Menguak Keimanan Yahudi dan Nasrani
(Tafsir QS al-Baqarah [2]: 62)
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ
مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ
أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya
orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan
orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman� kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih akan menerima pahala dari Tuhan mereka;� tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah [2]: 62).
Sabab Nuzûl
Dikemukakan
Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi, “Saya pernah bertanya kepada
Rasulullah saw. tentang para pemeluk agama yang pernah saya anut.” � Dia pun menerangkan shalat dan ibadah mereka. Lalu turunlah ayat ini.[1]
Diriwayatkan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa Salman al-Farisi pernah� bertanya kepada Nabi saw. tentang orang-orang Nasrani dan pendapat Beliau tentang amal mereka. Beliau menjawab, “Mereka tidak mati dalam keadaan Islam.” Salman berkata, “Bumi terasa gelap bagiku dan aku pun mengingat kesungguhan mereka.” Lalu turunlah ayat ini. Setelah itu Rasulullah saw. memanggil Salman seraya bersabda, “Ayat ini turun utuk para sahabatmu.” Beliau kemudian bersabda, “Barangsiapa
yang mati dalam agama Isa sebelum mendengar aku maka dia mati dalam
kebaikan. Barangsiapa yang telah mendengar aku dan tidak mengimaniku
maka dia celaka.[2]
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna âmanû wa al-ladzîna hâdû wa an-nashârâ wa ash-shâbi’îna (Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in).
Setidaknya ada tiga penafsiran mengenai siapa yang dimaksud dengan al-ladzîna âmanû. Pertama:
orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum diutusnya
Rasulullah saw. Pada saat yang sama mereka berlepas diri dari kebatilan
agama Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka ada yang sampai menjumpai
Rasulullah saw. dan mengikuti Beliau; ada pula yang tidak sempat.[3] Demikian menurut Ibnu Abbas dalam suatu riwayat.[4] Kedua: orang-orang munafik yang mengaku beriman. Penafsiran itu dikemukakan Sufyan ats-Tsauri, az-Zamakhsyari, dan an-Nasafi.[5] Ketiga:
orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. secara benar. Di
antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, ath-Thabari,
asy-Syaukani, dan al-Jazairi.[6] Dua pendapat terakhir itu dibenarkan oleh al-Baidhawi. Menurutnya, kata al-ladzîna âmanû mencakup semua orang yang memeluk agama Muhammad (Islam), baik yang mukhlis maupun yang munafik.[7]
Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Alasannya, jika Yahudi
adalah pemeluk agama Musa as., Nasrani merupakan pengikut agama Isa as.,
maka Mukmin adalah sebutan untuk umat Nabi Muhammad saw.[8] Disebut Mukmin,
kata Ibnu Katsir, karena banyaknya keimanan mereka. Mereka mengimani
seluruh nabi yang terdahulu dan perkara gaib yang akan datang.[9]
Adapun kata al-ladzîna hâdû merujuk kepada pemeluk agama Yahudi.[10] Menurut az-Zujaj, secara bahasa kata hâdû bermakna tâbû (bertobat).[11] Mereka dinamai demikian karena mereka pernah bertobat setelah melakukan penyembahan terhadap al-ijl (patung sapi betina). Al-Quran menyitir pernyataan mereka: Inna hudnâ ilayk” (Sesungguhnya kami kembali [bertobat] kepada Engkau) (QS al-A‘raf [7]: 156). Demikian penjelasan Ibnu Mas‘ud.[12]
Kata an-Nashârâ bentuk jamak dari kata Nashrani.[13] Mereka adalah para pengikut Nabi Isa as. Disebut Nashrani karena di antara mereka yang menjadi pengikut setianya—al-hawariyyin—pernah menyanggupi permintaan Isa as. untuk menjadi anshâr Allâh. Allah Swt. mengabadikan jawaban mereka: Nahnu anshâr Allâh (Kami adalah penolong-penolong agama Allah) (QS Ali Imran [3]: 52, ash-Shaff [61]: 14). Ada pula yang mengaitkan sebutan Nasrani dengan nama daerah kelahiran Isa yang dikenal dengan Nâshirah (Nazareth).[14]
Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan ash-Shâbi’în. Menurut
Wahab bin Munabbih, mereka adalah kaum yang mengetahui keesaan Allah,
tidak memiliki syariah yang diamalkan, dan tidak membicarakan kekufuran.
Ibnu Zaid menuturkan, mereka adalah pemeluk suatu agama di daerah
Mosul. Mereka mengucapkan kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh. Mereka
tidak memiliki amal, kitab, dan nabi kecuali kalimat tauhid itu. Oleh
karena itu, kaum musyrik pernah menyebut Nabi saw. dan para Sahabatnya
sebagai shâbi’ûn karena menyerupai mereka dalam kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh.[15]
Mujahid,
Ibnu Abi Najih, Atha’, dan Said bin Jubair menyatakan bahwa mereka
adalah kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani. Adapun Abu Aliyah, Rabi’
bin Anas, as-Sudi, dan adh-Dhuhak berpendapat bahwa mereka adalah salah
satu firqah (sekte) dari Ahlul Kitab yang membaca Zabur.[16] Pendapat ini juga didukung Abdurrahman as-Sa’di.[17]
Walhasil, memang tidak ada kesamaan tentang siapa mereka. Namun
demikian, dari berbagai pendapat tersebut, setidaknya didapatkan
gambaran� bahwa mereka adalah suatu kaum yang memeluk agama tertentu.
Selanjutnya Allah Swt. berfiman: man âmana bi Allâhi wa al-yawm al-âkhir wa ‘amila shalih[an] (siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih).
Kata man dalam ayat di atas kembali pada semua kelompok yang disebutkan. Man âmana
memberikan pengertian, siapa saja di antara mereka yang menjaga imannya
(hingga mati), jika mereka sudah beriman; atau masuk ke dalam iman,
jika mereka masih belum beriman.[18]
Perkara
yang harus diimani adalah iman kepada Allah Swt. dan Hari Kiamat.
Kendati yang disebutkan hanya iman kepada Allah dan Hari Akhir, bukan
berarti hanya mengimani dua perkara itu sudah dapat mengeluarkan
seseorang dari kekufuran dan menjadi Mukmin. Sebab, sebagaimana
dinyatakan al-Alusi, iman kepada Allah Swt. itu meliputi iman terhadap
sifat dan af‘âl-Nya.[19] Keimanan pada sifat dan af‘al-Nya
itu bisa benar jika didasarkan pada pemberitahuan-Nya. Itu berarti,
keimanan kepada Allah Swt. meniscayakan iman kepada rasu-rasul dan
kitab-kitab-Nya.
Demikian juga dengan iman pada Hari Kiamat. Keimanan
ini juga mencakup iman kepada rasul dan kitab. Sebab, Hari Kebangkitan
tersebut tidak akan dapat diketahui kecuali melalui informasi rasul
Allah.[20]
Oleh karenanya, meski yang disebutkan hanya dua perkara, keimanan yang
dimaksudkan tidak terbatas hanya dua perkara itu. Keimanan tersebut
harus komprehensif sebagaimana dinyatakan dalam nash-nash lain, yakni
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, dan al-Qadha wa al-Qadhar.
Sebuah
amal dapat dikategorikan sebagai amal salih jika sejalan dengan
ketentuan syariah dan dikerjakan semata-semata untuk Allah Swt. Artinya,
amal keempat kelompok itu dapat dikategorikan sebagai amal salih jika
amalnya sejalan dengan syariah yang dibawa rasul pada zamannya
masing-masing sebelum ada nasakh dan perubahan.[21]
Allah Swt. berfirman: falahum ajruhum ‘inda Rabbihim (mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka). Ini merupakan janji Allah Swt.
kepada setiap orang yang memenuhi syarat atau sifat yang disebutkan
sebelumnya, bahwa Allah Swt. akan memberikan kepada mereka pahala yang
besar.
Balasan lain yang dijanjikan Allah Swt. kepada mereka adalah: wa lâ khawf[un] ‘alayhim wa lâ hum yahzanûn (tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati). Keadaan ini mereka alami terutama di akhirat kelak.[22]
Bukan Dalil Pluralisme Agama
Pengkajian
tentang ayat ini secara mendalam menunjukkan bahwa ayat ini sama sekali
tidak melegitimasi kebenaran agama-agama selain Islam atau menjadi
dalil bagi keselamatan pemeluk Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in sebagaimana
sering digemborkan kaum Liberal.
Dari segi sabab nuzûl-nya,
ayat ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan Salman al-Farisi tentang
nasib teman-temannya dulu. Artinya, jelas bahwa kaum Yahudi, Nasrani,
dan Shabi’in yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kaum yang hidup
sebelum diutusnya Rasul saw., yakni bahwa umat-umat terdahulu yang
mengikuti agama nabinya dengan konsisten akan mendapatkan pahala di sisi
Allah Swt.� � �
Dari
segi ungkapannya juga jelas, bahwa janji pahala dan keselamatan itu
hanya diberikan jika mereka beriman dengan keimanan yang benar dan
komprehensif. Sebab, pengingkaran terhadap sebagian perkara yang wajib
diimani dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir (QS al-Nisa’ [4]: 136,
150-150).
Berpijak
pada kenyataan tersebut, sebagaimana dinyatakan asy-Syaukani,
al-Qasimi, dan al-Qinuji, yang dapat memenuhi kriteria keimanan tersebut
saat ini hanyalah orang-orang yang memeluk Islam.[23]
Sebaliknya, semua penganut agama selain Islam saat ini dapat
dikategorikan sebagai orang kafir. Sebab, secara pasti mereka
mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya dan al-Quran sebagai
Kitab-Nya.
Karena
itu, siapa saja—termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani—yang menginginkan
dikelompokkan sebagai kaum beriman, tidak ada pilihan lain kecuali harus
mengimani perkara-perkara akidah yang telah ditetapkan Islam tersebut.� (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 137).
Lebih
dari itu, akidah dan syariah mereka juga banyak diliputi dengan mitos
dan kesesatan. Akidah Trinitas yang menjadi pokok pangkal agama Nasrani
menjadi salah satu bukti nyatanya. Secara tegas al-Quran menyebut orang
yang mengakui ketuhanan Isa atau akidah Trinitas tergolong sebagai orang
kafir (QS al-Maidah [5]: 72, 73).
Demikian juga dalam amal salih. Sejak diutusnya Rasulullah saw, syariah Beliau telah me-naskh (menghapus berlakunya) syariah yang dibawa rasul sebelumnya sehingga yang boleh diamalkan hanyalah syariat Islam.
Ibnu Abbas menegaskan bahwa tidak akan diterima, baik tharîqah atau
amal perbuatan, kecuali sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw.
setelah Beliau diutus. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti
rasul pada zamannya, maka ia berada di atas petunjuk, jalan, dan
keselamatan.[24] Al-Wahidi juga menyimpulkan, kata wa ‘amila shâlih[an] merupakan
dalil tentang keimanan kepada Nabi Muhammad saw. Sebab, orang yang
tidak beriman kepada Beliau, amalnya tidak ada yang salih.[25]
Hal lain yang juga sering diabaikan oleh kaum Liberal dalam memahami ayat ini—juga ayat-ayat lainnya—adalah petunjuk ayat-ayat muhkam. Padahal, di antara kaidah penting dalam menafsirkan al-Quran adalah keharusan menjadikan ayat-ayat yang muhkam sebagai patokan dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabih. Dengan
kata lain, semua nash, baik ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw., yang
mengandung kesamaran dan banyak takwil harus dikonfirmasikan dan
dirujukkan pada nash-nash yang jelas dan pasti.
Ayat-ayat muhkamât
jelas menolak kesimpulan kaum Liberal tersebut. Nabi Muhammad saw.
diutus sebagai nabi dan rasul untuk seluruh manusia tanpa terkecuali (QS
Saba’ [34]: 28, al-A‘raf [7]: 158). Karena
itu, semua manusia harus mengimani dan mengikutinya, termasuk Ahlul
Kitab. Secara khusus, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menawarkan
Islam kepada Ahlul Kitab. (QS Ali Imran [3]: 19; an-Nisa’ [4]: 47;
al-Maidah [5]: 15-16).
Sejarah
juga mencatat, Nabi saw. sering mengajak kalangan Ahlul Kitab untuk
masuk Islam. Tindakan Rasulullah saw. ini menjadi bukti nyata, bahwa
pemeluk agama Nasrani dan lainnya termasuk bagian dari obyek yang harus
diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang sebelumnya
diyakininya. Sebab, jika mereka telah dianggap cukup dengan memeluk
agama mereka, untuk apa Rasulullah saw bersusah-payah mengajak mereka
masuk Islam?�
Ditegaskan
pula, agama yang diridhai Allah Swt. setelah diutusnya Rasulullah saw.
adalah Islam (QS al-Maidah [5]: 3, Ali Imran [3]: 20). Artinya, semua
agama selain Islam tidak akan diterima Allah (QS Ali Imran [3]: 85).
Rasulullah saw. juga menegaskan:
وَالَّذِيْ
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
اْلأُمَّةِ نَصْرَنِيٌ وَلاَ يَهُوْدِيٌ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi
Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang
aku seseorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati
dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk
penghuni neraka (HR Muslim).
Tiga
argumentasi di atas sudah cukup membatalkan klaim kaum Liberal yang
menyelewengkan ayat ini untuk dijadikan dalil bagi pluralisme agama.
Jika demikian halnya, atas dasar kebohongan apalagi mereka menyeret ayat
ini untuk menjustifikasi kekufuran?
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib,M.E.I.]
[2] � � As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 143.
[4] � � Nidzam al-Din al-Naysaburi, Tafsîr� Gharâib al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 302.
[5] � � Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf,� vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 148; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 57.
[6] � � Al-Qurthubi, al-Jâmi’� li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), 432; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 358; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 117; al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr, vol. 1(tt: Nahr al-Khair, 1993), 64. Ketiga pendapat itu juga dirangkum oleh al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 97.
[7] � � Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanz îl� wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 66;
[8] � � Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 46; al-Khazin, Lubâb al-Tawîl fî Ma’ânî� al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50.
[9] � � Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 132.
[10] � Ath-Thibrisi, Majma’ al-Bayân f Tafsr al-Qur’ân, vol. 1 (tt: Dar al-Ma’rifah, tt), 258.
[11] � Al-Jawzi al-Qurasy, Zâd al-Masîr fî‘Ilm al-Taf îr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 78.
[12] � Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 119.
[13] � An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 57.
[14] � Al-Jauzi al-Qurasy, Zâd al-Masîr, vol. 1, 78; al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyûn,, vol. 1 (
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), 132.
[15] � al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 1, 360; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132.
[16] � Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132-133
[17] � As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1 (tt: Jam’iyyah Ihya’ al-Turats, 2000), 48.
[18] � Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 145; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl ,vol. 1 (Beirut: Dar� al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 69.
[20] � Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol.1 (Beirut: Dar� al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 158; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 1 (Beirut: Dar� al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 405.
[21] � Ini dirangkumkan dari al-Baqai, Nazhm Durar, vol. 1, 165 dan al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 320.� �
[22] � Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl f î Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50.
[23] � Al-Syawkani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 117-118;� al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 316; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 1 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 185.
[25] � Al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar� al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar