Rabu, 12 November 2014

MEMBERI HADIAH, MENYUBURKAN MAHABBAH




تَهَادَوْا تَحَابُّوا .
Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai
(HR al-Bukhari, al-Baihaqi, Abu Ya’la)

Imam Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam (أَدَبُ الْمُفْرَدِ) Adab al-Mufrad, bab qabûl al-hadiyah (قَبُوْلُ الْهَدِيَةِ), hadis no. 612. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Amru bin Khalid, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.
Abu Ya’la mengeluarkan hadis di atas dalam Musnad-nya, yakni hadis no. 6013, berturut-turut dari Suwaid bin Said, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.
Adapun al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab al-Îmân dan al-Adâb li al-Baihaqi.
Hadis ini juga dikeluarkan oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi dalam Al-Kunâ wa al-Asmâ’, Tamam bin Muhammad dalam Al-Fawâ’id Tamam, Ibn al-Muqri’ dalam Al-Mu’jam li Ibn al-Muqri’ dan an-Nasai dalam al-Kunâ.
Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Talkhîsh al-Habîr berkomentar, “Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad dan al-Baihaqi. Ibn Thahir menyatakannya dalam Musnad asy-Syihâb dari jalur Muhammad bin Bukair, Dhimam bin Ismail, Musa bin Wardan dan Abu Hurairah; sanad-nya hasan…”
Az-Zaila’i al-Hanafi mengomentari hadis tersebut, “Hadis ini diriwayatkan oleh Dhimam bin Ismail dan diperselisihkan. Lalu ia meriwayatkannya dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dan dengan sanad ini Muslim mengeluarkan hadis Abu an-Nadzir. Dhimam juga meriwayatkannya dari Abu Qubail, dari Abdullah bin Amru. Jadi dimungkinkan bahwa Dhimam memiliki dua jalur: dari Abu Qubail dan dari Musa bin Wardan.”
Jalur Dhimam bin Ismail dari Abu Qubail itu diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts dari Abu Zakariya al-‘Anbari, dari Abu Abdillah al-Busyanji, dari Yahya bin Bukair dari Dhimam bin Ismail, dari Abu Qubail al-Ma’afiri, dari Abdullah bin Amru.
Al-‘Iraqi dalam Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ’ mengomentari hadis di atas, “Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, dan al-Baihaqi dari hadis Abu Hurairah dengan sanad jayyid (bagus)”.
Ibn ‘Adi meriwayatkannya dalam Al-Kâmil dan ia menilai ada ‘illat (cacat) pada diri Dhimam. Ibn ‘Adi berkomentar, “Sesunguhnya hadis-hadisnya tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain.” Namun, pada bagian awal biografi Dhimam ini, Ibn Adi menukil riwayat dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bahwa ayahnya (yakni Ahmad bin Hanbal) berkata kepadanya, “Tulislah dari Suwaid hadis-hadis Dhimam.”
Tentang Dhimam bin Ismail ini, al-Mazi dalam Tahdzîb al-Kamâl antaranya mengatakan, “Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan dari ayahnya bahwa ia (Dhimam) shâlih al-hadîts. Abu Bakar bin Abi Khaitsamah mengatakan dari Yahya bin Ma’in, “Lâ ba’sa bihi (Tidak ada masalah dengannya).” Abu Hatim berkata, “Ia shadûq (jujur) dan ahli ibadah.” An-Nasai berkata, “Laysa bihi ba’sun (Tidak ada masalah dengannya). Ibn Hibban menyebutkannya di dalam kitab Ats-Tsiqât…” Dengan demikian, hadis Dhimam layak dijadikan hujjah, termasuk hadis di atas.
Imam Malik di dalam Al-Muwatha’ mengeluarkan hadis dari Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda:
تَصَافَحُوْا يَذْهَبِْ الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَحَابُّوْا ، وَتَذْهَبِْ الشَّحْنَاءُ . 
Saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang rasa dengki; dan saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai dan akan lenyap rasa permusuhan (HR Malik).
Hadis Malik ini statusnya adalah hadis mursal, karena Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani adalah seorang tâbi’în. Jadi, ada perawi dari thabaqât Sahabat yang tidak disebutkan. Namun demikian, tidak disebutkannya perawi Sahabat itu tidak berpengaruh karena para Sahabat semuanya—seperti yang dinyatakan oleh para ulama hadis—adalah adil. Dengan demikian hadis di atas dan hadis mursal ini boleh dijadikan hujjah.

Makna Hadis
Hadis ini menyatakan bahwa saling memberi hadiah merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa saling mencintai di antara kaum Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, mengikuti al-Hakim, “Jika dengan tasydîd maka itu berasal dari al-mahabbah dan jika tidak dengan tasydîd maka itu berasal dari al-muhâbâh. Hal itu karena hadiah termasuk bagian dari akhlak Islam yang ditunjukkan oleh para nabi di didorong oleh para pengganti mereka di antara para wali; (bisa) melembutkan hati dan melenyapkan kemarahan di dalam dada.”
Hadiah adalah pemberian dalam makna pemindahan kepemilikan suatu harta kepada pihak lain karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan kasih sayang, atau sebagai penghormatan. Tampak jelas di dalam hadis di atas adanya perintah untuk saling memberi hadiah. Perintah itu dikaitkan dengan qarînah, yaitu dengan saling menghadiahi akan tumbuh rasa saling mencintai. Qarînah ini menunjukkan bahwa memberi hadiah itu lebih diutamakan untuk dilakukan. Dengan demikian, itu menunjukkan bahwa saling memberi hadiah hukumnya sunnah.
Dalam beberapa riwayat, Rasul sangat mendorong agar kaum Muslim saling memberi hadiah, bahkan meski hadiah itu secara materi nilainya kecil. Beliau berkata, “…meski sebuah tungkai kambing.”
Karena itu, dalam hal saling menghadiahi ini, yang harus dilihat adalah nilai maknawinya, bukan nilai materinya; yaitu dipandang sebagai pemberian tulus, ungkapan dari kedekatan, persahabatan dan kecintaan. Dengan begitu, hadiah tersebut apapun bentuknya, betapapun kecilnya, dan berapapun nilainya akan bisa membangkitkan keridhaan, kecintaan dan kasih sayang dan sebaliknya, akan menjauhkan permusuhan.
Walhasil, pembiasaan saling memberi hadiah akan bisa meningkatkan rasa saling mencintai dan menyayangi. Jika saling memberi hadiah menjadi kebiasaan atau sering dilakukan maka efeknya akan terakumulasi. Kecintaan, kasih-sayang dan kedekatan akan semakin tinggi di antara mereka yang saling memberi hadiah itu. Hendaknya kebiasaan itu kita tumbuh-suburkan, apalagi di tengah suasana Idul Fitri. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits Pilihan/No.98/Oktober 2008].

Catatan kaki:
Ibn Hajar al-‘Ashqalani, At-Talkhîsh al-Habîr, 3/69-70, ed. As-Sayid Abdullah Hasyim al-Yamani al-Madani, Madinah al-Munawarah. 1384-1964; Abdurrauf al-Minawi, Faydh al-Qadîr, 3/357, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. i. 1415 – 1994.
Az-Zayla’i, Nash ar-Râyah, 4/120, ed. M. Yusuf all-Binuri, Dar al-Hadits, Mesir, 1357.
Zainuddin al-‘Iraqi, Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ’, 3/442, Markaz Nur al-Islam li Abhats al-Quran wa as-Sunnah, Iskandariyah; Abdurrauf al-Minawi, Faydh al-Qadîr, 3/357.
Ibn ‘Adi, Al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-Rijâl, 4/104, ed. Yahya Mukhtar Ghazawi, Dar al-Fikr, Beirut, cet. iii. 1409-1988.
Al-Mazi, Tahdzîb al-Kamâl, 13/311-313, ed. Dr. Basyar ‘Awad Ma’ruf, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. i. 1400 – 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar