قُلۡ
هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ ١ اللّٰهُ الصَّمَدُ
٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُوۡلَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ ٤
1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia"
(QS al-Ikhlas [112]: 1-4).
Sabab an-Nuzûl
Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abu ‘Aliyah, dari Ubay bin Kaab ra., bahwa kaum musyrik
pernah berkata kepada Nabi saw, “Wahai Muhammad, sebutkanlah nasab Tuhanmu
kepada kami!” Lalu Allah SWT menurunkan surat ini. Riwayat
senada juga disampaikan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Jarir. Abu Ya’la
meriwayatkannya dari Jabir ra.1
Keutamaan Surat al-Ikhlas
Imam al-Bukhari
meriwayatkan dari Aisyah bahwa ada seorang laki-laki yang dikirim dalam sebuah (سَرِيَة) sariyah (ekspedisi perang). Dia
membaca al-Quran dalam shalat dengan teman-temannya, lalu dia menutupnya dengan
surat ini. Setelah kembali, mereka menyampaikannya kepada Rasulullah saw.
Beliau bersabda, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia mengerjakan itu.” Mereka
pun bertanya kepada orang itu, lalu dia menjawab, “Karena itu sifat (اَلرَّحْمٰن) Ar-Rahmân dan aku senang membacanya.” Kemudian
beliau bersabda, “Kabarkanlah kepadanya bahwa Allah SWT mencintainya.”
Dari Imam Ahmad dan at-Tirmidzi, dari Anas
ra., pernah ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, “Sesungguhnya saya mencintai surat ini (Qul huwal-Lâh Ahad dst).” Rasulullah
saw. bersabda, “Kecintaanmu terhadapnya memasukkanmu ke dalam surga (lafal
hadis dari Imam Ahmad).”
Imam al-Bukhari
dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, dia berkata bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
sesungguhnya (surat al-Ikhlas) itu setara dengan sepertiga al-Quran.”
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
(قُلۡ
هُوَ اللّٰهُ أَحَدٌ)
Qul huwal-Lâh Ahad (Katakanlah, “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”).
Perintah (قُلۡ) Qul dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Apabila dikaitkan dengan sabab nuzûl-nya, perkataan itu
merupakan jawaban atas pertanyaan kaum musyrik mengenai sifat Tuhan yang beliau
dakwahkan. Perintah itu juga berlaku bagi seluruh umatnya, sebab khithâb
al-Rasûl khithâb li ummatihi (خِطَابُ
الرَّسُوْلِ خِطَابٌ لِأُمَّتِهِ) (seruan kepada Rasul,
juga seruan kepada umatnya).
Dalam ayat ini, beliau dan umatnya
diperintahkan untuk mengatakan: (هُوَ
اللّٰهُ أَحَدٌ) Huwal-Lâh Ahad;
bahwa Tuhan yang mereka tanyakan itu adalah Allah dan Allah itu hanya satu.
Sebab, kata (أَحَد) ahad
bermakna (وَاحِد) wâhid (satu).2 Bahkan ditegaskan al-Baghawi,
tidak ada perbedaan makna antara (أَحَد) ahad dengan (وَاحِد) wâhid.3
Kendati sama-sama menunjuk pada jumlah
satu, menurut sebagian mufassir ada perbedaan di antara keduanya. Dinyatakan
oleh al-Azhari bahwa sifat (اَحَدِيَّة) ahadiyyah hanya digunakan untuk Allah. Sebagai
buktinya, tidak dikatakan (رَجُلٌ أَحَدٌ وَدِرْهَمٌ أَحَدٌ) rajul ahad wa dirhâm ahad, tetapi dikatakan (رَجُلٌ
وَاحِدٌ وَدِرْهَمٌ وَاحِدٌ) rajul wâhid wa dirhâm
wâhid.4 Pendapat senada juga dikemukakan Tsa’lab.5
Mengenai pengertian ayat ini secara
keseluruhan, Ibnu Katsir memaparkan, “Dialah al-Wâhid al-Ahad; (هُوَ
الْوَاحِدُ الْاَحَدُ) tidak ada yang setara
dan pembantu; tidak ada sekutu, yang serupa dan sepadan dengan-Nya. Ungkapan
ini tidak diucapkan kepada siapa pun kecuali Allah Azza wa Jalla. Sebab, Dia
Mahasempurna dalam semua sifat dan perbuatan-Nya.”6
Dalam ayat berikutnya kemudian ditegaskan:
(اللّٰهُ
الصَّمَدُ) Allâh ash-Shamad (Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu). Dijelaskan az-Zamkhsyari dan
asy-Syaukani, kata (اَلصَّمَد) ash-shamad merupakan (فِعْل) fi’l yang bermakna (مَفْعُوْل) maf’ûl.7 Menurut asy-Syaukani, kata
tersebut seperti halnya kata (اَلْقَبْض) al-qabdh yang bermakna (اَلْمَقْبُوْض) al-maqbûdh (yang digenggam). Kata (اَلصَّمَدُ) ash-shamad pun demikian, bermakna (اَلْمَصْمُوْد
اِلَيْهِ) al-mashmûd ilayhi, yakni (اَلْمَقْصُوْد
اِلَيْهِ) al-maqshûd ilayhi (yang dituju).
Jadi, makna (اَلصَّمَد) ash-shamad adalah al-ladzî yushmadu ilayhi fî
al-hâjat (اَلَّذِي يُصْمَدُ اِلَيْهِ
فِي الْحَاجَةِ) (pihak yang dituju atau
dijadikan sebagai sandaran dalam berbagai kebutuhan). Hal itu disebabkan karena
keberadaan-Nya yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan.8 Penjelasan
yang sama dikemukakan al-Qurthubi, al-Sa’di, dan al-Zuhaili.9
Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip
al-Qurthubi, juga berpendapat demikian. Menurutnya, pengertian ini sejalan
dengan QS an-Nahl [16]: 53. 10
وَمَا
بِكُمۡ مِّنۡ نِّعۡمَةٖ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيۡهِ
تَجَۡٔرُوۡنَ ٥٣
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah
kamu meminta pertolongan (QS an-Nahl [16]: 53)
Selain makna itu, ada beberapa makna (اَلصَّمَد) ash-shamad yang disampaikan oleh para mufassir. Menurut
Ibnu ‘Abbas dalam riwayat lain, Said bin Jubair, Mujahid, al-Dhahhak, ‘Ikrimah,
dan al-Hasan, kata (اَلصَّمَد) ash-shamad berarti Zat yang tidak lapar. asy-Sya’bi
juga memaknainya sebagai Zat yang tidak makan dan tidak minum.11
Abu Aliyah memaknai (اَلصَّمَد) ash-shamad sebagai Zat yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan. Sebab, tidak ada yang beranak kecuali dia diwarisi; dan tidak ada
yang diperanakkan kecuali dia akan mati. Allah SWT pun memberitakan kepada kita
bahwa Dia tidak diwarisi dan tidak beranak.12 Ubay bin Kaab juga
berpendapat bahwa makna (اَلصَّمَد) ash-shamad dijelaskan oleh ayat sesudahnya: (لَمۡ
يَلِدۡ وَلَمۡ يُوۡلَدۡ وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ) Lam
yalid walam yûlad; walam yakun lahu kufuw[an] ahad.13 Penafsiran
lain diberikan Qatadah dan al-Hasan. Keduanya mengatakan bahwa (اَلصَّمَد) ash-shamad bermakna (اَلْبَاقِ) al-bâqi (yang kekal).
Kendati
demikian, sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir ath-Thabari, penafsiran yang lebih
tepat adalah yang sesuai dengan makna yang telah dikenal oleh orang yang
bahasanya digunakan al-Quran. Menurut orang Arab, makna
(اَلصَّمَد) ash-shamad adalah (اَلسَّيِّد) as-sayyid yang dituju
atau dijadikan sebagai sandaran; dan tidak ada seorang pun yang di atasnya.14
Dikatakan juga
oleh Ibnu Anbari bahwa tidak terdapat perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa (اَلصَّمَد) ash-shamad adalah (اَلسَّيِّد) as-sayyid yang tidak ada
lagi seorang pun di atasnya, yang semua manusia bersandar kepada-Nya dalam
semua urusan dan kebutuhan mereka.15
Selanjutnya
Allah SWT berfirman: (لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُوۡلَدۡ) Lam yalid walam yûlad (Dia
tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan). Ayat ini memberikan pengertian
bahwa tidak lahir dari-Nya anak; Dia juga tidak lahir dari sesuatu apa pun.16
Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa disebutkan lam yalid (لَمۡ
يَلِدۡ) karena
tidak ada yang sejenis dengan-Nya sehingga bisa dijadikan oleh-Nya sebagai
istri, kemudian dari mereka lahirlah anak. Makna ini
juga ditunjukkan oleh QS al-An’am [6]: 101.17
بَدِيۡعُ
السَّمٰوٰتِ وَالۡأَرۡضِۖ أَنّٰى يَكُوۡنُ لَهُۥ وَلَدٌ وَلَمۡ تَكُنۡ لَّهُۥ صٰحِبَةٌۖ وَخَلَقَ كُلَّ
شَيۡءٖۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيۡمٌ ١٠١
Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal
Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui
segala sesuatu (QS al-An’am [6]:101)
Meskipun dalam ayat ini digunakan kata (لَمۡ) lam, bukan berarti hanya menafikan masa
lampau. Sebab, ayat tersebut berlaku abadi. Demikian pula (نَفِى) nafiy dalam ayat ini. Menurut Fakhruddin ar-Razi, digunakannya kata (لَمۡ) lam karena merupakan jawaban atas ucapan
mereka mengenai anak Allah SWT, QS ash-Shaffat [37]:151-152).
أَلَآ إِنَّهُمۡ مِّنۡ إِفۡكِهِمۡ لَيَقُوۡلُوۡنَ
١٥١ وَلَدَ اللّٰهُ وَإِنَّهُمۡ لَكَاذِبُوۡنَ ١٥٢
Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya
benar-benar mengatakan. "Allah beranak". Dan sesungguhnya mereka
benar-benar orang yang berdusta (QS ash-Shaffat
[37]:151-152).
Kemudian surat ini diakhiri dengan
firman-Nya: (وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهُۥ
كُفُوًا أَحَدٌ) walam yakun lahu
kufuw[an] ahad (dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya).
Maknanya, Allah Yang Maha Esa itu tidak ada yang menandingi atau menyamai-Nya.
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kata al-kufu’ wa al-kufâ wa al-kifâ’ (اَلْكُفُؤ
-
وََالْكُفَا -
وَاَلْكِفَاء) dalam bahasa Arab memiliki satu makna,
yakni al-mitsl wa asy-syibh (اَلْمِثْلُ
وِالشِّبْهُ) (semisal dan serupa).18 Itu
berarti, tidak ada satu pun yang setara, sepadan, semisal atau sebanding
dengan-Nya.
Gambaran tentang Tauhid
Dari segi jumlah ayat, surat ini tergolong
singkat, hanya terdiri empat ayat. Kendati begitu, kandungan isinya amat padat.
Keimanan kepada Allah SWT yang menjadi perkara mendasar dalam Islam dijelaskan
amat gamblang. Tidak mengherankan jika Rasulullah saw. menyebut surat ini
setara dengan (ثُلُثُ الْقُرْآنِ) tsuluts al-Quran (sepertiga al-Quran).
Dalam surat ini terdapat pelajaran
penting. Setidaknya ada tiga perkara penting yang perlu ditandaskan kembali. Pertama:
(اَسْمَاء) asmâ’ (nama) Tuhan yang patut disembah. Sebagaimana
telah diungkap, surat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan kaum musyrik
mengenai Tuhan yang disembah Rasulullah saw. Ditegaskan dalam surat ini bahwa (هُوَ
اللّٰهُ) Huwal-Lâh (Dia adalah Allah).
Allah adalah nama Zat Pencipta alam semesta ini. Menurut al-Biqa’, nama
ini—yakni Allah—menunjuk semua sifat kesempurnaan: (اَلْجَلَال
وَالْجَمَال) al-Jalâl wa al-Jamâl. Nama ini
juga mencakup seluruh makna (اَلْاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰى) al-asmâ’ al-husnâ.19 Bahwa nama (رَبُّ
الْعَالَمِيْنَ) Rabb al-‘âlamîn
adalah Allah, amat banyak disebut dalam al-Quran. Dengan nama itu pula manusia
diperintahkan untuk memanggil dan berdoa kepada-Nya QS al-Isra’ [17]:110.
قُلِ
ادۡعُوا اللّٰهَ أَوِ ادۡعُوا الرَّحۡمٰنَۖ أَيًّامَّا تَدۡعُوۡا فَلَهُ الۡأَسۡمَآءُ
الۡحُسۡنٰىۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَابۡتَغِ بَيۡنَ ذٰلِكَ
سَبِيۡلٗا ١١٠
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama
yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah
pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (QS al-Isra’ [17]:110).
Oleh karena itu,
manusia hanya boleh menyebut-Nya dengan nama yang telah diberitakan-Nya, yakni: (اَللّٰه) Allah, (اَلرَّحۡمٰن) Ar-Rahmân, atau al-asmâ’ al-husnâ lainnya. Manusia tidak boleh memanggil-Nya dengan nama lain yang dibuat
sendiri (QS Yusuf [12]: 40).
مَا
تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُونِهِۦٓ إِلَّآ أَسۡمَآءً سَمَّيۡتُمُوۡهَآ أَنتُمۡ وَاٰبَآؤُكُم
مَّآ أَنۡزَلَ اللّٰهَ بِهَا مِن سُلۡطٰنٍۚ إِنِ الۡحُكۡمُ إِلَّا لِلّٰهِ أَمَرَ
أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ ذٰلِكَ الدِّيۡنُ الۡقَيِّمُ وَلٰكِنَّ
أَكۡثَرَ النَّاسِ لَا يَعۡلَمُوۡنَ ٤٠
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan
suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS Yusuf [12]: 40).
Kedua: (تَوْحِيْدُ اللّٰه) tawhîdul-Lâh atau (pengesaan terhadap Allah). Secara
tegas dalam surat ini disebutkan bahwa Allah SWT itu (أَحَد) Ahad. Dia hanya satu, bukan dua, tiga, atau lebih
sebagaimana yang lazim diklaim oleh kaum kafir. Perkara ini amat banyak diberitakan
dalam ayat al-Quran. Bahkan perkara ini didakwahkan oleh semua nabi dan rasul
yang diutus Allah SWT. Tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengajak
pada tauhid lihat QS al-Anbiya’ [21]: 25; asy-Syura [42]: 13.
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَا مِنۡ قَبۡلِكَ مِنۡ رَّسُوۡلٍ إِلَّا نُوۡحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ
إِلٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَاعۡبُدُوۡنِ ٢٥
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku"
(QS al-Anbiya’ [21]: 25);
شَرَعَ
لَكُم مِّنَ الدِّيۡنِ مَا وَصّٰى بِهِۦ نُوۡحًا وَالَّذِيٓ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ
وَمَا وَصَّيۡنَا بِهِۦٓ إِبۡرٰهِيۡمَ وَمُوۡسٰى وَعِيۡسٰٓىۖ أَنۡ أَقِيۡمُوا الدِّيۡنَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوۡا فِيۡهِۚ كَبُرَ عَلَى الۡمُشۡرِكِيۡنَ مَا تَدۡعُوۡهُمۡ اِلَيۡهِۚ
اللّٰهُ يَجۡتَبِيٓ اِلَيۡهِ مَنۡ يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ اِلَيۡهِ مَنۡ يُنِيۡبُ ١٣
Dia telah mensyari´atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya) (QS asy-Syura [42]:13).
Keesaan Allah
juga ditegaskan dalam ayat: (لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُوۡلَدۡ) lam yalid walam yûlad; bahwa Allah tidak memiliki anak; tidak pula menjadi anak bagi selain-Nya;
tidak ada pula yang diangkat dan dijadikan sebagai anak-Nya lihat QS al-Isra’
[17]:111; Yunus [10]:68.
وَقُلِ
الۡحَمۡدُ
لِلّٰهِ الَّذِيۡ لَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدًا وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهُۥ شَرِيۡكٌ فِي الۡمُلۡكِ
وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهُۥ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّۖ وَكَبِّرۡهُ تَكۡبِيۡرًا ١١١
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai
anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang
memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang
sebesar-besarnya (QS al-Isra’ [17]:111),
قَالُوۡا
اتَّخَذَ اللّٰهُ وَلَدًاۗ سُبۡحٰنَهُۥۖ هُوَ الۡغَنِيُّۖ لَهُۥ مَا فِي السَّمٰوٰتِ
وَمَا فِي الۡأَرۡضِۚ إِنۡ عِنۡدَكُمۡ مِّنۡ سُلۡطٰنٍ بِهٰذَآۚ أَتَقُوۡلُوۡنَ
عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ ٦٨
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah
mempuyai anak". Maha Suci Allah; Dialah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa
yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang
ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (QS Yunus [10]:68).
Keesaan Allah
disebutkan dalam firman-Nya: (وَلَمۡ يَكُنۡ لَّهُۥ
كُفُوًا أَحَدٌ) walam
yakun lahu kuffuw[an] ahad; bahwa tidak ada yang sama, serupa, sejenis,
setara atau sebanding dengan-Nya. Dia berbeda dengan
semua makhluk-Nya QS al-Syura [42]:11.
فَاطِرُ
السَّمٰوٰتِ وَالۡأَرۡضِۚ جَعَلَ لَكُمۡ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَاجًا وَمِنَ الۡأَنۡعَٰمِ
أَزۡوَاجًا يَذۡرَؤُكُمۡ فِيۡهِۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ وَهُوَ السَّمِيۡعُ الۡبَصِيۡرُ
١١
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari
jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan
Melihat (QS al-Syura [42]:11).
Perkara tauhid ini merupakan perkara
paling mendasar yang harus diimani oleh setiap manusia. Siapa pun yang
menganggap tuhan lebih dari satu, memiliki anak atau ada yang setara
dengan-Nya, maka dia telah terjatuh dalam kekufuran dan kesyirikan. Jika
dicermati, semua agama selain Islam dalam konsep ketuhanannya telah terjatuh
dalam kesalahan mendasar ini. Di antara agama itu ada yang menganggap selain
Allah sebagai tuhan, tuhan lebih dari satu, atau ada makhluk yang setara
dengan-Nya; tidak terkecuali agama yang sebelumnya dibawa oleh para nabi,
seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama itu pun dikotori hawa nafsu manusia
sehingga terjatuh dalam kesyirikan. Yahudi menyebut Uzair sebagai anak Allah.
Nasrani menyebut Isa sebagai anak Allah lihat QS at-Taubah [9]:30; al-Maidah
[5]:72.
وَقَالَتِ
الۡيَهُوۡدُ عُزَيۡرٌ ابۡنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الۡمَسِيۡحُ ابۡنُ اللّٰهِ
ۖ ذٰلِكَ قَوۡلُهُمۡ بِأَفۡوٰهِهِمۡۖ يُضٰهُِٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا
مِنۡ قَبۡلُۚ قٰتَلَهُمُ اللّٰهُ ۖ أَنّٰى يُؤۡفَكُوۡنَ ٣٠
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan
orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah
itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang
kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai
berpaling (QS at-Taubah [9]:30)
لَقَدۡ
كَفَرَ الَّذِيۡنَ قَالُوٓاۡ إِنَّ اللّٰهَ هُوَ الۡمَسِيۡحُ ابۡنُ مَرۡيَمَۖ وَقَالَ
الۡمَسِيۡحُ يٰبَنِيٓ إِسۡرٰٓءِيۡلَ ٱعۡبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيۡ وَرَبَّكُمۡۖ
إِنَّهُۥ مَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدۡ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِ الۡجَنَّةَ
وَمَأۡوٰىهُ النَّارُۖ وَمَا لِلظّٰلِمِيۡنَ مِنۡ أَنصَارٖ ٧٢
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih
(sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun (QS al-Maidah [5]:72).
Isa sendiri tidak pernah mengatakan perkataan batil itu lihat QS
al-Maidah [5]:116.
وَإِذۡ
قَالَ اللّٰهُ يٰعِيۡسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ ءَأَنۡتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِيۡ
وَأُمِّيَ إِلٰهَيۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ ۖ قَالَ سُبۡحٰنَكَ مَا يَكُوۡنُ لِيٓ
أَنۡ أَقُوۡلَ مَا لَيۡسَ لِيۡ بِحَقٍّۚ إِنۡ كُنۡتُ قُلۡتُهُۥ فَقَدۡ عَلِمۡتَهُۥۚ
تَعۡلَمُ مَا فِيۡ نَفۡسِيۡ وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِيۡ نَفۡسِكَۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلّٰمُ
الۡغُيُوۡبِ ١١٦
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam,
adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang
tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut
bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku
tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib" (QS al-Maidah
[5]:116).
Dalam al-Quran cukup banyak ayat
memberikan bantahan atas kebatilan anggapan Tuhan lebih dari satu. Dalam QS
al-Anbiya’ [21]:22 ditegaskan, seandainya ada banyak tuhan selain Allah, maka
langit dan bumi akan binasa.
لَوۡ
كَانَ فِيۡهِمَآ اٰلِهَةٌ إِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبۡحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الۡعَرۡشِ
عَمَّا يَصِفُوۡنَ ٢٢
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah,
tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai
´Arsy daripada apa yang mereka sifatkan (QS
al-Anbiya’ [21]:22).
Orang-orang yang menganggap tuhan lebih
dari satu, memiliki anak, atau menyekutukan-Nya dengan yang lain telah diancam
dengan hukuman yang amat keras. Apabila mati dalam keadaan demikian maka
dosanya tidak akan diampuni lihat QS al-Nisa [4]:48. Surga diharamkan atas
mereka. Neraka adalah tempat kembali mereka di akhirat; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya lihat QS al-Maidah [5]:72-73.
إِنَّ اللّٰهَ لَا يَغۡفِرُ أَنۡ يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُوۡنَ ذٰلِكَ
لِمَنۡ يَشَآءُۚ وَمَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ
فَقَدِ افۡتَرٰٓى إِثۡمًا عَظِيۡمًا ٤٨
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (QS al-Nisa [4]:48),
لَقَدۡ
كَفَرَ الَّذِيۡنَ قَالُوٓاۡ إِنَّ اللّٰهَ هُوَ الۡمَسِيۡحُ ابۡنُ مَرۡيَمَۖ
وَقَالَ الۡمَسِيۡحُ يٰبَنِيٓ إِسۡرٰٓءِيۡلَ اعۡبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيۡ
وَرَبَّكُمۡۖ إِنَّهُۥ مَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ فَقَدۡ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِ الۡجَنَّةَ
وَمَأۡوٰىهُ النَّارُۖ وَمَا لِلظّٰلِمِيۡنَ مِنۡ أَنصَارٍ ٧٢
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih
(sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun (QS al-Maidah [5]:72).
Ketiga: kesempurnaan (صِفَات اَللّٰه) sifât Allah. Dalam surat ini disebutkan bahwa
Allah itu (اَلصَّمَد) ash-shamad. Dalam al-Quran, kata ini hanya disebut
dalam surat ini. Jika dicermati, sifat ini memiliki cakupan makna yang amat
luas sekaligus meniscayakan adanya sifat-sifat lainnya. Sebagaimana
telah dipaparkan, kata ini mengandung pengertian bahwa Dia adalah (اَلسَّيِّد) as-sayyid tertinggi dan tidak ada yang lebih tinggi
lagi. Artinya, Dia memang Mahatinggi (اَلعَلِيّ /Al-‘Aliyy), Mahaagung
(اَلعَظِيْم /Al-‘Azhîm)
dan semua sifat lainnya yang menunjukkan ketinggian-Nya.
Kata (اَلصَّمَد) ash-shamad juga mengandung makna bahwa Dia tidak
memerlukan yang lain. Itu berarti, sebagaimana diterangkan az-Zamakhsyari, Dia
adalah (اَلغَنِيّ) Al-Ghaniyy (Mahakaya, tidak butuh terhadap yang lain).20
Karena tidak membutuhkan yang lain, berarti Dia juga (اَلقَدِيْر) Al-Qadîr (Mahakuasa), (اَلقَوِيّ) Al-Qawiyy (Mahakuat), (اَلعَزِيْز) Al-‘Azîz (Mahaperkasa), (اَلحَيّ) Al-Hayy (Mahahidup) dan semua sifat yang menunjukkan
kekuatan-Nya.
Allah juga menjadi sandaran dan tempat
bergantung bagi semua makhluk-Nya. Dialah yang menciptakan semua makhluk-Nya (اَلخَالِق /Al-Khâliq),
menghidupkan mereka (اَلمُحْيِى /Al-Muhyî),
memberikan rezeki kepada mereka (اَلرَّزَّاق-اَلرَّزِيْق /Ar-Razzâq,
Ar-Razîq) dan menolong hamba-Nya (اَلنَّاصِر /An-Nâshir)
serta semua sifat lainnya yang menunjukkan bahwa Dia menjadi sandaran dan
tempat bergantung bagi seluruh hamba-Nya. Dengan demikian, hanya kepada-Nyalah
manusia beribadah dan bermohon.
Walhasil, surat ini memberikan gambaran
amat jelas mengenai keimanan kepada Allah SWT. Sebagaimana disimpulkan
Abdurrahman as-Sa’di, surat ini mencakup (تَوْحِيْدُ
الْاَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ) tawhîd al-asmâ’ wa
al-shifât.21 Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [22]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/527 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1997).
2 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, VI/460 (Riyad: Maktabah Abikan,
1998); al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/244 (Riyad: Dar
‘Alam al-Kutub, 2003); Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r al-Bahr al-Muhîth,
VIII/529 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); az-Zuhaili, At-Tafsîr
al-Munîr, XXX//464 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
3 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588
(Riyad: Dar Thayyibah, 1992).
4 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/515-516
(Beirut: Dar al-Fikr, tt).
5 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r
al-Bahr al-Muhîth, VIII/529.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, VIII/527-528.
7 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/460;
asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516.
8 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516
9 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, XX/245, al-Sa’di, Taysîr
al-Karîm al-Rahmân (Riyad: Muassasah al-Risalah, 2000), 504; az-Zuhaili,
At-Tafsîr al-Munîr, XXX/465 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’an, XX/245
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24
(Makkah: al-Risalah, 2000), 691; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tafsîr, VIII/588.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, XXIV/691.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r
al-Bahr al-Muhîth, VIII/530.
14 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol.
24, 692
15 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsî r
al-Bahr al-Muhîth, VIII/530.
16 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/516.
17 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/
461.
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, XXIV/694.
19 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar.
20 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VI/461.
21 Az-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân,
504.
22 Al-wa’ie /no.135/Nopember 2011/Rubrik
Tafsir/Ust Rokhmat S. Labib. M.E.I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar