Rabu, 12 November 2014

NIAT DAN KEDUDUKANNYA



NIAT DAN KEDUDUKANNYA

اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَي اللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَي اللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَا هَاجَرَ اِلَيْهِ .
Sesungguhnya perbuatan itu bergantung pada niatnya dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena dunia atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya adalah pada apa yang dia tuju itu
(HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, al-Humaidi, Ibn al-Jarud, Ibn Hibban, ath-Thahawi, ath-Thayalisi, ad-Daraquthni dan lainnya)

Hadis ini adalah hadis gharîb. Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Arba’în, itu karena hanya Umar bin al-Khaththab ra. yang meriwayatkannya dari Rasulullah saw. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh Alqamah bin Abi Waqash; dari Alqamah hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi; dari Muhammad bin Ibrahim hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Said al-Anshari. Dari Yahya bin Sa’id barulah diriwayatkan oleh banyak orang hingga lebih dari dua ratus orang yang kebanyakan adalah para imam.
Menurut mayoritas ulama, lafal (اِنَّمَا) innamâ adalah untuk membatasi (لِلْحَصْرِ). Maknanya adalah bahwa perbuatan itu bergantung pada niatnya. Artinya, tidak ada perbuatan kecuali dengan niat. Penafian yang dimaksud adalah penafian konsekuensi hukum perbuatan itu dari sisi keabsahannya. Artinya, niat menentukan status perbuatan. Hadis ini juga menunjukkan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan dari perbuatannya sesuatu yang sesuai dengan apa yang dia niatkan.
Jadi, hadis ini menyiratkan dua hal. Pertama: niat dari sisi motif suatu perbuatan. Kedua: “niat” sebagai penentu perbuatan. Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikâm menyatakan bahwa niat dalam pembicaraan para ulama ada dua makna: Pertama, penentuan maksud (motif) perbuatan apakah karena Allah, karena yang lain atau karena Allah bersama yang lain. Jadi niat di sini masuk dalam bahasan ikhlas. Kedua, penentu atau pembeda suatu ibadah dari yang lain; misal shalat, apakah shalat zhuhur atau ‘asar, wajib atau sunnah; puasa apakah wajib atau sunnah, dsb.
Dari sini akan jelas lingkup perbuatan yang dicakup oleh makna niat itu. Niat dalam makna motif (maksud) perbuatan apakah karena Allah atau bukan jelas meliputi semua perbuatan dan tindakan yang keluar dari manusia. Jika ikhlas semata karena Allah maka akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika tidak maka tidak akan mendapat pahala. Hadis ini mencontohkan orang yang berhijrah. Jika dia melakukankannya dengan niat (maksud) menuju keridhaan Allah maka ia akan mendapat pahala. Jika dia melakukannya dengan niat (motif) mendapat dunia (harta, dsb) atau untuk menikahi wanita, maka ia hanya akan mendapatkan dunia atau wanita itu, namun tidak mendapat pahala di sisi Allah.
Untuk mengetahui ikhlas atau tidak, mudahnya adalah jika seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena perintah dan larangan Allah, yaitu karena halal dan haram, maka saat itu dia ikhlas. Jika orang berpuasa Ramadhan atau shalat zuhur, karena keduanya wajib, maka itu tanda ikhlas. Jika seseorang menolak suap, tidak berjudi, dsb, karena semua itu haram, maka ia meninggalkan semua itu karena ikhlas. Hal itu karena semua itu dilakukan atau tidak dilakukan karena perintah dan larangan Allah; artinya karena Allah dan itu adalah ikhlas.
Niat dalam konteks kedua, yaitu menentukan suatu perbuatan, maka hal itu tidak berlaku dalam semua perbuatan. Ibn Abdis Salam seperti dikutip oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bârî menyatakan tentang hadis ini: kalimat pertama untuk menjelaskan perbuatan yang dinilai; kalimat kedua untuk menjelaskan hasil/konsekuensi perbuatan. Hadis ini memberikan faedah bahwa niat hanya disyaratkan dalam ibadah yang tidak bisa dibedakan dengan sendirinya. Adapun yang bisa dibedakan dengan sendirinya ditentukan menurut deskripsinya seperti zikir, berdoa dan tilawah karena itu sudah jelas sebagai ibadah.
Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan, banyak generasi belakangan menganggap, maksudnya adalah perbuatan yang sahih, mu’tabar atau diterima. Atas dasar ini, yang dimaksud tidak lain adalah perbuatan syar’i yang memerlukan niat. Adapun yang tidak memerlukan niat seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian atau mengembalikan amanah dan jaminan, seperti titipan dan ghashab, maka tidak memerlukan niat. Semuanya dikhususkan dari keumuman perbuatan yang disebutkan di sini.
Untuk lebih jelasnya, tindakan (tasharruf) manusia itu dua jenis. Jenis pertama: tindakan berupa kata-kata (tasharruf qawliyah) (تَصَرُّف قَوْلِيَة), yaitu sempurna dengan kata-kata (redaksi). Dalam hal ini:
1. Tindakan itu bisa berasal dari seseorang sebagai timbal-balik terhadap pihak lain. Tindakan seperti ini disebut (عَقْد) ‘aqd (akad).
2. Berasal dari satu orang saja, misal pengakuan utang atau suatu perbuatan, komitmen, wasiat, dsb, dan disebut (تَصَرُّف) tasharruf saja.
Dalam kedua jenis tasharruf ini tidak dimasuki unsur niat dan niat tidak menentukan sah-tidaknya akad dan tasharruf itu. Sah-tidaknya ditentukan oleh deskripsi, lafal dan redaksinya.
Jenis kedua: tindakan dalam bentuk perbuatan (tasharruf fi’liyah) (تَصَرُّف فِعْلِيَة), penentunya adalah perbuatan, bukan lisan. Dalam hal ini:
1. Perbuatan inderawi yang pelaksanaannya sudah menunjukkan maksud (niat) pelakunya sehingga tidak memerlukan niat. Contoh: mengolah tanah sudah jelas untuk bercocok tanam.
2. Perbuatan inderawi yang dilakukan atau dihindari secara fisik seperti wudhu, shalat, berperang, memberi harta, membangun masjid, safar, penyembelihan, dsb; semua perbuatan semacam ini memerlukan unsur niat untuk menjelaskan maksud atau tujuannya. Semua ibadah masuk kategori ini. Dalam perbuatan seperti inilah, niat menjadi penentu.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits Pilihan/No.111/November 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar