مَا
بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ
فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ قَضَاءُ اللّٰهِ
أَحَقُّ وَشَرْطُ اللّٰهِ
أَوْثَقُ .
Tiada gunanya orang mempersyaratkan
syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Syarat apapun yang tidak ada
dalam Kitabullah adalah batil meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih layak (diikuti) dan syarat
Allah lebih kuat (dipegangi)
(HR al-Bukhari, Malik dan Ibn Majah)
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis di atas dalam bab, (اِذَا
اِشْتَرَطَ شُرُوْطًا فِى الْبَيْعِ لَا تَحِلُّ) “Idzâ
Isytaratha Syurûthan fî al-Bay’ lâ Tahillu. Sanadnya adalah Abdullah ibn
Yusuf, dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari
Aisyah yang berkata:
Barirah datang kepadaku, ia berkata, “Aku telah menyepakati
pembebasan diriku dengan tuanku, dengan sembilan uqiyah, setiap tahunnya satu
uqiyah. Karena itu, bantulah aku.”
Lalu aku katakan, “Jika tuanmu mau, aku akan membayarnya sekaligus,
dan wala’-mu untukku, maka akan aku lakukan.”
Lalu Barirah mengatakan hal itu kepada tuannya. Namun, tuannya
menolaknya. Barirah datang setelah menemui mereka, sementara Rasulullah saw.
sedang duduk. Barirah berkata, “Aku telah menyampaikan itu kepada mereka,
tetapi mereka tidak mau kecuali wala’-ku untuk mereka.”
Lalu Rasulullah saw. mendengar dan Aisyah memberitahukannya kepada
Beliau. Beliau bersabda, “Ambillah dan terima syarat mereka (اِشْتَرِطِى
لَهُمُ الْوَلَاء / isytarithî lahum
al-walâ’), wala’ itu tidak lain untuk orang yang memerdekakan.”
Aisyah melakukannya. Kemudian
Rasulullah saw. berkhutbah di tengah masyarakat. Beliau memuji Allah kemudian
bersabda dengan matan hadis di atas.
Adapun Ibn Majah meriwayatkan hadis di atas dalam Bâb al-Mukâtab. Sanadnya
dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ali bin Muhammad, keduanya dari Waki’, dari
Hisyam bin ‘Urwah, dari ‘Urwah bin az-Zubair dan dari Aisyah.
Hadis tersebut juga diriwayatkan dengan lafal yang lain. Rasulullah
saw. bersabda:
مَا
بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ
مَنْ اِشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ
فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللّٰهِ
أَحَقُّ وَأَوْثَقُ .
Tiada
gunanya orang mempersyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah.
Siapa saja yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah maka
tidak ada hak baginya (atas syarat itu) meskipun ia mensyaratkannya seratus
kali. Syarat Allah lebih layak (diikuti)
dan lebih kuat (untuk dipegangi) (HR al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dengan lafal (مَا
بَالُ اَقْوَامٍ يَشْتَرِطُوْنَ ....) “mâ bâlu aqwâmin
yasytarithûna ….” Ia berkomentar, “Ini
hadis hasan-sahih.”
Makna
Hadits
Syurûth (شُرُوْط) adalah
bentuk plural dari (شَرْطٌ) syarth[un],
artinya (اِلْزَامَ الشَّيْئِ وَ اِلْتَزَمَهُ) ilzâma asy-syay’ wa iltazamahu (mewajibkan sesuatu dan
terikat dengannya). Isytaratha (اِشْتَرَطَ) artinya mewajibkan sesuatu kepada pihak lain dan menyatakan
diri terikat dengan sesuatu itu. Lafal mâ
kâna min syarthin (مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ) bersifat umum dan
mutlak mencakup semua bentuk dan jenis syarat serta bagiannya.
Adapun lafal (لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ) laysa fî Kitâbillâh, menurut al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Ashqalani maksudnya adalah (فِيْ حُكْمِ
اللّٰهِ) fî hukmillâh (dalam hukum Allah),
baik disebutkan dalam al-Quran ataupun as-Sunnah; atau maksudnya adalah yang
tertulis, yakni di Lauhul Mahfuzh.1
Ibn Bathal mengatakan bahwa maknanya adalah dalam hukum
Allah serta ketetapan-Nya yang ada dalam Kitab-Nya, Sunnah Rasul-Nya dan Ijmak
umat.2 Adapun al-Manawi dan pengarang ‘Awn al-Ma’bûd mengatakan bahwa makna
(فِيْ
كِتَابِ اللّٰهِ) fî Kitâbillâh adalah dalam hukum Allah yang telah
ditetapkan terhadap hamba-Nya dan disyariatkan untuk mereka. Ibn Khuzaimah
mengatakan, yaitu yang tidak ada dalam hukum Allah kebolehan atau pewajibannya,
bukan bahwa setiap orang yang mensyaratkan syarat yang tidak dinyatakan oleh
Kitabullah adalah batil. Sebab, kadangkala dalam jual-beli disyaratkan adanya
penjamin dan syarat itu tidak batil;
kadang pula disyaratkan harga berupa karakteristik, pembayaran, dsb dan
itu juga tidak batil. Jadi, syarat-syarat yang masyrû‘adalah sahih dan
yang selainnya adalah batil.3 Al-Qurthubi menyatakan makna (لَيْسَ
فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ) laysa fî Kitâbillâh adalah tidak disyariatkan di dalam
kitabullah baik secara rinci ataupun asal. Artinya, di antara hukum itu ada
yang terdapat rinciannya dalam Kitabullah, seperti wudhu, dan ada yang terdapat
asal (pokok)-nya saja tanpa rinciannya, seperi shalat. Di antaranya ada yang
pokoknya terdapat dalam Kitabullah karena Kitabullah menunjukkan status menjadi
dasar dari as-Sunnah dan Ijmak, begitu pula Qiyas yang sahih. Artinya, setiap
hukum yang rinciannya dieksplorasi dari ushul ini maka itu berarti diambil dari
Kitabullah asal/pokoknya.4 Dengan demikian, makna laysa fî Kitabillâh (لَيْسَ
فِيْ كِتَابِ اللّٰهِ) bukan bahwa syarat itu harus dinyatakan dalam Kitabullah. Ketentuan
wala’ untuk orang yang memerdekakan juga tidak ada dalam Kitabullah, tetapi
berasal dari as-Sunnah. Karena itu, makna laysa fî Kitâbillâh adalah menyalahi
apa yang ada dalam Kitabullah, yaitu menyalahi apa yang ada dalam hukumnya dan
bukan bagian dari konsekuensi ketetapannya.
Jadi, hadis ini menunjukkan bahwa syarat yang menyalahi apa yang ada
di dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah batil dan terlarang, bukan menunjukkan
bahwa syarat itu harus dinyatakan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Dengan demikian, syarat dalam akad/transaksi,
klausul perjanjian, poin-poin kesepakatan dsb harus tidak menyalahi syariah,
yaitu harus tidak menyalahi nas syariah atau tidak menyalahi hukum syariah,
baik bukum taklifi maupun hukum wadh’i.
Jadi, semua syarat, klausul perjanjian atau poin kesepakatan yang
menyalahi syariah adalah batal demi hukum; ia harus diabaikan dan tidak boleh
dilaksanakan. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits Pilihan/No.92/April
2008]
Catatan
Kaki:
1 Lihat, Ibn Hajar al-‘Ashqalani, Fath
al-Bârî, 1/551, ed. M Fuad ‘Abd al-Baqi
dan Muhibbuddin al-Khathib, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1379 H.
2 Lihat, Ibn Bathal, Syarh Ibn Bathal, 13/78,
CD al-Maktabah asy-Syamilah al-ishdar ats-tsani
3 Lihat,
Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhim Abadi Abu ath-Thayyib, ‘Awn al-Ma’bûd,
10/311-313, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. ii. 1415 H; Al-Manawi, Faydh
al-Qadîr, 2/173, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Mesir, cet. i. 1356.
4 Lihat,
Muhamamd ibn ‘Abd al-Baqi ibn Yusuf Az-Zarqani, Syarh az-Zarqânî ‘alâ Muwatha’
al-Imâm Mâlik, 4/116, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, cet.i. 1411.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar