Keharaman Menerapkan Hukum Non-Syariah
02 May 2007
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ
بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah
turunkan, jangan mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka
karena sebagian dosa-dosa mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik. (QS al-Maidah [4]: 49).
Sabab Nuzûl
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam Ad-Dalâ’il
meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya, dan
Syasy bin Qais berkata, “Pergilah kalian bersama kami menghadap
Muhammad, mudah-mudahan kita dapat memalingkan dia dari agamanya.”
Sesampai
di tempat Nabi saw. mereka berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya engkau
mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta Yahudi, orang-orang
terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya
orang-orang Yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak
kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka
untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan
yang memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, niscaya kami akan
beriman kepadamu dan membenarkanmu.”
Nabi saw. menolak permintaan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49-50.1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa an[i]hkum baynahum bimâ anzala Allâh (Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah
turunkan). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan penegasan (ta’kîd)
terhadap perintah dalam ayat sebelumnya agar berhukum Nabi saw. dengan
apa yang diturunkan Allah Swt. dan larangan menyalahinya.2 Pengulangan
itu untuk menjadikan perintah tersebut menempati ghayât at-ta’kîd (puncak penegasan).3
Sebagian
mufassir lainnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut mereka,
ayat ini tidak mengulangi ayat sebelumnya, namun turun pada topik yang
berbeda. Jika ayat sebelumnya turun berkenaan dengan hukuman rajam atas
pelaku zina muhshan, ayat ini turun berkenaan dengan darah dan diyat.4
Pihak
yang diperintah ayat ini adalah Rasulullah saw. Meskipun demikian,
perintah tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya. Sebab, khithâb (seruan) kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya, selama tidak ada qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah ini hanya khusus untuk Beliau.
Dalam hal ini, pihak yang menjadi obyek penerapan hukum, yang diungkapkan dengan menggunakan dhamir hum (kata ganti mereka),
adalah Yahudi. Demikian kesimpulan para mufassir seperti al-Thabari,
Abu Hayyan al-Andalusi, al-Qinuji, al-Wahidi al-Naysaburi, dan
lain-lain.5 Kesimpulan tersebut amat tepat jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya.
Kata bimâ anzala Allâh (menurut apa yang telah Allah turunkan) tidak
bisa dilepaskan dengan ayat sebelumnya, bahwa yang Allah turunkan
kepada Rasulullah saw. adalah al-Kitab. Setelah Allah Swt. memberitakan
bahwa kepada Nabi Musa as. diturunkan at-Taurat dan kepada Nabi Isa as.
diturunkan Injil, maka kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan al-Kitab
atau al-Quran. Sejak saat itu, hukum yang wajib diterapkan Rasulullah
saw. dan umatnya dalam memutuskan perkara adalah yang bersumber dari
al-Quran.
Dengan
demikian, ayat ini mewajibkan kaum Muslim agar memutuskan perkara
dengan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Pihak yang
wajib menjadi obyek penerapan hukum syariah tersebut tidak terbatas kaum
Muslim saja, namun juga kaum kafir. Menurut sebagian mufassir,
ketentuan ini me-nasakh (membatalkan hukum) QS al-Maidah ayat
42 yang memberikan pilihan kepada Nabi saw. untuk memutuskan perkara
kaum kafir atau tidak.6 Dalam ayat tersebut Allah Swt. berfirman: Fahkum baynahum aw a‘ridh ‘anhum (Putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka).
Mufassir dan fukaha lainnya tidak melihat adanya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat tersebut. Sebab, untuk memasukkan sebuah ayat telah di-naskh oleh ayat lain diperlukan qarînah (indikasi) yang jelas. Dalam kedua ayat tersebut tidak ada qarînah
yang jelas yang menunjukkan tentang itu. Memang, secara lahiriah
terlihat adanya pertentangan di antara keduanya. Akan tetapi, sekadar
tampak bertentangan secara lahiriah tidak otomatis menunjukkan adanya nâsikh-mansûkh. Masih
ada kemungkinan lain yang membuat kedua dalil tersebut justru sama-sama
dapat digunakan. Kemungkinan ini didapat dengan cara mendudukkan kedua
dalil itu pada kedudukan dan obyek masing-masing sehingga menjadi tidak
bertentangan. Cara semacam ini dikenal dengan al-jam‘u bayna al-dalîlayn (mengkompromikan dua dalil).
Inilah
cara yang ditempuh oleh Imam asy-Syafii. Menurut asy-Syafii, kedua ayat
itu tidak bertentangan. Jika ayat pertama berkenaan dengan kafir mu‘âhid (kaum kafir yang terikat perjanjian dengan Negara Islam), ayat kedua tentang kafir dzimmi (kaum
kafir yang menjadi warga Daulah Khilafah).7Pendapat senada disampaikan
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Menurut an-Nabhani, ayat pertama berkaitan
dengan kaum kafir yang hidup di luar wilayah Negara Islam, yakni jika
ada di antara sesama kaum kafir tersebut terlibat perselisihan dan
meminta Negara Islam untuk memutuskan perkara di antara mereka. Dalam
hal ini, kaum Muslim berhak memilih antara memutuskan hukum atau
berpaling darinya. Kesimpulan ini didasarkan pada sabab nuzûl
ayat ini yang berkait dengan kaum Yahudi di Madinah yang datang kepada
Nabi saw. meminta keputusan hukum. Mereka adalah sebuah kabilah, yang dapat dianggap sebagai negara lain.8
Adapun ayat kedua berkaitan dengan kaum kafir yang tunduk kepada Pemerintahan Islam dengan menjadi kafir dzimmi, musta’min (meminta perlindungan), atau orang kafir secara sukarela masuk ke wilayah Negara Islam untuk menjadi mu‘âhid dan musta’min.9 Tampaknya, pendapat inilah yang râjih (kuat).
Patut dicatat, meskipun para mufassir dan fukaha berbeda pendapat tentang ada-tidaknya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat itu, mereka tidak berbeda pendapat akan wajibnya penerapan hukum syariah terhadap non-Muslim.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa lâ tattabi‘ ahwâ’ahum (dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka). Kata al-hawâ, sekalipun
kadang-kadang digunakan untuk sesuatu yang terikat dengan kebaikan,
pada galibnya digunakan untuk sesuatu yang di dalamnya tidak ada
kebaikan.10 Jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat
ini, hawa nafsu yang dimaksudkan memang mengandung makna negatif. Karena
itu, frasa ini dapat dipahami sebagai penegasan terhadap perintah
sebelumnya. Ath-Thabari menyatakan, “Ini merupakan larangan Allah
kepada Nabi Muhammad saw dari mengikuti hawa nafsu kaum Yahudi yang
meminta keputusan hukum kepada beliau dalam kasus orang-orang terbunuh
dan fasik mereka, sekaligus perintah tetap konsisten dengan Kitab yang
diturunkan Allah kepada beliau.11
Selanjutnya Allah berfirman: wahdzarhum an yaftinûka ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu).
Menurut Ibnu Abbas12 dan Abu Ubaidah,13yang dimaksud dengan yaftinûka
(memfitnah kamu) adalah mengembalikanmu pada hawa nafsu mereka. Sebab,
setiap orang yang terpalingkan dari kebenaran pada kebatilan berarti
telah terfitnah.
Frasa
ini memberikan peringatan terhadap kaum Muslim untuk berhati-hati
terhadap upaya kaum kafir yang berkeinginan memalingkan mereka dari
sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada mereka. Dalam ayat ini
disebutkan: ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dari sebagian yang diturunkan Allah kepadamu). Jika berpaling dari sebagian saja tidak boleh, apalagi semua. Oleh karenanya, menurut al-Jashshah dan az-Zuhaili, kata al-ba‘dh (sebagian) bermakna al-kull (keseluruhan). Dengan demikian, frasa tersebut bermakna: ‘an kulli mâ anzalaLlâh ilayka (dari seluruh wahyu yang telah Allah turunkan).14
Allah Swt. mengingatkan: Fa in tawallaw fa‘lam annamâ yurîdullâh an yushîbahum bi ba‘dhi dzunûbihim (jika
mereka berpaling [dari hukum yang telah diturunkan Allah] maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak akan menimpakan musibah
atas mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka).
Makna kata tawallaw
adalah sikap berpaling dari hukum yang diturunkan kepada Rasulullah
saw. dan justru menginginkan hukum lainnya.15 Menurut al-Alusi dan
al-Wahidi an-Naysaburi maknanya lebih luas, yaitu berpaling dari
keimanan dan berhukum dengan al-Quran.16
Dalam
frasa ini ditegaskan, mengabaikan hukum Nabi saw. dan berpaling darinya
menjadi sebab ditimpakannya musibah di dunia.17 Disegerakannya azab di
dunia itu karena pembangkangan mereka yang melakukan sebagian dosa.18 Menurut Sulaiman al-Ajili, jika dalam ayat ini disebutkan bi ba‘dhi dzunûbihim,
karena memang hukuman yang diberikan kepada mereka di dunia hanya pada
sebagian dosa, seperti pembunuhan, penawanan, atau pengusiran. Adapun
hukuman atas keseluruhan dosa ditimpakan di akhirat kelak.19
Menurut Ibnu Mas‘ud, makna bi ba‘dhi dzunûbihim (disebabkan
sebahagian dosa mereka) adalah dosa berpalingnya mereka dari hukum
Allah Swt. Hal itu untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai
banyak dosa, namun dari semua dosa itu ada yang amat besar. Secara
tersirat, ungkapan ini menunjukkan besarnya dosa berpaling dari
hukum-Nya.20
Allah Swt. menutup ayat dengan firman-Nya: Wa inna katsîran min al-nâs lafâsiqûn (dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik). Frasa
ini menunjukkan, tindakan berpaling dari hukum Allah Swt. dapat
dikategorikan sebagai fisq,21orangnya disebut fâsiq. Kata fasiq dapat dimaknai sebagai orang yang keluar dari ketaatan.22
Dalam
frasa ini diberitakan, sebagian besar manusia tergolong sebagai kaum
fasik. Kenyataan ini banyak diungkap dalam al-Quran (Lihat, misalnya: QS
Yusuf [10]: 103; QS al-An‘am [6]: 116).
Beberapa Pelajaran
Ayat ini berbicara tentang penerapan syariah di tengah-tengah kehidupan. Ada beberapa hal penting yang bisa dicatat:
Pertama:
wajibnya penerapan syariah. Syariah itu wajib diterapkan tidak hanya
kepada kaum Muslim, namun juga kepada kaum kafir. Asal mereka menjadi
warga Daulah Khilafah, syariah wajib diterapkan atas mereka. Memang, ada
beberapa perkara yang dibedakan di antara mereka, namun perbedaan hukum
itu memerlukan dalil khusus yang mengecualikannya.
Syariah
yang wajib diterapkan juga harus total. Peringatan kepada Nabi saw agar
berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang memalingkan Beliau dari sebagian hukum yang diturunkan-Nya menunjukkan makna demikian.
Kedua:
akibat berpaling dari syariah. Ayat ini memberikan ancaman keras kepada
setiap orang yang menolak syariah-Nya. Ancaman itu berupa adanya
musibah yang ditimpakan kepada pelakunya. Musibah itu tidak hanya akan
diterima di akhirat kelak, namun juga di dunia. Hukuman di dunia ini
seharusnya membukakan mata mereka, bahwa menolak syariah hanya akan
menyebabkan kesengsaraan manusia. Semestinya hal itu membukakan mata
mereka yang menolak syariah.
Ketiga: kebenaran tidak selalu sejalan dengan suara terbanyak. Bahkan
ayat ini menyebut sebagian besar manusia terkategori fasik. Oleh sebab
itu, wajar hukum yang wajib diterapkan adalah yang berasal dari-Nya,
yang pasti dijamin kebenarannya, bukan hukum buatan manusia.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Catatan kaki:
-
As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/513-512 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990); al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, IV/614 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, II/51-52 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
-
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, II/87. (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997).
-
Al-Biqai, Nazhm al-Durar, II/479. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
-
Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003); al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/621 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, III/446 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988).
-
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, IV/613; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, III/512 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, III/446 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989); al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, II/195 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
-
Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, II/61 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, 1/236 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); Nidzamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601, 1992 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/609; Abu Hayyan al-Andalusi, Abu Hayyan al-Andalusi Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, III/515; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth, II/195; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, II/514.
-
Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/520 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 216-217; Mahmud Hijazi, al- Tafsîr al-Wâdhîh (tt: Dar al-Tasir, 1992).
-
Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/232 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003).
-
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/232.
-
Ibu ‘Athiyyah al-Andalusi, Al-Muharrar al-Wajîz, II/202 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
-
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, IV/612 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992).
-
Fakhruddin al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, XII/13 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990); Nidzamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601.
-
Al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth, II/196.
-
Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, II/621; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/218; Pendapat ini juga disitir Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, II/137 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
-
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf, 1/627 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, IV/159 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
-
Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, II/35 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth, 196.
-
Az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, V/221; al-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, 1/442 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
-
Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, II/35.
-
Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250.
-
Al-’Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, II/250; Ungkapan senada juga disampaikan al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf, 1/627; al-Qinuji, Fath al-Bayân , III/446.
-
Nizhamuddin al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, II/601.
-
As-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, 1/442.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar