RUKUN ISLAM
بُنِيَ
اْلإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا اِلٰهَ
اِلَّا اللّٰهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ
،
وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ .
Islam dibangun di atas lima pilar:
kesaksian bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji; dan puasa Ramadhan
(HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi,
an-Nasai dan Ibn Hibban).
Hadis
ini diriwayatkan dari jalur Ibn Umar ra. Oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim,
at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni. Dari jalur Jarir bin
Abdillah oleh Imam Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Abu Ya’la, ath-Thabarani, al-Baihaqi
dan adh-Dhiya’; dari jalur Abu Hurairah ra. Oleh Ibn Najar.
Dalam
mayoritas lafal hadis ini, haji disebutkan lebih dahulu. Namun, dalam salah
satu riwayat Muslim dari Ibn Umar, haji disebutkan setelah puasa Ramadhan. Saat
seseorang berkata, “Berhaji dan puasa Ramadhan,” Ibn Umar berkata, “Tidak,
puasa Ramadhan dan haji. Begitulah aku mendengarnya dari Rasulullah saw.”
Para
ulama mengatakan bahwa hadis ini termasuk pokok agama. Imam an-Nawawi
mencantumkannya sebagai hadis ketiga di dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah setelah
hadis niat dan hadis Jibril tentang iman, Islam dan ihsan.
Hadis
ini menyatakan lima pilar bangunan Islam. Lafal Muhammad bin Nashr al-Marwazi
di dalam Ta’zhîm Qadri ash-Shalâh menegaskan hal itu; (بُنِيَ
اْلإِسْلَامُ عَلَى خَمْسِ دَعَائِمٍ) “Buniya al-Islâm ‘alâ
khamsi da‘â’im (Islam dbangun di atas lima pilar).”
Penyerupaan
kelimanya seperti pilar bangunan untuk memberikan deskripsi yang jelas tentang
pentingnya kelima hal itu. Bangunan tidak akan ina kokoh jika pilar-pilarnya
tidak kokoh. Kelima pilar tegaknya bangunan Islam itu adalah: Pertama,
dua kalimat syahadat. Syahadat adalah keyakinan (pengetahuan) di dalam hati
yang diucapkan dengan lisan dan diberitahukan kepada khalayak. Karena itu, yang
dimaksud dalam hadis ini adalah mengikrarkan dengan lisan di hadapan
orang-orang bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Dengan itu seseorang secara formal menjadi Muslim dan terkena semua
seruan syariah.
Kedua, menegakkan shalat. Maknanya adalah melaksanakan shalat sesuai
dengan ketentuannya baik waktu, rukun, syarat; wajib dan sunnahnya; ‘azimah dan
rukhsah-nya; serta memelihara keajegan pelaksanaannya. Menegakkan shalat
dicantumkan setelah syahadat menunjukkan betapa pentingnya shalat dalam Islam.
Seperti wasiat Nabi saw. Kepada Muadz bin Jabal, shalat merupakan tiang agama.
Di dalam hadis shahih juga dinyatakan bahwa shalat adalah simpul yang paling
akhir hilang. Shalat juga yang pertama dihisab di akhirat nanti dan
mempengaruhi baik dan buruknya amal-amal lainnya. Shalat merupakan ibadah
badaniah, pelaksanaannya bisa terlihat kasatmata, dan manfaat langsungnya
bersifat personal; yaitu hikmahnya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Dari sisi waktu, shalat merupakan ibadah yang sifatnya kontinu harian.
Ketiga, menunaikan zakat. Zakat dicantumkan setelah shalat, karena di
dalam a-Quran dan as-Sunnah, pada galibnya zakat dikaitkan dengan shalat. Zakat
merupakan ibadah yang bersifat financial dan manfaatnya secara materi melampaui
pelakunya. Allah mewajibkannya dalam harta orang kaya dalam bentuk yang
memberikan manfaat kepada orang fakir dan tidak membahayakan orang kaya, karena
zakat itu hanyalah jumlah sedikit dari harta yang banyak. Zakat merupakan
ibadah yang sifatnya financia tahunan karena wajib ditunaikan setelah berlalu
satu haul; kecuali zakat hasil pertanian dan buah-buahan yang periodik setiap
kali panen.
Keempat, berhaji. Berhaji disebutkan setelah zakat sebelum puasa Ramadhan.
Urutan demikian adalah periwayatan secara maknawi, sementara secara lafzhi,
seperti yang dinyatakan Ibn Umar dalam riwayat Muslim, berhaji disebutkan
setelah puasa Ramadhan. Mayoritas riwayat menyebutkan berhaji lebih dulu dan
ini pulalah yang dipilih Imam al-Bukhari. Berhaji mewakili jenis ibadah ketiga
setelah shalat dan zakat, yaitu merupakan ibadah yang bersifat badaniah
sekaligus financial. Dari sisi waktu, berhaji bukanlah ibadah yang sifatnya
inancia karena berhaji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi
mereka yang mampu untuk berhaji. Di dalam ibadah haji itu terdapat hikmah
berupa berbagai manfaat baik financial maupun bukan dan bisa dirasakan oleh
semua orang bukan hanya yang fakir saja (lihat QS al-Hajj [22]: 28).
لِيَشۡهَدُوۡا
مَنٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُوا اسۡمَ اللّٰهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُوۡمٰتٍ عَلٰى
مَا رَزَقَهُمۡ مِّنۡ بَهِيۡمَةِ الۡاَنۡعٰمِۖ فَكُلُوۡا مِنۡهَا وَأَطۡعِمُوا الۡبَآئِسَ
الۡفَقِيۡرَ ٢٨
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang
Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS al-Hajj [22]:28).
Kelima, puasa Ramadhan. Sebagian riwayat menyebutkan puasa Ramadhan
sebelum berhaji, sesuai dengan urutan waktu pensyariatannya. Puasa Ramadhan
disyariatkan pada tahun ke dua, sedangkan berhaji disyariatkan (diwajibkan)
pada tahun ke enam atau ketujuh hijriyah. Dalam riwayat yang menyebut puasa
Ramadhan dalam urutan terakhir, ada indikasi bahwa puasa merupakan ibadah
badaniah dan hikmah langsungnya juga bersifat personal. Sifat itu sudah
diwakili oleh shalat. Dari sisi periode, sifatnya tahunan dan sifat demikian
sudah terwakili oleh zakat. Puasa Ramadhan disebutkan sebagai pilar (rukun)
Islam, karena keistimewaan yang pelaksanaannya tidak bisa begitu saja terlihat
secara kasatmata. Jadi sifatnya sangat personal antara seorang hamba dengan
Allah. Allah SWT juga memposisikan puasa sebagai ibadah yang khusus untuk-Nya
dan hanya Dia saja yang menentukan besaran pahalanya.
Kelima
rukun (pilar) tersebut mewakili semua jenis dan sifat ketaatan, yang berisfat
badaniah, financial atau keduanya; periode harian, tahunan atau sekali seumur
hidup; dan manfaat langsungnya bersifat personal, dirasakan orang fakir atau
bersifat umum untuk orang kebanyakan; pelaksanaannya bisa terlihat langsung
secara kasatmata ataupun tidak karena lebih khusus antara hamba dengan Allah.
Alhasil, hadis ini mendeskripsikan bahwa bangunan Islam itu dibangun dan tegak
di atas semua jenis dan bentuk ketaatan serta ketundukan total kepada Allah
SWT. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/N0.115/Maret 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar