ADAB BERTANYA,
MELAKSANAKAN PERINTAH DAN MENJAUHI
LARANGAN
ذَرُوْنِيْ
مَا تَرَكْتُكُمْ ، فَإِنَّمَا هَلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلٰي أَنْبِيَائِهِمْ ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ
فَاجْتَنِبُوْهُ ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ
فَائْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ .
Biarkan aku apa yang aku biarkan kepada
kalian. Sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena pertanyaan
dan penyelisihan mereka kepada nabi-nabi mereka. Jadi, jika aku melarang sesuatu
atas kalian maka tingggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka
lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian
(HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, al-Humaidi,
Ibn Hibban, Abu Ya’la, dll)
Hadis
ini dikeluarkan oleh al-Humaidi dari Sufyan. Imam Ahmad mengeluarkannya dari
Yazid dari Muhammad bin Ishaq. Imam al-Bukhari mengeluarkannya dari Ismail bin
Abi Uwais dari Malik. Imam Muslim mengeluarkannya dari Qutaibah bin Said dari
al-Mughirah al-Hizami dan dari Ibn Abi Umar dari Sufyan. Abu Ya’la
mengeluarkannya dari Wahab dari Khalid, dari Abdurrahman bin Abi Ishaq
al-Madini. Ibn Hibban mengeluarkannya dari al-Fadhl bin al-Hubab al-Jumahi,
dari Ibrahim bin Basyar dari Sufyan. Kelimanya (Sufyan bin Uyainah, Muhammad
bin Ishaq, Malik, al-Mughirah al-Hizami, Abdurrahman bin Ishaq al-Madini) dari
Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ad-Dawsi
ra.
Imam Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah,
Ahmad, Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah dan lainnya juga mengeluarkan hadis tersebut
dengan redaksi sedikit berbeda melalui beberapa jalur dari penuturan Abu
Hurairah ra.
Imam
an-Nawawi memasukkan hadis ini dalam Al-Arba’ûn an-Nawawiyah hadis ke sembilan.
Hadis ini termasuk bagian dari salah satu pokok ajaran agama, yang memberikan
tuntunan sikap bagi seorang Muslim terhadap larangan dan perintah.
Lafal dzarûnî …
wa ikhtilâfihim ‘alâ anbiyâihim (ذَرُوْنِيْ ......
وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ) meski redaksinya berita, maknanya adalah larangan menyelisihi
nabi dan banyak bertanya. Menyelisihi nabi sudah
diketahui oleh semua bahwa hukumnya adalah haram. Adapun bertanya maka qarinah
yang ada menunjukkan larangan itu bermakna makruh dan itu pun hanya untuk jenis
pertanyaan tertentu, bukan umum untuk semua pertanyaan. Sebab, Allah SWT justru
memerintahkan untuk bertanya kepada ulama jika kita tidak tahu (QS an-Nahl [16]:43;
al-Anbiya’ [21]:7)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُوْحِيْ إِلَيْهِمْ
فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ٤٣
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,
kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (an-Nahl [16]:43)
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوْحِيْ إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوْا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ٧
Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum
kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui.
(al-Anbiya’ [21]:7)
Dalam beberapa hadis
Rasul saw. juga memerintahkan untuk bertanya. Begitupun para Sahabat banyak
bertanya kepada Rasul saw., beliau tidak melarangnya dan beliau pun menjawab
pertanyaan mereka.
Ringkasnya,
pertanyaan itu ada dua jenis. Pertama: pertanyaan yang dilarang. Di antaranya
pertanyaan yang menimbulkan keraguan (tasykîkiyah / تَشْكِيْكِيَة)
dalam akidah atau tentang kelayakan syariah. Juga
pertanyaan tentang perkara yang berada di luar jangkauan akal manusia, seperti
pertanyaan tentang ruh (nyawa), tentang zat Allah, tentang zat/hal gaib,
tentang jin, malaikat, dsb. Juga dilarang pertanyaan dalam rangka mendebat (li
al-jidâl / لِلْجِدَال), pertanyaan yang
berputar-putar menyulitkan untuk membuat yang ditanya agar tampak bodoh (اَسْئِلَة تَعَنُّتِيَة / as’ilah ta’annutiyah) dan pertanyaan
untuk mengejek atau memperolok (istihzâ’ / اِسْتِهْزَاء). Begitu pula dilarang pertanyaan tentang detil suatu masalah
secara berlebihan yang sebenarnya tidak perlu (تَنَطُّعِى / tanathu’i), seperti pertanyaan apakah haji diwajibkan setiap tahun,
yang menjadi asbabul wurud hadis ini. Juga pertanyaan yang dibuat-buat
(takalluf / تَكَلُّف) atau pertanyaan yang
mengada-ada; termasuk pertanyaan: kalau, jika, seandainya begini bagaimana;
yakni tentang sesuatu yang bersifat asumtif, bukan yang faktual atau dugaan
kuat akan dijalani atau dihadapi. Dalam hal ini, para Sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, tidak
menyukai pertanyaan tentang sesuatu yang belum ada atau belum terjadi karenanya
mereka bersikap tawaqquf (تَوَقُّف)
tidak mau menjawab atau membahasnya.
Kedua:
pertanyaan yang diperintahkan dan disyariatkan, yaitu pertanyaan dalam rangka
ta’lim, di antaranya agar lebih paham atau lebih jelas memahami nas dan hukum.
Juga pertanyaan dalam rangka pengajaran untuk pembelajar yang lain supaya
pelajaran yang diberikan guru, deskripsinya jadi lebih jelas, lebih lengkap
atau lebih mudah dipahami para pembelajar. Bahkan bagi orang yang akan
melakukan sesuatu dan dia belum/tidak tahu hukumnya, maka bertanya tentang
hukum sesuatu itu sebelum dia melakukannya adalah wajib. Sebab, tanpa itu dia
tidak akan bisa melaksanakan kewajiban terikat dengan syariah dalam melakukan
atau tidak melakukan sesuatu itu.
Hadis
ini memberi tuntunan sikap seorang Muslim. Terhadap perintah, dilaksanakan
sesuai batas kemampuan. Maknanya bukanlah minimalis, tetapi justru maksimalis.
Sebab, makna (اِسْتِطَاعَة)
istitha’ah adalah (اَقْصَ طَاقَة) aqsha thâqah (kemampuan maksimal). Adapun larangan, maka
ditinggalkan, dan itu tanpa dikaitkan dengan istithâ’ah (اِسْتِطَاعَة). Sebab, meninggalkan adalah manahan diri, tidak melakukan, atau
tidak mengambil yang dilarang itu, atau berhenti lalu menjauhinya jika
terlanjur dikerjakan.
Hadis ini mengisyaratkan bahwa dari pada
menyibukkan diri dengan pertanyaan yang dilarang itu, hendaknya seorang Muslim
lebih menyibukkan diri memahami apa yang dibawa oleh Nabi baik al-Quran maupun
as-Sunnah, mendalami maknanya dan menggali hukumnya bagi yang mampu atau
memahami hukum-hukum yang digali darinya oleh para mujtahid. Semuanya dalam rangka mempedomani dan
mengamalkannya. Jika itu termasuk perkara pembenaran, hendaklah menyibukkan
diri untuk membenarkannya baik ghalabah zhan (غَلَبَةُ
الظَنّ) ataupun mengimaninya sesuai tuntutan nas itu. Jika
merupakan perkara amaliah (عَمَلِيَّة), hendaklah mengerahkan segenap daya upaya untuk
melaksanakannya sesuai batas kemampuan jika itu berupa perintah; dan
meninggalkan serta menjauhinya jika berupa larangan. Jika masih ada waktu
lebih, bolehlah memikirkan hukum apa yang mungkin akan terjadi menurut asumsi
dengan maksud untuk dipedomani andai benar terjadi. Jadi (تَفَقُّه
فِى الدِيْن) tafaqquh fi ad-dîn itu terpuji jika untuk amal dan
tercela jika untuk riya dan perdebatan, apalagi untuk menimbulkan kerancuan,
kebingungan dan keraguan di banyak orang. WalLâh a’lam. [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/No.120/Agustus 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar