Kamis, 13 November 2014

TINGGALKAN YANG MERAGUKAN



TINGGALKAN YANG MERAGUKAN

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ اِلٰي مَالَا يَرِيْبُكَ .
Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju pada apa yang tidak meragukanmu
(HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, ad-Darimi, Ibn Hibban, al-Hakim dan Ibn Khuzaimah)

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Yahya ibn Sa’id, dan dari Muhammad ibn Ja’far; oleh ad-Darimi dari Said ibn Amir; oleh at-Tirmidzi dari Abu Musa al-Anshari, dari Abdullah ibn Idris dan dari Muhammad ibn Ja’far al-Makhrami; oleh an-Nasa’i dari Muhammad ibn Aban, dari Abdullah ibn Idris; oleh Ibn Khuzaimah dari Bundar dan Abu Musa dari Muhammad ibn Ja’far; oleh Ibn Hibban dari Muhammad ibn Ahmad ibn Abi ‘Awn, dari Ahmad ibn al-Hasan at-Tirmidzi, dari Mu’amal ibn Ismail dari Syu’bah; oleh al-Hakim dari Ahmad ibn Kamil, dari Abdul Malik ibn Muhammad dari Said ibn Amir dan Afan dari Syu’bah, dan dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ya’qub dari Yahya ibn Muhammad, dari Musadad. Keenamnya (Yahya Ibn Said, Muhammad ibn Ja’far, Sa’id ibn Amir, Abdullah Ibn Idris, Syu’bah, Musadad) dari Buraid ibn Abi Maryam, dari Abu al-Hawra’ as-Sa’di –namanya adalah Rabi’ah ibn Syaiban- dari al-Hasan bin Ali ibn Abi Thalib ra. dari Nabi saw. Imam at-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadis hasan sahih.” Al-Hakim mengatakan, “Hadis ini sanadnya sahih meskipun Imam al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Ibn Khuzaimah hadis itu masih ada kelanjutannya yaitu:
.... فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ .
Kejujuran itu menenteramkan, sedangkan kebohongan menimbulkan rasa was-was.
Dalam riwayat Ibn Hibban dan al-Hakim kelanjutannya adalah:
.... فَإِنَّ الْخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَإِنَّ الشَّرَّ رِيْبَةٌ .
Kebaikan itu menentramkan, sedangkan keburukan menimbulkan rasa was-was.
Hadis ini merupakan salah satu pokok ajaran Islam untuk perilaku seorang Muslim agar tidak terjatuh pada pelanggaran dan maksiat. Hadis ini adalah salah satu hadis yang memberi tuntunan menghadapi syubhat.
Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan: Da’ mâ yarîbuka, (دَعْ مَا يَرِيْبُكَ) yaitu tinggalkan apa yang engkau ragu keberadaannya sebagai terpuji atau tercela, halal atau haram; ilâ mâ lâ yarîbuka (اِلٰي مَالاَ يَرِيْبُكَ) yaitu beralihlah pada apa yang tidak ada keraguan di dalamnya, yakni apa yang engkau yakini keterpujian dan kehalalannya. Fa inna ash-shidqa / al-khayr thuma’nînah, (الْخَيْرَ طُمَأْنِيْنَةٌ /فَإِنَّ الصِّدْقَ ) yaitu hati merasa tenteram karena kejujuran atau kebaikan dan merasa tenang, artinya di dalamnya ada tempat dan sebab ketenteraman. Wa inna al-kadziba/asy-syarr rîbatun, (وَإِنَّ الْكَذِبَ / الشَّرَّ رِيْبَةٌ) yaitu kebohongan atau keburukan itu membuat hati gelisah merasa was-was dan merasa kacau.
Ath-Thayibi berkata: Maknanya, jika engkau mendapati jiwamu merasa was-was tentang sesuatu maka tinggalkanlah, sebab hati seorang Mukmin itu merasa tenteram karena kejujuran dan kebaikan dan merasa was-was karena kebohongan dan keburukan. Rasa was-wasmu karena sesuatu mengabarkan keberadaan sesuatu itu mengarah pada kebatilan, maka hati-hatilah; sedangkan ketenteramanmu karena sesuatu mengabarkan kebenarannya, maka pegangilah.
Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam mengatakan, “Makna hadis ini kembali pada sikap berhenti pada saat menghadapi syubhat dan menjaga diri darinya. Sebab, yang halal murni itu tidak akan melahirkan was-was dan gelisah di hati seorang Mukmin. Sebaliknya, jiwanya akan tenang karena yang halal itu dan hatinya tenteram karenanya. Adapun syubhat akan melahirkan kegelisahan dan rasa was-was di hati akibat dari keraguan—akan kehalalannya.”
Namun, para ulama mengingatkan bahwa kegelisahan dan ketenteraman hati bisa dijadikan pertanda yang mengarah pada kebatilan atau kebenaran itu hanya terjadi pada orang yang kondisinya lurus dan istiqamah, yang hatinya dipenuhi nuansa keimanan dan ia senantiasa taat. Artinya, itu adalah hati seorang Mukmin; bukan hati orang yang suka bermaksiat atau hati orang kafir. Bahkan hati orang biasa saja atau orang kebanyakan tidak bisa dijadikan patokan dalam hal itu.
Dengan demikian, manthuq hadis ini memerintahkan untuk meninggalkan apa saja—baik perkataan, perbuatan, muamalah, benda atau sesuatu—jika kita ragu akan status hukumnya, termasuk kebenaran atau kebatilan, halal ataukah haram.
Adapun mafhum hadis ini memerintahkan kita agar hanya mengambil sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau muamalah kalau kita tidak syakk (ragu atau bimbang) lagi bahwa sesuatu itu halal dan terpuji. Kondisi itu kita peroleh jika kita sudah sampai pada dugaan kuat (ghalabah azh-zhann/ غَلَبَةُ الظَّنِّ) atau keyakinan (yaqîn)—bergantung pada nas dan obyeknya—bahwa sesuatu itu halal atau terpuji. Dengan begitu, hati kita akan merasa tenteram dan tenang ketika mengambil sesuatu itu atau mengerjakan perbuatan atau muamalah tersebut. Sebab kita, sudah mendapat dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) atau keyakinan (yaqîn) bahwa kita mengambil atau melakukan sesuatu yang halal dan diridhai oleh Allah dan bahwa kita tidak bermaksiat. Karena itu, hati pun akan tenteram dan tenang.
Jika sesuatu yang diragukan saja diperintahkan untuk ditinggalkan, maka tentu sesuatu yang sudah jelas keharamannya harus ditinggalkan. Sesuatu yang sudah jelas haram, jika diambil, sudah jelas pula akan mengakibatkan rasa was-was dan kegelisahan hati, dan ketenteraman serta ketenangan pun jelas jauh dari hati yang seperti itu.
Hadis ini juga mengandung perintah agar kita membangun semua urusan kita tidak di atas (رِيْبَة) rîbah atau (شَكّ) syakk (keraguan). Sebab, kita diperintahkan untuk mengambil apa yang tidak meragukan atau yang di dalamnya tidak mengandung syakk.
Lalu bagaimana hal itu kita wujudkan? Tentu saja kita harus mencari tahu status hukum sesuatu atau perbuatan dan muamalah yang kita hadapi. Jika kita belum tahu atau pengetahuan kita masih belum cukup sehingga kita masih ragu dan bimbang maka kita harus menahan diri tidak mengambil atau melakukannya sampai kita tidak ragu lagi, yaitu sampai kita memiliki dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) atau yakin (yaqîn) sesuatu atau perbuatan dan muamalah itu adalah halal. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Wa’ie/Hadits Pilihan/N0.122/Oktober 2010]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar