كُنْ
فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
يَقُوْلُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا
تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
.
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau
orang yang sedang menempuh perjalanan.” Ibn Umar berkata, “jika engkau ada di
sore hari, jangan menunggu pagi dan jika berada di pagi hari, jangan menunggu
sore. Manfaatkan masa sehatmu untuk masa sakitmu dan masa hidupmu untuk
kematianmu.”
(HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam
al-Bukhari meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari: Ali bin Abdullah,
Muhammad bin Abdurrahman Abu al-Mundzir ath-Thafawi, Sulaiman al-A’masy, Mujahid
dan Abdullah bin Umar, dari Rasulullah saw.
Ahmad
meriwayatkannya berturut-turut dari: Waki, Sufyan, Laits bin Abi Salim, Abu
Mu’awiyah dan Laits.
Ibn Majah
meriwayatkannya dari Yahya bin Habib bin ‘Arabi, dari Hamad bin Zaid, dari
Laits.
At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Mahmud
bin Ghaylan, dari Abu Ahmad, dari Sufyan, dari Laits; lalu Laits bin Abi Salim,
dari Mujahid, dari Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Ahmad, Ibn Majah dan
at-Tirmidzi sesudah lafal “‘âbir as-sabîl” (عَابِرُ
سَبِيْلٍ) terdapat tambahan: “wa ‘udda nafsaka fî ahli
al-qubûr (وَعُدَّ نَفْسَكَ فِيْ اَهْلِ
الْقُبُوْرِ) hitunglah dirimu termasuk ahli kubur .”
Makna Hadits
Dalam
hadis ini Rasul memberi perumpamaan bagaimana seharusnya kita memposisikan diri
di dunia: seakan kita adalah orang asing dan seperti orang yang sedang menempuh
perjalanan.
Ath-Thayyibi, sebagaimana dikutip oleh
al-Hafizh Ibn Hajar di dalam (فَتْحُ الْبَارِى)
Fath al-Bârî, menjelaskan, “Orang yang berjalan di dunia diserupakan
dengan orang asing yang tidak memiliki tempat tinggal. Kemudian Beliau
mengungkapkan perumpamaan yang lebih tinggi: diserupakan dengan orang yang
sedang menempuh perjalanan. Sebab, orang asing kadang kala tinggal di negeri
asing. Berbeda dengan orang yang menempuh perjalanan menuju negeri yang jauh;
sepanjang perjalanan itu terdapat lembah-lembah yang membinasakan, gurun-gurun
yang mencelakakan dan begal jalanan. Orang yang demikian tidak akan tinggal
walaupun sejenak. Oleh karena itu, Ibn Umar langsung menimpali dengan
kata-kata, “jika engkau ada di sore hari jangan menunggu pagi…”
Lalu sabda Rasul, (وَعُدَّ
نَفْسَكَ فِيْ اَهْلِ الْقُبُوْرِ) “wa ‘udda nafsaka fî
ahli al-qubûr, (hitunglah dirimu termasuk ahli kubur) maknanya
adalah, “Teruslah berjalan dan jangan engkau futur. Sesungguhnya jika
engkau lemah atau lalai maka engkau akan (فُتُر)
terhenti di tengah jalan (tidak sampai tujuan) dan binasa di lembah-lembah
itu.”
Imam
an-Nawawi di dalam Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah berkata, makna hadis
ini adalah, “Janganlah engkau cenderung pada dunia dan menjadikan dunia
sebagai tempat menetap. Jangan berbicara kepada dirimu sendiri bahwa engkau
akan menetap di dunia serta jangan mempertautkan diri dengan dunia sebagaimana
orang asing tidak akan menautkan diri dengan selain tanah airnya.”
Hadis ini
merupakan isyarat untuk membangkitkan sikap zuhud di dunia dan mengambil bagian
harta sekadar cukup untuk bekal (tidak berlebih). Sebagaimana seorang musafir
tidak membutuhkan lebih dari apa yang bisa mengantarkannya pada tujuan
perjalanannya, demikian pula seorang Mukmin di dunia; ia tidak akan membutuhkan
lebih dari apa yang bisa mengantarkannya pada tujuan (akhirat). Hadis ini
merupakan pokok dalam mendorong untuk mengambil jarak dengan dunia, bersikap
zuhud di dalamnya, memandang remeh dunia dan bersikap qanâ’ah dengan bagian
harta sekadar cukup untuk bekal hidup.
Hendaknya
kita selalu mengingat pesan Nabi saw ini. Hendaknya setiap kita selalu merasa
asing dengan dunia. Ia selalu ingat, bukan dunia ini tempat tinggal dia karena
di dunia ini ia adalah orang asing. Ia tidak akan membiarkan hatinya terjerat
oleh kecintaan pada tempat asing itu sehingga melupakan tanah air hakikinya.
Hatinya tidak cenderung pada dunia. Ia tidak akan menikmati keintiman dengan
dunia. Ia tidak akan bermesra-mesra dengan dunia. Hatinya tidak akan dia
biarkan tertambat pada dunia sehingga merasa berat untuk menjauhi dan
meninggalkannya. Sebaliknya, dunia baginya adalah sesuatu yang jauh lagi asing.
Karena itu, hatinya ringan untuk melepas dunia itu dan tidak berat hati untuk
meninggalkannya.
Hendaknya
kita pun selalu ingat bahwa kita di dunia ini hanyalah ‘numpang lewat’. Fase
kehidupan dunia ini hanyalah perjalanan untuk menuju ‘tanah air’ yang hakiki,
yaitu akhirat. Sebagai orang yang sedang lewat saja, maka ia tidak akan
berhenti berlama-lama, apalagi menetap. Ia pun tidak akan sibuk mengumpulkan
harta dan perbekalan karena itu bisa memalingkannya dari perjalanan atau
setidaknya menundanya. Selain itu, harta dan perbekalan yang terlalu banyak
akan memberatkan dan menjadi beban di perjalanan yang bisa-bisa justru
mencelakakannya. Sebaliknya, ia hanya mengambil harta dan perbekalan secukupnya
saja, tidak berlebih. Itu pun dilakukan sambil terus berjalan. Sebagai orang
yang sedang lewat, adalah tersesat jika ia justru menjadikan tempat singgah dan
jalan yang ia lalui sebagai tujuan itu sendiri dan memalingkannya dari tempat
tujuan yang hakiki.
Seorang
Mukmin tidak selayaknya menjadi pecinta dunia, pemburu harta dan pencari
kelezatan dunia. Sebaliknya. seorang Mukmin akan bersikap zuhud terhadap dunia
dan qanâ’ah dengan karunia Allah yang ia terima. Dunia baginya adalah sesuatu
yang asing dan tidak berharga. Ia jadikan dunia hanya sebagai jalan, wasilah
dan sarana untuk mencapai tempat tujuan, yaitu akhirat. Akhiratlah yang selalu
menjadi tambatan hatinya dan ujung angan-angannya. Wa mâ tawfîqu illâ billâh. [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/N0.101/Januari
2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar