Meluruskan Makna Ijtihad
Pengantar Redaksi:
Sebagaimana
istilah jihad, istilah ijtihad sering mengalami reduksi, bahkan
manipulasi. Dengan kata lain, makna hakiki ijtihad sering menjadi sangat
bias dan menyimpang jauh. Akibatnya, di antara kaum Muslim, ketika
melontarkan suatu pendapat, banyak yang dengan enteng mengklaim bahwa
itu adalah ‘ijtihad’-nya; padahal dia jauh dari karakteristik sebagai
mujtahid. Ini tidak lain karena ada semacam kebiasaan buruk di
tengah-tengah kita, yakni sering memaknai suatu istilah khas Islam hanya
dilihat dari sisi bahasanya semata, bukan dari pemahaman syar‘i-nya.
Oleh karena itu, Telaah Kitab kali ini bermaksud meluruskan kembali
makna ijtihad, dengan merujuk pada penjelasan yang ada dalam kitab,
Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197, karya Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, di samping yang terdapat dalam beberapa kitab yang lain.
Selamat membaca!
Definisi Ijtihad
Secara literal, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan). (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm.114). Ijtihad juga bermakna, “Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq.” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam men-tahqîq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan). (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, II/309).
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan
seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil
dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari
apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi, ibid., hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197).
Berdasarkan
definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses
menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni
dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin
lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas
diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i;
misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk
bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain
sebagainya.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât).
Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan
sebuah teorema maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad
harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga
dan kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih
dari apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad
jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia
masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan. (Al-Amidi,
op.cit., II/309).
Ijtihad berbeda dengan tarjîh maupun baths al-masâ’il. Tarjîh adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana pendapat yang paling râjih (kuat) di antara pendapat-pendapat yang ada. Baths al-masâ’il tidak berbeda dengan tarjîh,
meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan-pembahasan hukum-hukum
tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Akan tetapi, aktivitas
semacam ini dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal,
ijtihad adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok.
Lingkup Ijtihad
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.
Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima
waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam
ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah
sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang
salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka
ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt.
Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat. (Al-Amidi, ibid., II/311).
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni.
Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut
demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan
interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Haramnya
memilih kepala negara yang berhaluan sekular dan tidak mendukung
penerapan syariat Islam bukanlah perkara ijtihadiah. Sebab, kebatilan
dan pertentangan sekularisme dengan Islam adalah perkara qath‘i.
Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan
negara juga merupakan perkara yang pasti dan tidak boleh ada
perselisihan. Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah juga
merupakan perkara pasti yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan
Muslim.
Sayangnya,
sebagian orang malah menolak penerapan syariat Islam dan penegakkan
Khilafah Islamiah dengan dalih ijtihad dan ijtihadiah. Mereka menganggap
bahwa perbedaan dalam masalah semacam ini masih dalam kategori boleh.
Alasannya, masing-masing orang mempunyai ijtihad sendiri-sendiri dan
sah-sah saja jika hasil ijtihadnya berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa
memilah mana pendapat yang telah menyimpang dari syariat Islam dan mana
pendapat yang masih terkategori pendapat islami. Ketika disampaikan
bahwa berhukum dengan aturan Allah merupakan kewajiban, dengan entengnya
mereka menyatakan, “Itu kan
ijtihad Anda? Kami mempunyai pendapat dan ijtihad sendiri dalam masalah
ini. Jika kami berbeda dengan Anda, Anda tetap harus menghargai
pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah dalam
ijtihad tidak berdosa?”
Semua
ini diakibatkan karena umat tidak lagi memahami lingkup ijtihad; mana
yang terkategori perkara ijtihadiah dan mana yang bukan. Akhirnya, umat
tidak bisa membedakan pendapat islami dan pendapat yang telah menyimpang
dari akidah dan syariat Islam.
Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam‘i
adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Seorang mujtahid harus memahami
al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia
juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang,
mengkompromikan, serta men-tarjîh dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dan dalil-dalil sam‘i dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).
Seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat—setelah dibandingkan dengan riwayat tsiqqah
dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti
dan menghapal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi,
ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari
sisi kebahasaan. (An-Nabhani, op.cit., I/213-216. Lihat juga: Al-Amidi, op.cit. II/309-311).
Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad
Pertama,
sebagian kaum Muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak
melakukan ijtihad. Mereka berdalil bahwa setiap mukallaf dibekali Allah
dengan akal yang sama dan setiap Mukmin wajib mengerti hukum syariat
berdasarkan pemahamannya sendiri. Untuk itu, setiap orang berhak
melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya bisa jadi salah.
Mereka
juga beralasan bahwa ijtihad harus tetap ada hingga Hari Kiamat untuk
menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang. Untuk itu, jika
setiap orang tidak diberi hak berijtihad, tentu akan terjadi stagnasi
ijtihad. Padahal, stagnasi ijtihad tidak boleh terjadi di tengah-tengah
masyarakat Islam.
Benar,
setiap Muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan Allah Swt.
Seseorang tidak mungkin bisa terikat dengan aturan Allah jika ia tidak
mengerti hukum syariat. Padahal, jalan satu-satunya untuk menggali hukum
adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad merupakan kewajiban
bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah
aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan
syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki
kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang
yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu
melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia memaksakan
diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan
pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah
istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang telah
diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS al-Maidah [5]: 49).
Ijtihad
memang harus dilakukan hingga akhir zaman untuk mejawab
persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa sebelumnya. Akan
tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak untuk melakukan
ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg. Syarat-syarat kelayakan
untuk melakukan ijtihad tetap harus dipenuhi. Orang yang tidak memiliki
kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan
ijtihad. Dengan kata lain, pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak
memenuhi syarat kelayakan ijtihad.
Kedua, dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Contohnya perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim tentang sistem pemerintahan Islam. Ada
sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa penerapan Islam bisa diwujudkan
dalam koridor sistem pemerintahan apapun, baik republik, kekaisaran,
federasi, dan sebagainya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat
Islam tidak harus diterapkan secara struktural dan formal, yang penting
adalah substansi dan nilai-nilainya. Sebagian lagi berpendapat bahwa
penerapan syariat Islam boleh dilakukan secara bertahap, bukan serentak.
Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah
perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah sistem
pemerintahan di dalam Islam bukanlah termasuk masalah ijtihadiah.
Nash-nash syariat yang sharîh (jelas) telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan di dalam Islam adalah Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain.
Ketiga,
dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum Muslim telah menutup diri
dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka enggan untuk mencari dan
mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan benar berdasarkan prinsip quwwah ad-dalîl (kekuataan argumentasi). Dalam masalah furû‘,
meskipun kaum Muslim diperbolehkan berbeda pendapat dan pandangan,
mereka diperintahkan untuk mencari dan memilih pendapat yang paling râjih
dan kuat. Seorang Muslim harus beramal dengan hukum yang dianggapnya
paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal dengan hukum yang
dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang Muslim tidak boleh
menolak pendapat yang lebih kuat dan râjih. Bersikukuh pada
pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih adalah tindakan dosa yang
dicela oleh Islam. Sebab, bolehnya kaum Muslim berbeda pendapat dalam
masalah furû‘ tidak menafikan wajibnya mereka mencari dan memegang pendapat yang paling kuat dan râjih. [Syamsuddin Ramadlan]
Wallâhu a‘lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar