena mereka
telah menjerumuskan diri ke jurang kebinasaan, atau melakukan sesuatu yang
haram, atau menyalahi apa yang telah diperintahkan Allah kepada mereka.
Hadis ini, meski dalam redaksi berita, maknanya adalah celaan dan
larangan. Yang dilarang dan dicela adalah, ada atau terus adanya—dalam riwayat
al-Harits, Thabarani dan Ibn Abi Syaibah redaksinya (ظَلَّ
فِيْهِمْ) “zhalla fîhim (terus ada di tengah
mereka)—orang yang kelaparan di tengah penduduk daerah/negeri itu. Ungkapan itu
merupakan celaan yang amat keras.
Jadi, hadis ini menunjukkan bahwa menghapus kelaparan merupakan
tanggung jawab atau kewajiban kolektif masyarakat. Hal itu ditegaskan dalam hadis lain:
مَا
آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانً وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ
يَعْلَمْ بِهِ .
Tidak
sempurna iman seseorang kepadaku yang bermalam dalam kondisi kenyang, sementara
tetangganya kelaparan di sisinya dan ia mengetahuinya (HR ath-Thabarani dan
al-Bazar).
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah menyatakan,
“Dalam hadis tersebut terdapat dalil yang jelas bahwa tetangga yang kaya haram
membiarkan tetangganya kelaparan. Jadi, ia wajib memberi tetangganya apa yang
menutupi laparnya itu. Begitu pula
pakaian jika mereka telanjang dan semisalnya yang termasuk kebutuhan pokok.”
Jadi, hadis ini mengisyaratkan, ada kewajiban atas harta orang kaya,
selain zakat, yang harus dikeluarkan karena kondisi-kondisi yang terjadi,
sebagai bagian dari kewajiban yang harus mereka lakukan. Di antaranya untuk
mengatasi kelaparan atau pemenuhan kebutuhan pokok warga masyarakat yang
kekurangan. Jadi, jika ada orang miskin, tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokoknya, sementara tidak ada kerabat yang bisa menanggungnya dan harta negara
tidak mencukupi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok mereka, maka negara
sah memungut harta dari orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan harta untuk
memenuhi kebutuhan pokok mereka dan keluarga serta kebutuhan lain menurut
kepantasan, sesuai dengan jumlah yang diperlukan untuk menuntaskan masalah
kemiskinan yang ada itu. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits/Pilihan/No.93/Mei
2008].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar