Tidak Ada Kesalahan I’rab di Dalam Al-Quran
Salah
satu upaya orang-orang kafir untuk menyerang al-Quran adalah tuduhan
adanya penulisan dan bacaan ayat al-Quran yang bertentangan dengan
kaedah nahwu dan sharaf. Untuk membuktikan tuduhannya, mereka
mengetengahkan beberapa ayat al-Quran, diantaranya adalah surat Thaha
ayat 63 dan beberapa riwayat ahad.
Lalu, benarkah ada kesalahan i’rab di dalam al-Quran; atau benarkah ada ayat al-Quran yang susunan kalimatnya menyalahi kaedah nahwu dan sharaf? Jawabnya, tentu saja tidak ada kesalahan i’rab
di dalam al-Quran. Pasalnya, penulisan dan bacaan yang dianggap aneh
dan janggal tersebut telah dibahas dan dikaji para ulama tafsir maupun
ulumul Quran. Meskipun
demikian, mereka tidak pernah berkesimpulan bahwa adanya ayat al-Quran
yang bertentangan dengan kaedah-kaedah bahasa Arab, sehingga ia tidak
lagi otentik dan orisinal. Perdebatan dan perbedaan
pendapat mereka dalam menganalisa ayat yang janggal dan aneh itu tidak
pernah mengantarkan mereka untuk menikam, apalagi meragukan keotentikan
al-Quran dan ketsiqahan para shahabat dalam menukilkan al-Quran kepada
umat Islam. Tetapi, dengan penuh kelicikan dan keculasan,
kajian para ulama yang mukhlish tersebut justru dijadikan alasan untuk
membenarkan maksud-maksud jahat mereka menikam dan menodai al-Quran.
Akan
tetapi, sebagai umat yang menjunjung tinggi keobyektifan dan keadilan,
kita wajib menjelaskan kembali masalah ini, agar tidak ada syubhat di
kalangan kaum Muslim. Jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut;
Pertama,
pada dasarnya, adanya ejaan atau penulisan yang dianggap janggal dan
aneh di dalam Mushhaf Al-Quran sudah dikenal secara luas dan telah
dikaji oleh para ulama. Kejanggalan dan keanehan dalam penulisan ini
bukan dikarenakan ada kesalahan penulisan teks Al-Quran oleh penulis
al-Quran, atau karena ada pemalsuan dan kecurangan; akan
tetapi, keadaan ini bisa dimengerti karena Nabi Mohammad saw mempunyai
banyak penulis yang berasal dari beberapa suku yang sudah terbiasa
dengan dialek dan ejaan yang berbeda-beda menurut kebiasaan suku
masing-masing. Menurut catatan sejarah, Nabi saw memiliki tidak kurang 65 penulis wahyu. [M.M. Al-A'dzami, Kuttaab al-Nabiy, edisi ke 3, Riyad, 1401 (1981), hal. 83-89] Oleh karena itu, dalam penulisan al-Quran pun bisa beragam tergantung dari ejaan dan gaya penulisan yang dipakai pada saat itu. Di dalam laporan sejarah dinyatakan bahwasanya Yahya melihat surat yang dibacakan Nabi Mohammad saw kepada Khalid bin Sa’iid bin ‘Ash yang membuat beberapa kejanggalan. Misalnya, كان (kaana) ditulis dengan كون , حتى (hatta) ditulis dengan حتاdan masih banyak contoh-contoh yang lain. [Mohammad Hamidullah, Six Origininaux Letters Du Prophete De L'Islam, hal.
127-133] Bagi orang yang tidak paham terhadap adanya ragam dialek dan
ejaan, tentu hal ini dianggap sebagai kesalahan atau penyimpangan
penulisan al-Quran dari kaedah-kaedah bahasa Arab. Padahal, adanya ragam dialek dan ejaan ini sama sekali tidak berpengaruh terhadap kerusakan teks-teks Al-Quran. Pasalnya, Nabi saw memang mengajarkan al-Quran dengan berbagai macam dialek. Beberapa suku Arab menyebut kata حتى (hattaa) dengan عتى (‘attaa); kata صراط (shiraath) disebut dengan سراط (siraath); dan sebagainya. Perbedaan ini merupakan sesuatu yang lumrah dan lazim. Bagi orang yang memahami ragam dialek, niscaya ia akan memaklumi hal ini.
Selain itu, munculnya perbedaan penulisan dan pengejaan juga disebabkan karena perubahan standar ejaan yang dipakai. Misalnya, kata “judging” (penghukuman) menurut standar ejaan bahasa Inggris abad 17 Masehi ditulis dengan “inudging” . Bagi orang modern awam, penulisan “inudging” dianggap sebagai kesalahan karena tidak sesuatu dengan standar penulisan modern. Padahal, pengejaan kata “inudging” sesuai dengan standar ejaan bahasa Inggris abad 17. Penulisan
kata “ketjap” barangkali dianggap sebuah kesalahan menurut standar
ukuran pengejaan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), namun, sebelum tahun
1972, penulisan kata “kecap” dengan “ketjap” bukanlah kesalahan.
Kedua, pada dasarnya kaedah nahwu dan sharaf merupakan kreasi para ulama jauh setelah penulisan, pengumpulan, dan pelembagaan al-Quran dalam Mushhaf Imam. Kemunculan
ilmu ini (nahwu sharaf) dilatarbelakangi oleh semakin awamnya
masyarakat terhadap bahasa Arab fushhah –termasuk bangsa Arab sendiri–,
dan munculnya degradasi terhadap bahasa Arab fushhah. Padahal, penguasaan bahasa Arab fushhah merupakan syarat paling penting untuk menjamin kebenaran istinbath (penggalian) hukum dan penafsiran al-Quran. Jika
bahasa Arab fushhah rusak dan kaum Muslim awam terhadap kaedah-kaedah
bahasa Arab fushhah, niscaya akan terjadi kesalahan dalam proses
penggalian hukum dan penafsiran al-Quran. Oleh karena itu, para ulama
ahli bahasa (ahlu al-lughah) segera menyusun kaedah-kaedah
bahasa Arab, yang kemudian dituangkan dalam berbagai disiplin ilmu,
semacam ilmu nahwu sharaf, bayan, ma’aaniy, balaghah, ilmu ‘aarudl, dan
lain sebagainya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menyusun kamus-kamus standar bahasa Arab (lisanul ‘Arab). Semua ini ditujukan agar kaum Muslim tidak salah dan menyimpang dalam memahami makna-makna al-Quran.
Salah
satu standar dan acuan penting dalam penyusunan kaedah-kaedah bahasa
Arab, termasuk di dalamnya ilmu nahwu dan sharaf dan juga kamus-kamus
bahasa Arab, adalah al-Quran. Lantas, bagaimana bisa
dinyatakan bahwa al-Quran bertentangan dengan kaedah nahwu sharaf,
sementara itu, standar penyusunan kaedah nahwu dan sharaf bersumber dan
berpatokan dari al-Quran? Ini sama artinya dengan seseorang yang salah
mengukur panjang sebuah batang, kemudian menyalahkan penggarisnya. Dan
bagaimana bisa dinyatakan ada ayat al-Quran yang bertentangan dengan
bahasa Arab (lisanul Arab) sedangkan al-Quran diturunkan Allah dengan
bahasa Arab yang nyata dan jelas? Allah swt berfirman;
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (TQS Fushshillat(41):3)
“(Ialah) Al-Quran dalam bahasa ‘Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa” (al-Zumar:28)
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa ‘Arab, untuk kaum yang mengetahui”. (Fushshilat:3)
“Demikianlah
Kamu wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa ‘Arab supaya kamu memberi
peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri)
sekelilingnya…” (al-Syura:7)
“Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa ‘Arab supaya kami memahaminya” (al-Zukhruf:3)
“Dan sebelum al-Quran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan
ini (al-Quran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa ‘Arab
untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang dzalim dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (al-Ahqaf:12)
Ketiga, sesungguhnya, penulisan al-Quran sudah dilakukan sejak masa Rasulullah saw. Setiap
kali wahyu turun, beliau meminta shahabatnya untuk menuliskannya di
pelepah kurma, batu, maupun media lainnya. Abu Ubaid dalam kitab Fadlaail menyatakan
bahwasanya setiap kali wahyu turun, Nabi saw memanggil para penulisnya
untuk mencatat ayat tersebut, dan mendiktekannya. Imam
Bukhari dan Abu Dawud menuturkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya Nabi
Mohammad saw sering memanggil dirinya untuk menulis wahyu yang turun.
Sewaktu ayat jihad turun, Zaid bin Tsabit dipanggil Nabi untuk membawa
tinta dan alat tulis untuk menulis ayat tersebut, dan Nabi saw
mendiktekannya. Tidak hanya itu saja, setelah Zaid bin
Tsabit menuliskan ayat yang turun, beliau membacakannya kembali di
hadapan Nabi saw, agar tidak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam
teks. [Al-Suuliy, Adaab al-Kuttaab, hal. 165; Imam al-Haitaamiy, Majmaa' al-Zawaaid, i:52] Nabi saw juga melarang shahabat menulis sesuatu yang bukan al-Quran (hadits), agar tulisan itu tidak bercampur dengan al-Quran. Keterangan semacam ini dituturkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud. Sedangkan
para shahabat yang tidak menulis, mereka juga membawa tinta dan kulit,
dan meminta para shahabat yang bisa menulis untuk menuliskannya.[Imam
Baihaqiy, Sunan al-Kubra, vi, hal. 16] Nabi Mohammad sendiri memiliki 65 orang penulis yang berasal dari beberapa suku Arab.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwasanya, sejak jaman Nabi Mohammad saw, al-Quran
sudah tertulis, dan setiap tulisan didiktekan di hadapan Nabi. Lalu,
bagaimanan bisa dinyatakan bahwa ada penulisan ayat yang menyalahi
kaedah bahasa Arab, sedangkan penulisan al-Quran sudah dilakukan sejak
jaman Nabi, dan Nabi Mohammad saw sendiri yang mendiktekannya, dan
mengajarkannya dengan tujuh dialek? Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah hadits dari Ubay bin Ka’ab bahwasanya Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya, Allah swt telah memerintahmu untuk membacakan al-Quran kepada ummatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf manapun, bacalah al-Quran, niscaya kalian berada dalam kebenaran”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Atas dasar itu, tuduhan adanya kesalahan penulisan di dalam al-Quran jelas-jelas tidak beralasan. Pasalnya, tuduhan tersebut tidak didasarkan pada riwayat-riwayat mutawatir, akan tetapi ahad. Dan hadits ahad tidak bisa menganulir al-Quran yang mutawatir.
Keempat, Al-Quran adalah Kalamullah (Firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Mohammad saw, dan sampai kepada kita dengan periwayatan mutawatir. Di dalam Kitab al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, al-Hafidz Asy Suyuthiy menyatakan; “Tidak
ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib
ditetapkan secara) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya,
tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pentahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Pasalnya, sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sedangkan al-Quran sendiri adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun,
riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir, maka secara
qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan
ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“ [1]
Atas dasar itu, penetapan apakah sebuah riwayat termasuk al-Quran atau tidak, tergantung dari tingkat periwayatannya. Jika periwayatannya mutawatir, maka riwayat itu bisa dikategorikan al-Quran atau bagian dari al-Quran. Namun,
jika riwayat-riwayat tersebut tidak dituturkan secara mutawatir, alias
ahad, maka ia tidak boleh diyakini sebagai ayat al-Quran atau bagian
dari al-Quran.
Perhatikan
beberapa riwayat ahad berikut ini yang diklaim sebagai al-Quran atau
bagian dari al-Quran, namun tidak boleh diyakini sebagai al-Quran.
Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata;
قَرَأْتُ سُوْرَةَ الاحْزَابِ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَنَسِيْتُ مِنْهَا سَبْعِيْنَ آيةٍ مَا وَجَدْتُهَا
” Saya membaca surat
al-Ahzab di hadapan Nabi saw dan tujuh puluh ayat darinya saya sudah
lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’[2]
Riwayat ini tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Alasannya riwayat ini dituturkan tidak secara mutawatir, alias ahad. Berdasarkan riwayat, ini kita tidak boleh menyakini bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Menyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Riwayat ini juga tidak boleh dipahami sebagai ayat al-Quran yang telah dihapus. Pasalnya, al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan mutawatir. Penurunan, penjagaan, dan pembukuan al-Quran dilakukan dengan jalan mutawatir. Iman
terhadap al-Quran termasuk bagian dari aqidah yang tidak boleh
ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang qath’iy tsubut wa al-dilaalah[3].
Riwayat yang senada dengan riwayat di atas juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail; Ibnu Al-Anbaariy, dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, bahwasanya beliau ra berkata;
كَانَتْ سُوْرَةُ اْلاَحْزَابِ تُقْرَأُ
فيِ زَمَانِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ مِائَتَيْ آيَةٍ
فَلَمَّا كَتَبَ عُثْمَانُ اْلمَصَاحِفَ لمَ ْيَقْدِرْ مِنْهَا إِلاَّ
عَلَى مَا هُوَ الآن
“Pada masa Nabi saw, surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.”[4]
Riwayat ini dituturkan secara ahad, alias tidak mutawatir. Oleh karena itu, riwayat ini tidak boleh dianggap sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran. Berdasarkan riwayat ini, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Mushhaf Imam hanya berjumlah tujuh puluh tiga ayat. Riwayat
ini tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, seluruh ayat al-Quran
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy, dan ayat-ayat yang tidak
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy tidak boleh dianggap sebagai
al-Quran.
Imam
al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan
Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan
Al-Quran, disana disebutkan, “Abu Bakar ra memerintah seorang
mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki
sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah
salah seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini ,
beritahulah aku! (Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-’Ashr..”. ‘Umar ra bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah menjawab, “Tidak!”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.” Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, riwayat ini diriwayatkan secara ahad, dan tidak mutawatir. Sedangkan al-Quran harus ditetapkan berdasarkan periwayatan-periwayatan mutawatir.
Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’, dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra, ia berkata, “Telah
turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan
(menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah saw meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran.”
Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf. Juga tidak boleh dipahami bahwa, riwayat tersebut merupakan al-Quran yang telah dihapus. Sebab, tidak ada nasakh tilawah di dalam al-Quran. Meskipun sebagian ulama berpendapat adanya nasakh tilawah, namun pendapat itu lemah dan tidak layak diikuti. Adapun
mengapa nasakh tilawah tidak terdapat di dalam al-Quran; sebab,
riwayat-riwayat yang menuturkan adanya nasakh tilawah adalah hadits
ahad; sehingga, tidak menghasilkan kepastian dan keyakinan. Selain
itu, riwayat-riwayat tersebut tidak boleh dianggap sebagai al-Quran
maupun bagian dari al-Quran; sehingga harus diimani dan diyakini sebagai
al-Quran yang dihapus[5].
Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhafnya Ubay bin Ka’ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhafnya Ubay tersebut disebutkan, “fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi’aat fi kifaarat al-yamiin”[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin (denda karena melanggar sumpah].”
Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf Imam. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab,
seandainya hadits ini harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di
dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami
pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak berhujjah dengan riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad.[6]
Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, “Adalah Ibn al-’Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat
ini, maka Zaid berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
“al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].”,
‘Umar berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak
muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia
muhshon, maka dirajam“.[7]
Riwayat ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, ia dituturkan kepada kita secara ahad, alias tidak mutawatir. Sesungguhnya,
masih banyak riwayat-riwayat lain yang diklaim sebagai al-Quran atau
bagian dari al-Quran namun tidak boleh diyakini sebagai al-Quran atau
bagian dari al-Quran. Pasalnya, riwayat-riwayat tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir, alias ahad. Sedangkan al-Quran tidak ditetapkan, kecuali dengan jalan periwayatan mutawatir. Oleh karena itu, sesuatu tidak absah disebut sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran, jika diriwayatkan secara ahad.
Sama
seperti riwayat-riwayat di atas, riwayat yang dituturkan oleh ‘Aisyah
yang menyatakan bahwa surat Thaha ayat 63 telah mengalami kesalahan
penulisan dan bertentangan dengan kaedah bahasa Arab, harus ditolak. Pasalnya, riwayat tersebut ahad (tidak mutawatir) sehingga tidak bisa dianggap sebagai al-Quran. Selain itu, al-Quran sudah tertulis sejak Nabi Mohammad saw, dan dibaca secara mutawatir oleh para shahabat yang ribuan. Dan tidak ada satupun para mereka menyelisihi Mushhaf Imam. Jika ada perbedaan dalam hal pembacaan, hal itu merupakan perkara lumrah. Pasalnya, Nabi saw memang mengajarkan cara baca al-Quran dengan tujuh dialek yang berbeda.
Kelima, pada dasarnya, frase “in hadzaani” yang
terdapat di dalam surat Thaha ayat 63 dianggap sebagai bukti
ketidakotentikan al-Quran, karena adanya kesalahan penulis al-Quran di
era shahabat. Pasalnya, susunan seperti ini dianggap menyalahi kaedah nahwu sharaf. Selain itu, para penuduh juga mengetengahkan riwayat-riwayat ahad untuk membenarkan tuduhan itu. Dituturkan
dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya, bahwasanya bapaknya pernah
bertanya kepada ‘Aisyah tentang firman Allah swt “in hadzaaniy” (إِنْ هَذَانِ) (Thaha:63); kemudian Aisyah menjawab, “Wahai anak saudara perempuanku, itu adalah salah dan perbuatan dari penulis.” Aban
bin Utsman juga menuturkan bahwasanya ia membaca ayat ini di hadapan
bapaknya, Utsman bin ‘Affan, lantas, Utsman menegurnya, “Ini lahn (kesalahan) dan khatha’ (kekeliruan)”. Lalu ada orang yang bertanya kepadanya, “Lalu, mengapa anda tidak mengubahnya? Utsman menjawab, “Biarkan saja, sesungguhnya ia tidak menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan”.[Lihat Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, surat Thaha:63] Jawab atas masalah ini adalah sebagai berikut;
Riwayat ‘Aisyah dan Ustman bin Affan di atas adalah riwayat ahad, sehingga tidak boleh dianggap atau diyakini sebagai al-Quran. Suatu riwayat sah diyakini sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran, jika diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran atau bagian dari al-Quran harus ditolak. Untuk
itu, riwayat Aisyah dan Utsman bin ‘Affan tersebut tidak memiliki nilai
hujjah untuk mengkritik keotentikan al-Quran yang telah ditetapkan
berdasarkan berita mutawatir. Sebab, Al-Quran ditulis sejak zaman Nabi Mohammad saw, kemudian dikumpulkan di era Abu Bakar Ash-Shiddiq. Selanjutnya,
Utsman bin ‘Affan menuliskannya di dalam Mushhaf untuk menghindari
adanya pertikaian karena perbedaan cara baca dan dialek yang terjadi di
tengah-tengah kaum Muslim. Sedangkan Zaid bin Tsabit dan
tim penulisan al-Quran adalah para shahabat yang paling fasih dan
memahami bahasa Arab beserta uslubnya (gaya bahasanya). Atas dasar itu, penulisan dan bacaan (إنْ هَذَانِ) merupakan perkara mutawatir, dan tidak bisa dianulir dengan riwayat ahad.
Sesungguhnya, bacaan “( إنْ هَذَانِ)
(in hadzaaniy) adalah bacaan sebagian suku Arab, sehingga bacaan ini
tidak bertentangan dengan kaedah bahasa Arab (lisanul Arab), seperti
yang dituduhkan kaum kafir orientalis. Bacaan ” إنْ هَذَينِ لَسَاحِرَانِ” juga bacaan masyhur di kalangan orang-orang Arab. Ini berarti bahwa bacaan (إنْ هَذَانِ) “in haadzaani, bukanlah bacaan yang menyalahi kaedah bahasa Arab. Sebab,
bacaan semacam ini adalah bacaan sebagian suku Arab, yakni suku Bani
Harits bin Ka’ab, Zabid, Kinanah bin Zaid, dan Khuts’am. [Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,juz 5, hal. 301] Menurut Abi Hatim, di dalam dialek dan ejaan suku Bani Harits bin Ka’ab, kadang-kadang huruf “ya” ( (ي diganti dengan huruf alif (ا), misalnya frase “َ ولا أدريتكم به ditulis dan dibaca ولا أدراتكم به. Mereka
juga biasa mengganti huruf ya dengan alif, jika huruf sebelumnya diberi
tanda fathah, seperti firman Allah swt surat Thaha ayat 63 tersebut;
sehingga frase إنْ هَذَينِ لَسَاحِرَانِ” ditulis dan dibaca dengan إنْ هَذَانِ (in haadzaaniy). Suku-suku
di atas sudah terbiasa menulis dan membaca dengan nashab (fathah),
rafa’ (dlammah), dan khafadl (kasrah) untuk pelaku yang berjumlah dua. Lihat contoh di bawah ini;
جَاءَ الزَّيْدَانِ وَرَأَيٍْتُ الزَّيْدَانِ وَمَرَرْتُ بِالزَّيْدَانِ،
“Dua Zaid telah datang (Zaid berkedudukan sebagai subyek, berarti rafa’(dzalmmah)); Saya melihat dua Zaid (Zaid berkedudukan sebagai obyek, berarti dibaca nashab (fathah); Saya berjalan dengan dua Zaid (berkedudukan sebagai majrur (dikhafadl)”.
Jika
anda perhatikan susunan kalimat di atas secara seksama, tidak ada
perbedaan dalam penulisan “kata al-zaidaani” baik yang dibaca nashab, rafa’, maupun jarr (khafadl). Atas dasar itu, tidak pada tempatnya mengkritik dan menikam keotentikan al-Quran dengan menggunakan surat Thaha ayat 63.
Pada
dasarnya tulisan al-Quran yang ada di dalam Mushhaf Imam ditujukan
untuk merangkum semua ragam dialek dan penulisan yang dimiliki oleh
suku-suku Arab. Kodifikasi al-Quran (rasm al-Quran), yakni khathth al-Quran, telah mengakomodir setiap lahjaat ini. Misalnya kata ataaka (اتاك) pada ayat disebut sebelumnya, di dalam al-Quran (mushhaf ‘Utsmani) ditulis (اتك). Penulisan semacam ini telah mencakup qiraat al-imaalah atau qiraat al-fath. Tujuh huruf ini hadir dengan lahjaat (dialek) yang beragam; dan juga hadir dalam bentuk rasm al-Quran yang berbeda-beda (bentuk penulisannya berbeda). Semua
itu ditujukan untuk meringankan dan mempermudah umat Islam. Hikmah
seperti ini disebutkan dengan sangat jelas dalam hadits “…maka bacalah apa yang paling mudah darinya”, yakni apa yang mudah di antara tujuh huruf tersebut (tujuh dialek Arab) menurut lisan kalian, yaitu dialek dari
ketujuh suku yang ada. Menurut sumber-sumber yang ada, tujuh huruf
tersebut adalah dialeknya kabilah-kabilah berikut ini; Quraisy, Hudzail,
Tamiim, Azad, Rabii’ah, Sa’ad bin Abi Bakar, Kinaanah, dan Qabas.
Menurut Imam Sibawaih (seorang ulama ahli dan pakar dalam bahasa Arab), frase “in haadzaaniy” termasuk huruf i’rab. Dan ia adalah bentuk paling asal yang tidak berubah. Oleh
karena itu, penulisan dan pembacaan seperti itu (in haadzaani)
ditujukan untuk menunjukkan bentuk asalnya yang tidak berubah. Sama seperti firman Allah swt; “istihwadza ‘alaihim al-syaithaan” (surat al-Mujadilah ayat 19), yang tidak ditulis dan dibaca dengan “istihaadza ‘alaihim al-syaithaan“. Semua ini untuk menunjukkan bentuk asalnya.
Kesimpulan
Pada dasarnya, penjagaan terhadap keotentikan, kebenaran, dan otoritas al-Quran ada di tangan Allah swt. Allah swt berfirman;
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya[8].
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya“. [TQS Al Qiyamah (75):16-20]
Atas
dasar itu, tuduhan bahwa al-Quran mengalami pengurangan, penambahan,
atau adanya kesalahan dalam penulisan dan bacaan, adalah tuduhan yang
tidak berdasar dan mengada-ada. Pasalnya, al-Quran merupakan dokumen yang telah terbukti keaslian dan keotentikannya berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir.
Al-Quran tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan Taurat, Injil, Bhagawadgita, dan kitab-kitab suci yang lain. Pasalnya, al-Quran benar-benar bersumber dari Allah swt, dan tetap terjaga keorisinalannya hingga sekarang. Sedangkan Taurat dan Injil telah mengalami kerusakan di sana-sini. Keadaan ini diakui sendiri oleh pendeta-pendeta Nashrani. Mereka menyatakan bahwa 80% Injil bukanlah ucapan Yesus. Selain
itu, banyaknya ragam bacaan, tulisan, dan versi Injil yang saling
bertentangan telah membuktikan bahwa kitab ini tidak lagi otentik. Nasib yang sama juga dialami kitab Taurat. Atas dasar itu, menyepadankan al-Quran dengan kitab-kitab tersebut jelas-jelas sebuah kesalahan dan kekeliruan.
Tidak hanya itu saja, Allah
swt telah menurunkan al-Quran kepada Rasulullah saw, sebagai risalah
yang berisi kebenaran, sekaligus sebagai standar untuk membuktikan
kebenaran kitab-kitab suci sebelumnya. Allah swt berfirman;
“Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Maka,
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberianNya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.[TQS Al Maidah (5):48]
Imam Thabari mengatakan bahwasanya, maksud dari frase “muhaiminan ‘alahi” adalah untuk membuktikan (menguji) kebenaran kitab-kitab terdahulu[9]. Ibnu Juraij berkata, “Al-Quran itu pembukti kitab-kitab terdahulu. Apa yang sejalan dengan al-Quran maka benar, sedangkan yang bertentangan dengan al-Quran maka bathil.” Sedangkan menurut al-Walabiy, sebagaimana yang ia tuturkan dari Ibnu ‘Abbas; makna “muhaiminan” adalah “syahiidan” (penyaksi). Pendapat ini juga dipegang oleh Mujahid, Qatadah, dan al-Suddiy. Al-’Aufiy menuturkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya frase “muhaiminan” bermakna “haakiman ‘ala maa qablahu min al-Kutub” (pembukti (standar) bagi kitab-kitab sebelumnya”.[10] Imam Ibnu Katsir, setelah mengutarakan pendapat-pendapat mufasir sebelumnya, menyatakan, “Semua pendapat di atas maknanya saling berdekatan. Sesungguhnya,
kata “muhaiminan” mengandung semua makna di tersebut, yakni “amiin,
syahiid, dan haakim ‘ala kulli kitaab qablihi “; (penjaga, penyaksi, dan
pembukti semua kitab sebelumnya). Dan Allah
telah menjadikan al-Quran sebagai kitab Agung, yang mana Allah swt telah
menurunkannya sebagai pamungkas dan penutup kitab-kitab sebelumnya,
menjadikannya kitab yang paling menyeluruh, paling agung, dan paling
jelas, yang mengumpulkan semua kebaikan kitab-kitab sebelumnya. Dan ia menyempurnakan apa-apa yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu, Allah swt menjadikan Al-Quran sebagai pelindung (amiin), penyaksi (syahiid), dan pembukti (haakim) atas kitab-kitab sebelumnya”.[11]
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menjelaskan sebagai berikut, “Menurut
bacaan jumhur ulama tafsir, kata muhaiminan ‘alaihi” maknanya adalah,
al-Quran itu berfungsi sebagai penyaksi kebenaran kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya, dan ia menetapkan isi kitab-kitab sebelumnya yang
tidak dihapusnya, dan menghapus semua yang bertentangan dengan dirinya
(Al-Quran)”.[12]
Al-Quran menyatakan dengan sharih ketidakotentikan kitab-kitab yang diturunkan kepada Yahudi dan Nashraniy. Allah swt berfirman;
“Hai
Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan
kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak
(pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridloanNya ke jalan keselamatan, dan
(dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus“.[TQS Al Maidah (5):15-16]
Jika
kitab suci kaum Yahudi dan Nashraniy tidak lagi otentik, lantas mengapa
mereka masih bersikukuh mempertahankan agama mereka yang jelas-jelas
telah menyimpang itu? Dan mengapa tidak kembali kepada
pangkuan Allah swt; kembali hanya menyembah kepada Allah swt Yang Maha
Esa dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun? Sungguh, siapa saja yang memeluk agama selain Islam, maka ia telah kafir, dan akan menjadi penghuni neraka kekal di dalamnya. Allah swt berfirman;
“Barangsiapa
mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”.[TQS Ali Imron (3):85]. Wallahu A’lam bi al-ShawabCatatan Kaki:
- Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.
- Al-Hafidz al-Suyuthiy, Durr al-Mantsur, jilid 6, hal. 560
- Dr. Mohammad Ali Hasan, Al-Manaar fi ‘Uluum al-Quraan, hal. 126
- Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 6; hal.560
- Lihat dan bandingkan dengan Dr. Mohammad Ali al-Hasan, al-Manaar fi ‘Uluum al-Quran, hal. 126. Lihat juga penjelasan Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, jilid 2, hal. 26. Di dalam kitab itu al-Suyuthiy menjelaskan bahwa Ibnu Dzafar menolak adanya nasakh tilawah (namun hukumnya tetap), dengan alasan khabar ahad (hadits ahad) tidak bisa menetapkan al-Quran.”[Al-Hafidz Suyuthiy, al-Itqaan fi 'Uluum al-Quran, hal. 26]
- Imam Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 113
- Lihat Imam al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, bagian ke 2, hal. 25
- Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu
- Imam Ath Thabariy, Tafsir ath Thabariy, juz 10, hal. 382
- Imam Ibnu Katsir, Tafsiir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 128
- Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 128; Tafsir Ibnu Abiy Hatim, juz 4, 496;
- Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 318
Tidak ada komentar:
Posting Komentar