Islam Menolak Paham Moderat
Tafsir QS al-Baqarah [2]: 143
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ
مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ
عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Demikian
pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil
dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Sesungguhnya pemindahan kiblat itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah Allah tunjuk. Allah tidak akan menyia-nyiakan
iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia. (QS al-Baqarah [2]: 143).
Sabab Nuzûl
Dikeluarkan
Ahmad, Abdun bin Humaid, at-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu
Hibban, ath-Thabarani, dan al-Hakim yang mensahihkannya, dari Ibnu
Abbas: Ketika Rasulullah saw menghadap ke arah kiblat (Ka‘bah),
mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang-orang yang
telah mati, sementara semasa hidupnya mereka shalat menghadap Bait
al-Maqdis.” Lalu turunlah firman Allah Swt.: Wamâ kânallâh liyudhî’a îmânakum.[1]
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wakadzâlika
ja‘alnâkum ummat[an] wasath[an] (Demikian pula Kami telah menjadikan
kalian sebagai umat yang adil dan pilihan). Huruf al-kâf berfungsi li
tasybîh (untuk menyatakan keserupaan). Ketika diletakkan pada ism
al-isyârah (dzâlika), keserupaan itu merujuk pada ayat sebelumnya.
Dengan demikian, kata tersebut memberikan makna: Sebagaimana Kami telah
memberikan nikmat kepada kalian berupa hidayah atau Kami telah
menunjukkan kalian pada awsath al-qiblah (kiblat terbaik), Kami juga
menjadikan kalian sebagai ummah wasath.[2]
Dalam bahasa Arab, kata wasath bermakna khiyâr (terbaik dan pilihan).[3] Menurut sebagian mufassir kata wasath dalam ayat ini pun bermakna khiyâr.[4]
Status sebagai umat terbaik itu tidak bisa dilepaskan dengan risalah
yang diberikan kepada mereka, Islam. Ibnu Katsir menyatakan, ketika umat
ini dijadikan sebagai ummah wasath, Allah mengkhususkan� mereka dengan syariah paling sempurna, manhaj paling lurus, dan madzhab paling jelas.[5]
Oleh karena itu, status mulia itu dapat disandang apabila mereka
menjalankan dan mengemban risalah tersebut. Makna ini juga sejalan
dengan firman Allah Swt.:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3]: 110).
Menurut Abu Said al-Khudri, Mujahid, Qatadah, dan al-Rabi, kata wasath dalam ayat ini berarti al-‘âdil.[6] Al-Qurthubi, Abu Hayyan, Ibnu ‘Athiyah, dan beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian.[7] Penafsiran tersebut merujuk pada penjelasan Rasulullah saw. yang diriwayatkan Abu Said dan Abu Hurairah ra., bahwa ummat[an] wasath[an] adalah ‘adl[an].[8] Tidak sedikit pula mufassir yang menghimpun dua makna itu, tanpa menolak salah satunya. Karena itu, kata wasath[an] dimaknai khiyâr[an] udûl[an] (pilihan dan adil).[9]
Kemulian
status yang diberikan kepada mereka itu bukan tanpa konsekuensi. Dalam
frasa berikutnya Allah Swt. menjelaskan tugas yang harus mereka emban: litakûnû syuhadâa ‘alâ an-nâs (agar kalian menjadi saksi atas [perbuatan] manusia). Kata syuhadâ’ adalah jamak dari kata syahîd, bentuk mubâlaghah dari kata syâhid. Status umat Islam sebagai umat yang adil dan pilihan membuat mereka amat tepat ditetapkan sebagai saksi atas seluruh manusia.
Dalam
frasa ini memang tidak dijelaskan dalam perkara apa mereka dijadikan
sebagai saksi dan kapan pelaksanaannya. Namun, jika dikaitkan dengan
frasa selanjutnya: wayakûna al-Rasûl ‘alaykum syahîd[an] (dan
agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas kalian) dapat dipahami, perkara
yang mereka dijadikan sebagai saksi adalah perkara dîn.
Sebagai rasul, tugas utama Muhammad saw. adalah menyampaikan risalah
kepada manusia. Karena Rasulullah saw. telah melaksanakan tugas
tersebut, Beliau bisa menjadi saksi atas umatnya. Sebagaimana Rasulullah
saw.—kata al-Qasimi—umat Islam pun bisa menjadi saksi atas manusia jika
mereka telah mengajak manusia pada kebenaran, menerangi mereka dengan
petunjuk, dan memberikan peringatan kepada mereka yang masih berada
dalam kebengkokan dan kesesatan.[10]
Adapun waktu pelaksanaannya, menurut sebagian besar mufassir, kesaksian itu akan diberikan kepada Allah Swt kelak di akhirat.[11] Di antara alasannya adalah firman Allah Swt.:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا
Bagaimanakah
(halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan seorang saksi
(rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad)
sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS an-Nisa’ [4]: 41).[12]
Patut dicatat, sekalipun ayat ini berbentuk khabar (kalimat berita), ia mengandung thalab (tuntutan), yakni umat Islam wajib menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam akan menjadi hujjah (saksi yang adil) bagi umat-umat lain.[13]
Selanjutnya
Allah Swt. menerangkan kembali tentang pensyariatan kiblat yang telah
disebut dalam ayat sebelumnya. Allah Swt berfirman: Wamâ ja‘alnâ al-qiblah al-latî kunta ‘alayhâ illâ lina’lama man yattabi’u al-Rasûl mimman yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh (Kami
tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar Kami
mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot).
Para ulama berbeda pendapat mengenai al-qiblah al-latî kunta ‘alayhâ. Sebagian mufassir seperti Ibnu Abbas, as-Sudi, dan Atha’ menyatakan, yang dimaksud adalah Bait al-Maqdis.[14] Az-Zamakhsyari, al-Alusi, dan an-Nasafi memaknainya Ka‘bah.[15]
Alasannya, karena Rasulullah saw. pertama kali shalat menghadap Ka‘bah,
kemudian diperintahkan menghadap Bait al-Maqdis, setelah diperintahkan
kembali menghadap Ka‘bah. Alasan lainnya, kata kunta bermakna al-hâl (sekarang).[16]Adapun kata yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh berarti kembali pada kekufuran, murtad.[17]
Ungkapan lina‘lama
tidak boleh dipahami bahwa Allah Swt. hanya mengetahui perkara yang
sudah terjadi. Sebab, Allah Swt. Maha Mengetahui semua perkara, baik
sebelum, sedang, maupun sesudah terjadi. Oleh karena itu, pengetahuan di
sini berkait erat dengan pahala dan dosa;[18] bahwa manusia bisa mendapatkan pahala dan dosa setelah terbukti dalam kenyataan. Untuk itu, manusia harus diuji ketaatannya.
Dengan
demikian, frasa ini dapat dipahami bahwa disyariatkannya kiblat, baik
yang dulu maupun yang sekarang, adalah untuk menguji manusia agar bisa
dibedakan dan dilihat dengan jelas, siapa yang tetap yakin dan konsisten
mengikuti segala perintah Rasulullah saw.; siapa yang membangkang,
berpaling, dan murtad dari agamanya.
Allah Swt. pun mengingatkan: Wa’in kânat lakabîrat[an] illâ ‘alâ al-ladzîna hadâllâh (Sesungguhnya hal itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah Allahi tunjuki). Kata kabîrah bermakna tsaqîlah syâqqah (sangat berat).[19] Kata tersebut merupakan khabar dari ism mahdzûf (subyek yang dihilangkan). Diperkirakan, kata yang hilang itu adalah tahwîlat al-qiblah (pengalihan kiblat). Dengan demikian, maknanya adalah: pengalihan itu benar-benar terasa amat berat� bagi
orang-orang yang ingkar. Sikap mereka berbeda dengan orang-orang yang
menerima petunjuk dan mau mengikutinya. Bagi mereka, semua yang Allah
dan Rasul-Nya perintahkan adalah haq dan wajib diikuti. Karena itu,
tidak ada keberatan bagi mereka untuk menaatinya.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wamâ kânallâh liyudhî’a îmânakum (Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian). Huruf al-lâm berfungsi li ta’kîd al-nafiyy (untuk
memperkuat penafian). Frasa ini memberikan pengertian, Allah tidak akan
menyia-nyiakan pahala keteguhan kalian dalam keimanan.[20] Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Barra’ bin ‘Azib, Qatadah, as-Sudi, dan para mufassir lain, yang dimaksud dengan kata iman di sini adalah shalat.[21] Kesimpulan tersebut didasarkan pada sabab nuzûl ayat ini, bahwa yang mereka kerjakan sebelum adanya perubahan kiblat tidaklah sia-sia.
Allah Swt. mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya: Innallâh bi an-nâs la Ra’ûf[un] Rahîm (Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia). Kedua kata itu memiliki makna yang sejalan. Kata ar-ra’ûf berasal dari kata ar-ra’fah. Kata ini bermakna asyaddu min al-rahmah (lebih dari rasa kasih).[22] Kata ar-rahîm berasal dari kata ar-rahmah.
Frasa ini menjadi catatan akhir, bahwa semua syariah yang ditetapkan
Allah merupakan wujud kasih sayang-Nya kepada manusia. Sudah sepatutnya,
manusia pun merespon setiap ketetapan yang berasal dari-Nya, baik
tampak menyenangkan atau sebaliknya.
Bukan Dalil untuk ‘Moderatisme’
Ayat ini sering digunakan sebagai dalil untuk mengesahkan paham moderat; sebuah paham yang selalu mencari jalan tengah (al-hall al-wasath)
dalam menyelesaikan semua persengketaan. Menurut paham ini, semua pihak
yang bersengketa, baik disebabkan oleh perbedaan kepentingan,
pemikiran, ataupun ideologi harus berkompromi dengan mencari jalan
tengah di antara keduanya. Keinginan untuk saling menang diganti dengan
konsep take and give.
Contohnya
adalah ketika ada sebagian masyarakat menuntut diterapkannya syariah
dalam kehidupan masyarakat, sementara sebagian lainnya menolak tuntutan
tersebut. Paham moderat mengharuskan adanya jalan tengah yang bisa
diterima oleh masing-masing pihak yeng bersengketa, tanpa dikaji manakah
di antara dua tuntutan itu yang benar. Solusi
jalan tengah itu tentu meniscayakan masing-masing pihak harus merelakan
sebagian tuntutannya. Seberapa besar tuntutannya dapat dituruti
bergantung pada kekuatan yang dimiliki oleh pihak yang bersengketa.
Semakin kuat posisinya, semakin besar pula bagian yang akan didapatkan.
Menurut propagandis paham moderat, ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat moderat. Sebab, wasath
berarti pertengahan antara dua kutub ekstrem yang saling bertentangan.
Paham moderat juga selalu berada di tengah dan mencari jalan tengah;
tidak berlebih-lebihan seperti kaum radikalis, namun juga tidak terlalu
menyepelakan seperti kaum liberalis. Demikian kata mereka.
Pengaitan ayat ini dengan paham moderat jelas amat keliru. Pengkajian
secara cermat dan obyektif terhadap ayat ini justru menunjukkan
pengertian yang bertolak belakang dengan paham moderat. Di antara
buktinya:
Pertama: makna kata wasath. Pada awalnya, kata wasath memang menunjuk pada tempat yang berada di tengah. Namun, sebagaimana telah terpapar, pengertian kata tersebut menurut penjelasan Rasulullah saw. adalah ‘adl.
Adil yang dimaksud tentu bukan dalam perspektif akal dan hawa nafsu
manusia, namun dalam perspektif syariah. Sebuah tindakan atau keputusan
hukum terkatagori adil manakala bersesuaian dengan syariah. Sebaliknya,
tindakan mengabaikan syariah, meski hanya sebagian—sebagaimana diserukan
oleh paham moderat dan konsekuensi jalan tengah—adalah tindakan zalim
dan fasik (lihat QS al-Maidah [5]: 45 dan 47); bahkan kalau diingkari,
bisa menyebabkan pelakunya jatuh dalam kekufuran (lihat QS al-Maidah
[4]: 44).�
Kedua: kewajiban mengikuti ketentuan syariah secara tulus karena Allah� (khâlish[an] lillâh). Ayat ini menjelaskan, penetapan syariah adalah hak Allah. Penggunaan dhamîr nâ dalam frasa wamâ ja’alnâ al-qiblah menunjukkan bahwa Allah-lah yang memiliki wewenang dalam menentukan arah kiblat. Manusia
wajib menaati ketetapan itu. Ketaatan tersebut harus tulus semata-mata
karena Allah Swt. Konsekuensinya, dia harus menaati apa pun ketetapan
syariah.
Penggunaan frasa yanqalibu ‘alâ ‘aqibayh—yang
berarti murtad dari agamanya dan kembali kepada kekufuran—untuk
menyebut orang-orang yang tidak mau mengikuti Rasulullah saw.
menunjukkan ketegasan ayat akan wajibnya mengikuti syariah. Penyebutan
orang yang tidak keberatan dengan ketentuan syariah sebagai orang yang
mendapatkan petunjuk (al-ladzîna hadâllâh) mengisyaratkan
tersesatnya orang yang keberatan dengan syariah. Dengan demikian, ayat
ini justru mewajibkan manusia untuk tunduk dan patuh pada semua perintah
dan larangan-Nya.
Walhasil, nyatalah bahwa kandungan ayat ini justru menolak paham moderat yang meniscayakan terabaikannya sebagian syariah.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
[1] � � Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1� (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 191-192. Al-Qurthubi dan az-Zuhaili
menyatakan, para ulama sepakat, ayat ini turun kepada orang yang mati
ketika mereka masih shalat menghadap Baitul Maqdis. sebagaimana
diriwayatkan al-Bukhari dari al-Barra’ bin ‘Azib. Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,� 1993; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 11.
[2] � � Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân, vol.
1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 420. Dengan sedikit
perbedaan redaksional, kesimpulan yang sama juga dikemukakan
al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 91.
[3] � � Ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 8.
[4] � � Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 197; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 87.
[5] � � Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 237.
[6] � � Ath-Thabari, Jâmi‘ al- Bayân, vol. 2, 8.
[7] � � Al-Qurthubi, Op. cit., 104; Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 595; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 219; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 164.
[8] � � As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 265; ath-Thabari, Op. cit., vol. 2, 9. At-Tirmidzi menyatakan, hadis dari Abu Said itu hasan sahih. Lihat: al-Qurthubi, Ibid., 104.
[9] � � Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1 (Qathar: Idârat Ihyâi al-Turats, 1989), 300; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1� (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 225; asy-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 45; asy-Syaukani, Op. cit., 188; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 125; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 300.
[10] � Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 1� (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 415.
[11] � Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ânî at-Tanzîl, vol. 1� (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,� 1995), 87; as-Suyuthi, Op. cit., 265; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1, 404; asy-Syaukani, Op. cit., 189; al-Qinuji, Op. cit., 300; asy-Syatqithi, Adhwâ’ al-Bayân, 45.
[12] � Nizhamuddin an-Naisaburi, Op. cit., 421.
[13] � Abdul Qadim Zallum, Mafâhîm Khathirah li Dharb al-Islâm wa Tarkîz al-Hadhârah al-Gharbiyyah (tt: Hizbut tahrir, 1998), 38.
[15] � Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1, 199; al-Alusi, Op. cit., 404; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 1, 88
[18] � Al-Baghawi, Al-Ma‘âlim at-Tanzîl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 83; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993), 120. �
[19] � Az-Zamakhsyari, Op. cit., 199; al-Biqai, Nazhm ad-Durrar, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 264; Nizhamuddin an-Naisaburi, Op. cit., 424; an-Nasafi, Op. cit., � 88; al-Qasimi, Op. cit., 415.
[21] � Ibnu al-Athiyah, Op. cit., 219; al-Alusi, Op. cit., 406. Yang berpendapat sama juga Ibnu Katsir, Op. cit., 239 dan Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1, 300.
[22] � Al-Qurthubi, Op. cit., 107; asy-Syaukani, Op. cit., 190, an-Nasafi, Op. cit., vol. 1, 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar