Kamis, 13 November 2014

MENGUAK KEIMANAN YAHUDI DAN NASRANI

Menguak Keimanan Yahudi dan Nasrani

(Tafsir QS al-Baqarah [2]: 62)
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang berimankepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih akan menerima pahala dari Tuhan mereka;tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah [2]: 62).
Sabab Nuzûl
Dikemukakan Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang para pemeluk agama yang pernah saya anut.” Dia pun menerangkan shalat dan ibadah mereka. Lalu turunlah ayat ini.[1]
Diriwayatkan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa Salman al-Farisi pernahbertanya kepada Nabi saw. tentang orang-orang Nasrani dan pendapat Beliau tentang amal mereka. Beliau menjawab, “Mereka tidak mati dalam keadaan Islam.” Salman berkata, “Bumi terasa gelap bagiku dan aku pun mengingat kesungguhan mereka.” Lalu turunlah ayat ini. Setelah itu Rasulullah saw. memanggil Salman seraya bersabda, “Ayat ini turun utuk para sahabatmu.” Beliau kemudian bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam agama Isa sebelum mendengar aku maka dia mati dalam kebaikan. Barangsiapa yang telah mendengar aku dan tidak mengimaniku maka dia celaka.[2]
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna âmanû wa al-ladzîna hâdû wa an-nashârâ wa ash-shâbi’îna (Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in).
Setidaknya ada tiga penafsiran mengenai siapa yang dimaksud dengan al-ladzîna âmanû. Pertama: orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah saw. Pada saat yang sama mereka berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka ada yang sampai menjumpai Rasulullah saw. dan mengikuti Beliau; ada pula yang tidak sempat.[3] Demikian menurut Ibnu Abbas dalam suatu riwayat.[4] Kedua: orang-orang munafik yang mengaku beriman. Penafsiran itu dikemukakan Sufyan ats-Tsauri, az-Zamakhsyari, dan an-Nasafi.[5] Ketiga: orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. secara benar. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, ath-Thabari, asy-Syaukani, dan al-Jazairi.[6] Dua pendapat terakhir itu dibenarkan oleh al-Baidhawi. Menurutnya, kata al-ladzîna âmanû mencakup semua orang yang memeluk agama Muhammad (Islam), baik yang mukhlis maupun yang munafik.[7] Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Alasannya, jika Yahudi adalah pemeluk agama Musa as., Nasrani merupakan pengikut agama Isa as., maka Mukmin adalah sebutan untuk umat Nabi Muhammad saw.[8] Disebut Mukmin, kata Ibnu Katsir, karena banyaknya keimanan mereka. Mereka mengimani seluruh nabi yang terdahulu dan perkara gaib yang akan datang.[9]
Adapun kata al-ladzîna hâdû merujuk kepada pemeluk agama Yahudi.[10] Menurut az-Zujaj, secara bahasa kata hâdû bermakna tâbû (bertobat).[11] Mereka dinamai demikian karena mereka pernah bertobat setelah melakukan penyembahan terhadap al-ijl (patung sapi betina). Al-Quran menyitir pernyataan mereka: Inna hudnâ ilayk” (Sesungguhnya kami kembali [bertobat] kepada Engkau) (QS al-A‘raf [7]: 156). Demikian penjelasan Ibnu Mas‘ud.[12]
Kata an-Nashârâ bentuk jamak dari kata Nashrani.[13] Mereka adalah para pengikut Nabi Isa as. Disebut Nashrani karena di antara mereka yang menjadi pengikut setianya—al-hawariyyin—pernah menyanggupi permintaan Isa as. untuk menjadi anshâr Allâh. Allah Swt. mengabadikan jawaban mereka: Nahnu anshâr Allâh (Kami adalah penolong-penolong agama Allah) (QS Ali Imran [3]: 52, ash-Shaff [61]: 14). Ada pula yang mengaitkan sebutan Nasrani dengan nama daerah kelahiran Isa yang dikenal dengan Nâshirah (Nazareth).[14]
Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan ash-Shâbi’în. Menurut Wahab bin Munabbih, mereka adalah kaum yang mengetahui keesaan Allah, tidak memiliki syariah yang diamalkan, dan tidak membicarakan kekufuran. Ibnu Zaid menuturkan, mereka adalah pemeluk suatu agama di daerah Mosul. Mereka mengucapkan kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh. Mereka tidak memiliki amal, kitab, dan nabi kecuali kalimat tauhid itu. Oleh karena itu, kaum musyrik pernah menyebut Nabi saw. dan para Sahabatnya sebagai shâbi’ûn karena menyerupai mereka dalam kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh.[15]
Mujahid, Ibnu Abi Najih, Atha’, dan Said bin Jubair menyatakan bahwa mereka adalah kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani. Adapun Abu Aliyah, Rabi’ bin Anas, as-Sudi, dan adh-Dhuhak berpendapat bahwa mereka adalah salah satu firqah (sekte) dari Ahlul Kitab yang membaca Zabur.[16] Pendapat ini juga didukung Abdurrahman as-Sa’di.[17] Walhasil, memang tidak ada kesamaan tentang siapa mereka. Namun demikian, dari berbagai pendapat tersebut, setidaknya didapatkan gambaranbahwa mereka adalah suatu kaum yang memeluk agama tertentu.
Selanjutnya Allah Swt. berfiman: man âmana bi Allâhi wa al-yawm al-âkhir wa ‘amila shalih[an] (siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih).
Kata man dalam ayat di atas kembali pada semua kelompok yang disebutkan. Man âmana memberikan pengertian, siapa saja di antara mereka yang menjaga imannya (hingga mati), jika mereka sudah beriman; atau masuk ke dalam iman, jika mereka masih belum beriman.[18]
Perkara yang harus diimani adalah iman kepada Allah Swt. dan Hari Kiamat. Kendati yang disebutkan hanya iman kepada Allah dan Hari Akhir, bukan berarti hanya mengimani dua perkara itu sudah dapat mengeluarkan seseorang dari kekufuran dan menjadi Mukmin. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Alusi, iman kepada Allah Swt. itu meliputi iman terhadap sifat dan af‘âl-Nya.[19] Keimanan pada sifat dan af‘al-Nya itu bisa benar jika didasarkan pada pemberitahuan-Nya. Itu berarti, keimanan kepada Allah Swt. meniscayakan iman kepada rasu-rasul dan kitab-kitab-Nya.
Demikian juga dengan iman pada Hari Kiamat. Keimanan ini juga mencakup iman kepada rasul dan kitab. Sebab, Hari Kebangkitan tersebut tidak akan dapat diketahui kecuali melalui informasi rasul Allah.[20] Oleh karenanya, meski yang disebutkan hanya dua perkara, keimanan yang dimaksudkan tidak terbatas hanya dua perkara itu. Keimanan tersebut harus komprehensif sebagaimana dinyatakan dalam nash-nash lain, yakni beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, dan al-Qadha wa al-Qadhar.
Sebuah amal dapat dikategorikan sebagai amal salih jika sejalan dengan ketentuan syariah dan dikerjakan semata-semata untuk Allah Swt. Artinya, amal keempat kelompok itu dapat dikategorikan sebagai amal salih jika amalnya sejalan dengan syariah yang dibawa rasul pada zamannya masing-masing sebelum ada nasakh dan perubahan.[21]
Allah Swt. berfirman: falahum ajruhum ‘inda Rabbihim (mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka). Ini merupakan janji Allah Swt. kepada setiap orang yang memenuhi syarat atau sifat yang disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Swt. akan memberikan kepada mereka pahala yang besar.
Balasan lain yang dijanjikan Allah Swt. kepada mereka adalah: wa lâ khawf[un] ‘alayhim wa lâ hum yahzanûn (tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati). Keadaan ini mereka alami terutama di akhirat kelak.[22]
Bukan Dalil Pluralisme Agama
Pengkajian tentang ayat ini secara mendalam menunjukkan bahwa ayat ini sama sekali tidak melegitimasi kebenaran agama-agama selain Islam atau menjadi dalil bagi keselamatan pemeluk Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in sebagaimana sering digemborkan kaum Liberal.
Dari segi sabab nuzûl-nya, ayat ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan Salman al-Farisi tentang nasib teman-temannya dulu. Artinya, jelas bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kaum yang hidup sebelum diutusnya Rasul saw., yakni bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten akan mendapatkan pahala di sisi Allah Swt.� � �
Dari segi ungkapannya juga jelas, bahwa janji pahala dan keselamatan itu hanya diberikan jika mereka beriman dengan keimanan yang benar dan komprehensif. Sebab, pengingkaran terhadap sebagian perkara yang wajib diimani dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir (QS al-Nisa’ [4]: 136, 150-150).
Berpijak pada kenyataan tersebut, sebagaimana dinyatakan asy-Syaukani, al-Qasimi, dan al-Qinuji, yang dapat memenuhi kriteria keimanan tersebut saat ini hanyalah orang-orang yang memeluk Islam.[23] Sebaliknya, semua penganut agama selain Islam saat ini dapat dikategorikan sebagai orang kafir. Sebab, secara pasti mereka mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya dan al-Quran sebagai Kitab-Nya.
Karena itu, siapa saja—termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani—yang menginginkan dikelompokkan sebagai kaum beriman, tidak ada pilihan lain kecuali harus mengimani perkara-perkara akidah yang telah ditetapkan Islam tersebut.(Lihat: QS al-Baqarah [2]: 137).
Lebih dari itu, akidah dan syariah mereka juga banyak diliputi dengan mitos dan kesesatan. Akidah Trinitas yang menjadi pokok pangkal agama Nasrani menjadi salah satu bukti nyatanya. Secara tegas al-Quran menyebut orang yang mengakui ketuhanan Isa atau akidah Trinitas tergolong sebagai orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72, 73).
Demikian juga dalam amal salih. Sejak diutusnya Rasulullah saw, syariah Beliau telah me-naskh (menghapus berlakunya) syariah yang dibawa rasul sebelumnya sehingga yang boleh diamalkan hanyalah syariat Islam.
Ibnu Abbas menegaskan bahwa tidak akan diterima, baik tharîqah atau amal perbuatan, kecuali sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw. setelah Beliau diutus. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul pada zamannya, maka ia berada di atas petunjuk, jalan, dan keselamatan.[24] Al-Wahidi juga menyimpulkan, kata wa ‘amila shâlih[an] merupakan dalil tentang keimanan kepada Nabi Muhammad saw. Sebab, orang yang tidak beriman kepada Beliau, amalnya tidak ada yang salih.[25]
Hal lain yang juga sering diabaikan oleh kaum Liberal dalam memahami ayat ini—juga ayat-ayat lainnya—adalah petunjuk ayat-ayat muhkam. Padahal, di antara kaidah penting dalam menafsirkan al-Quran adalah keharusan menjadikan ayat-ayat yang muhkam sebagai patokan dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabih. Dengan kata lain, semua nash, baik ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw., yang mengandung kesamaran dan banyak takwil harus dikonfirmasikan dan dirujukkan pada nash-nash yang jelas dan pasti.
Ayat-ayat muhkamât jelas menolak kesimpulan kaum Liberal tersebut. Nabi Muhammad saw. diutus sebagai nabi dan rasul untuk seluruh manusia tanpa terkecuali (QS Saba’ [34]: 28, al-A‘raf [7]: 158). Karena itu, semua manusia harus mengimani dan mengikutinya, termasuk Ahlul Kitab. Secara khusus, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menawarkan Islam kepada Ahlul Kitab. (QS Ali Imran [3]: 19; an-Nisa’ [4]: 47; al-Maidah [5]: 15-16).
Sejarah juga mencatat, Nabi saw. sering mengajak kalangan Ahlul Kitab untuk masuk Islam. Tindakan Rasulullah saw. ini menjadi bukti nyata, bahwa pemeluk agama Nasrani dan lainnya termasuk bagian dari obyek yang harus diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang sebelumnya diyakininya. Sebab, jika mereka telah dianggap cukup dengan memeluk agama mereka, untuk apa Rasulullah saw bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?
Ditegaskan pula, agama yang diridhai Allah Swt. setelah diutusnya Rasulullah saw. adalah Islam (QS al-Maidah [5]: 3, Ali Imran [3]: 20). Artinya, semua agama selain Islam tidak akan diterima Allah (QS Ali Imran [3]: 85).
Rasulullah saw. juga menegaskan:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ نَصْرَنِيٌ وَلاَ يَهُوْدِيٌ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Tiga argumentasi di atas sudah cukup membatalkan klaim kaum Liberal yang menyelewengkan ayat ini untuk dijadikan dalil bagi pluralisme agama. Jika demikian halnya, atas dasar kebohongan apalagi mereka menyeret ayat ini untuk menjustifikasi kekufuran?
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib,M.E.I.]


[1] � � As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 143.
[2] � � As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 143.
[3] � � Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 46.
[4] � � Nidzam al-Din al-Naysaburi, TafsîrGharâib al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 302.
[5] � � Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf,vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 148; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 57.
[6] � � Al-Qurthubi, al-Jâmi’li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), 432; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 358; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 117; al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr, vol. 1(tt: Nahr al-Khair, 1993), 64. Ketiga pendapat itu juga dirangkum oleh al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 97.
[7] � � Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanz îlwa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 66;
[8] � � Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 46; al-Khazin, Lubâb al-Tawîl fî Ma’ânîal-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50.
[9] � � Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 132.
[10] Ath-Thibrisi, Majma’ al-Bayân f Tafsr al-Qur’ân, vol. 1 (tt: Dar al-Ma’rifah, tt), 258.
[11] Al-Jawzi al-Qurasy, Zâd al-Masîr fî‘Ilm al-Taf îr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 78.
[12] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 119.
[13] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 57.
[14] Al-Jauzi al-Qurasy, Zâd al-Masîr, vol. 1, 78; al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyûn,, vol. 1 (
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), 132.
[15] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 1, 360; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132.
[16] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132-133
[17] As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1 (tt: Jam’iyyah Ihya’ al-Turats, 2000), 48.
[18] Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 145; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl ,vol. 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 69.
[19] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 280.
[20] Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol.1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 158; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 405.
[21] Ini dirangkumkan dari al-Baqai, Nazhm Durar, vol. 1, 165 dan al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 320.
[22] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl f î Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50.
[23] Al-Syawkani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 117-118;al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 316; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 1 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 185.
[24] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132
[25] Al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar