Kamis, 13 November 2014

BERLINDUNG DARI SEMUA KEJAHATAN



قُلۡ أَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ ١  مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَ ٢  وَمِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ٣  وَمِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِي الۡعُقَدِ ٤ وَمِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ٥
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh
2. dari kejahatan makhluk-Nya
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita
4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup buhul-buhul
5. dan dari kejahatan pendengki bila ia mendengki"
(QS al-Falaq [113]: 1-5).

Dalam mushhaf al-Quran, surat ini berada pada urutan ke 113. Surat ini dinamakan al-Falaq karena dibuka dengan kata tersebut. Sebagaimana surat an-Nas, terdapat ikhtilaf apakah surat ini terkategori Makiyah atau Madaniyah. Menurut al-Hasan, Ikrimah, Atha’ dan Jabir surat ini tergolong Makkiyah.1 Ibnu Katsir berpendapat bahwa surat ini termasuk Madaniyah.2
Bersama dengan surat an-Nas, ayat ini disebut dengan (اَلْمُعَوِّذَتَيْنِ) al-mu’awwidzatayn. Keutamaan keduanya sering disebut secara bersamaan (HR an-Nasa’i, dari Ibnu ‘Aisy al-Juhni; at-Tirmidzi, dari Uqbah bin Amir).

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: (قُلۡ أَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ) Qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq (Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh). Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. beserta umatnya untuk memohon perlindungan kepada (رَبِّ الۡفَلَقِ) Rabb al-falaq. Secara bahasa, kata (اَلْعَوۡذ) al-‘awdz berarti (اَلْاِلْتِجَاءُ اِلَى الْغَيْرِ وَالتَّعَلُّقُ بِهِ) al-iltijâ’ ilâ al-ghayr wa al-ta’alluqu bihi (bersandar, berlindung dan bergantung kepada yang lain).3
Terdapat perbedaan pendapat mengenai makna (اَلۡفَلَق) al-falaq. Menurut Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Ibnu Abi Zaid, sebagaimana disitir oleh al-Qurthubi, kata (اَلۡفَلَق) al-falaq berarti (اَلصُّبْح) ash-shubh (waktu subuh).4 Ibnu Abbas dalam satu riwayat juga berpendapat demikian.5 Fakhruddin ar-Razi dan al-Baghawi menyatakan bahwa ini merupakan pendapat kebanyakan para mufassir.6
Selain waktu subuh, kata (اَلۡفَلَق) al-falaq dalam ayat ini juga ditafsirkan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan neraka. Ibnu Abbas dalam suatu riwayat menafsirkannya sebagai (اَلسِّجْن) as-sijn (penjara) dalam neraka. Adapun as-Sudi menafsirkannya sebagai (اَلۡجُبّ) al-jubb (sumur yang dalam) di neraka.7 Kata (اَلۡفَلَق) al-falaq juga ditafsirkan sebagai (اَلۡبَاب) al-bâb (pintu) di neraka.
Ada juga yang menafsirkan kata (اَلۡفَلَق) al-falaq dengan mengembalikannya pada asal-muasal kata, bahwa makna (اَلۡفَلَق) al-falaq berarti (اَلشَّقّ) asy-syaqq (terbelah). Oleh karena itu, kullu mâ infalaqa (كُلُّ مَا إنْفَلَقَ) (semua yang terbelah) dari sesuatu, baik dari hewan, pagi, butir tumbuhan, biji buah maupun air adalah (فَلَق) falaq. Allah SWT berfirman: (فَالِقُ الْاِصْبَاحِ) Fâliq al-ishbâh (Dia menyingsingkan pagi, QS al-An’am [6]:96); juga firman-Nya: (فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى) Fâliq al-habb wa al-nawâ (Dia menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, QS al-An’am [6]:95). Demikian juga al-Qurthubi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi, al-Baidhawi dan az-Zuhaili.8
Menyikapi perbedaan pendapat itu, penjelasan Ibnu Jarir ath-Thabari patut disimak. Menurutnya, pengertian yang benar mengenai ayat ini: Allah SWT telah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan (قُلۡ أَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ) ‘Qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq’. Kata (اَلۡفَلَق) al-falaq menurut bahasa Arab adalah (فَلَق الصُّبْحِ) falaq al-subh. Meskipun begitu, bisa saja di Neraka Jahannam ada penjara yang bernama (اَلۡفَلَق) al-falaq. Jika demikian halnya—karena Allah SWT sendiri tidak memberikan petunjuk bahwa pengertian (بِرَبِّ الۡفَلَقِ) bi Rabb al-falaq itu hanya mencakup sebagian makna dan tidak mencakup sebagian lainnya, sedangkan Allah SWT adalah Tuhan segala sesuatu—maka pengertian (اَلۡفَلَق) al-falaq di sini meliputi segala sesuatu yang tercakup dalam makna (اَلۡفَلَق) al-falaq. Sebab, Allah SWT adalah Tuhan dari segala sesuatu itu.9
Kepada (رَبِّ الۡفَلَقِ) Rabb al-falaq itulah manusia diperintahkan untuk berlindung dari segala keburukan dan kejahatan yang dapat menimpa mereka. Keburukan dan kejahatan yang dimintakan untuk mendapat perlindungan-Nya disebutkan dalam ayat berikutnya: (مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَ) min syarr mâ khalaqa (dari kejahatan makhluk-Nya). Keburukan dan kejahatan yang dimaksud ayat ini meliputi semua kejahatan dari segala sesuatu. Sebab, segala sesuatu selain Allah SWT termasuk dalam cakupan (مَا خَلَقَ) mâ khalaqa, yang diciptakan-Nya.10
Kemudian Allah SWT berfirman: (وَمِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ) wamin syarr ghâsiq idzâ waqaba (dari kejahatan malam jika telah gelap gulita). Menurut az-Zujjaj, secara bahasa kata (اَلْغَاسِق) al-ghâsiq berarti (اَلْبَارِد) al-bârid (dingin). (اَللَّيْل) Al-Layl atau malam disebut sebagai (غَاسِق) ghâsiq karena lebih dingin daripada siang. Adapun (اَلْوُقُوْب) al-wuqûb berarti (اَلدُّخُوْل) ad-dukhûl (masuk). Dengan demikian, (اَلْغَاسِق اِذَا وَقَبَ) al-ghâsiq idzâ waqaba berarti (اَللَّيْل اِذَا دَخَلَ) al-layl idzâ dakhala (malam jika telah masuk).11 Mujahid memaknai kata (غَاسِق) ghâsiq sebagai (اَللَّيْل) al-layl dan (اِذَاوَقَبَ) idzâ waqaba sebagai (غُرُوْب الشَّمْس) ghurûb asy-syams (terbenamnya matahari). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ibnu Abbas, Muhammad bin Kaab, adh-Dhahhak, Khushaif dan al-Hasan. Qatadah juga memaknainya sebagai malam ketika menjelang gelap.
Penafsiran lain diberikan Abu Hurairah. Menurutnya, frasa tersebut bermakna (كَوْكَب) kawkab (bintang). Ada pula yang menafsirkannya sebagai bulan ketika terbenam atau gerhana. Aisyah berkata bahwa Nabi saw. memegang tangannya sambil memandang bulan seraya bersabda, “Wahai Aisyah, mintalah perlindungan kepada Allah dari keburukan ini. Sebab, ini adalah al-ghâsiq idzâ waqaba/” (HR al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Menurut al-Tirmidzi; hadis ini hasan shahîh).12
Menurut Ibnu Katsir, kalangan ulama yang memilih pendapat pertama—berarti malam jika telah gelap—tidak bertentangan dengan penafsiran mereka. Sebab, bulan merupakan tanda malam; demikian pula bintang; tidak bersinar kecuali pada malam hari.13
Kemudian Allah SWT berfirman: (وَمِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِي الۡعُقَدِ) wamin syarri an-naffâtsât fî al-‘uqad (dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup buhul-buhul). Kata (اَلۡنَّفْث) an-nafts berarti (اَلنَّفْخُ مَعَ رِيْقٍ) an-nafkh ma’a rîq (tiupan disertai dengan air ludah). Ada juga yang berpendapat (اَلنَّفْخُ) an-nafkh (tiupan) saja, tanpa disertai dengan ludah. Adapun (اَلۡعُقَد) al-‘uqad merupakan jamak dari (اَلۡعَقْد) al-‘aqd (buhul, ikatan). Hal itu disebabkan karena tukang sihir, jika membaca mantera, ia mengambil benang lalu diikat menjadi buhul dan meniup-niupnya.14
Pengertian itu pula yang disampaikan oleh para mufassir. Mujahid, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah dan adh-Dhahhak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah (اَلسَّوَاحِر) as-sawâhir (para penyihir). Mujahid mengatakan: yakni ketika mereka membaca mantera dan meniup buhul-buhul.15
Ayat diakhiri dengan firman-Nya: (وَمِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ) wamin syarr hâsid idzâ hasada (dan dari kejahatan pendengki jika ia dengki). Dijelaskan oleh ar-Raghib, pengertian (اَلْحَسَد) al-hasad adalah berharap lenyapnya kenikmatan dari orang yang berhak; kadang-kadang disertai dengan upaya untuk menghilangkannya. Pengertian serupa juga disampaikan oleh Ibnu Manzhur dan Fakhruddin ar-Razi.16
Dijelaskan az-Zamakhsyari bahwa kata (إِذَا حَسَدَ) idzâ ­hasada (jika ia dengki) memberikan pegertian (إِذَا ظَهَرَ حَسَدُهُ وَعَمِلَ بِمُقْتَضَاهُ) idzâ zhahara hasaduhu wa ‘amila bi muqtadhâhu (jika dengkinya tampak dan mengerjakan yang diperlukan), berupa tindakan zalim menimbulkan bencana bagi orang yang didengki. Sebab, jika tidak tampak pengaruh dari kedengkian yang disembunyikan, maka tidak menimbulkan bahaya bagi orang yang didengki; tetapi menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri karena perasaan sedih akibat kebahagiaan orang yang didengki. Bisa juga yang dimaksud dengan (شَرِّ حَاسِدٍ) syarr al-hâsid: dosa dan celaan terhadapnya ketika dengki dan menampakkan pengaruhya.17

Kejahatan yang Tersembunyi
Di dalam surat ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: banyaknya keburukan dan kejahatan yang dapat menimpa manusia. Penyebutan (مِنۡ شَرِّ مَا خَلَقَ) min syarr mâ khalaqa menunjukkan kesimpulan demikian. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, kata (مَا) dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua kejahatan yang ada.18 Itu berarti, keburukan bisa datang dari semua makhluk-Nya. Bisa dari manusia yang memiliki nalar untuk merancang dan membuat aneka kejahatan; juga dari semua binatang, yang jinak hingga yang buas; bisa pula dari benda-benda mati, seperti angin badai, kobaran api, banjir bandang, gunung meletus, dan lain-lain. Semuanya bisa mendatangkan bencana dan bahaya bagi manusia. Sedemikian banyaknya keburukan dan kejahatan itu sehingga manusia memerlukan pertolongan untuk melindunginya.
Kedua: mewaspadai keburukan dan kejahatan yang tersembunyi. Dalam surat ini, selain kejahatan semua makhluk-Nya, secara khusus disebutkan berbagai kejahatan yang tersembunyi. Dipaparkan al-Biqa’ bahwa (اَلْعَطْف) al-athf dalam ayat ketiga dan seterusnya merupakan athf al-khâshsh ‘alâ al-‘âmm (عَطْفُ الْخَاصِّ عَلَى الْعَامِّ) (menambahkan perkara khusus kepada perkara umum). Penyebutan itu menunjukkan bahwa (اَلْخَاصِّ) al-khâsh (perkara khusus) itu memiliki kelebihan ketetapan dibandingkan dengan perkara-perkara lain dalam (اَلْعَامّ) al-‘âmm. Keburukan sesuatu yang gelap merupakan pangkal semua kerusakan.19 Menurut az-Zamakhsyari, tiga (شَرّ) syarr yang disebutkan dalam surat ini, yakni (اَلْغَاسِق - اَلنَّفّٰثٰت - اَلْحَاسِد) al-ghâsiq, al-naffâtsât dan al-hâsid disebutkan secara khusus karena sifatnya yang tersembunyi.20
Ketika malam gelap, penglihatan manusia menjadi terbatas. Akibatnya, banyak bahaya yang mengancam manusia tanpa dia ketahui. Karena gelap, terlebih banyak orang terlelap, para pelaku kejahatan, seperti pencuri, perampok, pembunuh atau pemerkosa lebih memilih menjalankan aksinya di malam hari. Makhluk gaib biasanya keluar di malam hari untuk menggoda dan menakut-nakuti manusia. Juga karena gelap, berbagai bencana yang datang di malam lebih sulit dihindari. Tak aneh jika benar-benar manusia membutuhkan perlindungan dari semua kejahatan saat malam gelap.
Seperti gelapnya malam, kejahatan sihir juga tersembunyi. Tidak sedikit yang menganggap-nya sebagi misteri. Hanya sebagian kecil orang yang mengetahui seluk-beluk kejahatan sihir. Sihir memang tidak dapat mengubah tabiat sesuatu atau menciptakan hakikat baru dari sesuatu itu (lihat QS al-A’raf [7]:116, Thaha [20]: 65-69).
قَالَ أَلۡقُوۡاۖ فَلَمَّآ أَلۡقَوۡا سَحَرُوۡا أَعۡيُنَ النَّاسِ وَاسۡتَرۡهَبُوۡهُمۡ وَجَآءُوۡ بِسِحۡرٍ عَظِيۡمٍ ١١٦
Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena´jubkan) (QS al-A’raf [7]:116).
قَالُوۡا يٰمُوۡسٰى إِمَّآ أَنۡ تُلۡقِيَ وَإِمَّآ أَنۡ نَّكُوۡنَ أَوَّلَ مَنۡ أَلۡقٰى ٦٥ قَالَ بَلۡ أَلۡقُوۡاۖ فَإِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ مِنۡ سِحۡرِهِمۡ أَنَّهَا تَسۡعٰى ٦٦  فَأَوۡجَسَ فِيۡ نَفۡسِهِۦ خِيۡفَةً مُّوۡسٰى ٦٧ قُلۡنَا لَا تَخَفۡ إِنَّكَ أَنتَ الۡأَعۡلٰى ٦٨ وَأَلۡقِ مَا فِيۡ يَمِيۡنِكَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡاۖ إِنَّمَا صَنَعُوۡا كَيۡدُ سٰحِرٍۖ وَلَا يُفۡلِحُ السَّاحِرُ حَيۡثُ أَتٰى ٦٩
65. (Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: "Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?
66. Berkata Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka
67. Maka Musa merasa takut dalam hatinya
68. Kami berkata: "janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang)
69. Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. "Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang" (QS. Thaha [20]: 65-69).
Akan tetapi, sihir dapat menumbuhkan khayalan pada indera dan perasaan dengan sesuatu yang diinginkan oleh tukang sihir, termasuk perasaan yang menakutkan dan menyakiti orang yang disihir. Ini jelas dapat mendatangkan bahaya bagi manusia. Karena itu, manusia membutuhkan perlindungan dari kejahatan para tukang sihir.
Demikian pula dengan kejahatan pendengki. Rasa dengki memang berawal dari perasaan hati. Namun, ia akan berubah menjadi bahaya ketika dengki itu lahir dalam bentuk tindakan, termasuk upaya yang dilakukan secara rapi, tersembunyi dan tak terduga-duga. Karena itu, manusia benar-benar membutuhkan perlindungan dari kejahatan para pendengki tatkala merealisasikan kedengkiannya.
Ketiga: pengakuan atas kelemahan manusia sekaligus pengakuan atas kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Perintah untuk berlindung kepada Allah SWT jelas menunjukkan demikian. Terhadap berbagai keburukan dan kejahatan yang tak terhitung jumlahnya, dipastikan manusia tidak mampu mengatasinya sendiri. Apalagi terhadap keburukan dan kejahatan yang tersembunyi. Maka dari itu, manusia membutuhkan pertolongan Allah SWT. Sebab, Dialah satu-satunya Zat Yang dapat memberikan perlindungan kepada manusia. Jika dicermati, hal ini juga diisyaratkan oleh surat ini.
Di antara keburukan yang dimintakan perlindungan kepada Allah SWT adalah keburukan malam gelap-gulita. Karena keburukan dan kejahatan itu disebabkan oleh kegelapan, maka solusinya adalah terbitnya cahaya. Datangnya pagi hari dan terbitnya matahari merupakan solusi atas keburukan malam yang gelap. Tidak ada yang bisa mendatangkannya kecuali Allah SWT karena Dia adalah Rabb al-falaq.
Dikaitkannya permohonan perlindungan dari semua kejahatan dengan sifat (رُبُبِيَّة) Rububiyyah itu kian mengukuhkan kesimpulan itu. Sebab, sebagaimana dijelaskan al-Biqa’, permohonan perlindungan dari kejahatan merupakan (تَرْبِيَّة) tarbiyah yang paling agung.21
Keempat: tercelanya perbuatan sihir dan hasud. Permohonan kepada Allah agar terlindungi dari kejahatan dua perbuatan itu bukan hanya dalam posisi sebagai obyek atau korban, namun juga sebagai pelaku. Tidak ada pertentangan mengenai haramnya sihir. Bahkan perbuatan itu termasuk tujuh dosa besar (اَلْمُبِقَات /al-mubiqât). Haramnya hasud juga bukan perkara ikhtilaf. Rasulullah saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ .
Jauhilah dengki karena sesungguhnya dengki itu membakar kebaikan seperti halnya api memakan kayu bakar (HR Abu Dawud).
Memang di dalam hadis sahih disebutkan ada dua perkara kebaikan yang kaum Muslim dibolehkan hasud. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan Imam al-Nawawi, pengertian hasud dalam hadis itu bermakna (مَجَازِى) majâzi, yakni menginginkan kebaikan serupa tanpa diiringi keinginan lenyapnya kenikmatan dari orang lain. Dalam bahasa Arab, sikap ini disebut dengan (اَلْغِبْطَة) al-ghibthah.
Akhir kata, sebagai makhluk yang lemah kita memerlukan perlindungan Allah SWT dari semua keburukan, terlebih keburukan yang tersembunyi. Surat ini telah diturunkan-Nya bagi kita untuk meminta perlindungan kepada-Nya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [23]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003), 251; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Fkr, 1993), 532; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 518.
2 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Thayibah, 1997), 530.
3 Ar-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 352.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 254.
5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 535.
6-7 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 190; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 595. Az-Zamakhsyari juga menafsirkan al-falaq sebagai waktu subuh. Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyad: Dar al-‘Abikan, 1998), 463.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol 24 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 2000), 604.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 254; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 191; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 358.
10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol 24, 791-792; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 473.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol 24, 792. Lihat juga: al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22, 408
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 193.
13 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 536.
14 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 536.
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 194; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 473.
16 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 537.
17 Ar-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 118; Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. (Beirut: Dar Shadir, tt), 148; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 195.
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 466
19 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 532.
20 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22, 409
21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6, 466
22 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 407. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 5, 358.
23 Al-wa’ie /no.113/Januari 2010/Rubrik Tafsir/Ust Rokhmat S. Labib. M.E.I.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar