NIAT DAN KEDUDUKANNYA
اِنَّمَا
اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ اِلَي اللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
اِلَي اللّٰهِ
وَرَسُوْلِهِ ،
وَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا
فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَا هَاجَرَ اِلَيْهِ .
Sesungguhnya perbuatan itu bergantung pada niatnya
dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang
hijrahnya karena dunia atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya adalah
pada apa yang dia tuju itu
(HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi,
an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, al-Humaidi, Ibn al-Jarud, Ibn Hibban, ath-Thahawi,
ath-Thayalisi, ad-Daraquthni dan lainnya)
Hadis ini
adalah hadis gharîb. Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Arba’în,
itu karena hanya Umar bin al-Khaththab ra. yang meriwayatkannya dari Rasulullah
saw. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh Alqamah bin Abi Waqash; dari Alqamah
hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi; dari Muhammad bin
Ibrahim hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Said al-Anshari. Dari Yahya bin Sa’id
barulah diriwayatkan oleh banyak orang hingga lebih dari dua ratus orang yang
kebanyakan adalah para imam.
Menurut
mayoritas ulama, lafal (اِنَّمَا) innamâ adalah untuk membatasi (لِلْحَصْرِ). Maknanya adalah bahwa perbuatan itu
bergantung pada niatnya. Artinya, tidak ada perbuatan kecuali dengan niat.
Penafian yang dimaksud adalah penafian konsekuensi hukum perbuatan itu dari
sisi keabsahannya. Artinya, niat menentukan status perbuatan. Hadis ini juga
menunjukkan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan dari perbuatannya sesuatu
yang sesuai dengan apa yang dia niatkan.
Jadi,
hadis ini menyiratkan dua hal. Pertama: niat dari sisi motif
suatu perbuatan. Kedua: “niat” sebagai penentu perbuatan. Ibn
Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikâm menyatakan bahwa niat
dalam pembicaraan para ulama ada dua makna: Pertama, penentuan
maksud (motif) perbuatan apakah karena Allah, karena yang lain atau karena
Allah bersama yang lain. Jadi niat di sini masuk dalam bahasan ikhlas. Kedua,
penentu atau pembeda suatu ibadah dari yang lain; misal shalat, apakah shalat
zhuhur atau ‘asar, wajib atau sunnah; puasa apakah wajib atau sunnah, dsb.
Dari sini
akan jelas lingkup perbuatan yang dicakup oleh makna niat itu. Niat dalam makna
motif (maksud) perbuatan apakah karena Allah atau bukan jelas meliputi semua
perbuatan dan tindakan yang keluar dari manusia. Jika ikhlas semata karena
Allah maka akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika tidak maka tidak akan
mendapat pahala. Hadis ini mencontohkan orang yang berhijrah. Jika dia
melakukankannya dengan niat (maksud) menuju keridhaan Allah maka ia akan
mendapat pahala. Jika dia melakukannya dengan niat (motif) mendapat dunia
(harta, dsb) atau untuk menikahi wanita, maka ia hanya akan mendapatkan dunia
atau wanita itu, namun tidak mendapat pahala di sisi Allah.
Untuk
mengetahui ikhlas atau tidak, mudahnya adalah jika seseorang melakukan atau
tidak melakukan sesuatu karena perintah dan larangan Allah, yaitu karena halal
dan haram, maka saat itu dia ikhlas. Jika orang berpuasa Ramadhan atau shalat
zuhur, karena keduanya wajib, maka itu tanda ikhlas. Jika seseorang menolak
suap, tidak berjudi, dsb, karena semua itu haram, maka ia meninggalkan semua
itu karena ikhlas. Hal itu karena semua itu dilakukan atau tidak dilakukan
karena perintah dan larangan Allah; artinya karena Allah dan itu adalah ikhlas.
Niat dalam
konteks kedua, yaitu menentukan suatu perbuatan, maka hal itu tidak berlaku
dalam semua perbuatan. Ibn Abdis Salam seperti dikutip oleh Ibn Hajar dalam Fath
al-Bârî menyatakan tentang hadis ini: kalimat pertama untuk menjelaskan
perbuatan yang dinilai; kalimat kedua untuk menjelaskan hasil/konsekuensi
perbuatan. Hadis ini memberikan faedah bahwa niat hanya disyaratkan dalam
ibadah yang tidak bisa dibedakan dengan sendirinya. Adapun yang bisa dibedakan
dengan sendirinya ditentukan menurut deskripsinya seperti zikir, berdoa dan
tilawah karena itu sudah jelas sebagai ibadah.
Ibn Rajab
al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan, banyak generasi
belakangan menganggap, maksudnya adalah perbuatan yang sahih, mu’tabar atau
diterima. Atas dasar ini, yang dimaksud tidak lain adalah perbuatan syar’i yang
memerlukan niat. Adapun yang tidak memerlukan niat seperti kebiasaan makan,
minum, berpakaian atau mengembalikan amanah dan jaminan, seperti titipan dan
ghashab, maka tidak memerlukan niat. Semuanya dikhususkan dari keumuman
perbuatan yang disebutkan di sini.
Untuk lebih
jelasnya, tindakan (tasharruf) manusia itu dua jenis. Jenis pertama: tindakan
berupa kata-kata (tasharruf qawliyah) (تَصَرُّف
قَوْلِيَة), yaitu sempurna
dengan kata-kata (redaksi). Dalam hal ini:
1. Tindakan itu
bisa berasal dari seseorang sebagai timbal-balik terhadap pihak lain. Tindakan
seperti ini disebut (عَقْد) ‘aqd (akad).
2. Berasal dari
satu orang saja, misal pengakuan utang atau suatu perbuatan, komitmen, wasiat,
dsb, dan disebut (تَصَرُّف) tasharruf saja.
Dalam
kedua jenis tasharruf ini tidak dimasuki unsur niat dan niat tidak menentukan
sah-tidaknya akad dan tasharruf itu. Sah-tidaknya ditentukan oleh deskripsi,
lafal dan redaksinya.
Jenis
kedua: tindakan dalam bentuk perbuatan (tasharruf fi’liyah) (تَصَرُّف
فِعْلِيَة), penentunya adalah
perbuatan, bukan lisan. Dalam hal ini:
1. Perbuatan
inderawi yang pelaksanaannya sudah menunjukkan maksud (niat) pelakunya sehingga
tidak memerlukan niat. Contoh: mengolah tanah sudah jelas untuk bercocok tanam.
2. Perbuatan
inderawi yang dilakukan atau dihindari secara fisik seperti wudhu, shalat,
berperang, memberi harta, membangun masjid, safar, penyembelihan, dsb; semua
perbuatan semacam ini memerlukan unsur niat untuk menjelaskan maksud atau
tujuannya. Semua ibadah masuk kategori ini. Dalam perbuatan seperti inilah,
niat menjadi penentu.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
[Al-Wa'ie/Hadits Pilihan/No.111/November 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar