Rabu, 12 November 2014

AKIBAT MENYIA-NYIAKAN AMANAH




إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ : إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ اِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ .

“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Orang Arab Baduwi itu berkata, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran.”
(HR al-Bukhari dan Ahmad).

Imam Ahmad mengeluarkan hadis ini dari Yunus dan Suraij. Imam al-Bukhari mengeluarkannya dari Muhammad bin Sinan dan dari Ibrahim bin al-Mundzir, dari Muhammad bin Fulaih; Yunus, Suraij, Muhammad bin Sinan dan Muhammad bin Fulaih dari Fulaih bin Sulaiman, dari Hilal bin Ali dari Atha’ bin Yasar, dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, “Ketika Rasulullah saw. berada di suatu majelis dan Beliau sedang berbicara kepada satu kaum, datang kepada Beliau seorang Arab Baduwi dan berkata, “Kapan kiamat?” Rasulullah saw. terus saja berbicara. Sebagian orang berkata bahwa Beliau mendengar apa yang dikatakan orang itu, tetapi tidak suka dengan perkataannya. Sebagian yang lain berkata, Beliau tidak mendengar. Hingga saat Beliau selesai berbicara, Beliau bertanya, “Di mana orang yang bertanya tentang kiamat?” Orang itu menjawab “Saya, ya Rasulullah.” Rasul lalu mengucapkan hadis di atas.
Hadis di atas juga dikeluarkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi dan ad-Dailami dengan jalur dari Abu Hurairah, hanya saja lafal (وُسِّدَ) “wussida” diganti dengan (اُسْنِدَ) “usnida”.

Kandungan Makna Hadis

Kata (اَلْأَمْر) al-amr (urusan) bersifat umum mencakup semua perkara. Karena itu, menurut al-Karmani, at-Turbasyti, Badruddin al-‘Ayni, al-Munawi, Mula Ali al-Qari dan lainnya, (اَلْأَمْر) al-amr itu meliputi semua jenis perkara yang berkaitan dengan agama seperti Khilafah dan yang terkait baik kepemimpinan, peradilan, fatwa, pengajaran dan yang lainnya.

Ibn Baththal di dalam Syarh Ibn Baththal mengatakan, “Jika perkara dipercayakan kepada selain ahlinya maknanya, bahwa imam itu telah mendapat amanah dari Allah untuk memimpin para hamba. Allah mewajibkannya untuk memberikan nasihat kepada rakyat. Karena itu, imam harus mengangkat ahli agama dan orang yang amanah untuk mengurusi urusan umat. Jika ia mengangkat orang yang bukan ahli agama dan mempekerjakan orang yang justru membantunya atas kejahatan dan kezaliman maka ia telah menyia-nyiakan amanah yang difardhukan Allah kepadanya.”

Al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan maksud hadis ini, yakni: jika hukum (pemerintahan) yang berkaitan dengan agama seperti Khilafah dan yang terkait baik kepemimpinan, peradilan, fatwa, pengajaran dan yang lainnya dipercayakan kepada selain ahlinya, yaitu kepada orang yang tidak layak untuk posisi atau tugas itu.

Badruddin al-‘Ayni di dalam ‘Umdah al-Qâri juga memaknai hadis ini, yaitu: Yang dimaksud dengan urusan adalah semua jenis urusan yang terkait dengan agama seperti Khilafah, kekuasaan, pemerintahan, peradilan, fatwa dan lainnya.

Al-Karmani berkata, “Maknanya dalah jabatan dipercayakan kepada orang yang tidak layak seperti penyerahan jabatan peradilan kepada orang yang tidak ‘âlim terhadap hukum-hukum seperti yang terjadi di zaman kita.”

Hadis ini menjelaskan bahwa urusan, jika dipercayakan kepada orang yang tidak tepat atau tidak layak, akan menimbulkan kerusakan. Hal itu dinilai sebagai menyia-nyiakan amanah. Ini menunjukkan orang yang layak itu adalah orang yang amanah, memiliki kecakapan dan etos kerja (profesionalisme). Dalam konteks ini tepat kata pepatah, “the right man on the right place.”

Para ulama dalam menafsirkan hadis ini menekankan pada perkara pemerintahan, kekuasaan, peradilan dan pengaturan urusan umat. Hal itu karena dalam perkara-perkara itu, kelayakan pejabat dan orang yang menanganinya turut menentukan baik dan tidaknya masyarakat. Ath-Thayyibi berkata, “Perubahan dan kerusakan wali terkait erat dengan perubahan rakyat. Bisa dikatakan bahwa masyarakat itu mengikuti agama penguasa mereka.”

Artinya jika penguasa, pejabat dan orang yang menangani urusan umat itu rusak, zalim dan tidak layak maka masyarakat akan terzalimi, menderita dan rusak.

Kondisi umat saat ini menjadi bukti hadis ini. Kekuasaan di tengah umat justru diserahkan (atau dipaksa untuk diserahkan) kepada orang yang tidak layak memegang tampuk kekuasaan dan tidak layak menangani urusan umat. Bukannya melindungi dan memperjuangkan umat, mereka malah mengkhianati, menekan, menyiksa, dan menyengsarakan umat. Bukannya menyejahterakan umat, mereka justru mengeksploitasi umat, memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Bahkan lebih buruk dari itu, mereka menyerahkan kekayaan umat kepada pihak asing yang sejatinya adalah penjajah dan musuh-musuh umat.

Karena itu, kita semua harus ekstra hati-hati memilih orang-orang yang kepadanya hendak dipercayakan urusan dan nasib umat. Layakkah urusan dan nasib umat ini dipercayakan kepada orang-orang yang sudah terbukti suka mengumbar janji dan tidak ditepati? Apa jadinya jika urusan umat dipercayakan kepada mereka yang tidak memahami kondisi umat, tidak paham bagaimana mengurus umat, tidak peduli terhadap nasib umat dan hanya peduli pada kepentingannya sendiri, kelompok bahkan tuannya yang ada di luar negeri? Apa jadinya jika semua itu terjadi? Kerusakan, bencana, kezaliman dan penderitaanlah yang akan umat alami.

Jika dikaitkan dengan dakwah perjuangan syariah, hadis ini mengingatkan jika perjuangan syariah itu dipercayakan kepada orang-orang yang tidak layak maka kerusakanlah yang akan terjadi. Dalam kontek ini mungkinkah perjuangan syariah dipercayakan kepada orang-orang sekular yang berpandangan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, apalagi dalam sistem yang menafikan aturan Allah (syariah)? Mungkinkah nasib penegakkan Islam dipercayakan kepada mereka yang malu-malu untuk memperjuangkan –bahkan sekadar untuk mengatakan- penerapan syariah? Jadi, jangan sampai amanah kita sia-siakan dengan mempercayakan urusan kepada mereka yang bukan ahlinya. WaLlahu a’lam bi ash-shawab. [Al-Wa'ie/Hadits Pilihan/No.104/April 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar