Kamis, 13 November 2014

RUKUN ISLAM



RUKUN ISLAM

بُنِيَ اْلإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ .
Islam dibangun di atas lima pilar: kesaksian bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji; dan puasa Ramadhan
(HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibn Hibban).

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Ibn Umar ra. Oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni. Dari jalur Jarir bin Abdillah oleh Imam Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Abu Ya’la, ath-Thabarani, al-Baihaqi dan adh-Dhiya’; dari jalur Abu Hurairah ra. Oleh Ibn Najar.
Dalam mayoritas lafal hadis ini, haji disebutkan lebih dahulu. Namun, dalam salah satu riwayat Muslim dari Ibn Umar, haji disebutkan setelah puasa Ramadhan. Saat seseorang berkata, “Berhaji dan puasa Ramadhan,” Ibn Umar berkata, “Tidak, puasa Ramadhan dan haji. Begitulah aku mendengarnya dari Rasulullah saw.”
Para ulama mengatakan bahwa hadis ini termasuk pokok agama. Imam an-Nawawi mencantumkannya sebagai hadis ketiga di dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah setelah hadis niat dan hadis Jibril tentang iman, Islam dan ihsan.
Hadis ini menyatakan lima pilar bangunan Islam. Lafal Muhammad bin Nashr al-Marwazi di dalam Ta’zhîm Qadri ash-Shalâh menegaskan hal itu; (بُنِيَ اْلإِسْلَامُ عَلَى خَمْسِ دَعَائِمٍ) “Buniya al-Islâm ‘alâ khamsi da‘â’im (Islam dbangun di atas lima pilar).”
Penyerupaan kelimanya seperti pilar bangunan untuk memberikan deskripsi yang jelas tentang pentingnya kelima hal itu. Bangunan tidak akan ina kokoh jika pilar-pilarnya tidak kokoh. Kelima pilar tegaknya bangunan Islam itu adalah: Pertama, dua kalimat syahadat. Syahadat adalah keyakinan (pengetahuan) di dalam hati yang diucapkan dengan lisan dan diberitahukan kepada khalayak. Karena itu, yang dimaksud dalam hadis ini adalah mengikrarkan dengan lisan di hadapan orang-orang bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dengan itu seseorang secara formal menjadi Muslim dan terkena semua seruan syariah.
Kedua, menegakkan shalat. Maknanya adalah melaksanakan shalat sesuai dengan ketentuannya baik waktu, rukun, syarat; wajib dan sunnahnya; ‘azimah dan rukhsah-nya; serta memelihara keajegan pelaksanaannya. Menegakkan shalat dicantumkan setelah syahadat menunjukkan betapa pentingnya shalat dalam Islam. Seperti wasiat Nabi saw. Kepada Muadz bin Jabal, shalat merupakan tiang agama. Di dalam hadis shahih juga dinyatakan bahwa shalat adalah simpul yang paling akhir hilang. Shalat juga yang pertama dihisab di akhirat nanti dan mempengaruhi baik dan buruknya amal-amal lainnya. Shalat merupakan ibadah badaniah, pelaksanaannya bisa terlihat kasatmata, dan manfaat langsungnya bersifat personal; yaitu hikmahnya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dari sisi waktu, shalat merupakan ibadah yang sifatnya kontinu harian.
Ketiga, menunaikan zakat. Zakat dicantumkan setelah shalat, karena di dalam a-Quran dan as-Sunnah, pada galibnya zakat dikaitkan dengan shalat. Zakat merupakan ibadah yang bersifat financial dan manfaatnya secara materi melampaui pelakunya. Allah mewajibkannya dalam harta orang kaya dalam bentuk yang memberikan manfaat kepada orang fakir dan tidak membahayakan orang kaya, karena zakat itu hanyalah jumlah sedikit dari harta yang banyak. Zakat merupakan ibadah yang sifatnya financia tahunan karena wajib ditunaikan setelah berlalu satu haul; kecuali zakat hasil pertanian dan buah-buahan yang periodik setiap kali panen.
Keempat, berhaji. Berhaji disebutkan setelah zakat sebelum puasa Ramadhan. Urutan demikian adalah periwayatan secara maknawi, sementara secara lafzhi, seperti yang dinyatakan Ibn Umar dalam riwayat Muslim, berhaji disebutkan setelah puasa Ramadhan. Mayoritas riwayat menyebutkan berhaji lebih dulu dan ini pulalah yang dipilih Imam al-Bukhari. Berhaji mewakili jenis ibadah ketiga setelah shalat dan zakat, yaitu merupakan ibadah yang bersifat badaniah sekaligus financial. Dari sisi waktu, berhaji bukanlah ibadah yang sifatnya inancia karena berhaji diwajibkan hanya sekali seumur hidup, itu pun bagi mereka yang mampu untuk berhaji. Di dalam ibadah haji itu terdapat hikmah berupa berbagai manfaat baik financial maupun bukan dan bisa dirasakan oleh semua orang bukan hanya yang fakir saja (lihat QS al-Hajj [22]: 28).
لِيَشۡهَدُوۡا مَنٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُوا اسۡمَ اللّٰهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُوۡمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمۡ مِّنۡ بَهِيۡمَةِ الۡاَنۡعٰمِۖ فَكُلُوۡا مِنۡهَا وَأَطۡعِمُوا الۡبَآئِسَ الۡفَقِيۡرَ ٢٨
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS al-Hajj [22]:28).
Kelima, puasa Ramadhan. Sebagian riwayat menyebutkan puasa Ramadhan sebelum berhaji, sesuai dengan urutan waktu pensyariatannya. Puasa Ramadhan disyariatkan pada tahun ke dua, sedangkan berhaji disyariatkan (diwajibkan) pada tahun ke enam atau ketujuh hijriyah. Dalam riwayat yang menyebut puasa Ramadhan dalam urutan terakhir, ada indikasi bahwa puasa merupakan ibadah badaniah dan hikmah langsungnya juga bersifat personal. Sifat itu sudah diwakili oleh shalat. Dari sisi periode, sifatnya tahunan dan sifat demikian sudah terwakili oleh zakat. Puasa Ramadhan disebutkan sebagai pilar (rukun) Islam, karena keistimewaan yang pelaksanaannya tidak bisa begitu saja terlihat secara kasatmata. Jadi sifatnya sangat personal antara seorang hamba dengan Allah. Allah SWT juga memposisikan puasa sebagai ibadah yang khusus untuk-Nya dan hanya Dia saja yang menentukan besaran pahalanya.
Kelima rukun (pilar) tersebut mewakili semua jenis dan sifat ketaatan, yang berisfat badaniah, financial atau keduanya; periode harian, tahunan atau sekali seumur hidup; dan manfaat langsungnya bersifat personal, dirasakan orang fakir atau bersifat umum untuk orang kebanyakan; pelaksanaannya bisa terlihat langsung secara kasatmata ataupun tidak karena lebih khusus antara hamba dengan Allah. Alhasil, hadis ini mendeskripsikan bahwa bangunan Islam itu dibangun dan tegak di atas semua jenis dan bentuk ketaatan serta ketundukan total kepada Allah SWT. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/N0.115/Maret 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar