Antara Fikih dan Syariat Islam
Pengantar Redaksi:
Banyak
cara yang dilakukan oleh orang-orang Barat kafir untuk menghancurkan
Islam. Salah satunya adalah dengan membedakan istilah fikih dengan
syariat. Fikih dianggap relatif dan nisbi, sedangkan syariat dianggap
mutlak dan permanen. Fikih dianggap tak lebih sebagai interpretasi
manusia atas syariat—yang banyak dipengaruhi oleh latar belakang
ideologi dan kondisi sosio-psikologisnya—dan bukan syariat itu sendiri.
Dengan kata lain, syariat adalah hukum Tuhan, yang hanya Tuhan
sendirilah yang paham, sedangkan fikih sekadar penafsiran manusia atas
hukum Tuhan itu, yang bisa berbeda-beda dan beraneka ragam. Itulah
beberapa pemahaman dari sebagian kaum Muslim yang sudah ter-Barat-kan
dalam memandang fikih dan syariat Islam. Betulkah demikian?
Telaah Kitab kali ini bermaksud meluruskan kembali makna fikih dan syariat, dengan merujuk pada penjelasan yang ada dalam kitab, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, jilid
III, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di samping yang terdapat dalam
beberapa kitab ushul fikih karya para ulama yang lain. Selamat membaca!
Pemahaman Keliru Tentang Fikih dan Syariat Islam
Pertama, fikih
dianggap sebagai hukum syariat yang bisa berubah-ubah sesuai dengan
kondisi, waktu, dan tempat. Di antara argumentasi yang dijadikan dalih
untuk mendukung anggapan ini adalah adanya qawl qadîm dan qawl jadîd-nya
Imam asy-Syafi‘i serta adanya perbedaan fatwa hukum yang dikeluarkan
oleh para ulama dalam kasus yang sama pada tempat, kondisi, dan waktu
yang berbeda. Kenyataan ini dianggap sebagai bukti bahwa fikh bisa berubah karena perubahan tempat, kondisi, dan waktu.
Kedua, fikih dianggap berbeda dengan syariat. Fikih digali dari nash yang dzanni, bisa disesuaikan dengan kondisi dan fakta, sedangkan syariat digali dari dalil yang qath‘i. Pemahaman fikih semacam ini telah menempatkan fikih pada kondisi interpretasi (on interpretation), sedangkan syariat pada kondisi nir-interpretasi. Bahkan,
sebagian orang menganggap syariat itu hanya diketahui oleh Allah Swt.,
sedangkan manusia hanya mengetahui fikih belaka. Karena itu, jargon
penerapan syariat Islam yang dipropagandakan sebagian gerakan Islam
mereka anggap sebagai propaganda dangkal yang tidak sejalan dengan akal
sehat. Menurut mereka, yang benar adalah menerapkan fikih Islam bukan
menerapkan syariat Islam. Sebab, masih menurut mereka, kebenaran syariat
itu bersifat mutlak, dan hanya diketahui oleh al-Khaliq. Atas dasar
itu, perjuangan menerapkan syariat Islam sama artinya dengan
memperjuangkan sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.
Ketiga, dari
sisi metodologi, sebagian orang menganggap bahwa fikih sah-sah saja
digali berdasarkan fakta, kondisi, dan momentum yang sedang berkembang. Lebih
dari itu, muncul anggapan bahwa dalil untuk masalah fikih tidak harus
didasarkan pada dalil-dalil syariat. Fikih bersifat fleksibel dan
dinamis, tidak sebagaimana syariat. Akibatnya, perkara yang sudah jelas
hukumnya bisa diinterpretasi ulang berdasarkan realitas dan kenyataan.
Misalnya, keharaman kepemimpinan wanita dalam institusi negara bisa
diubah menjadi halal–dengan dalih fikih—sesuai dengan konteks realitas dan kepentingan politik. Anggapan
semacam ini telah mereduksi fikih pada tataran yang sangat rendah,
bahkan cenderung melecehkan fikih itu sendiri. Sebab, mereka telah
mensejajarkan fikih dengan pendapat yang lahir dari hawa nafsu dan
kepentingan politik. Lahirlah kemudian, ‘fikih realitas’ (fiqh al-wâqi‘), ‘fikih keseimbangan’ (fiqh al-muwâzanah), ‘fikih gerakan’, dan sebagainya, yang digali berdasarkan realitas dan kenyataan, serta menggunakan metodologi istinbâth (penggalian hukum) yang serampangan. Akhirnya, fikih Islam hanya digunakan sebagai penjustifikasi fakta rusak yang bertentangan dengan syariat Islam.
Inilah beberapa anggapan keliru mengenai fikih dan syariat. Anggapan seperti di atas hamper telah menjadi mainstream berpikir mayoritas kaum muslim. Ironisnya,
asumsi-asumsi salah di atas justru digulirkan oleh sebagian kaum Muslim
dengan dalih ‘pencerahan dan pembaruan’ agama. Padahal, yang terjadi bukanlah pencerahan dan pembaruan, tetapi pembusukan dan penggerusan Islam.
Sudah
semestinya kita meletakkan kembali garis lurus di antara garis-garis
yang bengkok agar umat selalu berjalan di atas jalan yang lurus dan
benar, dan agar mereka tidak mudah berpaling pada propaganda-proganda
murahan.
Menelusuri Kembali Makna Fikih dan Syariat
Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5. Lihat juga: Imam al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 509; Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm.
3; Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9). Sedangkan menurut
Taqiyyuddin al-Nabhani, secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm). (Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5).
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
- Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî). (An-Nabhani, ibid., III/5).
- Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah. (Al-Amidi, op.cit., I/9).
- Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm.3).
Sedangkan syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:
- Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i (An-Nabhani, op.cit., III/31).
- Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-mukallafîn. (Al-Amidi, op.cit.)
- Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd (Al-Amidi, ibid., I/70-71).
- Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm. 7).
Dari
penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat
adalah dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa
dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.
Fikih
adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari
dalil-dalil yang bersifat rinci. Sedangkan syariat adalah hukum Allah
yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia. Menurut
Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah
yang ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang bersifat rinci.
Contohnya, penunjukkan sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah
tanpa wali secara khusus. (Al-Ghazali, op.cit., hlm. 5). Sedangkan hukum syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ yang berhubungan dengan perbuatan hamba, baik dengan iqtidhâ‘, takhyîr, maupun wadh‘i.
Baik
fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran,
Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta
maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun
disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan
keduanya.
Syariat dan Fikih Harus Ditetapkan Berdasarkan Dalil Syariat
Kesalahan anggapan pertama.
Tidak
benar jika dinyatakan bahwa fikih bersifat fleksibel dan bisa
disesuaikan dengan kondisi, tempat, dan waktu; sedangkan syariat tidak. Sebab, baik fikih maupun syariat adalah hukum yang digali (di-istinbâth)
dari dalil-dalil syariat untuk menghukumi sebuah fakta. Dengan kata
lain, fikih dan syariat harus ditetapkan berdasarkan dalil syariat
(al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas), bukan didasarkan pada
kenyataan. Fikih dan syariat harus lahir melalui proses penggalian (istinbâth) terhadap dalil, bukan lahir dari fakta dan kenyataan yang ada.
Perbedaan
fatwa dan pendapat yang dikeluarkan oleh Imam Syafi‘i dalam kasus yang
sama karena adanya perbedaan tempat dan kondisi tidak serta-merta
menunjukkan bahwa beliau telah menjadikan fakta dan kondisi sebagai mashdar al-hukm (sumber
hukum), tetapi harus dipahami bahwa hakikat permasalahannya berbeda,
tidak sama persis. Akibatnya, hukum yang ditetapkan untuk fakta tersebut
adalah berbeda. Bahkan, Imam Syafi‘i sendiri telah mengkritik dengan keras siapa saja yang berdalil dengan istihsân. Beliau menyatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsân
(menetapkan hukum berdasarkan fakta), maka ia telah membuat syariat,
dan siapa saja yang telah nmembuat syariat, maka sesungguhnya ia telah
kafir.”
Kesalahan anggapan kedua.
Fikih memang berbeda dengan syariat, tetapi substansi pembahasannya adalah sama, yakni hukum. Dengan
kata lain, baik fikih dan syariat sama-sama harus lahir dari dalil
syariat, bukan dari fakta atau realitas yang ada. Pendapat yang
menyatakan bahwa fikih bisa disesuaikan dengan fakta harus ditolak.
Sebab, sumber dari fikih adalah al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan
Qiyas. Namun demikian, tatkala seorang fakih hendak
menghukumi sebuah fakta, ia tidak cukup hanya memahami nash-nash syariat
belaka, tetapi juga harus memahami realitas. Ini ditujukan agar hukum
dan realitas yang dihukumi sesuai dan sejalan.
Anggapan bahwa syariat hanya diketahui oleh Allah Swt. saja adalah anggapan yang sangat keliru dan dangkal. Bahkan,
asumsi semacam ini telah menunjukkan bahwa orang tersebut tidak
memahami fikih dan syariat secara mendalam. Sebab, dalam banyak ayat
al-Quran, Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum
dengan hukum Allah (syariat). Lantas, bagaimana mungkin Allah Swt. memerintahkan kepada kita sesuatu yang kita sendiri tidak bisa memahaminya? Mahasuci Allah dari kesia-siaan. Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Demi
Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Karena itu, propaganda penerapan syariat Islam adalah propaganda benar dan perjuangan yang realistis, tidak utopis.
Kesalahan anggapan ketiga.
Dari sisi metodologis (istinbâth),
syariat harus digali dari al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas.
Syariat tidak boleh lahir dari fakta atau bisa dipengaruhi dan
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena perbincangan fikih adalah hukum syariat, maka kaidah istinbâth syar‘iyyah juga berlaku di dalam masalah fikih. Tidak
benar jika sebagian kaum Muslim menyatakan bahwa persoalan fikih bisa
diotak-atik berdasarkan kondisi, waktu, dan tempat. Sebab, ketetapan
hukum apapun harus lahir dari dalil syariat, bukan dari fakta maupun kepentingan politik sesaat.
Khatimah
Sesungguhnya,
di balik pendistorsian makna fikih dan syariat ada maksud-maksud
politis tertentu, yakni menjadikan realitas sekularistik-kapitalistik
ini sebagai sumber untuk menetapkan hukum. Padahal, hukum harus digali
berdasarkan al-Quran, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas; bukan
berdasarkan fakta yang ada. Kedudukan realitas hanyalah sebagai obyek
yang dihukumi (manâth al-hukmi), bukan sebagai sumber hukum. Fakta harus tunduk dan disesuaikan dengan syariat, bukan sebaliknya.
Motif lain dari upaya pendistorsian makna fiih ini adalah untuk melanggengkan rejim sekularistik-kapitalistik yang kufur ini. Dengan
mengatasnamakan fikih, mereka berusaha merusak dan menghancurkan
kesucian syariat Islam. Syariat Islam hanya mereka gunakan sebagai alat
untuk menjustifikasi fakta rusak akibat diterapkannya sistem sekular
yang kufur ini.
Untuk
itu, umat Islam harus segera sadar dan bangkit, bahwa upaya-upaya untuk
merusak dan menghancurkan kesucian ajaran Islam mulai masuk di jantung
pertahanan kaum Muslim, yakni merusakan pemahaman umat terhadap akidah
dan hukum Islam.
Wallâhu a‘lam. [Syamsuddin Ramadlan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar