HIJRAH HAKIKI
اَلْمُسْلِمُ
مَنْ سَلَّمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ
هَجَرَ مَا نَهَى اللّٰهُ
عَنْهُ .
Seorang Muslim adalah orang yang
menjadikan kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah
adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah
(HR al-Bukhari, Abu Dawud,
an-Nasa’i, Ahmad, Ibn Hibban, al-Humaidi)
Sanad Hadis
Imam
al-Bukhari meriwayatkan hadis ini: 1) dari Adam ibn Abi Iyas dari Syu‘bah dari
Abdullah ibn Abi as-Safar dan Ismail ibn Abi Khalid dst; 2) dari Abu Nu’aim
dari Zakaria dst. Dalam al-Adab al-Mufrad,
beliau meriwayatkannya dari Musaddad dari Yahya dari Ismail ibn Abi Khalid dst.
Abu Dawud meriwayatkannya
dari Musaddad dari Yahya dari Ismail ibn Abi Khalid dst. An-Nasai meriwayatkannya dalam Sunan
an-Nasâ’î dari Amru ibn Ali dari Yahya dari Ismail dst. Dalam Sunan
al-Kubrâ hadis ini diriwayatkan dari: 1)
Muhammad ibn Abdillah ibn Yazid dari Sufyan; 2) Yusuf ibn Isa dari
al-Fadhal ibn Musa, keduanya (Sufyan dan al-Fadhal) dari Ismail ibn Abi Khalid
dst.
Imam
Ahmad meriwayatkannya dalam al-Musnad dari: 1) Yahya ibn Said dari
Ismail ibn Abi Khalid dst; 2) Waki’ dari Zakaria dst.; 3) Muhammad ibn Ja’far
dari Syu’bah dari Ismail ibn Abi Khlaid dst; 4) dari Husain ibn Muhammad dari
Syu’bah dari Ismail ibn Abi Khalid dan Abdullah ibn Abi as-Safar dst; 5) Abu
Nu’aim dari Zakaria dst; 6) Muhammad ibn ‘Ubaid dari Zakaria dst.
Ibn
Hibban meriwayatkannya dari: 1) Ahmad ibn Yahya ibn Zuhair al-Hafizh dari Muhammad
ibn al-‘Ala’ ibn Kuraib dari Abu Muawiyah dari Dawud ibn Abi Hanad dst; 2)
Abdullah ibn Qahthabah dari Ubaidah ibn Humaid dari Bayan ibn Bisyir dst.
Adapun al-Humaidi
meriwayatkannya dari Sufyan dari Dawud ibn Abi Hanad dan Ibn Abiy Khalid dst.
Kelimanya
(yaitu Dawud ibn Abi Hanad, Ismail ibn Abi Khalid, Zakaria ibn Abiy Zaidah,
Abdullah ibn Abi as-Safari, Bayan ibn Bisyir) meriwayatkannya dari ‘Amir
asy-Sya’bi dari Abdullah ibn Amru ibn al-‘Ash dari Rasulullah saw.
Dalam riwayat al-Hakim
disebutkan bahwa hadis ini disampaikan Rasulullah saw saat Haji Wada’.
Makna Hadis
Kata (اَلْمُسْلِمُ) al-muslim, (اَلْاَلِف
وَاللَّام لِلْكَمَال)
al-alîf wa al-lâm li al-kamâl (alif dan lam untuk menunjukkan kesempurnaan). Harus dipahami bahwa itu juga
berarti memperhatikan pilar-pilar Islam lainnya secara keseluruhan. Al-Khathabi menyatakan: maksudnya adalah
Muslim yang paling afdhal adalah orang yang menghimpun penunaian hak-hak Allah
dan penunaian hak-hak sesama Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar menambahkan bahwa
Rasul menjelaskan tanda-tanda kesempurnaan Islam seseorang, yaitu selamatnya
kaum Muslim dari lisan dan tangannya. Secara tekstual (مَنْطُوْق / manthûq),
hadis ini merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan sesama Muslim secara
baik.1 Adapun secara konseptual (مَفْهُوْم / mafhûm), hadis ini
merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan Allah secara baik, karena jika
seseorang berinteraksi dengan saudaranya (sesama Muslim) secara baik, tentu
lebih utama lagi ia memperbagus interaksinya dengan Allah. Ini dilihat dari
sisi min bâb al-awlâ مِنْ بَابِ الْأَوْلَى (perkara yang paling utama)
Kata
(لِسَان) lisan itu berlaku umum
baik yang sudah, sedang atau yang akan terjadi; juga mencakup ungkapan lisan
meski tidak langsung kepada orangnya dalam bentuk olok-olok dan sejenisnya. Adapun
kata (يَدّ) yadd (tangan) maknanya
bukan hanya perbuatan tangan saja, tetapi mencakup seluruh perbuatan semisal
menendang, dsb. Disebutkan tangan karena mayoritas perbuatan itu menggunakan
tangan. Perbuatan yag dimaksud juga mencakup perbuatan maknawi seperti menguasai
hak orang lain dengan cara tidak benar, atau sejenisnya. Tentang perkataan dan
perbuatan ini dikecualikan hal-hal terkait dengan peradilan dan pelaksanaan
sanksi. Namun, dalam kaitan peradilan ini pun dilakukan bukan untuk menimpakan
keburukan kepada pelakunya melainkan untuk mencari kebaikan dan perbaikan.
Kata
(اَلْمُهَاجِر) al-muhâjir, meski
berdasarkan timbangan wazan-nya bermakna reproksikal (perbuatan timbal balik
dari dua orang), di sini maknanya adalah perbuatan dari seorang saja. Ini
seperti kata musâfir (مُسَافِر). Hijrah (هِجْرَة) berasal dari (اَلْهَجْرُ) al-hajru artinya (ضِدُّ
الْوَصَل) dhiddu
al-washal (lawan dari melanjutkan, meneruskan), yaitu berhenti dan
meninggalkan. Secara tradisi, hijrah bermakna
keluar atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut al-Jurjani,
ulama Hanabilah, dan Hanafiyah, hijrah syar‘i adalah meninggalkan negeri yang
berada di tengah kaum kafir dan berpindah ke Dâr al-Islâm. Artinya secara syar‘i hijrah adalah keluar
dari dâr al-kufr (دَارُ الْكُفْر) menuju dâr al-Islâm (دَارُ
الْاِسْلَام).2 Al-‘Alqami
yang dikutip dalam (عَوْنُ الْمَعْبُوْد) ‘Awn al-Ma’bûd
menjelaskan hadis ini, “Hijrah tersebut
ada dua: (ظَاهِرَة) zhâhirah dan (بَاطِنَة) bâthinah. Hijrah bâthinah
adalah meninggalkan apa saja yang diserukan oleh hawa nafsu yang memerintahkan
pada keburukan dan seruan setan. Hijrah zhâhirah
adalah lari menyelamatkan agama dari fitnah (al-firâr bi ad-dîn min
al-fitan / اَلْفِرَارُ بِالدِّيْنِ مِنَ
الْفِتْنَةِ).”3 Ibn Rajab al-Hanbali dalam
(فَتْحُ
الْبَرِّ) Fath al-Bârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan
dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan. Hijrah secara mutlak dalam as-Sunnah ditransformasikan ke makna:
meninggalkan negeri syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm karena ingin
mempelajari dan mengamalkan Islam. Jika demikian maka asal hijrah adalah
meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah berupa kemaksiatan, termasuk di
dalamnya meninggalkan negeri syirik untuk tinggal di Dâr al-Islâm. Semata-mata berpindah dari negeri syirik ke Dâr
al-Islâm namun tetap saja bermaksiat, maka itu
bukanlah hijrah yang sempurna. Hijrah yang sempurna (hakiki) adalah
meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah Swt., termasuk meninggalkan
negeri syirik (kufur) menuju Dâr
al-Islâm.4
Saat
ini, supaya hijrah syar‘i bisa dilaksanakan maka Dâr al-Islâm yakni
Daulah Islamiyah (Khilafah Islamiyah) harus diperjuangkan agar tegak kembali.
Inilah hijrah hakiki yang harus kita lakukan saat ini. yaitu memutus dan
meninggalkan segala kemaksiatan, menetapi ketaatan dan gigih berjuang untuk
demi tegaknya Dâr al-Islâm yaitu Khilafah Islamiyah. Wallâh a‘lam bi
ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits
Pilihan/No.89/Januari 2008]
Catatan Kaki
1
Lihat Ibn Hajar al-Ashqalani, Fath al-Bari, 1/54, dari al-Ma’rifah, Beirut.
1379.
2
Lihat
al-Jauhari, ash-Shihah fi al-Lighah, 2/243: Al-Fayruz a-Abadi, Al-Qamus
Al-Muhith, 2/30: Ibn Sayidih Al-Muhkam fi al-lughah,2/143: al-Qamus al-Fiqh,
1/365: Mu’zam Lughat al-fuqaha, 1/492: Ibn Manzhur Lisan al-‘Arab 5/250.
3
Lihat: Abu ath-Thayyib, ‘Awn al-Ma’bud, 7/113, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah,
Beirut, cet,ii, 1415.
4
Lihat, Ibn Rajab al-Hanbali, Fath al-Bari, 1/18, http//dorar.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar