TAKWA DIMANA DAN KAPAN SAJA?
اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ
النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ .
Bertakwalah kepada Allah dimana dan kapan saja kalian berada,
ikutilah keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya dan pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik.
(HR Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Bazzar, al-Hakim dan
al-Baihaqi)..
Imam Ahmad
mengeluarkan hadits ini dari waki', Abdurrahman bin Mahdi dan Yahya bin Said.
Ad-Darimi di dalam Sunan-nya mengeluarkannya dari Nuaim. At-Tirmidzi
mengeluarkannya dari Muhammad bin Basyar dari Abdurrahman bin Mahdi; dan dari
Mahmud bin Ghailan dari Abu Ahmad dan Abu Nuaim. Al-Bazzar di dalam Musnad-nya
mengeluarkan hadits ini dari Muhammad bin Basyar, dari Abdurrahman bin Mahdi. Al-Hakim meriwayatkannya dalam Al-Mustadrak
dari Abu Amru Utsman bin Ahmad as-Samak, dari Hasan bin Salam dari Qabishah;
dan dari Abu al-Abbas bin Ahmad bin Muhammad al-Mahbubi dari Ahmad bin Yasar
dari Muhammad bun Katsir. Semuanya
(Waki', Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Said, Abu Nuaim, Abu Ahmad
az-Zubairi, Qabishah dan Muhammad bin Katsir) dari Sufyan, dari Habib bin Abi
Tsabit, dari Maimun bin Abi Syabib, dan dari Abu Dzar, ra.
At-Tirmidzi
berkata, hadits ini hasan shahih. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih
menurut syarat syaikhayn, tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya.
Penilaian al-Hakim disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Hadits ini juga
dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman. Abdurrazaq dalam mushannaf
, ath-Thabrani dalam Mu'jam al-Kabir; semuanya bersumber dari penuturan
Muadz bin Jabal.
Makna Hadits
Inilah
wasiat yang disampaikan Nabi saw. kepada Abu Dzar dan Muadz bin Jabal. Wasiat
ini merupakan wasiat yang lengkap, meliputi hak Allah, hak diri sendiri dan hak
sesama. Ada tiga pesan:
Prtama; (اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ)
ittaqillaah haytsumaa kunta. Bertakwalah kalian dimana dan kapan saja. Takwa
asalnya adalah melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti. Takwa kepada Allah
artinya melindungi diri dari kemarahan, kemurkaan, ketidakridhaan dan sanksi
atau azab dari Allah, yaitu dengan menjalankan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan kepada-Nya. Kesempurnaan takwa itu jika memenuhi tiga tingkatan;
1.
Melaksanakan yang diwajibkan dan meninggalkan yang diharamkan.
Menurut al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz, orang yang bertakwa adalah yang
meninggalkan apa yang diharamkan dan menunaikan apa yang diwajibkan. Inilah
pokok takwa.
2.
Melaksanakan yang sunnah dan meninggalkan yang makruh.
3.
Meninggalkan sesuatu yang halal karena khawatir akan terjerumus
pada yang haram. 'Seseorang tidak akan mencapai derajat muttaqin (yang
sempurna) hingga ia meninggalkan apa saja yanag boleh karena khawatir akan
terjatuh pada apa yang tidak boleh." (HR at-Tirmidzi). Al-Hasan
mengatakan, "Tidaklah ketakwaan akan terus melekat pada seorang muttaqin
hingga ia meninggalkan banyak hal yang halal karena takut terjatuh pada yang
haram." Musa bin A'yan berkata, "Muttaqin adalah mereka yang
menjauhi hal-hal halal karena takut terjatuh pada yang haram."
Takwa harus
diwujudkan dimana saja dan kapan saja karena lafal (حَيْثُ) haytsu menunjuk tempat
maupun waktu. Jadi takwa itu harus dilakukan dimana dan kapan saja, ketika
dilihat orang ataupun saat tidak ada orang yang tahu. Takwa itu semata didorong
rasa takut atas kemurkaan dan azab Allah serta berharap ridha dan pahala
dari-Nya serta keyakinan bahwa Allah Mahatahu. Untuk itu menurut Ibnu Rajab,
pokok takwa itu adalah mengetahui apa yang harus ditakuti (dijaga/dilindungi)
kemudian menjaganya.
Implementasi takwa itu adalah
terikat dengan syari'ah. Tentu pengetahuan akan hukum-hukum syari'ah dari semua
yang kita jalani adalah syarat mutlak. Tanpa itu takwa tidak akan terealisasi. Karena itu, pertanyaan berikut harus dijawab sebelum
melakukan apapun; boleh atau tidak; halal atau haram; Allah ridha atau tidak,
bagaimana melakukannya menurut syari'ah; syubhat atau tidak, dsb. Jika
pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering lewat, diabaikan atau bahkan tidak terpikirkan,
maka na'udzu billah min dzalik.
Kedua; (وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا)
wa atbi'i as-sayyi,ah al-hasanah tamhuha. (اَلسَّيِّئَة) As-sayyi,ah adalah semua bentuk
kemaksiatan baik besar maupun kecil. (اَلْحَسَنَة) Al-hasanah adalah semua bentuk
ketaatan, termasuk di dalamnya tobat. Maksud pesan Nabi saw. ini, jika kita
melakukan keburukan maka hendaknya segera dengan sengaja melakukan kebaikan,
karena kebaikan itu akan menghilangkan keburukan,
وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذٰلِكَ
ذِكْرَى لِلذَّاكِرِيْنَ ١١٤
dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat. (QS Hud [11]: 114).
Kebaikan
bisa menjadi kafarat (penebus) keburukan (dosa). Namun, tidak semua
keburukan bisa dihapus dengan sembarang kebaikan. Keburukan dan kebaikan
bertingkat-tingkat. Suatu keburukan akan dihapus oleh kebaikan yang setara atau
yang lebih besar. Makin besar keburukan, untuk menghapusnya perlu dilakukan
kebaikan yang makin besar pula. Dosa besar hanya bisa dihapus dengan tobat nashuha.
Penghapusan keburukan ini bukan hanya di hadapan Allah, tetapi juga di hadapan
manusia. Ketika suatu kesalahan atau keburukan dilakukan kepada seseorang, lalu
pelakunya segera menyusulinya dengan kebaikan kepada orang yang sama dengan
kebikan yang setara atau lebih besar, maka kebaikan itu bisa menghapus pengaruh
keburukan sebelumnya dalam diri orang yang menjadi korban.
Ketiga; (وَخَالِقِ النَّاسَ
بِخُلُقٍ حَسَنٍ) wa khaliqi an-nas bi khuluqin hasanin, bergaullah dan perlakukan manusia dengan pergaulan dan
perlakuan yang baik, yaitu pergaulan dan perlakuan menurut syari'ah berikut
sifat dan keadaan yang dituntut oleh syara', khuluqin hasanin itu di
antaranya dengan memperlakukan secara adil, memberikan kebaikan dan menghalangi
ancaman, tetap berbuat kebaikan dengan berbagai macamnya meski mereka
memperlakukan secara buruk. Pergaulan yang baik itu (khuluqin hasanin)
di antaranya tercermin dalam memperlakukan orang lain seperti yang kita sukai
mereka perlakukan kepada kita. (وَاللهُ اَعْلَمُ بِالصَّوَابِ). [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/N0.98/Oktober 2009]
Barakallah penulis, jazakallahu khairan
BalasHapusTrimaksih..boleh di copy paste ya
BalasHapusIjin share copy
BalasHapusSyukron Tadz pencerahannya. Jazakalloh khoiron
BalasHapus