Pada dasarnya, keharaman riba secara mutlak telah menjadi perkara yang ma’luum min al-diin wa al-dlarurah. Sejak
masa awal-awal Islam hingga menjelang keruntuhan Islam, keharaman riba
dalam berbagai bentuknya, berlipat ganda atau tidak, merupakan pendapat
yang dipegang teguh oleh ‘ulama-’ulama wara’, dan telah masyhur di
kalangan masyarakat awam. Akan tetapi, tatkala taraf berfikir umat Islam
mengalami kemunduran hingga nyaris mencapai titik nadir, dan ketika
system ekonomi kapitalistik berbasis riba diterapkan di tengah-tengah
kaum muslim, mulailah bermunculan fatwa ganjil yang tidak pernah dikenal
oleh kaum muslim sebelumnya.
Diantara fatwa ganjil tersebut adalah; bolehnya mengkonsumsi riba asalkan tidak berlipat ganda, yakni dengan kisaran bunga maksimal 30% atau 15 %. Mereka beralasan, bahwa pengharaman riba tergantung kepada, ada atau tidak adanya sifat adh’âfan mudhâ’afah (berlipat ganda). Jika riba yang dipungut tidak mengandung unsur adh’âfan mudhâ’afah, maka ia tidak termasuk ke dalam riba yang terlarang. Sebaliknya, jika riba yang diambil telah berlipat ganda, maka riba semacam ini terkategori riba yang terlarang. Untuk membenarkan alasan ini, mereka mengetengahkan firman Allah swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda.”(TQS Ali Imran [3]:130).
Lalu, benarkah Islam mengkaitkan pengharaman riba dengan ada atau tidak adanya unsur ”berlipat ganda atau tidak”? Dan benarkah surat Ali Imron ayat 130 merupakan takhshîsh atas pengharaman riba secara mutlak?
Frase “Adh’âfan Mudhâ’afah” Bukan Pentakhshish
Menurut kaedah bahasa Arab, lafadz ” adh’âfan” berkedudukan sebagai hâl dari kata al-riba (maf’ul bihi). Sedangkan kata ” mudhâ’afah” adalah na’at (sifat) dari kata ” adh’âfan “. Menurut kaedah ushul fiqh, hâl dan shifat bisa mentakhshish maupun memberi faedah kepada ‘illat.
Hanya saja, tidak semua lafadz yang berkedudukan sebagai hâl bisa mentakhshish hukum yang terkandung di dalam nash. Sebab, hâl kadang-kadang hanya berfungsi sebagai bayân al-hâl (penjelas suatu keadaan), atau kadang-kadang berfungsi sebagai ta’kîd al-amr, bukan sebagai pentakhshish. Hâl seperti ini tidak absah digunakan sebagai pentakhshish.
Apakah lafadz “adh’âfan mudh’afah” pada surat Ali Imron :130 bisa mentakhshish hukum yang terkandung di dalam nash atau tidak? Ataukah ia hanya berfungsi sebagai bayân li al-hâl (menjelaskan keadaan) saja, sehingga ia tidak memiliki mafhum?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menyimak penjelasan para ‘ulama yang memiliki kredibilitas ilmu, baik ilmu lughah, ushul, fikih, hadits, dan tafsir.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab Fath al-Bâriy mengatakan:
قَوْلُهُ
تَعَالَى فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ
النَّاسَ وَالْمَعْنَى أَنَّ مَا آلَ أَمْرُهُ إِلَى اْلِاضْلَالِ أَوْ
هُوَ مِنْ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اَفْرَادِ اْلعُمُوْمِ بِالذِّكْرِ فَلاَ
مَفْهُوْمَ لَهُ كَقَوْلِهِ تَعَالَى لَا تَأْكُلُوْا الرِّبَا اَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَلَا
تَقْتُلُوْا أَوْلَادَكُمْ مِنْ اِمْلَاقٍ فَإِنَّ قَتْلَ اْلأَوْلَادِ
وَمُضَاعَفَةَ الرِّبَا وَاْلِاضْلَالَ فِي هَذِهِ الآيَاتِ ِإنَّماَ هُوَ
لِتَاْكِيْدِ الأَمْرِ فِيْهَا لَا لِاِخْتِصَاصِ الْحُكْمِ
“Firman Allah: “Maka, siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” [TQS Al An'aam (6):144]; dan makna frase ini adalah : setiap perkara yang ditujukan untuk penyesatan, atau frase ini hanyalah penyebutan sebagian dari perkara-perkara yang bersifat umum. Oleh karena itu, ayat ini tidak memiliki mafhum, seperti halnya firman Allah swt, “Janganlah kalian memakan riba secara berlipat ganda” [TQS Ali Imron (3):130]; dan “janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin”[TQS Al Israa’ (17):31]. Sesungguhnya membunuh anak-anak, riba yang berlipat ganda, serta kesesatan pada ayat-ayat tersebut hanya berfungsi sebagai ta’kiid al-amr (menegaskan perintah) saja, tidak berfungsi sebagai pentakhshish hukum…”[al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalaaniy, Fath al-Baariy, juz 1/200]
Atas dasar itu, surat Al An’aam:114 tidak boleh dipahami, bahwa seseorang boleh berdusta atas nama Allah jika tidak ditujukan untuk menyesatkan manusia. Surat Al Israa’:31 juga tidak boleh dipahami, bahwa membunuh anak itu diperbolehkan asalkan tidak takut miskin. Begitu pula surat Ali Imron: 31, tidak boleh dipahami, bahwa seorang Mukmin boleh memakan riba, jika tidak diambil secara berlipat ganda. Sebab, lafadz “adh’âfan mudhâ’afah” yang terdapat pada ayat di atas hanya menunjukkan keadaan yang seringkali terjadi pada masa itu (makhraj al-ghâlib), bukan sebagai pentakhshish atau ‘illat pengharaman riba.
Surat al-Israa’ ayat 31 hanya menunjukkan pengertian, bahwa kebanyakan pembunuhan terhadap anak pada saat itu disebabkan karena takut miskin, dan sama sekali tidak menunjukkan bahwa ’illat pelarangan pembunuhan terhadap anak adalah takut miskin; sehingga ditarik mafhum, seseorang boleh membunuh anak jika tidak takut miskin. Sedangkan surat al-A’raf ayat 144 menjelaskan, bahwa berdusta atas nama Allah pada galibnya dilakukan untuk menyesatkan manusia, dan tidak boleh dipahami bahwa ’illat pelarangan berdusta adalah menyesatkan manusia, sehingga jika berdusta itu tidak ditujukan untuk menyesatkan manusia adalah boleh.
Demikian pula surat Ali Imran:130, ayat ini hanya menunjukkan pengertian, bahwa riba yang biasa dan sering dipraktekkan oleh masyarakat saat itu, adalah riba yang dipungut secara berlipat ganda. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pengertian, bahwa riba yang haram dikonsumsi adalah riba yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda boleh dimakan. Sebab, lafadz adh’âfan mudhâ’afah berkedudukan sebagai bayân al-hâl, bukan sebagai pentakhshish atau pentaqyiid. Untuk itu, lafadz “adh’âfan mudhâ’afah” sama sekali tidak mengkhususkan keharaman riba baik yang ditarik secara berlipat ganda maupun tidak.
Imam al-Baidlawiy, dalam Tafsir Baidlawiy menyatakan, bahwa ayat ini hanyalah pengkhususan yang sejalan dengan fakta tertentu.”[Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 2/91]
Imam al-Syaukani, dalam Fath al-Qadiir menyatakan bahwa lafadz adh’âfan mudhâ’afah tidak berfungsi sebagai pentaqyiid dari larangan riba. Keharaman riba secara mutlak dalam setiap kondisi dan keadaan telah diketahui secara luas. Lafadz adh’âfan mudhâ’afah hanya menunjukkan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu; dimana mereka melakukan kelaliman dengan muamalah riba.[Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1/380-181]
Syaikh al-Mufassiriin, Imam Ibnu ‘Arabiy menyatakan, “Lafadz adh’âfan mudhâ’afah mempunyai dua pengertian. Pertama, berlipat ganda karena bertambahnya tenggat waktu, dan setiap tenggat waktu ditarik tambahan dari harta pinjaman. Kedua, berlipat gandanya dengan adanya riba. Oleh karena itu, lafadz adh’âfan mudhâ’afah hanya menyebutkan konteks keadaan tertentu, dan tidak menunjukkan pengertian sebaliknya, yakni jika riba yang ditarik tidak berlipat ganda maka hukumnya tidak haram. Seandainya lafadz adh’âfan mudhâ’afah dipahami seperti itu, tentunya jika riba yang ditarik tidak berlipat ganda, maka hukumnya tidak haram. Dengan kata lain, keharaman riba tergantung dari ada atau tidak adanya sifat tersebut (adh’âfan mudhâ’afah).
Pendapat seperti ini adalah pendapat bathil. Pemahaman seperti ini telah dihapus oleh keharaman riba secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt, “Telah diharamkan riba..”[al-Baqarah: 275] [Imam Ibnu 'Arabiy, Ahkâm al-Qurân, juz 2/325]
Ali al-Shabuniy dalam kitab Shafwat al-Tafâsîr, menyatakan:
“Penyebutan lafadz “adh’âfan mudhâ’afah” pada ayat ini (surat Ali Imron:130) bukan untuk mentaqyid atau sebagai persyaratan. Sesungguhnya penyebutan lafadz tersebut hanyalah untuk menjelaskan keadaan (libayân al-hâl) yang terjadi pada masyarakat jahiliyyah pada saat itu. Selain itu, penyebutan lafadz tersebut juga ditujukan untuk mencelai (li tasynî’) mereka. Sebab,
mu’amalah riba merupakan kedzaliman dan kelaliman yang nyata,
dikarenakan mereka telah mengambil riba secara berlipat ganda”[Ali Al-Shabuniy, Shafwat al-Tafâsîr, juz 1/229]
Abu Hayan menyatakan,”Riba dengan berbagai bentuknya adalah haram. Hâl seperti ini (adh’âfan mudhâ’afah) bukanlah qayyid (membatasi) larangan dalam ayat tersebut.”[Bahr al-Muhîth, juz 3/53]
Dalam Kitab Hujjaj al-Quran disebutkan bahwa kemutlakan larangan riba tidak bisa ditaqyiid (dibatasi) dengan firman Allah swt, “Janganlah kalian memakan riba secara berlipat ganda.”[Ali Imron:130][ al-Raaziy, Kitab Hujjaj al-Quran, juz 1/73]. Pendapat di atas juga dipegang oleh Imam Thabariy, Imam Qurthubiy, Imam Nasafiy, dan mufassir yang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan, bahwa kata adh’âfan mudhâ’afah sama sekali tidak mentakhshish hukum keharaman riba secara mutlak. Keharaman riba tetap berlaku secara mutlak, baik dipungut secara berlipat ganda maupun tidak. Benar, adh’âfan mudhâ’afah berkedudukan sebagai hâl, namun tidak secara otomatis frasa yang berkedudukan sebagai hâl bisa mentakhshiish hukum yang terkandung di dalam nash. Sebab, frasa yang berkedudukan sebagai hâl, kadang-kadang hanya berfungsi sebagai bayân al-hâl (menjelaskan keadaan tertentu saja). Frase adh’âfan mudhâ’afah dalam surat Ali Imron ayat 130 ini hanya berfungsi sebagai bayân al-hâl (penjelas keadaan). Dengan kata lain, frasa ”adh’âfan mudhâ’afah” hanya menunjukkan adat istiadat masyarakat yang ada pada saat itu, bukan sebagai pentakhshish.
Dengan demikian, riba yang dipungut secara berlipat ganda atau tidak, hukumnya tetaplah haram.
Menepis Syubhat Hadits Riwayat Ibnu Zaid
Orang yang berpendapat bahwa frase ”adh’âfan mudhâ’afah” bisa digunakan sebagai pentakhshish keharaman riba secara mutlak, berdalih dengan sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Thabariy;
حدثني يونس قال، أخبرنا ابن وهب قال، سمعت ابن زيد يقول في قوله:”لا تأكلوا الربا أضعافًا مضاعفة”، قال: كان أبي يقول: إنما كان الربا في الجاهلية في التضعيف وفي السن
“Telah
meriyatkan kepadaku, Yunus, bahwasanya ia berkata, telah mengabarkan
kepadaku Ibnu Wahab, bahwasanya ia berkata, saya mendengar Ibnu Zaid
berkata tentang firman Allah [La ta`kuluu al-riba adl’aafan mudlaafan], “Adalah
ayahku Zaid (seorang alim lagi shahabat yang mulia) berkata, “Adanya
riba di zaman jahiliyyah itu hanya dalam berlipat gandanya (uang) dan
umur (binatang yang dipinjam)..”[HR. Imam Thabariy]
Menurut mereka, hadits ini menunjukkan bahwa semua riba di jaman jahiliyyah pasti berlipat ganda; sehingga frasa adh’âfan mudhâ’afah yang terdapat di dalam surat Ali Imron berfungsi sebagai pentakhshish keharaman riba secara mutlak, bukan sekedar menjelaskan keadaan umum (makhraj al-ghâlib) masyarakat jahiliyyah saat itu. Dalam kondisi semacam ini, berlakulah mafhûm mukhâlafah, yakni riba yang tidak dipungut secara berlipat ganda, bukanlah termasuk riba yang diharamkan.
Argumentasi semacam ini jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Quran maupun Hadits. Kekeliruan argumentasi ini tampak pada alasan-alasan berikut ini.
Pertama, yang dimaksud dengan “fi al-tadh’îif” di dalam hadits di atas adalah pelipatgandaan hutang yang disebabkan karena praktek riba jahiliyyah, bukan menunjukkan alasan pengharam riba (’illat), maupun pentakhshish keharaman riba secara mutlak. Hadits di atas hanya menjelaskan bahwa, riba nasi’ah biasanya berlipat ganda, dikarenakan hutang yang dipikul oleh orang yang berhutang terus membesar seiring dengan panjangnya penundaan pembayaran hutang. Hadits di atas tidak menunjukkan pengkhususan atau ’illat sebuah hukum. Pengertian semacam ini bisa dipahami dari riwayat-riwayat lain yang menafsiri hadits di atas, diantaranya adalah riwayat-riwayat berikut ini;
حدثنا
محمد بن سنان قال، حدثنا مؤمل قال، حدثنا سفيان، عن ابن جريج، عن عطاء
قال: كانت ثقيف تدَّاين في بني المغيرة في الجاهلية، فإذا حلّ الأجل قالوا:
نزيدكم وتؤخِّرون؟ فنزلت:”لا تأكلوا الربا أضعافًا مضاعفة”.
“Telah meriwayatkan kepada kami, Muhammad bin Sinan, bahwasanya ia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Mu`ammal, bahwasanya ia berkata, telah meriwayatkan kepada kami, Sufyan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, bahwasanya ia berkata, “Suku Tsaqif berhutang kepada Bani al-Mughirah di masa Jahiliyyah. Jika waktu pembayaran sudah habis, mereka berkata, “Kami akan memberi tambahan kepada kalian, namun kalian harus memberi tenggat waktu pembayaran. Lalu, turunlah firman Allah, [laa ta`kuluu al-riba adl`afan mudlaa`afah]”.[HR. Imam Thabariy]
حدثنا
محمد بن عمرو قال، حدثنا أبو عاصم، عن عيسى، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد في
قول الله عز وجلّ:”يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا الربا أضعافًا مضاعفة”
قال: ربا الجاهلية.
“Telah meriwayatkan kepada kami, Muhammad bin ‘Amru, bahwasanya ia berkata, telah meriwayatkan kepada kami, Abu ‘Ashim, dari ‘Isa, dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, mengenai firman Allah swt, [Yaa ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ ta`kulû al-ribâ adh’âfan mudhâ'afah], beliau berkata, “Riba Jahiliyyah”[HR. Imam Thabariy]. Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah adalah riba nasi’ah.
Pengertian hadits di riwayat Ibnu Zaid di atas akan semakin jelas jika keseluruhan matan haditsnya diketengahkan kembali secara utuh. Adapun redaksi lengkap hadits di atas adalah sebagai berikut;
حدثني يونس قال، أخبرنا ابن وهب قال، سمعت ابن زيد يقول في
قوله:”لا تأكلوا الربا أضعافًا مضاعفة”، قال: كان أبي يقول: إنما كان
الربا في الجاهلية في التضعيف وفي السن. يكون للرجل فضل دين، فيأتيه إذا حل
الأجل فيقول له: تقضيني أو تزيدني؟ فإن كان عنده شيء يقضيه
قضى، وإلا حوَّله إلى السن التي فوق ذلك = إن كانت ابنة مخاض يجعلها ابنة
لبون في السنة الثانية، ثم حِقَّة، ثم جَذَعة، ثم رباعيًا، ثم
هكذا إلى فوق = وفي العين يأتيه، فإن لم يكن عنده أضعفه في العام القابل،
فإن لم يكن عنده أضعفه أيضًا، فتكون مئة فيجعلها إلى قابل مئتين، فإن لم
يكن عنده جعلها أربعمئة، يضعفها له كل سنة أو يقضيه. قال: فهذا قوله:”لا
تأكلوا الربا أضعافًا مضاعفة”
“Telah meriyatkan kepadaku, Yunus, bahwasanya ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Wahab, bahwasanya ia berkata, saya mendengar Ibnu Zaid berkata tentang firman Allah [La ta`kuluu al-riba adl’aafan mudlaafan], “Adalah ayahku Zaid (seorang alim lagi shahabat yang mulia) berkata, “Adanya riba di zaman jahiliyyah itu hanya dalam berlipat gandanya (uang) dan umur (binatang yang dipinjam). Jika seorang laki-laki memiliki kelebihan hutang (piutang), maka ia mendatangi penghutangnya jika waktu pembayaran telah habis, seraya berkata,”Kamu melunasi hutangmu untukku, atau anda memberi tambahan kepadaku?. Jika penghutang memiliki sesuatu yang bisa untuk melunasi hutangnya, maka hutangnya ia lunasi. Jika tidak, hutangnya ia alihkan kepada binatang yang umurnya lebih tua = jika ada abnah mukhaadl maka ia menggantinya dengan abnat yang berumur dua tahun, lalu hiqqah, lalu jadza’ah, hewan yang berumur empat tahun, demikian seterusnya pada umur yang lebih dan lubuun . Dalam hutang emas, ia akan mendatangi orang yang berhutang, jika orang itu tidak memiliki emas, maka hutang itu akan dilipatgandakan untuk tahun mendatang. Jika di tahun di depan ia tidak punya uang untuk melunasi, maka akan dilipatgandakan juga. Pada tahun depan hutang seratus akan ia jadikan menjadi dua ratus, jika pada tahun depan ia tidak punya uang untuk melunasi akan ia lipatgandakan menjadi 400; dan ia akan terus melipatgandakan hutangnya kepada orang yang berhutang setiap tahun, atau orang yang berhutang tersebut melunasi hutangnya. Ibnu Zaid berkata, ”Hal ini lalu disebut oleh firmanNya [Lâ ta`kulû al-ribâ adh’âfan mudhâ'afah]”. [HR. Imam Thabariy]
Keseluruhan redaksi hadits di atas menunjukkan bahwa frase ”al-tadl’îf” hanya menerangkan sifat dari riba nasii’ah yang menyebabkan bertumpuk dan berlipatgandanya hutang, dan sama sekali tidak menunjukkan indikasi adanya ”takhshish” atau ”illat”. Atas dasar itu, frase ” adh’âfan mudhâ’afah” bukan pentakhshish ataupun ’illat pengharaman riba secara mutlak. Riba tetaplah haram baik yang dipungut sedikit ataupun banyak, serta berlipat ganda atau tidak. Semua bentuk riba adalah haram.
Kedua, pada dasarnya riba yang terdapat di jaman Nabi saw tidak hanya riba nasî’ah saja. Sebab, kata “innamâ” tidak pasti menunjukkan fungsi untuk membatasi (li al-hashr). Mayoritas ahli lughah memahami bahwa kata “innamaa” tidak mutlak ditujukan untuk membatasi (li al-hashr). Oleh karena itu, mafhûm mukhâlafah tidak bisa diterapkan pada nash-nash yang mengandung kata “innamâ“. Sebab, kata “innamâ” kadang-kadang ditujukan untuk “al-hashr“, kadang-kadang tidak. Walhasil, tidak bisa dinyatakan, bahwa semua riba di jaman jahiliyyah hanyalah riba nasî’ah, hanya karena di dalam matan hadits tersebut terdapat kata “innamâ“.
Imam al-Amidiy dalam al-Ihkaam fi Ushûl al-Ahkâm menyatakan, bahwa kata “innamâ“, tidak pasti menunjukkan makna “al-hashr“. Pendapat ini lebih kuat dan rajih. Sebab, masih menurut al-Amidiy, kata “innamâ” kadang-kadang digunakan untuk “al-hasr” kadang-kadang tidak.[Imam al-Amidiy, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, juz 2/68]
Berikut ini adalah contoh nash-nash yang di dalamnya terdapat kata “innamâ“ yang ditujukan untuk membatasi (li al-hashr) dan tidak ditujukan untuk membatasi.
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[Al-Taubah:60]
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa“.” [al-Kahfi:110]
Kata “innamâ” yang terdapat pada dua ayat tersebut berfungsi untuk al-hashr.
Adapun kata “innamaa” yang terdapat dalam nash-nash berikut ini tidak ditujukan untuk membatasi (al-hasr). Perhatikan contoh-contoh berikut ini:
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الشُّفْعَةُ فِيمَا لا يُقْسَمُ
“Sesungguhnya, syuf’ah terjadi pada apa-apa yang belum dibagi”[HR. Imam Malik dalam al-Muwatha']
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan berdasarkan apa yang diniatkannya.”[HR. Bukhari]
فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Wala’ (loyalitas) diberikan kepada orang yang membebaskan.”[HR. Bukhari]
Kata “innamâ” yang terdapat dalam nash-nash di atas tidak ditujukan untuk membatasi (li al-hashr). Sebab, syuf’ah tidak hanya terbatas bagi syarîk saja (orang yang berserikat), akan tetapi juga ditetapkan bagi tetangga. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
الْجَارُ أَحَقُّ بِشُفْعَتِهِ
“Tetangga itu adalah paling berhak mendapatkan syuf’ah milik tetangganya.”[HR. Ashhaab Sunan, sanadnya shahih dari Jabir]
Adapun makna hadits kedua; sesungguhnya amal itu tidak tergantung dari niatnya belaka, akan tetapi juga dilihat dari kesesuaiannya dengan syariat. Demikian juga hadits ketiga, wala’ tidak hanya diberikan kepada orang yang membebaskan saja. Ini membuktikan bahwa kata ”innamâ” tidak pasti menunjukkan pengertian hashr (membatasi).
Demikian juga kata “innamâ” yang terdapat di dalam hadits-hadits yang berbicara tentang riba nasii’ah dengan redaksi nasî’ah atau tadh’îf, semuanya tidak dimaksudkan untuk membatasi (li al-hashr). Dalam keadaan semacam ini, mafhûm mukhâlafah-nya tidak bisa berlaku. Jika mafhûm mukhâlafah-nya tidak
berlaku, maka, tidak bisa disimpulkan bahwa semua riba jahiliyyah
hanyalah riba nasii’ah, sehingga riba yang diharamkan hanyalah riba yang
dipungut secara berlipat ganda sedangkan yang tidak dipungut secara
berlipat ganda tidak haram.
Memang
benar, di dalam redaksi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Ibnu ‘Abbas, dari Usamah bin Zaid dicantumkan kata ”innamâ”; yakni
إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ
“Sesungguhnya, riba itu hanya ada pada nasii`ah (riba nasii`ah).”[HR. Muslim]
Kata “innamâ” di dalam hadits ini tidak berfungsi untuk membatasi (li al-hashr). Seandainya kata “innamâ” pasti menunjukkan pengertian li al-hashr, tentunya kita akan memahami, bahwa riba itu hanya terjadi pada nasî’ah saja. Padahal, riba tidak hanya terjadi pada nasî’ah, akan tetapi terjadi pula pada fadhl (riba fadhal), dan lain sebagainya. Ijma’ shahabat telah mengukuhkan adanya riba fadhl, dan seluruhnya bersepakat mengenai keharaman riba fadhal, dan riba-riba yang lain.
Adapun
riwayat yang menuturkan bahwasanya Ibnu ‘Abbas menolak adanya riba
fadlal, sesungguhnya pengingkaran Ibnu ‘Abbas terhadap riba fadlal saat
itu, bisa dimengerti karena saat itu ia belum mendengar riwayat-riwayat
yang mengharamkan riba fadlal. Namun, setelah mendengar riwayat yang
melarang riba fadhl, akhirnya, Ibnu ‘Abbas mencabut pendapatnya, dan menyatakan bahwa riba fadlal adalah haram. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat-riwayat berikut;
أَنَّ
أَبَا صَالِحٍ الزَّيَّاتَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ
الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ الدِّينَارُ بِالدِّينَارِ
وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ فَقُلْتُ لَهُ فَإِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ لَا
يَقُولُهُ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَأَلْتُهُ فَقُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ وَجَدْتَهُ فِي كِتَابِ
اللَّهِ قَالَ كُلَّ ذَلِكَ لَا أَقُولُ وَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنِّي وَلَكِنْ أَخْبَرَنِي
أُسَامَةُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
رِبًا إِلَّا فِي النَّسِيئَةِ
“Abu Shalih mengisahkan, bahwa ia pernah mendengar Abu Sa’iid al-Khudriy berkata, “Dinar dengan dinar, dirhaam dengan dirham.” Kemudian, saya berkata kepadanya, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak mengatakan seperti itu.” Abu Sa’iid berkata,” Saya pernah bertanya kepadanya tentang hadits ini, kemudian saya berkata, “Saya mendengar hadits ini dari Nabi saw atau engkau mendapatinya di dalam Kitabullah. Ibnu ‘Abbas berkata, “Semua itu tidak pernah saya katakan, dan anda lebih mengetahui Rasulullah saw dibandingkan aku. Akan tetapi, Usamah bin Zaid telah mengabarkan kepadaku, bahwa Nabi saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali di dalam nasii’ah. [HR. Bukhari, hadits. 2032]
Riwayat ini menunjukkan bahwa Ibnu ‘Abbas saat itu belum mendengar riwayat yang berbicara mengenai larangan riba fadhl. Akan tetapi, tatkala beliau ra menerima hadits dari Abu Sa’iid al-Khudriy, beliau segera membatalkan pendapatnya, dan mengakui keharaman riba fadlal. Ini ditunjukkan oleh riwayat-riwayat berikut ini.
Imam al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari Hayan al-’Adawiy:
روى
الحاكم من طريق حيان العدوي سألت أبا مجلز عن الصرف فقال : كان ابن عباس
لا يرى به بأسا زمانا من عمره ما كان منه عينا بعين يدا بيد . وكان يقول :
إنما الربا في النسيئة . فلقيه أبو سعيد فذكر القصة والحديث وفيه : التمر
بالتمر والحنطة بالحنطة والشعير بالشعير والذهب بالذهب والفضة بالفضة يدا
بيد مثلا بمثل فمن زاد فهو ربا . فقال ابن عباس : أستغفر الله وأتوب إليه
“Imam al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari Hayan al-’Adawiy, dimana ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Abu Majliz tentang sharaf (pertukaran). Ia menjawab, “Ibnu ‘Abbas tidak memandang hal itu sebagai dosa, selama dzat bendanya sama, dan kontan.” Kemudian, ia berkata, “Riba itu hanya pada nasii’ah.” Setelah itu, Abu Sa’iid mendatanginya, dan menuturkan sebuah kisah dan hadits, dimana di dalamnya termaktub, “Korma dengan korma, rumput dengan rumput, gandum dengan gandum, emas dengan emas, perak dengan perak, dilakukan dengan kontan dan kuantitasnya harus sama. Siapa saja yang melebihkan (menambah) maka itu terkategori riba.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Astaghfirullah wa atuubu ilaihi” (Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya).” [lihat Syarah Hadits Tirmidziy, Tuhfat al-Ahwadziy]
Imam Ahmad mengetengahkan pula sebuah riwayat dari Ali al-Rabi’iy, bahwasanya Abu al-Jauzaa` berkata:
سَمِعْتُ
ابْنَ عَبَّاسٍ يُفْتِي فِي الصَّرْفِ قَالَ فَأَفْتَيْتُ بِهِ زَمَانًا
قَالَ ثُمَّ لَقِيتُهُ فَرَجَعَ عَنْهُ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ وَلِمَ فَقَالَ
إِنَّمَا هُوَ رَأْيٌ رَأَيْتُهُ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهُ
“Saya mendengar Ibnu ‘Abbas menfatwakan (bolehnya) sharaf.” Kemudian, Abu al-Jauzaa` berkata lagi,”Sejak saat itu, saya selalu berfatwa dengan pendapat Ibnu ‘Abbas ini.” Ia berkata, “Setelah itu saya menemui Ibnu ‘Abbas, dan ia telah mencabut fatwanya”. Saya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau cabut fatwamu?” Ia menjawab, “Sesungguhnya, fatwa itu adalah pendapatku sendiri, dan Sa’iid al-Khudriy telah menyampaikan sebuah hadits kepadaku bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu (sharaf).”[HR. Imam Ahmad dengan sanad shahih]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bâriy menjelaskan sebagai berikut:
رُوِيَ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بَأْسًا أَنْ يُبَاعَ
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مُتَفَاضِلًا وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
مُتَفَاضِلًا إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ و قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي
النَّسِيئَةِ وَكَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِهِ شَيْءٌ مِنْ هَذَا
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ حِينَ
حَدَّثَهُ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia tidak memandang dosa, jual beli emas dengan emas, dan perak dengan perak yang dilebihkan, semampang dilakukan dengan kontan. Lalu, ia berkata, “Riba itu hanya pada nasî’ah.” Namun demikian, diriwayatkan oleh sebagian shahabatnya riwayat-riwayat yang berbeda dari riwayat ini. Dituturkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia telah mencabut pendapatnya, tatkala Abu Sa’iid al-Khudriy menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw kepadanya.”[Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy].
Walhasil, kesimpulan yang menyatakan bahwa semua riba di jaman jahiliyyah hanyalah riba nasii’ah saja, yang kemudian ditarik kesimpulan bahwa riba yang dilarang hanyalah riba yang dipungut secara berlipat ganda , sedangkan yang tidak dipungut secara berlipat ganda adalah mubah; adalah kesimpulan yang telah terbukti kesalahannya.
Ketiga, Seandainya syariat membolehkan kaum muslim mengkonsumsi riba yang tidak berlipat ganda, kesimpulan semacam ini justru bertentangan dengan firman Allah swt:
فَإِنْ
لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا
تُظْلَمُونَ
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”[al-Baqarah:279]
Seandainya riba yang tidak berlipat ganda diperbolehkan, tentunya seseorang yang terlanjur memungut riba, berhak mengambil kembali pokok hartanya dan riba yang tidak berlipat ganda. Namun, nash di atas dengan tegas menyatakan bahwa orang yang memakan riba harus mengembalikan seluruh riba yang dimakannya, dan ia hanya berhak mengambil harta pokoknya saja, dan ia tidak berhak atas riba yang telah dipungutnya, baik besar maupun kecil. Dengan kata lain, riba yang dipungut secara tidak berlipat ganda bukanlah hak bagi orang yang meminjami hutang, dan harus dikembalikan kepada peminjam. Dengan demikian, riba yang dipungut secara tidak berlipat ganda termasuk riba yang diharamkan oleh Allah swt. Sebab, Allah swt menyatakan, “maka bagimu pokok hartamu”, dan tidak menyatakan, “maka bagimu pokok hartamu dan riba yang dipungut tidak dengan berlipat ganda.”
Kesimpulan
Dari seluruh penjelasan di atas bisa disimpulkan:
1. Kata adh’âfan mudhâ’afah yang terdapat di dalam surat Ali Imron:130 bukan sebagai pentakhshish hukum yang terkandung di dalam nash; yakni larangan memakan riba secara mutlak. Kata adh’âfan mudhâ’afah pada ayat di atas hanya berfungsi untuk menjelaskan keadaan (li bayân al-hâl), sehingga tidak bisa mentakhshish. Dalam kondisi seperti ini, mafhûm mukhâlafah tidak bisa diberlakukan di dalam surat Ali Imron:31 di atas. Walhasil, riba dalam segala bentuknya, baik yang dikonsumsi secara berlipat ganda maupun tidak, adalah haram.
2. Kata “ adh’âfan mudhâ’afah “, sebagaimana pemahaman ahli-ahli tafsir ternama, ahli hadits, dan fuqaha, termasuk dalam makhraj al-ghâlib, sehingga mafhumnya tidak bisa dipakai. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy – Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar