Tidak Ada Pengangkatan Nabi dan Rasul Baru Setelah Wafatnya Rasulullah Saw
Pada dasarnya, tertutupnya pintu risalah dan nubuwwah
(kenabian) setelah wafatnya Nabi Mohammad saw merupakan perkara
mutawatir, dan telah menjadi konsensus para shahabat ra (ijma’
shahabat). Menyakini masalah ini merupakan bagian dari keimanan, dan siapa saja yang menyelisihinya telah terjatuh kepada kekafiran. Sebab, perkara ini termasuk ma’lum min al-diin wa al-dlarurah, dan bagian dari aqidah al-Islaamiyyah.
Sayangnya,
masalah yang sudah jelas, sejelas matahari di siang hari ini masih saja
dipermasalahkan oleh kaum zindiq yang merasa dirinya masih beriman dan
menjadi bagian dari kaum Muslim. Muncullah kemudian, Nabi dan Rasul palsu yang mengaku-ngaku sebagai Nabi dan Rasul yang dipilih Allah swt. Bahkan, sejak masa Nabi dan shahabat, banyak orang telah mengaku dirinya mendapatkan mandat risalah dan nubuwwah dari Allah swt. Padahal, al-Quran dan Sunnah tidak pernah mengisyaratkan datangnya Nabi dan Rasul setelah Nabi Mohammad saw. Sebaliknya, al-Quran dan Sunnah justru telah menafikan risalah dan nubuwwah setelah wafatnya Nabi Mohammad saw.
Akan
tetapi, terlepas dari tendensi-tendensi culas di balik kemunculan nabi
dan rasul baru ini, kita tetap wajib mengingatkan mereka dengan
penjelasan yang jernih dan mendalam sebagai manifestai kewajiban kita
kepada mereka, sekaligus untuk menunaikan hak mereka untuk mendapatkan
nasehat dan petunjuk yang lurus.
Tidak Akan Ada Nabi dan Rasul Baru
Sesungguhnya,
Al-Quran dan Sunnah telah menjelaskan dengan terang benderang ketiadaan
risalah, Nabi, dan Rasul baru setelah wafatnya Nabi Mohammad saw. Dalil-dalil yang menunjukkan masalah ini sangatlah banyak, dan dilalahnya juga pasti. Untuk itu, masalah ini tidak boleh menjadi bahan diskusi dan perdebatan. Pasalnya,
tertutupnya risalah dan nubuwwah setelah wafatnya Nabi Mohammad saw
merupakan perkara pasti (qath’iy), dan menjadi bagian dari aqidah Islam.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan telah tertutupnya kenabian dan kerasulan adalah sebagai berikut;
Pertama, al-Quran dengan sharih menjelaskan tertutupnya pintu nubuwwah dan risalah setelah wafatnya Nabi Mohammad saw hingga hari kiamat. Beliau
saw, telah ditetapkan Allah swt sebagai penutup para Nabi, atau Nabi
yang terakhir. Tidak akan ada nabi dan rasul baru, setelah diutusnya
Nabi Mohammad saw. Allah swt berfirman;
مَا
كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ
وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad
itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu“.[TQS Al Ahzab (33):40]
Imam Thabariy menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Wahai
manusia, sesungguhnya Nabi Mohammad itu bukanlah bapak dari Zaid bin
Haritsah dan juga bukanlah bapak dari seorang diantara kalian (para
shahabat) yang tidak dilahirkan (keturunan) dari Nabi Mohammad saw;
sehingga ia (Nabi Mohammad) diharamkan menikahi isteri mereka, setelah
mereka mencerainya1. Akan
tetapi, ia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi (khaatam
al-nabiyyiin). Beliau adalah penutup kenabian (nubuwwah), sekaligus
orang yang diberi cap kenabian. Atas dasar itu, kenabian (nubuwwah)
tidak akan dibukakan kepada seorang pun setelah beliau saw, hingga hari
kiamat”.[Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 20, hal. 278]
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini merupakan nash yang menunjukkan tidak adanya nabi setelah Nabi Mohammad saw. Jika tidak ada Nabi setelah beliau saw, lebih-lebih lagi seorang Rasul. Sebab, kedudukan risalah (menyampaikan risalah) lebih khusus daripada kedudukan nubuwwah (kenabian). Pasalnya,
setiap Rasul adalah nabi, tidak sebaliknya. Oleh karena itu, masalah
ini telah disebutkan oleh hadits-hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh
mayoritas shahabat dari Nabi saw. Imam Ahmad menuturkan
dari Thufail bin Ubay bin Ka’ab dari bapaknya, dari Nabi saw, bahwasanya
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya, perumpamaan diriku dibandingkan para
nabi terdahulu, seperti halnya seorang laki-laki yang membangun sebuah
rumah, lalu ia memperbagus dan menyempurnakan rumah tersebut. Akan tetapi, ia melupakan sebuah lubang sebesar batu bata, dan tidak ditutupnya dengan batu bata. Lalu, orang-orang berjalan mengelilingi rumah itu. Tetapi mereka heran dan berkata, “Seandainya lubang ini bisa ditutup dengan batu bata, niscaya ia akan sempurna?. Dan
perumpamaan diriku dibandingkan para nabi terdahulu, seperti halnya
lubang batu bata itu”.[?HR. Imam Ahmad]..Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits, dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya, risalah dan nubuwwah telah terputus. Tidak akan ada rasul dan nabi setelahku..”[HR.Imam Ahmad] [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzab (33):40]
Imam Al Baghawiy di dalam Tafsir Al-Baghawiy menuturkan, “Sesungguhnya, dengan diutusnya Nabi Mohammad swt, Allah swt telah menutup pintu kenabian. Imam ‘Ashim membacanya dengan “khaatam” (huruf ta’-nya difathah), sehingga kedudukannya sebagai isim. Ini bermakna beliau adalah akhir dari para Nabi. ‘Ulama lain membacanya dengan “khaatim” , sehingga kedudukannya sebagai isim faa’il. Sebab, beliau adalah penutup para Nabi”.[Imam al Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 6, hal. 358]
Imam Syaukaniy di dalam kitab Fath al-Qadiir mengatakan, “Jumhur ulama membacanya dengan “khaatima”, sedangkan Imam ‘Ashim membacanya dengan “khaatama”. Bacaan
pertama bermakna “beliau saw datang untuk menutup mereka”, atau beliau
saw datang sebagai Nabi yang memungkasi para Nabi (nabi terakhir). Sedangkan
bacaan kedua bermakna, ‘Sesungguhnya beliau menjadi seperti penutup
(khaatim) bagi para Nabi, yakni beliau adalah orang yang menutup para
Nabi, dan menyempurnakan keberadaan para Nabi. Abu ‘Ubaid berkata, “Makna “khaatim al-syai’ adalah aakhiruhu”(penutup atau terakhir)”.[Imam Syaukani, Fath al-Qadiir, juz 6, hal. 52]
Di dalam Kitab Zaad al-Masiir dinyatakan, “..Al-Zujaj
berkata, “Orang yang membacanya dengan mengkasrahkan ta’ (khaatim),
maka maknanya adalah penutup para Nabi. Sedangkan orang yang membacanya
dengan me-fathah-kan huruf ta’ (khaatama), maka maknanya akhir
(pamungkas) para Nabi.”[Ibnu al-Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 5, hal. 139]
Penafsiran
senada juga diketengahkan oleh para ulama tafsir, semisal, Imam
Qurthubiy, Imam Nasafiy, Imam Ibnu Taimiyyah, Imam Baidlawiy, Imam
al-Baghawiy, dan lain sebagainya. Atas dasar itu, kata
“khaatam” yang terdapat di dalam surat Al Ahzab ayat 40 tidak mungkin
ditafsirkan dengan penafsiran lain, selain “penutup para Nabi, atau Nabi
pamungkas (terakhir)”. Dari sini pula dapat dipahami,
sesungguhnya Allah swt telah menutup pintu risalah dan nubuwwah setelah
wafatnya Nabi Mohammad saw hingga akhir zaman. Tidak akan pernah ada pengangkatan Nabi atau Rasul baru.
Pengertian ayat di atas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang menuturkan tertutupnya risalah dan kenabian. Menurut
Imam Ibnu Katsir, riwayat-riwayat yang berbicara mengenai tertutupnya
risalah dan kenabian setelah wafatnya Nabi Mohammad saw adalah
mutawatir. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai berikut;
Imam Turmudziy mengetengahkan sebuah riwayat dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw bersabda:”Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada rasul dan nabi sesudahku.”[HR. Turmudziy, juz 3, hal. 364]
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,”Adalah
Bani Israil, urusan mereka senantiasa diatur oleh para Nabi, setiap
Nabinya telah wafat, maka akan diganti Nabi yang lain. Akan tetapi, tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah dan jumlahnya sangat banyak.” [HR. Imam Bukhari, juz 2, hal. 175]
Imam Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadits dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya,” “Bahwasanya Rasulullah saw berangkat menuju Tabuk dan mengangkat Ali ra sebagai penggantinya di Madinah. Lalu Ali berkata, “Apakah engkau mengangkatku untuk mengurusi anak-anak dan wanita? Beliau saw bersabda,”Tidakkah engkau rela (wahai Ali), bahwa kedudukanmu sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa? Akan tetapi, tidak ada nabi setelahku.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Turmudziy meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, bahwasanya Rasulullah saw bersabda “Jika ada Nabi sesudahku, tentu yang akan menjadi Nabi adalah Umar bin Khaththab.”[HR. Turmudziy, juz 5, hal. 338] Seandainya ada nabi setelah Rasul, tentunya yang lebih berhak menyandang adalah Umar bukan Mirza Ghulam Ahmad. Faktanya, Umar tidak menjadi Nabi. Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa setelah Nabi saw wafat tidak ada lagi nabi dan Rasul.
Imam Muslim, dalam Shahih Muslim meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:”Sesungguhnya,
saya adalah Nabi yang paling akhir, dan sesungguhnya masjidku adalah
yang paling akhir dari sekalian masjid yang dibangun oleh para Nabi.”[HR. Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 581]
Imam Ahmad menuturkan dari Thufail bin Ubay bin Ka’ab dari bapaknya, dari Nabi saw, bahwasanya Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya, perumpamaan diriku dibandingkan para nabi terdahulu,
seperti halnya seorang laki-laki yang membangun sebuah rumah, lalu ia
memperbagus dan menyempurnakan rumah tersebut. Akan tetapi, ia melupakan sebuah lubang sebesar batu bata, dan tidak ditutupnya dengan batu bata. Lalu, orang-orang berjalan mengelilingi rumah itu. Tetapi mereka heran dan berkata, “Seandainya lubang ini bisa ditutup dengan batu bata, niscaya ia akan sempurna?. Dan perumpamaan diriku dibandingkan para nabi terdahulu, seperti halnya batu bata yang akan menutupi lubang itu“.[HR. Imam Ahmad] Hadits-hadits dengan redaksi dan pengertian senada juga diriwayatkan oleh Imam-imam hadits yang lain.
Imam Muslim menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi Mohammad saw bersabda, “Keutamaanku
dibandingkan Nabi-nabi terdahulu ada 6 hal. Pertama,aku diberi kalimat
yang sempurna dan menyeluruh. Kedua, aku ditolong di saat ketakutan.
Ketiga, telah dihalalkan kepadaku binatang ternak. Keempat, semua bumi
dijadikan untukku tempat sujud dan suci. Kelima, aku diutus untuk seluruh umat manusia, dan keenam, aku adalah penutup para Nabi (nabi pamungkas).”[HR. Imam Muslim]
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari ‘Irbaadl bin Saariyah, bahwasanya ia berkata, “Nabi Mohammad saw bersabda berkata kepada, “Aku ini disisi Allah swt adalah penutup para Nabi..”[HR. Imam Ahmad]
Al-Zuhriy juga menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Mohammad dan Ahmad. Aku adalah al-Maahiy, dimana melalui aku, Allah swt menghapus kekafiran. Aku adalah al-Haasyir, yang akan mengumpulkan manusia di bawah telapak kakiku. Aku adalah al-’aaqib (pamungkas), yang tidak akan ada Nabi setelahku..”[HR. Imam Bukhari dan Muslim]. Al-’Aaqib maknanya adalah nabi terakhir yang tidak ada nabi dan rasul sesudahnya. Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Turmudziy juga meriwayatkan hadits-hadits yang menuturkan tentang al-’aaqib. [lihat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 2, hal. 270; Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 2, hal. 336; Imam Turmudziy, Sunan Turmudziy, juz. 4, hal. 214]. Bentuk muanntas (perempuan) dari kata ‘aaqib adalah ‘aaqibah yang di dalam al-Quran, semuanya bermakna akhir atau kesudahan. Diantaranya adalah firman Allah swt, “Dan kami telah turunkan hujan kepada mereka (kaum Nabi Luth) dengan hujan batu, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan (akhir) [‘aaqibah] orang-orang yang berdosa.”[al-A’raf:84]. Allah swt juga berfirman, “Maka, perhatikanlah bagaimana kesudahan (akhir) [‘aaqibah] orang yang berbuat kerusakan.”[al-A’raf:103]
Imam Muslim, dalam Shahih Muslim meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya,
saya adalah Nabi yang paling akhir, dan sesungguhnya masjidku adalah
yang paling akhir dari sekalian masjid yang dibangun oleh para Nabi.”[HR. Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 581] Masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi “la nabiyya ba’diy“. Hadits-hadits
di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa risalah dan nubuwah
telah berakhir setelah mangkatnya Nabi Mohammad saw. Tidak ada lagi nabi dan rasul baru setelah datangnya nabi terakhir, Mohammad saw. Dengan kata lain, tidak ada Nabi yang tidak membawa syariat, maupun Nabi baru yang membawa syariat setelah Rasulullah saw.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amru, bahwasanya ia berkata, “Suatu hari, kami keluar bersama Nabi saw, seakan-akan hari itu adalah hari terakhir perpisahan. Kemudian beliau saw bersabda, “Aku adalah Mohammad, seorang Nabi yang ummiy. Beliau
mengucapkan hal itu hingga tiga kali, dan tidak akan ada Nabi setelah
aku. Aku telah diberi pembukaan-pembukaan kalimat, kesempurnaan, dan
juga penutupnya. Aku juga telah diberitahu jumlah perbendaharaan neraka dan jumlah malaikat pemikul ‘Arsy…”[HR. Imam Ahmad]
Imam Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadits dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya,” Bahwasanya Rasulullah saw berangkat menuju Tabuk dan mengangkat Ali ra sebagai penggantinya di Madinah. Lalu Ali berkata, “Apakah engkau mengangkatku untuk mengurusi anak-anak dan wanita? Beliau saw bersabda,”Tidakkah engkau rela (wahai Ali), bahwa kedudukanmu sebagaimana kedudukan Harun terhadap Musa? Akan tetapi, tidak ada nabi setelahku.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits bahwasanya Ismail pernah bertanya kepada Ibnu Abi Aufa, “Anda melihat Ibrahim putra Nabi Mohammad saw? Ibnu Aufa menjawab, “Ia meninggal di saat masih kecil. Seandainya ditetapkan akan ada Nabi lagi setelah Nabi Mohammad saw, sungguh ia (Ibrahim) akan diangkat menjadi Nabi. Hanya saja, tidak ada Nabi setelah beliau saw”.[HR. Imam Bukhari]
Masih
banyak hadits-hadits lain yang menuturkan tertutupnya pintu risalah dan
nubuwwah setelah wafatnya Rasulullah saw hingga hari kiamat. Imam
Ibnu Katsir, setelah menguraikan hadits-hadits yang menafikan adanya
Nabi dan Rasul baru setelah Nabi Mohammad saw, menyatakan, “…Sesungguhnya,
hadits-hadits semacam ini (tertutupnya risalah dan nubuwwah setelah
Nabi Mohammad saw) jumlahnya sangatlah banyak. Salah satu bentuk kasih
sayang Allah swt kepada hambaNya adalah diutusnya Nabi Mohammad saw
kepada mereka. Sedangkan salah satu bentuk pemuliaan Allah kepada
hambaNya adalah; ditetapkannya Nabi Mohammad saw sebagai penutup para
Nabi dan Rasul, disempurnakanNya agama yang hanif (Islam) kepada beliau
saw. Sesungguhnya, di dalam al-Quran dan hadits-hadits
mutawatir, Allah swt dan RasulNya telah menginformasikan tidak akan
adanya Nabi lagi setelah beliau saw. Ini ditujukan agar
umat mengetahui bahwa siapa saja yang mengaku-ngaku mendapatkan
kedudukan ini (nubuwwah dan risalah), sesungguhnya ia adalah pembohong
besar, Dajjal yang sesat dan menyesatkan; orang itu mampu
mengeluarkan api, bermain sulap, mendatangkan berbagai macam bentuk
sihir, mantera, tak mempan dibakar api, dan lain sebagainya. Semua
itu adalah sesuatu yang khayali dan menyesatkan bagi orang-orang yang
berakal; seperti halnya Allah telah membinasakan al-Aswad al-’Ansiy di
Yaman, dan Musailamah al-Kadzdzab di Yamamah…Keduanya adalah pembohong
dan orang-orang tersesat yang dilaknat oleh Allah swt. Ketentuan ini juga berlaku hingga hari kiamat, bagi siapa saja yang mengaku-ngaku mendapatkan nubuwwah dan risalah..”[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Ahzab:40]
Di dalam sebuah hadits shahih juga dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda, “Demi
Allah, seandainya Nabi Musa as hidup di tengah-tengah kalian, maka
tidak ada pilihan lain bagi dirinya, kecuali mengikuti aku”.[HR. Imam Ahmad, al-Bazar dalam Musnad al-Bazar, Imam Al-Daramiy, Imam al-Haitsami, dan lain sebagainya]. Riwayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa Nabi Mohammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul hingga hari kiamat. Dengan kata lain, tidak ada lagi nubuwwah dan risalah setelah diutusnya Nabi Mohammad saw, hingga hari kiamat.
Kedua, Allah swt telah menyempurnakan agama Islam untuk seluruh umat manusia hingga datangnya hari perhitungan. Allah swt berfirman;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“..Pada
hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu“.[TQS Al Maidah (5):3]
Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini beliau menyatakan, “Ini adalah nikmat paling besar kepada umat ini (umat Islam). Sebab,
Allah swt telah menyempurnakan agama Islam untuk mereka, sehingga
mereka tidak memerlukan agama lain, dan nabi-nabi yang lain selain Nabi
Mohammad saw. Untuk itu, Allah telah menjadikan Nabi Mohammad saw
sebagai penutup para Nabi, dan mengutusnya untuk seluruh umat manusia..”[Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 26]
Ketiga,
para ulama salaf dan khalaf telah sepakat, bahwa satu-satunya jalan
untuk mengetahui hukum-hukum Allah harus melalui seorang Rasul. Tidak ada jalan lain untuk mengetahui syariat Allah selain merujuk kepada informasi dari Rasul Allah swt. Allah swt berfirman;
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ
الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا
بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
“Manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.“[TQS Al Baqarah (2):213]
Tatkala
menjelaskan ayat di atas, Imam Qurthubiy menyatakan, satu-satunya jalan
untuk mengetahui hukum-hukum Allah adalah melalui perantara para Rasul. Barangsiapa
berpendapat ada jalan lain selain melalui perantara Rasul Allah untuk
mengetahui hukum-hukum Allah, maka artinya ia telah mengingkari
keberadaan Rasul sebagai pembawa risalah dari Allah. Orang semacam ini dihukumi kafir, wajib dibunuh, dan taubatnya tidak diterima. Selain
itu, jika ada jalan lain untuk mengetahui hukum-hukum Allah, sama
artinya ia menyakini kemungkinan adanya Rasul baru setelah Nabi Mohammad
saw. Padahal tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Mohammad saw.
Konsensus Shahabat Mengenai Hukuman Mati Bagi Orang-orang Zindiq Serta Nabi dan Rasul Palsu
Pada dasarnya, sejak masa Rasulullah saw sudah ada orang yang mengaku dirinya Nabi Rasul, diantaranya adalah Musailamah al-Habib yang berasal dari Yamamah dan al-Aswad bin Ka’ab al-’Ansiy dari Shuna’a. Hanya, saja Rasulullah saw belum memerangi mereka dikarenakan kesibukan beliau menangani urusan-urusan lain yang lebih penting. Dalam
Sirah Ibnu Hisyam dituturkan, bahwa Musailamah pernah menulis surat dan
mengirim dua orang utusan kepada Rasulullah saw.[Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, hal 866] Di
dalam sebuah hadits dituturkan, bahwasanya setelah Nabi saw membaca
surat Musailamah, beliau bertanya kepada dua utusan Musailamah,”Bagaimana pendapat kalian berdua?” Dua utusan itu menjawab, “Pendapat kami seperti yang ia katakan.” Mendengar ini Nabi saw bersabda: “Kalaulah tidak karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, niscaya telah kupenggal leher kalian.”[HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud]
Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar, barulah para shahabat ra memerangi
Musailamah al-Kadzdzab, nabi-nabi palsu, kaum murtad, dan para penolak
zakat. [lihat al-Hafidz al-Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa’, hal. 55-59]. Adapun panglima perang yang ditunjuk oleh khalifah Abu Bakar untuk memerangi Musailamah al-Kadzab adalah Khalid bin Walid. Akhirnya, atas ijin Allah swt, Musailamah al-Kadzab laknatullah berhasil dibunuh.
Pada tahun 12 hijrah, Abu Bakar mengutus al-’Ilaa’ bin al-Hadlramiy untuk memerangi orang-orang murtad yang ada di Bahrain. Beliau juga mengutus al-Muhajir bin Abi Umayyah untuk memerangi orang-orang murtad yang ada di Najiir. Beliau juga mengirim Ziyad bin Labid al-Anshariy untuk memerangi sekelompok orang-orang yang keluar dari Islam. [al-Hafidz al-Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa’, hal. 58]
Prof. Mohammad Hamidullah, di dalam kitab al-Watsaaiq al-Siyaasiyyah li al-’Ahd al-Nabawiy wa al-Khulafaa’ al-Raasyidiin,
menuturkan bahwasanya Abu Bakar ra mengutus beberapa orang shahabat
untuk memerangi orang-orang yang murtad dari Islam; diantaranya adalah
orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi dan Rasul, para penolak
zakat, dan lain sebagainya. Abu
Bakar mengangkat Khalid bin Walid untuk memerangi Thulaihah bin
Khuwailid, dan jika ia telah selesai melaksanakan tugasnya, ia disuruh
memerangi Malik bin Nuwairah (penolak kewajiban zakat) di Bathaah. Beliau
mengangkat ‘Ikrimah bin Abi Jahal untuk memerangi Musailamah
al-Kadzdzab di Yamamah, dan setelah selesai ia ditugaskan untuk
berangkat menuju Qadla’ah. Beliau juga mengangkat Muhajir bin Abi Umayyah untuk memerangi al-’Ansiy; melindungi penduduk Yaman dari Qais bin Maksyuuh. Setelah selesai ia ditugaskan memerangi Bani Kindah di Hadlramaut. Beliau juga mengutus Khalid bin Sa’id bin al-’Ash ke Yaman dan al-Hamqatain di daerah Masyaarif al-Syam. Beliau
mengirim ‘Amru bin ‘Ash untuk memerangi kaum murtad di Bani Qudlaa’ah,
Wadi’ah, dan al-Harits. Beliau mengangkat Hudzaifah bin Mihshan
al-Ghalfaaniy untuk memerangi kaum murtad di Daba yang terletak di ‘Amman. Beliau mengutus ‘Urfajah bin Hartsamah untuk memerangi kaum murtad di Mahrah. Beliau
mengangkat Suwaid bin Muqarrin untuk memerangi kaum murtad di Tihamah,
Yaman. Sedangkan Tharifah bin Hajiz, beliau utus untuk memerangi kaum
murtad di Bani Sulaim. Beliau ra mengirim al-’Ila’ al-Hadlramiy untuk memerangi kaum murtad di Bahrain. [Mohammad Hamidullah, al-Watsaaiq al-Siyaasiyyah li al-’Ahd al-Nabawiy wa al-Khulafaa’ al-Raasyidiin, hal. 338-339]
Semua
ini menunjukkan bahwa, orang-orang Islam yang mengaku dirinya sebagai
Nabi baru beserta pengikut-pengikutnya adalah kafir, dan diperlakukan
sama seperti orang-orang yang murtad dari Islam. Mereka diminta bertaubat dan kembali kepada Islam. Jika mereka menolak mereka wajib diperangi.
Tidak
bisa dinyatakan, bahwa orang-orang yang mendirikan agama baru dan
keyakinan baru, seraya mendakwakan dirinya Nabi baru, dibiarkan begitu
saja atau malah kita wajib tolerans kepada mereka, seperti halnya sikap
kita terhadap para pemeluk agama-agama Kristen, Yahudi, Budha, dan lain
sebagainya. Sebab, ijma’ shahabat telah sepakat, bahwa orang-orang yang mengaku-ngaku Nabi baru dan mendirikan agama baru, harus diperangi. Oleh karena itu, siapa saja yang mengaku dirinya Nabi atau Rasul, beserta orang-orang yang mengikutinya dihukumi kafir-zindiq; dan mereka dijatuhi sanksi hukuman mati. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwaam al-Thaariq. [Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy]
Catatan kaki:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar