تَهَادَوْا
تَحَابُّوا .
Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian
saling mencintai
(HR al-Bukhari, al-Baihaqi, Abu Ya’la)
Imam
Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam (أَدَبُ الْمُفْرَدِ) Adab al-Mufrad, bab qabûl al-hadiyah (قَبُوْلُ الْهَدِيَةِ), hadis no. 612. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini
berturut-turut dari Amru bin Khalid, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin
Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.
Abu Ya’la
mengeluarkan hadis di atas dalam Musnad-nya, yakni hadis no. 6013,
berturut-turut dari Suwaid bin Said, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin
Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.
Adapun
al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab al-Îmân dan al-Adâb li
al-Baihaqi.
Hadis ini
juga dikeluarkan oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi dalam Al-Kunâ wa
al-Asmâ’, Tamam bin Muhammad dalam Al-Fawâ’id Tamam, Ibn al-Muqri’ dalam
Al-Mu’jam li Ibn al-Muqri’ dan an-Nasai dalam al-Kunâ.
Ibn Hajar
al-‘Ashqalani dalam Talkhîsh al-Habîr berkomentar, “Hadis ini diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad dan al-Baihaqi. Ibn Thahir menyatakannya
dalam Musnad asy-Syihâb dari jalur Muhammad bin Bukair, Dhimam bin Ismail, Musa
bin Wardan dan Abu Hurairah; sanad-nya hasan…”
Az-Zaila’i
al-Hanafi mengomentari hadis tersebut, “Hadis ini diriwayatkan oleh Dhimam bin
Ismail dan diperselisihkan. Lalu ia meriwayatkannya dari Musa bin Wardan, dari
Abu Hurairah, dan dengan sanad ini Muslim mengeluarkan hadis Abu an-Nadzir.
Dhimam juga meriwayatkannya dari Abu Qubail, dari Abdullah bin Amru. Jadi
dimungkinkan bahwa Dhimam memiliki dua jalur: dari Abu Qubail dan dari Musa bin
Wardan.”
Jalur
Dhimam bin Ismail dari Abu Qubail itu diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam
Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts dari Abu Zakariya al-‘Anbari, dari Abu Abdillah
al-Busyanji, dari Yahya bin Bukair dari Dhimam bin Ismail, dari Abu Qubail
al-Ma’afiri, dari Abdullah bin Amru.
Al-‘Iraqi
dalam Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ’ mengomentari hadis di atas, “Hadis ini
dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, dan al-Baihaqi dari hadis
Abu Hurairah dengan sanad jayyid (bagus)”.
Ibn ‘Adi
meriwayatkannya dalam Al-Kâmil dan ia menilai ada ‘illat (cacat) pada diri
Dhimam. Ibn ‘Adi berkomentar, “Sesunguhnya hadis-hadisnya tidak diriwayatkan
oleh perawi yang lain.” Namun, pada bagian awal biografi Dhimam ini, Ibn Adi
menukil riwayat dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bahwa ayahnya (yakni Ahmad
bin Hanbal) berkata kepadanya, “Tulislah dari Suwaid hadis-hadis Dhimam.”
Tentang
Dhimam bin Ismail ini, al-Mazi dalam Tahdzîb al-Kamâl antaranya mengatakan,
“Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan dari ayahnya bahwa ia (Dhimam) shâlih
al-hadîts. Abu Bakar bin Abi Khaitsamah mengatakan dari Yahya bin Ma’in, “Lâ
ba’sa bihi (Tidak ada masalah dengannya).” Abu Hatim berkata, “Ia shadûq
(jujur) dan ahli ibadah.” An-Nasai berkata, “Laysa bihi ba’sun (Tidak ada
masalah dengannya). Ibn Hibban menyebutkannya di dalam kitab Ats-Tsiqât…” Dengan demikian, hadis Dhimam layak
dijadikan hujjah, termasuk hadis di atas.
Imam Malik
di dalam Al-Muwatha’ mengeluarkan hadis dari Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani
bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda:
تَصَافَحُوْا
يَذْهَبِْ الْغِلُّ،
وَتَهَادَوْا تَحَابُّوْا ،
وَتَذْهَبِْ الشَّحْنَاءُ .
Saling berjabat tanganlah
kalian, niscaya akan hilang rasa dengki; dan saling memberi hadiahlah kalian,
niscaya kalian akan saling mencintai dan akan lenyap rasa permusuhan (HR
Malik).
Hadis
Malik ini statusnya adalah hadis mursal, karena Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani
adalah seorang tâbi’în. Jadi, ada perawi dari thabaqât Sahabat yang tidak
disebutkan. Namun demikian, tidak disebutkannya perawi Sahabat itu tidak
berpengaruh karena para Sahabat semuanya—seperti yang dinyatakan oleh para
ulama hadis—adalah adil. Dengan demikian hadis di atas dan hadis mursal ini
boleh dijadikan hujjah.
Makna Hadis
Hadis ini
menyatakan bahwa saling memberi hadiah merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa
saling mencintai di antara kaum Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, mengikuti
al-Hakim, “Jika dengan tasydîd maka itu berasal dari al-mahabbah dan jika tidak
dengan tasydîd maka itu berasal dari al-muhâbâh. Hal itu karena hadiah termasuk
bagian dari akhlak Islam yang ditunjukkan oleh para nabi di didorong oleh para
pengganti mereka di antara para wali; (bisa) melembutkan hati dan melenyapkan
kemarahan di dalam dada.”
Hadiah
adalah pemberian dalam makna pemindahan kepemilikan suatu harta kepada pihak
lain karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan kasih sayang, atau
sebagai penghormatan. Tampak jelas di dalam hadis di atas adanya perintah untuk
saling memberi hadiah. Perintah itu dikaitkan dengan qarînah, yaitu dengan
saling menghadiahi akan tumbuh rasa saling mencintai. Qarînah ini menunjukkan
bahwa memberi hadiah itu lebih diutamakan untuk dilakukan. Dengan demikian, itu
menunjukkan bahwa saling memberi hadiah hukumnya sunnah.
Dalam
beberapa riwayat, Rasul sangat mendorong agar kaum Muslim saling memberi
hadiah, bahkan meski hadiah itu secara materi nilainya kecil. Beliau berkata,
“…meski sebuah tungkai kambing.”
Karena
itu, dalam hal saling menghadiahi ini, yang harus dilihat adalah nilai
maknawinya, bukan nilai materinya; yaitu dipandang sebagai pemberian tulus,
ungkapan dari kedekatan, persahabatan dan kecintaan. Dengan begitu, hadiah
tersebut apapun bentuknya, betapapun kecilnya, dan berapapun nilainya akan bisa
membangkitkan keridhaan, kecintaan dan kasih sayang dan sebaliknya, akan
menjauhkan permusuhan.
Walhasil, pembiasaan saling memberi hadiah akan bisa meningkatkan rasa
saling mencintai dan menyayangi. Jika saling memberi hadiah menjadi kebiasaan
atau sering dilakukan maka efeknya akan terakumulasi. Kecintaan, kasih-sayang
dan kedekatan akan semakin tinggi di antara mereka yang saling memberi hadiah
itu. Hendaknya kebiasaan itu kita tumbuh-suburkan, apalagi di tengah suasana
Idul Fitri. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits
Pilihan/No.98/Oktober
2008].
Catatan kaki:
Ibn Hajar
al-‘Ashqalani, At-Talkhîsh al-Habîr, 3/69-70, ed. As-Sayid
Abdullah Hasyim al-Yamani al-Madani, Madinah al-Munawarah. 1384-1964; Abdurrauf
al-Minawi, Faydh al-Qadîr, 3/357, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet.
i. 1415 – 1994.
Zainuddin
al-‘Iraqi, Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ’, 3/442, Markaz Nur al-Islam li
Abhats al-Quran wa as-Sunnah, Iskandariyah; Abdurrauf al-Minawi, Faydh
al-Qadîr, 3/357.
Ibn ‘Adi, Al-Kâmil
fî Dhu’afâ’ ar-Rijâl, 4/104, ed. Yahya Mukhtar Ghazawi, Dar al-Fikr,
Beirut, cet. iii. 1409-1988.
Al-Mazi, Tahdzîb al-Kamâl, 13/311-313, ed. Dr.
Basyar ‘Awad Ma’ruf, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. i. 1400 – 1980.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar