قُلۡ
أَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ ١ مِنۡ شَرِّ
مَا خَلَقَ ٢ وَمِنۡ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا
وَقَبَ ٣ وَمِنۡ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِي الۡعُقَدِ
٤ وَمِنۡ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ٥
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang
Menguasai subuh
2. dari kejahatan makhluk-Nya
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita
4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup
buhul-buhul
5. dan dari kejahatan pendengki bila ia mendengki"
(QS al-Falaq [113]: 1-5).
Dalam mushhaf al-Quran, surat ini berada
pada urutan ke 113. Surat ini dinamakan al-Falaq karena dibuka dengan kata
tersebut. Sebagaimana surat an-Nas, terdapat ikhtilaf apakah surat ini
terkategori Makiyah atau Madaniyah. Menurut al-Hasan, Ikrimah, Atha’ dan Jabir
surat ini tergolong Makkiyah.1 Ibnu Katsir berpendapat bahwa surat
ini termasuk Madaniyah.2
Bersama dengan surat an-Nas, ayat ini
disebut dengan (اَلْمُعَوِّذَتَيْنِ) al-mu’awwidzatayn. Keutamaan keduanya sering disebut
secara bersamaan (HR an-Nasa’i, dari Ibnu ‘Aisy al-Juhni; at-Tirmidzi, dari
Uqbah bin Amir).
Tafsir Ayat
Allah SWT
berfirman: (قُلۡ أَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ) Qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq (Katakanlah,
“Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh). Ayat ini memerintahkan
Rasulullah saw. beserta umatnya untuk memohon perlindungan kepada (رَبِّ
الۡفَلَقِ) Rabb
al-falaq. Secara bahasa, kata (اَلْعَوۡذ) al-‘awdz berarti (اَلْاِلْتِجَاءُ اِلَى
الْغَيْرِ وَالتَّعَلُّقُ بِهِ)
al-iltijâ’ ilâ al-ghayr wa al-ta’alluqu bihi (bersandar, berlindung dan
bergantung kepada yang lain).3
Terdapat
perbedaan pendapat mengenai makna (اَلۡفَلَق) al-falaq. Menurut Jabir
bin Abdullah, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Ibnu Abi Zaid, sebagaimana disitir
oleh al-Qurthubi, kata (اَلۡفَلَق) al-falaq berarti (اَلصُّبْح) ash-shubh (waktu subuh).4
Ibnu Abbas dalam satu riwayat juga berpendapat demikian.5 Fakhruddin
ar-Razi dan al-Baghawi menyatakan bahwa ini merupakan pendapat kebanyakan para
mufassir.6
Selain waktu
subuh, kata (اَلۡفَلَق) al-falaq dalam ayat ini
juga ditafsirkan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan neraka. Ibnu Abbas
dalam suatu riwayat menafsirkannya sebagai (اَلسِّجْن) as-sijn (penjara) dalam
neraka. Adapun as-Sudi menafsirkannya sebagai (اَلۡجُبّ) al-jubb (sumur yang
dalam) di neraka.7 Kata (اَلۡفَلَق) al-falaq juga
ditafsirkan sebagai (اَلۡبَاب) al-bâb (pintu) di
neraka.
Ada juga yang
menafsirkan kata (اَلۡفَلَق) al-falaq dengan
mengembalikannya pada asal-muasal kata, bahwa makna (اَلۡفَلَق) al-falaq berarti (اَلشَّقّ) asy-syaqq (terbelah). Oleh
karena itu, kullu mâ infalaqa (كُلُّ
مَا إنْفَلَقَ) (semua
yang terbelah) dari sesuatu, baik dari hewan, pagi, butir tumbuhan, biji buah
maupun air adalah (فَلَق) falaq. Allah SWT
berfirman: (فَالِقُ الْاِصْبَاحِ) Fâliq al-ishbâh (Dia
menyingsingkan pagi, QS al-An’am [6]:96); juga firman-Nya: (فَالِقُ
الْحَبِّ وَالنَّوَى)
Fâliq al-habb wa al-nawâ (Dia menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan, QS al-An’am [6]:95). Demikian juga
al-Qurthubi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi,
al-Baidhawi dan az-Zuhaili.8
Menyikapi perbedaan pendapat itu,
penjelasan Ibnu Jarir ath-Thabari patut disimak. Menurutnya, pengertian yang
benar mengenai ayat ini: Allah SWT telah memerintahkan Nabi-Nya untuk
mengatakan (قُلۡ أَعُوۡذُ بِرَبِّ الۡفَلَقِ) ‘Qul a’ûdzu bi Rabb al-falaq’. Kata (اَلۡفَلَق) al-falaq menurut bahasa Arab adalah (فَلَق
الصُّبْحِ) falaq al-subh. Meskipun begitu,
bisa saja di Neraka Jahannam ada penjara yang bernama (اَلۡفَلَق) al-falaq. Jika demikian halnya—karena Allah SWT sendiri
tidak memberikan petunjuk bahwa pengertian (بِرَبِّ
الۡفَلَقِ) bi Rabb al-falaq itu hanya
mencakup sebagian makna dan tidak mencakup sebagian lainnya, sedangkan Allah
SWT adalah Tuhan segala sesuatu—maka pengertian (اَلۡفَلَق) al-falaq di sini meliputi segala sesuatu yang tercakup
dalam makna (اَلۡفَلَق) al-falaq. Sebab, Allah SWT adalah Tuhan dari segala
sesuatu itu.9
Kepada (رَبِّ
الۡفَلَقِ) Rabb al-falaq itulah manusia
diperintahkan untuk berlindung dari segala keburukan dan kejahatan yang dapat
menimpa mereka. Keburukan dan kejahatan yang dimintakan untuk mendapat
perlindungan-Nya disebutkan dalam ayat berikutnya: (مِنۡ
شَرِّ مَا خَلَقَ) min syarr mâ khalaqa (dari
kejahatan makhluk-Nya). Keburukan dan kejahatan yang dimaksud ayat ini meliputi
semua kejahatan dari segala sesuatu. Sebab, segala sesuatu selain Allah SWT
termasuk dalam cakupan (مَا خَلَقَ) mâ khalaqa, yang diciptakan-Nya.10
Kemudian Allah
SWT berfirman: (وَمِنۡ
شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ) wamin syarr ghâsiq idzâ waqaba (dari kejahatan malam jika telah gelap gulita). Menurut az-Zujjaj, secara
bahasa kata (اَلْغَاسِق) al-ghâsiq berarti (اَلْبَارِد) al-bârid (dingin). (اَللَّيْل) Al-Layl atau malam
disebut sebagai (غَاسِق) ghâsiq karena lebih
dingin daripada siang. Adapun (اَلْوُقُوْب) al-wuqûb berarti (اَلدُّخُوْل) ad-dukhûl (masuk).
Dengan demikian, (اَلْغَاسِق اِذَا وَقَبَ) al-ghâsiq idzâ waqaba berarti
(اَللَّيْل
اِذَا دَخَلَ) al-layl
idzâ dakhala (malam jika telah masuk).11 Mujahid memaknai kata (غَاسِق) ghâsiq sebagai (اَللَّيْل) al-layl dan (اِذَاوَقَبَ) idzâ waqaba sebagai (غُرُوْب
الشَّمْس) ghurûb
asy-syams (terbenamnya matahari). Pendapat yang
sama juga disampaikan oleh Ibnu Abbas, Muhammad bin Kaab, adh-Dhahhak, Khushaif
dan al-Hasan. Qatadah juga memaknainya sebagai malam ketika menjelang gelap.
Penafsiran lain diberikan Abu Hurairah.
Menurutnya, frasa tersebut bermakna (كَوْكَب) kawkab (bintang). Ada pula yang menafsirkannya sebagai
bulan ketika terbenam atau gerhana. Aisyah berkata bahwa Nabi saw. memegang
tangannya sambil memandang bulan seraya bersabda, “Wahai Aisyah, mintalah
perlindungan kepada Allah dari keburukan ini. Sebab, ini adalah al-ghâsiq
idzâ waqaba/” (HR al-Tirmidzi dan al-Nasa’i. Menurut al-Tirmidzi; hadis ini hasan
shahîh).12
Menurut Ibnu Katsir, kalangan ulama yang
memilih pendapat pertama—berarti malam jika telah gelap—tidak
bertentangan dengan penafsiran mereka. Sebab, bulan merupakan tanda malam;
demikian pula bintang; tidak bersinar kecuali pada malam hari.13
Kemudian Allah SWT berfirman: (وَمِنۡ
شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِي الۡعُقَدِ) wamin syarri
an-naffâtsât fî al-‘uqad (dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang
meniup buhul-buhul). Kata (اَلۡنَّفْث) an-nafts berarti (اَلنَّفْخُ
مَعَ رِيْقٍ) an-nafkh ma’a rîq (tiupan disertai
dengan air ludah). Ada juga yang berpendapat (اَلنَّفْخُ) an-nafkh (tiupan) saja, tanpa disertai dengan ludah.
Adapun (اَلۡعُقَد) al-‘uqad merupakan jamak dari (اَلۡعَقْد) al-‘aqd (buhul, ikatan). Hal itu disebabkan karena
tukang sihir, jika membaca mantera, ia mengambil benang lalu diikat menjadi
buhul dan meniup-niupnya.14
Pengertian itu pula yang disampaikan oleh
para mufassir. Mujahid, Ikrimah, al-Hasan, Qatadah dan adh-Dhahhak menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah (اَلسَّوَاحِر) as-sawâhir (para penyihir). Mujahid mengatakan: yakni
ketika mereka membaca mantera dan meniup buhul-buhul.15
Ayat diakhiri dengan firman-Nya: (وَمِنۡ
شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ) wamin syarr hâsid
idzâ hasada (dan dari kejahatan pendengki jika ia dengki). Dijelaskan oleh
ar-Raghib, pengertian (اَلْحَسَد) al-hasad adalah berharap lenyapnya kenikmatan dari
orang yang berhak; kadang-kadang disertai dengan upaya untuk menghilangkannya.
Pengertian serupa juga disampaikan oleh Ibnu Manzhur dan Fakhruddin ar-Razi.16
Dijelaskan
az-Zamakhsyari bahwa kata (إِذَا
حَسَدَ) idzâ hasada (jika ia dengki) memberikan pegertian (إِذَا ظَهَرَ حَسَدُهُ
وَعَمِلَ بِمُقْتَضَاهُ) idzâ zhahara hasaduhu wa ‘amila bi muqtadhâhu (jika dengkinya tampak dan mengerjakan yang
diperlukan), berupa tindakan zalim menimbulkan bencana bagi orang yang
didengki. Sebab, jika tidak tampak pengaruh dari
kedengkian yang disembunyikan, maka tidak menimbulkan bahaya bagi orang yang
didengki; tetapi menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri karena perasaan sedih
akibat kebahagiaan orang yang didengki. Bisa juga yang dimaksud dengan (شَرِّ
حَاسِدٍ) syarr al-hâsid: dosa dan celaan
terhadapnya ketika dengki dan menampakkan pengaruhya.17
Kejahatan yang Tersembunyi
Di dalam surat ini terdapat banyak
pelajaran yang dapat diambil. Pertama: banyaknya keburukan dan
kejahatan yang dapat menimpa manusia. Penyebutan (مِنۡ
شَرِّ مَا خَلَقَ) min syarr mâ khalaqa menunjukkan
kesimpulan demikian. Sebagaimana dijelaskan Abu Hayyan al-Andalusi, kata
(مَا) mâ dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua
kejahatan yang ada.18 Itu berarti, keburukan bisa datang dari semua
makhluk-Nya. Bisa dari manusia yang memiliki nalar untuk merancang dan membuat
aneka kejahatan; juga dari semua binatang, yang jinak hingga yang buas; bisa
pula dari benda-benda mati, seperti angin badai, kobaran api, banjir bandang, gunung
meletus, dan lain-lain. Semuanya bisa mendatangkan bencana dan bahaya bagi
manusia. Sedemikian banyaknya keburukan dan kejahatan itu sehingga manusia
memerlukan pertolongan untuk melindunginya.
Kedua: mewaspadai keburukan dan kejahatan yang tersembunyi. Dalam surat
ini, selain kejahatan semua makhluk-Nya, secara khusus disebutkan berbagai
kejahatan yang tersembunyi. Dipaparkan al-Biqa’ bahwa (اَلْعَطْف) al-athf dalam ayat ketiga dan seterusnya merupakan athf
al-khâshsh ‘alâ al-‘âmm (عَطْفُ الْخَاصِّ عَلَى
الْعَامِّ) (menambahkan perkara khusus kepada
perkara umum). Penyebutan itu menunjukkan bahwa (اَلْخَاصِّ) al-khâsh (perkara khusus) itu memiliki kelebihan
ketetapan dibandingkan dengan perkara-perkara lain dalam (اَلْعَامّ) al-‘âmm. Keburukan sesuatu yang gelap merupakan pangkal
semua kerusakan.19 Menurut az-Zamakhsyari, tiga (شَرّ) syarr yang disebutkan dalam surat ini, yakni (اَلْغَاسِق
-
اَلنَّفّٰثٰت -
اَلْحَاسِد) al-ghâsiq, al-naffâtsât dan al-hâsid
disebutkan secara khusus karena sifatnya yang tersembunyi.20
Ketika malam gelap, penglihatan manusia
menjadi terbatas. Akibatnya, banyak bahaya yang mengancam manusia tanpa dia
ketahui. Karena gelap, terlebih banyak orang terlelap, para pelaku kejahatan,
seperti pencuri, perampok, pembunuh atau pemerkosa lebih memilih menjalankan
aksinya di malam hari. Makhluk gaib biasanya keluar di malam hari untuk
menggoda dan menakut-nakuti manusia. Juga karena gelap, berbagai bencana yang
datang di malam lebih sulit dihindari. Tak aneh jika benar-benar manusia
membutuhkan perlindungan dari semua kejahatan saat malam gelap.
Seperti gelapnya malam, kejahatan sihir
juga tersembunyi. Tidak sedikit yang menganggap-nya sebagi misteri. Hanya
sebagian kecil orang yang mengetahui seluk-beluk kejahatan sihir. Sihir memang
tidak dapat mengubah tabiat sesuatu atau menciptakan hakikat baru dari sesuatu
itu (lihat QS al-A’raf [7]:116, Thaha [20]: 65-69).
قَالَ
أَلۡقُوۡاۖ فَلَمَّآ أَلۡقَوۡا سَحَرُوۡا أَعۡيُنَ النَّاسِ وَاسۡتَرۡهَبُوۡهُمۡ
وَجَآءُوۡ بِسِحۡرٍ عَظِيۡمٍ ١١٦
Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala
mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu
takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (mena´jubkan) (QS al-A’raf [7]:116).
قَالُوۡا
يٰمُوۡسٰى إِمَّآ أَنۡ تُلۡقِيَ وَإِمَّآ أَنۡ نَّكُوۡنَ أَوَّلَ مَنۡ أَلۡقٰى
٦٥ قَالَ بَلۡ أَلۡقُوۡاۖ فَإِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ
مِنۡ سِحۡرِهِمۡ أَنَّهَا تَسۡعٰى ٦٦
فَأَوۡجَسَ فِيۡ نَفۡسِهِۦ خِيۡفَةً مُّوۡسٰى ٦٧ قُلۡنَا لَا تَخَفۡ
إِنَّكَ أَنتَ الۡأَعۡلٰى ٦٨ وَأَلۡقِ مَا فِيۡ يَمِيۡنِكَ تَلۡقَفۡ مَا صَنَعُوۡاۖ
إِنَّمَا صَنَعُوۡا كَيۡدُ سٰحِرٍۖ وَلَا يُفۡلِحُ السَّاحِرُ حَيۡثُ أَتٰى ٦٩
65. (Setelah mereka berkumpul) mereka berkata: "Hai Musa
(pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamikah orang yang
mula-mula melemparkan?
66. Berkata Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan".
Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa
seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka
67. Maka Musa merasa takut dalam hatinya
68. Kami berkata: "janganlah kamu takut, sesungguhnya
kamulah yang paling unggul (menang)
69. Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia
akan menelan apa yang mereka perbuat. "Sesungguhnya apa yang mereka
perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang
tukang sihir itu, dari mana saja ia datang" (QS. Thaha [20]: 65-69).
Akan tetapi, sihir dapat menumbuhkan khayalan pada indera dan
perasaan dengan sesuatu yang diinginkan oleh tukang sihir, termasuk perasaan
yang menakutkan dan menyakiti orang yang disihir. Ini jelas dapat mendatangkan
bahaya bagi manusia. Karena itu, manusia membutuhkan perlindungan dari
kejahatan para tukang sihir.
Demikian pula dengan kejahatan pendengki.
Rasa dengki memang berawal dari perasaan hati. Namun, ia akan berubah menjadi
bahaya ketika dengki itu lahir dalam bentuk tindakan, termasuk upaya yang
dilakukan secara rapi, tersembunyi dan tak terduga-duga. Karena itu, manusia
benar-benar membutuhkan perlindungan dari kejahatan para pendengki tatkala
merealisasikan kedengkiannya.
Ketiga: pengakuan atas kelemahan manusia sekaligus pengakuan atas kekuasaan
dan kebesaran Allah SWT. Perintah untuk berlindung kepada Allah SWT jelas
menunjukkan demikian. Terhadap berbagai keburukan dan kejahatan yang tak
terhitung jumlahnya, dipastikan manusia tidak mampu mengatasinya sendiri.
Apalagi terhadap keburukan dan kejahatan yang tersembunyi. Maka dari itu,
manusia membutuhkan pertolongan Allah SWT. Sebab, Dialah satu-satunya Zat Yang
dapat memberikan perlindungan kepada manusia. Jika dicermati, hal ini juga
diisyaratkan oleh surat ini.
Di antara keburukan yang dimintakan
perlindungan kepada Allah SWT adalah keburukan malam gelap-gulita. Karena
keburukan dan kejahatan itu disebabkan oleh kegelapan, maka solusinya adalah
terbitnya cahaya. Datangnya pagi hari dan terbitnya matahari merupakan solusi
atas keburukan malam yang gelap. Tidak ada yang bisa mendatangkannya kecuali
Allah SWT karena Dia adalah Rabb al-falaq.
Dikaitkannya permohonan perlindungan dari
semua kejahatan dengan sifat (رُبُبِيَّة) Rububiyyah itu kian mengukuhkan kesimpulan itu. Sebab,
sebagaimana dijelaskan al-Biqa’, permohonan perlindungan dari kejahatan
merupakan (تَرْبِيَّة) tarbiyah yang paling agung.21
Keempat: tercelanya perbuatan sihir dan hasud. Permohonan kepada Allah agar
terlindungi dari kejahatan dua perbuatan itu bukan hanya dalam posisi sebagai
obyek atau korban, namun juga sebagai pelaku. Tidak ada pertentangan mengenai
haramnya sihir. Bahkan perbuatan itu termasuk tujuh dosa besar (اَلْمُبِقَات /al-mubiqât).
Haramnya hasud juga bukan perkara ikhtilaf. Rasulullah saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ
وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ
الْحَطَبَ .
Jauhilah dengki karena sesungguhnya dengki itu membakar kebaikan
seperti halnya api memakan kayu bakar (HR Abu
Dawud).
Memang di dalam hadis sahih disebutkan ada
dua perkara kebaikan yang kaum Muslim dibolehkan hasud. Akan tetapi,
sebagaimana dijelaskan Imam al-Nawawi, pengertian hasud dalam hadis itu
bermakna (مَجَازِى) majâzi, yakni menginginkan kebaikan serupa tanpa
diiringi keinginan lenyapnya kenikmatan dari orang lain. Dalam bahasa Arab,
sikap ini disebut dengan (اَلْغِبْطَة) al-ghibthah.
Akhir kata,
sebagai makhluk yang lemah kita memerlukan perlindungan Allah SWT dari semua
keburukan, terlebih keburukan yang tersembunyi. Surat
ini telah diturunkan-Nya bagi kita untuk meminta perlindungan kepada-Nya. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. [23]
Catatan
kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar
‘Alam al-Kutub, 2003), 251; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth,
vol. 8 (Beirut: Dar al-Fkr, 1993), 532; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 518.
2 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar al-Thayibah, 1997), 530.
3 Ar-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî
Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 352.
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 20, 254.
5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 535.
6-7 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), 190; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8
(Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 595. Az-Zamakhsyari juga menafsirkan al-falaq sebagai
waktu subuh. Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyad: Dar
al-‘Abikan, 1998), 463.
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl
al-Qur’ân, vol 24 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 2000), 604.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 254;
ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 191; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl
wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 358.
10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol
24, 791-792; al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998), 473.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol
24, 792. Lihat juga: al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 22, 408
12 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol.
32, 193.
13 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 536.
14 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 536.
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol.
32, 194; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 473.
16 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân
al-‘Azhîm, vol. 8, 537.
17 Ar-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, 118;
Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. (Beirut: Dar Shadir, tt), 148;
ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 32, 195.
18 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.
6, 466
19 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 532.
20 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.
22, 409
21 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.
6, 466
22 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 22 (Kairo: Dar al-Kitab
al-Islami, tt), 407. Penjelasan senada juga dikemukakan al-Baidhawi, Anwâr
at-Tanzîl, vol. 5, 358.
23 Al-wa’ie /no.113/Januari 2010/Rubrik
Tafsir/Ust Rokhmat S. Labib. M.E.I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar