تَبَّتۡ
يَدَآ أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ ١ مَآ
أَغۡنٰى عَنۡهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ ٢
سَيَصۡلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ ٣
وَامۡرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ الۡحَطَبِ ٤ فِيۡ جِيۡدِهَا حَبۡلٌ مِّنۡ مَّسَدٍ
٥
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa
2. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan
3. Kelak
dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak
4. Dan
(begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar
5. Yang
di lehernya ada tali dari sabut
(QS al-Lahab [111]: 1-5).
Surat ini dinamakan (اَلْمَسَد) al-Masad, diambil dari ayat terakhir; juga dinamakan
surat (تَبَّتۡ) Tabbat karena diawali dengan kata tersebut. Nama lainnya adalah surat (أَبِي
لَهَبٍ) Abî
Lahab atau surat (اَللَّهَب) al-Lahab.1
Surat ini terdiri dari lima ayat dan termasuk (مَكِيَّة) Makiyyah.
Sabab an-Nuzûl
Ibnu Abbas ra.
menuturkan, ketika turun firman Allah SWT: (وَأَنذِرۡ
عَشِيۡرَتَكَ الۡأَقۡرَبِيۡنَ)
Wa andzir asyîrataka al-aqrabîn (dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat) (QS asy-Syu’ara’ [26]:214), Nabi saw. kemudian
naik ke atas Shafa, seraya berseru: Wahai Bani Fihr, Wahai Bani ’Adi,
kabilah-kabilah cabang dari Qurays!” Kemudian mereka semua berkumpul hingga
nyaris jika ada yang tidak bisa datang, mereka mengirim utusan untuk melihat
apa yang terjadi. Abu Lahab dan orang-orang Qurays juga datang. Beliau
bersabda, “Bagaimana pendapatmu seandainya aku mengabari kalian bahwa ada
pasukan berkuda di lembah bukit ini yang hendak menyerang kalian; apakah kalian
membenarkanku?” Mereka menjawab, “Ya. Kami tidak pernah mendapatimu kecuali
senantiasa bersikap jujur.” Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya aku adalah
pemberi peringatan kepada kalian tentang adanya azab yang pedih.” Abu Lahab
lalu berkata, “Celakalah engkau selama-lamanya. Apakah hanya karena ini engkau
mengumpulkan kami?” Kemudian turunlah surat ini hingga akhir (HR al-Bukhari dan
al-Baihaqi).
Riwayat serupa
juga dikeluarkan Said bin Manshur, Muslim, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim,
Ibnu Mardawayh, Abu Nua’im dan al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas.2
Tafsir Ayat
Allah SWT
berfirman: (تَبَّتۡ يَدَآ أَبِي لَهَبٍ
وَتَبَّ) Tabbat
yadâ Abî Lahab wa tabba (Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya
dia akan binasa).
Abu Lahab adalah salah seorang paman
Rasulullah saw. Nama aslinya Abdul ’Uzza bin Abdul Muthalib; kun-yah-nya
Abu ’Utaibah. Sebutan Abu Lahab karena ketampanan dan kecerahan wajahnya.3
Abu Lahab adalah orang yang amat membenci
dan banyak menyakiti Rasulullah saw.; menghina dan mencela beliau beserta
agamanya.4 Ketika Bani Hasyim di bawah pimpinan Abu Thalib
bersepakat melindungi Nabi saw.—sekalipun mereka tidak menganut agamanya—demi
memenuhi dorongan fanatisme kabilah, Abu Lahab menentang saudara-saudaranya dan
bersekutu dengan Qurays untuk memerangi mereka. Abu Lahab juga termasuk orang
yang mendukung penulisan piagam pemboikotan Bani Hasyim agar mau menyerahkan
Rasulullah saw. kepada mereka.
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Rabiah bin
’Ibad bahwa semasa Jahiliah—ia kemudian masuk Islam—pernah melihat Rasulullah
saw. di Pasar Dzi al-Majaz. Beliau berseru, “Wahai manusia, katakanlah,
(لَااِلٰهَ
اِلَّااللّٰه) Lâ ilâha illal-Lâh, niscaya kalian
akan beruntung.” Orang-orang pun berkumpul mengerumuni beliau. Di
belakangnya ada seorang laki-laki yang wajahnya bersih dan matanya juling lalu
berseru, “Dia adalah laki-laki yang keluar dari agamanya lagi pendusta.”
Laki-laki itu selalu mengikuti ke mana pun dia (Rasulullah saw) pergi. Aku
bertanya kepada orang-orang tentang laki-laki itu. Orang-orang menjawab, “Dia
adalah pamannya, Abu Lahab.” Ini adalah salah satu contoh tipu daya Abu Lahab
terhadap dakwah dan Rasulullah saw.
Ada beberapa makna kata (تَبَّ) tabba yang disampaikan oleh para mufassir. Ibnu Umar,
Ibnu ‘Abbas dan Qatadah memaknainya sebagai (خَسِرَ) khasira (merugi).5 Penafsiran yang sama juga
dikemukakan Ibnu Athiyah dan al-Jazairi.
Al-Baghawi memaknainya (خَابَتْ وَخَسِرَتْ يَدَا
اَبِى لَهَبٍ) khâbat wa khasirat yadâ Abî Lahab. Tak
jauh berbeda, Ibnu Katsir juga mengatakan: khasirat wa khâbat wa dhalla
‘amaluhu wa sa’yuhu (خَسِرَتْ وَخَابَتْ وَضَلَّ
عَمَلُهُ وَسَعْيُهُ) (merugi, amal upayanya
sia-sia).6
Penafsiran lain disampaikan asy-Syaukani
yang memaknainya (هَلَكَتْ) halakat (binasa). Az-Zamakhsyari juga menyatakan bahwa
kata (التَبَّاب) at-tabbâb berarti (اَلْهَلَاك) al-halâk (kebinasaan). Meskipun berbeda-beda, menurut Abu Hayyan
al-Andalusi, semua makna itu berdekatan satu sama lain. Bahkan az-Zuhaili
menggabungkan kedua penafsiran itu. Menurutnya, makna tersebut juga terdapat
dalam QS asy-Syuara [40]:37).7
أَسۡبٰبَ
السَّمٰوٰتِ فَأَطَّلِعَ اِلٰى اِلٰهِ مُوۡسٰى وَإِنِّيۡ لَأَظُنُّهُۥ كَاذِبًاۚ
وَكَذٰلِكَ زُيِّنَ لِفِرۡعَوۡنَ سُوۡءُ عَمَلِهِۦ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيۡلِۚ
وَمَا كَيۡدُ فِرۡعَوۡنَ اِلَّا فِيۡ تَبَابٍ ٣٧
(yaitu) pintu-pintu langit,
supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang
pendusta". Demikianlah dijadikan Fir´aun memandang baik perbuatan yang
buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir´aun itu
tidak lain hanyalah membawa kerugian (QS al-Mu’min/Ghafir) [40]:37)
Adapun yang
dimaksudkan (يَدَآ أَبِي لَهَبٍ
وَتَبَّ) yadâ
Abî Lahab dalam ayat ini adalah diri Abu Lahab. Digunakan kata (اَلْيَد) al-yad (tangan) karena
sebagian besar amal dilakukan dengan keduanya.8 Ini termasuk dalam (مَجَاز
مُرْسَل:
اِطْلَاقُ الْجُزْءِ وَاِرَادَةُ الْكُلِّ) majâz mursal: ithlâq al-juz’i wa irâdah al-kull (diungkapkan
sebagian, yang dimaksudkan seluruhnya). Dalam al-Quran cukup banyak ayat yang
menggunakan kata (اَلْيَد) al-yad untuk menyebut
keseluruhan diri manusia (Lihat, misalnya, QS an-Naba’ [78]:40)
إِنَّآ
أَنذَرۡنٰكُمۡ عَذَابًا قَرِيۡبًا يَوۡمَ يَنظُرُ الۡمَرۡءُ مَا قَدَّمَتۡ يَدَاهُ
وَيَقُوۡلُ الۡكَافِرُ يٰلَيۡتَنِيۡ كُنۡتُ تُرَابًا ٤٠
Sesungguhnya Kami telah memperingatkan
kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang
telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah
baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah" (QS an-Naba’ [78]:40)
Dalam ayat ini
kata (تَبَّ) tabba disebutkan dua
kali. Menurut al-Farra, yang pertama adalah doa dan yang kedua adalah (خَبَر) khabar. Seperti: (اَهْلَكَ
اللّٰهُ وَقَدْ فَعَلَ)
Ahlakahul-Lâh wa qad fa’ala (Semoga Allah membinasakannya dan sungguh
itu telah terjadi).9 Penjelasan yang sama juga dikemukakan
Ibnu Katsir.10
Selanjutnya
Allah SWT berfirman: (مَآ أَغۡنٰى عَنۡهُ
مَالُهُۥ وَمَاكَسَبَ)
Mâ aghnâ ’anhu mâluhu wamâ kasaba (Tidaklah berfaedah baginya harta-bendanya dan apa saja
yang ia usahakan).
Dijelaskan oleh
Abu Hayyan, (مَالُهُ) mâluhu berarti harta
yang diwarisi dari orangtuanya, sedangkan (مَاكَسَبَ) mâ kasaba berarti harta
yang didapat dari usahanya; bisa juga berarti ternak dan semua yang dilahirkan
beserta manfaatnya atau harta dan keuntungan dihasilkan darinya.11
Ibnu ‘Abbas dan
Mujahid menafsirkan (مَاكَسَبَ) mâ kasab adalah anaknya.12
Sebab, bagi manusia, anak merupakan (مِنْ
كَسْبِهِ) min
kasbihi (hasil usahanya) sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ مِنْ
أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ .
Sebaik-baik yang dimakan seseorang adalah
dari hasil usahanya dan anak adalah hasil usahanya (HR Abu Dawud dari Aisyah ra).
Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa
harta dan anak-anaknya tidak berguna baginya. Dari Ibnu Mas’ud, ketika
Rasulullah saw. mengajak kaumnya untuk beriman, Abu Lahab berkata, “Jika apa
yang disampaikan anak saudaraku benar, maka aku akan menebus diriku dari azab
di neraka dengan harta dan anak-anakku.” Lalu turunlah ayat ini: (مَآ
أَغۡنٰى عَنۡهُ مَالُهُۥ وَمَاكَسَبَ) mâ
aghnâ ‘anhu mâluhu wa mâ kasaba.13
Adh-Dhahhak menafsirkan (اَلْكَسَب) al-kasab di sini adalah perbuatannya yang busuk, yakni
tipudayanya dalam memusuhi Rasulullah saw.14 Karena (مَا) mâ bersifat umum, maka cakupan kata ini meliputi
semua yang diusahakan, baik harta maupun anak-anaknya.
Huruf (مَا) mâ di sini bisa (نَافِيَّة) nâfiyyah, mengabarkan bahwa semua keadaan duniawi sama
sekali tidak berguna ketika telah dipastikan azab setelah kematiannya; bisa
juga (اِسْتِفْهَامِيَّة) istifhâmiyyah, yang berfungsi (لِلتَّقْرِيْرِ
وَالْاِنْكَارِ) li al-taqrîr wa
al-inkâr (untuk mengukuhkan dan mengingkari). Artinya, di manakah kegunaan
harta dan apa yang diusahakan?15,
Kemudian Allah SWT mengancam Abu Lahab
dengan firman-Nya: (سَيَصۡلٰى نَارًا ذَاتَ
لَهَبٍ) Sayashlâ nâr[an] dzât lahab (Kelak
dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak). Kata (اَللَّهَب) al-lahab berarti nyala
api. Pengertian ini terdapat dalam QS al-Mursalat [77]:31.
لَا ظَلِيْلٍ وَلَا
يُغۡنِي مِنَ اللَّهَبِ ٣١
yang
tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka" (QS
al-Mursalat [77]:31)
Menurut
asy-Syaukani, makna (ذَاتَ لَهَبٍ) dzâta lahab adalah (ذَاتَ
اِشْتِعَالٍ وَتُوْقَدُ)
dzâta isyti’âl wa tûqadu (yang memiliki nyala dan dinyalakan), yakni
Neraka Jahanam.16 Ayat ini memastikan bahwa Abu Lahab akan masuk
neraka sekaligus memberitakan bahwa dia akan mati dalam keadaan kafir. Huruf (سِيْن) sîn pada kata (سَيَصۡلٰى) sayashlâ untuk (اَلتَّنْفِيْس) at-tanfîs’ yang
menunjukkan (اَلْحَقِيْقَةِ وَالْقُرْبِ) al-haqîqah wa al-qurb
(hakikat dan waktu dekat). Maknanya, Allah SWT mengancamnya, dalam waktu dekat
dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
Bukan hanya Abu
Lahab, istrinya pun mengalami nasib serupa. Allah SWT berfirman: wa
[i]mraatutuhu hammâlah al-hathab (وَامۡرَأَتُهُۥ
حَمَّالَةَ الۡحَطَبِ)
(begitu pula istrinya, pembawa kayu bakar). Kata (اِمۡرَأَة) imra’ah di sini (مَعْطُوْف) ma’thûf pada (ضَمِيْر:
سَيَصۡلٰى) dhamîr
sayashlâ, yakni (سَيَصۡلٰى هُوَ
وَاِمْرَأَتُهُ) sayashlâ
huwa wa [i]mraatuhu (dia dan istrinya akan memasuki). Istrinya adalah Arwa binti Harb binti Umayyah, saudara Abu Sufyan.
Nama kun-yah-nya Ummu Jamil.
Sebagaimana Abu Lahab, azab yang diterima
istrinya itu juga disebabkan oleh ulah jahat yang dilakukan. Dalam ayat ini,
istrinya diberitakan (حَمَّالَةَ الۡحَطَبِ) hammâlah al-hathab. Kata (حَمَّالَة) hammâlah merupakan bentuk (مُبَالَغَة) mubâlaghah, artinya banyak membawa. Ibnu Zaid dan
adh-Dhahhak mengatakan bahwa wanita itu membawa duri lalu ditebarkan di jalan
yang biasa dilewati Rasulullah saw. dan Sahabatnya. Tujuannya untuk melukai
mereka. Demikian riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan Yazid bin Zaid.17
Pengertian ini juga dinyatakan ath-Thabari, az-Zamakhsyari, dan al-Jazairi.
Menurut ath-Thabari, pengertian tersebut lebih tepat karena itulah makna yang
paling jelas dari kalimat ini.18
Ikrimah, Qatadah, Mujahid dan as-Sudi
menjelaskan bahwa istri Abu Lahab itu melakukan (نَمِيْمَة) namîmah (adu domba), membawa omongan kesana kemari
untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan di antara manusia serta menyulut
konflik layaknya menyulut api. Dalam ungkapan bahasa Arab: (فُلَانُ
يَحْطَبُ عَلَى فُلَانٍ) Fulân yahtabu ‘alâ
Fulân. Penafsiran lain disampaikan Said bin Jubair. Menurutnya, yang
dimaksud dengan (حَمَّالَةَ الۡحَطَبِ) hammâlah al-hathab adalah membawa dosa. Ini sebagaimana
halnya diberitakan dalam QS al-An’am [6]:31.19
قَدۡ
خَسِرَ الَّذِيۡنَ كَذَّبُوۡا بِلِقَآءِ اللّٰهِۖ حَتّٰى اِذَا جَآءَتۡهُمُ السَّاعَةُ
بَغۡتَةً قَالُوۡا يٰحَسۡرَتَنَا عَلىٰ مَا فَرَّطۡنَا فِيۡهَا وَهُمۡ يَحۡمِلُوۡنَ
أَوۡزَارَهُمۡ عَلىٰ ظُهُوۡرِهِمۡۚ أَلَا سَآءَ مَا يَزِرُوۡنَ ٣١
Sungguh telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka
dengan Tuhan; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba,
mereka berkata: "Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian
kami tentang kiamat itu!", sambil mereka memikul dosa-dosa di atas
punggungnya. Ingatlah, amat buruklah apa yang mereka pikul itu (QS al-An’am [6]:31)
Surat ini pun diakhiri dengan firman-Nya:
(فِيۡ
جِيۡدِهَا حَبۡلٌ مِّنۡ مَّسَدٍ) Fî jîdihâ habl min
masad (yang di lehernya ada tali dari sabut). Kata (فِيۡ
جِيۡدِهَا) fî jîdihâ berarti (فِيۡ
عُنُقِهَا) fî ‘unuqihâ (di lehernya).20
Adapun (اَلْمَسَد) al-masad adalah (اَلْحَبُ
مِنْ اَللِّيْفِ) al-hab min al-lîf (tali
dari sabut).21 Makna ini yang dipilih ay-Sya’bi dan Muqatil. Menurut
Ibnu Abbas dan Urwah bin Zubar, yang dimaksudkan dengannya adalah rantai dari
besi di neraka, yang panjangnya tujuh puluh hasta. Adh-Dhahhak mengatakan: di dunia dari sabut dan di
akhirat dari api.22
Beberapa Pelajaran
Pertama: surat ini menjadi salah satu bukti kebenaran
al-Quran. Sebagaimana disitir Ibnu Kastir, para ahli ilmu menyatakan bahwa
surat ini merupakan mukjizat yang nyata dan dalil yang jelas tentang kenabian. Turunnya
firman Allah SWT yang mengabarkan tentang kecelakaan dan ketidakimanan mereka
sama sekali tidak menggerakkan mereka untuk beriman. Tidak ada seorang pun dari
keduanya yang menyatakan beriman, baik secara lahir maupun batin, sembunyi
maupun terang-terangan. Ini menjadi dalil yang paling kuat tentang kebenaran
kenabian.23
Kedua: balasan bagi orang-orang yang ingkar dan
durhaka. Surat ini menegaskan bahwa yang didapatkan kaum kafir dan kaum durjana
hanyalah kerugian dan kecelakaan. Berbagai upaya makar dan tipudaya untuk
menghalangi dakwah dipastikan berakhir sia-sia. Tak hanya gagal, di akhirat
kelak mereka akan mendapatkan siksaan yang dahsyat, yakni neraka. Itulah yang dialami oleh Abu Lahab dan istrinya.
Ketiga: hisab terhadap manusia dan
balasannya bersifat individual. Artinya, masing-masing individu harus
mempertanggung-jawabkan semua amalnya sendiri-sendiri. Abu Lahab, sekalipun
berstatus sebagai paman Rasulullah saw., saudara ayahnya, ketika ingkar dan
berbuat durhaka, harus menerima akibatnya. Nasib serupa juga dialami istrinya. Dia
dimasukkan ke neraka bukan karena statusnya sebagai istri Abu Lahab, namun
karena kekufuran dan kejahatan yang dia lakukan.
Nasib Abu Lahab ini jelas bertolak belakang dengan paman Rasulullah
saw. yang lain, Hamzah ra. Paman Nabi saw. ini termasuk di antara orang yang
dijamin masuk surga, bahkan disebut Rassulullah saw. Sebagai (سَيِّدُ
الشُّهَدَاءِ) sayyid al-syuhadâ’. Balasan dan
status yang diperoleh Hamzah ra. tentu bukan lantaran beliau sebagai paman Nabi
saw., tetapi dari hasil jerih payah dan perjuangannya semasa hidupnya (Lihat:
QS al-Najm [53]:39).
وَأَن
لَّيۡسَ لِلۡإِنسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى ٣٩
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya (QS al-Najm [53]:39)
Keempat: kekayaan, keturunan dan
kekuasaan sama sekali tidak berguna melindungi manusia dari azab Allah SWT
akibat kekufuran dan kejahatan. Abu Lahab dan istrinya adalah salah satu
contohnya. Harta memang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Harta juga bisa mendatangkan pahala dan
ridha-Nya tatkala diinfakkan di jalan Allah SWT. Namun, jika harta itu
mengantarkan pemegangnya kepada kesombongan dan kekufuran dan dijadikan sebagai
sarana menentang Allah SWT dan Rasul-Nya, jelas tidak berguna. Lebih dari itu,
pemegangnya justru celaka karenanya. Demikian pula dengan anak-anak, keluarga
dan sanak famili. Mereka tidak bisa menolong atau dijadikan sebagai tebusan
terhadap siksa neraka (lihat QS al-Ma’arij [70]:11-14)
يُبَصَّرُوۡنَهُمۡۚ
يَوَدُّ الۡمُجۡرِمُ لَوۡ يَفۡتَدِيۡ مِنۡ عَذَابِ يَوۡمِئِذٍ بِبَنِيۡهِ ١١ وَصٰحِبَتِهِۦ
وَأَخِيۡهِ ١٢ وَفَصِيۡلَتِهِ الَّتِيۡ تُٔۡوِيۡهِ
١٣ وَمَنۡ فِي الۡأَرۡضِ جَمِيۡعٗا ثُمَّ يُنجِيۡهِ ١٤
11.
sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat
menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya
12. dan isterinya dan saudaranya
13. dan kaum familinya yang
melindunginya (di dunia)
14. Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya kemudian (mengharapkan)
tebusan itu dapat menyelamatkannya (QS al-Ma’arij [70]:11-14)
Kekuasaan yang sering diandalkan juga
lenyap di akhirat kelak (Lihat: QS al-Haqqah [69]: 29).
هَلَكَ
عَنِّي سُلۡطٰنِيَهۡ ٢٩
Telah hilang kekuasaanku daripadaku" (QS al-Haqqah [69]:29).
Demikian Abu Lahab dan istrinya. Mereka
dijadikan sebagai contoh buruk bagi manusia sepanjang masa. Semoga kita tidak
termasuk orang-orang yang mengikuti jejak langkah keduanya.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [24]
Catatan kaki:
1 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol.
30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 453.
2 As-Suyuhti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol.
15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 733.
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 20, (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), 236. Penjelasan
yang sama juga disampaikan oleh Muqatil. Lihat al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, vol. 8, 581.
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 514.
5 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol.
15 (Kairo: Markaz lal-Hijr, 2003), 733. Pendapat Qatadah juga bisa dilihat
dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt:
Muassasah al-Risalah, 2000), 675.
6 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol.
5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 534; al-Jazairi, Aysar
at-Tafâsîr; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyadh: Dar
Thayyibah, 1992), 581; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8,
515.
7 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 511; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6
(Riyad: Dar al-‘Abikan, 1988), 455; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol.
30, 456.
8 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr
al-Muhîth, 8, 526. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan al-Baghawi, Ma’âlim
at-Tanzîl, vol. 8, 581.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 20, 236; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 582;
asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 511.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 514.
11 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526,
12 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol.
15, 736; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 677.
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 515; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8, 582.
14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
vol.6, 457; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8,
526.
15 Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol.
5, 534; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 527;
az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.6, 457.
16 As-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
5, 512.
17 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
8, 582.
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
vol.6, 457; al-Jazairi,
19 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
8, 582-583.
20 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol.
8, 583.
21 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 526.
22 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol.
8, 583; as-Suyuhti, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 377.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 517.
24 Al-wa’ie/No.114/Februari 2010/Rubrik Tafsir/Ust Rokhmat
S. Labib. M.E.I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar