TINGGALKAN YANG MERAGUKAN
دَعْ
مَا يَرِيْبُكَ اِلٰي
مَالَا يَرِيْبُكَ .
Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju
pada apa yang tidak meragukanmu
(HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i,
ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim dan Ibn Khuzaimah)
Hadis
ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Yahya ibn Sa’id, dan dari Muhammad
ibn Ja’far; oleh ad-Darimi dari Said ibn Amir; oleh at-Tirmidzi
dari Abu Musa al-Anshari, dari Abdullah ibn Idris dan dari Muhammad ibn Ja’far
al-Makhrami; oleh an-Nasa’i dari Muhammad ibn Aban, dari Abdullah ibn
Idris; oleh Ibn Khuzaimah dari Bundar dan Abu Musa dari Muhammad ibn
Ja’far; oleh Ibn Hibban dari Muhammad ibn Ahmad ibn Abi ‘Awn, dari Ahmad
ibn al-Hasan at-Tirmidzi, dari Mu’amal ibn Ismail dari Syu’bah; oleh al-Hakim
dari Ahmad ibn Kamil, dari Abdul Malik ibn Muhammad dari Said ibn Amir dan Afan
dari Syu’bah, dan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ya’qub dari Yahya ibn
Muhammad, dari Musadad. Keenamnya (Yahya Ibn Said, Muhammad ibn Ja’far, Sa’id
ibn Amir, Abdullah Ibn Idris, Syu’bah, Musadad) dari Buraid ibn Abi Maryam,
dari Abu al-Hawra’ as-Sa’di –namanya adalah Rabi’ah ibn Syaiban- dari al-Hasan
bin Ali ibn Abi Thalib ra. dari Nabi saw. Imam at-Tirmidzi berkata, “Ini adalah
hadis hasan sahih.” Al-Hakim mengatakan, “Hadis ini sanadnya sahih meskipun
Imam al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.”
Dalam
riwayat at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Ibn Khuzaimah hadis itu masih ada
kelanjutannya yaitu:
.... فَإِنَّ
الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ .
Kejujuran itu menenteramkan, sedangkan kebohongan menimbulkan rasa
was-was.
Dalam
riwayat Ibn Hibban dan al-Hakim kelanjutannya adalah:
.... فَإِنَّ
الْخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ .
Kebaikan itu menentramkan, sedangkan keburukan menimbulkan rasa
was-was.
Hadis
ini merupakan salah satu pokok ajaran Islam untuk perilaku seorang Muslim agar
tidak terjatuh pada pelanggaran dan maksiat. Hadis ini adalah salah satu hadis
yang memberi tuntunan menghadapi syubhat.
Al-Minawi
di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan: Da’ mâ yarîbuka, (دَعْ
مَا يَرِيْبُكَ) yaitu tinggalkan apa
yang engkau ragu keberadaannya sebagai terpuji atau tercela, halal atau haram; ilâ
mâ lâ yarîbuka (اِلٰي
مَالاَ يَرِيْبُكَ) yaitu beralihlah pada
apa yang tidak ada keraguan di dalamnya, yakni apa yang engkau yakini
keterpujian dan kehalalannya. Fa inna ash-shidqa / al-khayr thuma’nînah,
(الْخَيْرَ
طُمَأْنِيْنَةٌ /فَإِنَّ
الصِّدْقَ ) yaitu hati merasa tenteram karena
kejujuran atau kebaikan dan merasa tenang, artinya di dalamnya ada tempat dan
sebab ketenteraman. Wa inna al-kadziba/asy-syarr rîbatun, (وَإِنَّ
الْكَذِبَ /
الشَّرَّ
رِيْبَةٌ) yaitu kebohongan atau keburukan itu
membuat hati gelisah merasa was-was dan merasa kacau.
Ath-Thayibi
berkata: Maknanya, jika engkau mendapati jiwamu merasa was-was tentang sesuatu
maka tinggalkanlah, sebab hati seorang Mukmin itu merasa tenteram karena
kejujuran dan kebaikan dan merasa was-was karena kebohongan dan keburukan. Rasa
was-wasmu karena sesuatu mengabarkan keberadaan sesuatu itu mengarah pada
kebatilan, maka hati-hatilah; sedangkan ketenteramanmu karena sesuatu
mengabarkan kebenarannya, maka pegangilah.
Ibn
Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam mengatakan, “Makna hadis
ini kembali pada sikap berhenti pada saat menghadapi syubhat dan menjaga diri
darinya. Sebab, yang halal murni itu tidak akan melahirkan was-was dan gelisah
di hati seorang Mukmin. Sebaliknya, jiwanya akan tenang karena yang halal itu
dan hatinya tenteram karenanya. Adapun syubhat akan melahirkan kegelisahan dan
rasa was-was di hati akibat dari keraguan—akan kehalalannya.”
Namun,
para ulama mengingatkan bahwa kegelisahan dan ketenteraman hati bisa dijadikan
pertanda yang mengarah pada kebatilan atau kebenaran itu hanya terjadi pada
orang yang kondisinya lurus dan istiqamah, yang hatinya dipenuhi nuansa
keimanan dan ia senantiasa taat. Artinya, itu adalah hati seorang Mukmin; bukan
hati orang yang suka bermaksiat atau hati orang kafir. Bahkan hati orang biasa
saja atau orang kebanyakan tidak bisa dijadikan patokan dalam hal itu.
Dengan
demikian, manthuq hadis ini memerintahkan untuk meninggalkan apa saja—baik
perkataan, perbuatan, muamalah, benda atau sesuatu—jika kita ragu akan status
hukumnya, termasuk kebenaran atau kebatilan, halal ataukah haram.
Adapun
mafhum hadis ini memerintahkan kita agar hanya mengambil sesuatu atau melakukan
suatu perbuatan atau muamalah kalau kita tidak syakk (ragu atau bimbang) lagi
bahwa sesuatu itu halal dan terpuji. Kondisi itu kita peroleh jika kita sudah
sampai pada dugaan kuat (ghalabah azh-zhann/ غَلَبَةُ
الظَّنِّ) atau keyakinan (yaqîn)—bergantung pada
nas dan obyeknya—bahwa sesuatu itu halal atau terpuji. Dengan begitu, hati kita
akan merasa tenteram dan tenang ketika mengambil sesuatu itu atau mengerjakan
perbuatan atau muamalah tersebut. Sebab kita, sudah mendapat dugaan kuat
(ghalabah azh-zhann) atau keyakinan (yaqîn) bahwa kita mengambil atau melakukan
sesuatu yang halal dan diridhai oleh Allah dan bahwa kita tidak bermaksiat.
Karena itu, hati pun akan tenteram dan tenang.
Jika
sesuatu yang diragukan saja diperintahkan untuk ditinggalkan, maka tentu
sesuatu yang sudah jelas keharamannya harus ditinggalkan. Sesuatu yang sudah
jelas haram, jika diambil, sudah jelas pula akan mengakibatkan rasa was-was dan
kegelisahan hati, dan ketenteraman serta ketenangan pun jelas jauh dari hati
yang seperti itu.
Hadis
ini juga mengandung perintah agar kita membangun semua urusan kita tidak di
atas (رِيْبَة) rîbah atau (شَكّ) syakk (keraguan). Sebab, kita diperintahkan untuk
mengambil apa yang tidak meragukan atau yang di dalamnya tidak mengandung
syakk.
Lalu
bagaimana hal itu kita wujudkan? Tentu saja kita harus mencari tahu status
hukum sesuatu atau perbuatan dan muamalah yang kita hadapi. Jika kita belum
tahu atau pengetahuan kita masih belum cukup sehingga kita masih ragu dan
bimbang maka kita harus menahan diri tidak mengambil atau melakukannya sampai
kita tidak ragu lagi, yaitu sampai kita memiliki dugaan kuat (ghalabah
azh-zhann) atau yakin (yaqîn) sesuatu atau perbuatan dan muamalah itu adalah
halal. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/N0.122/Oktober 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar