أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى
اللّٰهُ
عَلَيۡهِ
وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ .
Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai
tampak kelayakannya (HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn
Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin
Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin; semuanya dari
Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur
Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari
Rawh, dan keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru
bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari Siblun,
dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn Abbas. An-Nasai
meriwayatkannya dari Qutaibah bin Said, dari Sufyan dari az-Zuhri, dari Salim,
dari Ibn Umar.
Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari
Ibn Juraij, dari ‘Atha’, dari Jabir bin Abdullah.
Makna
Hadits
(مَنْطُوْق) Manthûq
(makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (اَلثَّمَر / ats-tsamar [hasil tanaman]) yang masih berada di pohonnya
jika belum mulai tampak kelayakannya.
Sebaliknya, (مَفْهُوْم المُخَالَفَة) mafhûm al-mukhâlafah (pemahaman kebalikannya) hadis ini
menunjukkan bolehnya menjual buah yang masih di pohonnya jika sudah mulai
tampak kelayakannya.
Maksud (يَبْدُوَ صَلَاحُهُ) yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya)
dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. Dikatakan
(حَتَّى
يَطِيْبَ) “hatta yathîba (hingga masak)” (HR
al-Bukhari dan Muslim), atau (حَتَّى يُطْعَمَ) “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan
an-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain,
Jabir ra., menuturkan:
نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيۡهِ
وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيْلَ وَمَا تُشْقِحُ
قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا .
Nabi saw.
melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau
menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibn ‘Abbas
menuturkan:
نَهَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيۡهِ
وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ
وَحَتَّى يُوْزَنَ .
Nabi saw.
telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa makan
darinya dan hingga bisa ditimbang (HR al-Bukhari).
Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual adalah
jika sudah layak dimakan. Tanda-tanda
buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu
telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
أَنَّ
رَسُوْلَ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيۡهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ
حَتَّى يَشْتَدَّ .
Rasulullah
saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual
biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud).
Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama:
buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa
masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dsb.
Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah
cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak
tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis
ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua
untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya.
Kedua, buah-buahan yang harus dipetik
ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan
sejenisnya. Jika sudah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual.
Batas tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman
tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun,
buncis, kacang panjang, dsb, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah,
maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini,
jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual. Adapun jenis
biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesuai hadis
Anas di atas, sudah boleh dijual ketika sudah keras.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi
pada seluruh buah di kebun. Hal itu adalah sangat sulit. Sebabnya, buah di satu
kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan
tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara
bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Karena itu, maksud (يَبْدُوَ صَلَاحُهُ) yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada sebagian buah
sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual
semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak
dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misalnya jika sudah
ada sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu
boleh dijual. Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka
seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih
muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka
semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian tongkol
jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh
dijual. Begitulah.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca
seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib
menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya
kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
إِنْ
بِعْتَ مِنْ أَخِيْكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلَا يَحِلُّ لَكَ أَنْ
تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَا تَأْخُذُ مَالَ أَخِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ .
Jika
engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal
bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta
saudaramu tidak secara haq (HR Muslim, Abu Dawud
dan an-Nasa’i).
Namun, jika bencana itu bukan bencana cuaca seperti pencurian,
kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dsb, maka penjual
tidak harus melepaskan harganya. Bencana seperti itu tidak termasuk dalam
cakupan makna hadis tersebut. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Al-Wa’ie/Hadits
Pilihan/No.94/Juni 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar