قَالَ
اللّٰهُ
، كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ اِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَاَنَا أَجْزِى بِهِ ، وَالصِّيَامُ
جُنَّةٌ وَاِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثُ وَلَا يَصْخَبُ فَاِنْ
سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ ، وَالَّذِى
نَفْسِ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللّٰهِ
مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ ،
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ
رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ .
Allah Swt. berfirman, “Setiap amal anak Adam
untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya itu untuk-Ku dan Aku yang akan
mengganjarnya. Puasa itu adalah perisai. Jika datang hari puasa seseorang di
antara kalian maka janganlah ia berkata rafats dan jangan memaki; jika ada orang
mencacinya atau memancingnya berkelahi, hendaknya ia berkata, ‘Aku sedang
berpuasa.’” Demi Zat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut
orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada wangi misik. Orang yang
berpuasa memiliki dua kebahagiaan; jika ia berbuka, ia berbahagia; dan jika
bertemu Tuhannya, ia berbahagia karena puasanya
(HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah dan Ahmad)
Hadis ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari
dalam Shahîh-nya, kitab ash-Shawm dan Imam Muslim dalam Shahîh-nya, kitab
ash-Shiyâm bab Fadhl ash-Shawm, Imam an-Nasai dalam Sunan-nya kitab ash-Shiyâm,
Ibn Majah di Sunan-nya dan Imam Ahmad di Musnad-nya. Semuanya berasal dari
penuturan Abu Hurairah ra.
Makna Hadis
Hadis ini
menunjukkan keistimewaan dan keutamaan puasa. Abu Umamah menuturkan, ia
bertanya kepada Rasul saw. tentang amal yang bisa mengantarkannya ke surga.
Rasul menjawab:
عَلَيْكَ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا عِدْلَ لَهُ .
Engkau harus berpuasa,
sesungguhnya tidak ada yang sebanding dengannya (HR Ahmad, an-Nasai, Ibn
Hibban, Ibn Khuzaimah, Ibn Abi Syaibah dan ath-Thabrani).
Amal
selain puasa adalah milik manusia, sedangkan puasa adalah milik Allah. Terdapat
minimal sepuluh penafsiran dalam hal ini. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar
al-‘Ashqalani, dua yang lebih tepat, yaitu: Pertama, karena puasa tidak bisa
dicemari riya seperti yang terjadi pada amal lainnya. Abu Ubaid mengatakan:
“Itu karena amal lainnya terjadi dengan gerakan, kecuali puasa. Puasa tidak
lain dengan niat yang tidak tampak oleh orang.” Penafsiran ini juga dipilih
oleh al-Maziri, Ibn al-Jawzi dan al-Qurthubi. Kedua, karena amal lainnya
diungkap kepada manusia kadar pahalanya, sedangkan puasa tidak dan hanya Allah
yang mengetahuinya. Abu Hurairah menuturkan, Rasul saw. bersabda:
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ ،
اَلْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا اِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، قَالَ اللّٰهُ
عَزَّ وَجَلَّ : اِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ …
Setiap amal anak Adam
dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisalnya
sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya
puasa itu untuk-Ku dan Aku yang menentukan ganjarannya… (HR Muslim, an-Nasai,
ad-Darimi dan al-Baihaqi).
Berikutnya
dinyatakan, puasa adalah perisai. Utsman bin Abi al-‘Ash menuturkan, Rasul saw.
pernah bersabda:
اَلصَّوْمُ
جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ كَجُنَّةِ أحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ .
Puasa adalah perisai dari
neraka seperti perisai salah seorang kalian dari peperangan (HR Ahmad,
an-Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban dan Ibn Abi Syaibah).
Hal itu
karena puasa mengekang syahwat dan hawa nafsu, sedangkan neraka itu diliputi
oleh hal-hal yang menarik syahwat dan hawa nafsu. Ketika syahwat dan hawa nafsu
itu dikekang oleh puasa, maka itu telah membentengi atau melindungi orang yang
berpuasa dari neraka.
Hendaknya
setiap orang memperhatikan tercapainya puasa sebagai perisai ini. Karena itu,
siapa yang berpuasa jangan berkata rafats (رَفَث) dan jangan yashkhab (يَصْخَب). Rafats (رَفَث) yaitu (كَلَامُ
الْفَاخِشِ) kalâm al-fâkhisy
(kata-kata keji), termasuk zina dan hal-hal yang mendekati zina. Yashkhab (يَصْخَبُ) artinya berteriak memaki, mencaci atau
memperolok-olok, sebagaimana dalam hadis lain dikatakan (فَلَا
يَشْخَر) falâ yasykhar (jangan
mengejek/memperolok). Bahkan ketika ada yang mencacinya atau mengajaknya
berkelahi maka hendaknya ia mengatakan, “Aku sedang berpuasa.” Menurut
an-Nawawi, itu diucapkan kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain itu.
Kata-kata itu diucapkan supaya menghalangi diri orang yang berpuasa itu untuk
balas mencaci atau berkelahi, di samping bisa jadi membuat orang lain itu sadar
diri dan berhenti.
Kemudian
terdapat dorongan memperbanyak puasa meski menyebabkan bau mulut:
(لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ
أَطْيَبُ عِنْدَ اللّٰهِ
مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ) “la
khulûf famm ash-shâim athyab ‘inda Allâh min rîh al-misik”. Ini merupakan (مَجَاز
اِسْتِعَارَة) majâz isti’ârah.
Wangi di sisi Allah, menurut al-Khathabi, maknanya adalah keridhaan Allah
kepadanya dan pujian atasnya. Menurut al-Baghawi, maknanya adalah pujian kepada
orang yang berpuasa dan keridhaan terhadap perbuatan puasanya itu. Penafsiran
serupa juga disampaikan oleh al-Quduri dari Hanafiyah, ad-Dawudi dan Ibn
al-‘Arabi dari Malikiyah, Abu Utsman ash-Shabuni dan Abu Bakar as-Sam’ani dari
Syafiiyah.
Selanjutnya
Rasul saw. bersabda: li ash-shâim farhatân, idzâ afthara fariha wa idzâ laqiya
rabbahu fariha bishawmihi. (لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ
يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ) Ada dua kebahagiaan bagi yang berpuasa.
Kebahagian saat berbuka, karena telah hilangnya rasa lapar dan haus; karena
kelezatan makanan dan minuman yang dirasakan saat berbuka; juga karena telah
sempurna puasanya hari itu, lengkap ibadahnya, adanya keringanan dari Allah dan
berharap mendapat bantuan untuk menjalankan puasa berikutnya.
Kebahagiaan
berikutnya adalah saat bertemu Allah, tidak ada yang lain kecuali mendapatkan
kenikmatan di Surga. Allah telah menyediakan satu pintu khusus bagi orang yang
berpuasa, yaitu pintu (اَلرَّيَان) ar-Rayân; tidak ada yang memasukinya kecuali orang yang
berpuasa. Kebahagiaan ini bisa karena puasanya diterima oleh Allah dan mendapat
pahala yang berlipat-lipat; bisa juga karena puasa itu menjadi pemberi syafaat
kepada orang yang melakukannya, sebagaiman al-Quran akan menjadi pemberi
syafaat bagi pembaca dan pengamalnya. Abdullah bin Amru bin al-’Ash menuturkan
bahwa Rasul bersabda:
الصِّيَامُ
وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، يَقُولُ
الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ
فَشَفِّعْنِي فِيهِ ،
وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ ، قَالَ
فَيُشَفَّعَانِ .
Puasa dan al-Quran akan
memberikan syafaat kepada hamba. Puasa berkata: “Tuhanku, aku telah menghalanginya
dari makanan dan syahwat pada siang hari. Karena itu, izinkan aku memberi
syafaat kepadanya.” Al-Quran berkata, “Aku telah menghalanginya tidur pada
malam hari. Karena itu, izinkan aku memberi syafaat kepadanya.” Rasul bersabda,
“Lalu keduanya dizinkan memberi syafaat (HR Ahmad, ath-Thabrani dan al-Hakim).
Hendaknya
kita memuliakan diri kita dengan ibadah puasa. Puasa merupakan ibadah yang
sangat istimewa dan utama. Puasa merupakan perisai, membungkam syahwat dan hawa
nafsu, penebus dosa-dosa, dan pemberi syafaat kepada pelakunya pada Hari Kiamat
kelak. Bagi orang yang berpuasa terdapat pintu khusus di Surga, yaitu pintu
ar-Rayân, siapa yang memasukinya tidak haus selamanya. Semua keutamaan dan
keitimewaan puasa itu terhimpun di dalam hadis penuturan Abu Hurairah di atas.
Ibn Abdil
Barr mengatakan bahwa andai tidak ada hadis lain yang menyebutkan keutamaan
puasa, maka hadis ini sudah cukup. Karenanya, benar adanya bahwa puasa adalah
ibadah yang sangat istimewa dan utama; tidak ada yang semisal dan yang
sebanding seperti yang dinyatakan di dalam hadis Abu Umamah di atas. Sesuai
dengan semua keistimewaan itu, hasil puasa tidak ada lain kecuali pelakunya
dimasukkan ke Surga. Hudzaifah ra. menuturkan:
مَنْ
خُتِمَ لَهُ بِصِيَامِ يَوْمٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ .
Siapa yang ditutup usianya
dengan puasa satu hari, ia akan masuk surga (HR Ahmad dan al-Bazar).
Maknanya, siapa saja yang
meninggal dalam keadaan sedang berpuasa atau setelah berbuka dari puasanya hari
itu, dia akan masuk surga.
Karena
puasanya, orang yang berpuasa itu pantas mendapat kemuliaan dari Allah dengan
dikabulkan doanya. Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
ثَلاَثَةٌ
لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ .
Tiga golongan yang doanya
tidak ditolak: imam yang adil; orang yang berpuasa hingga berbuka; dan doa
orang yang terzalimi (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ibn Khuzaimah). Wallâh a‘lam bi
ash-shawâb. [Al-Wa'ie/Hadits/Pilihan/No.97/September 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar