MENJAUHI SYUBHAT
إِنَّ
الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا
يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ ،
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اِسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ
وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ ، كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى
يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ ،
أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللّٰهِ
مَحَارِمُهُ ، أَلاَ
وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ .
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas, di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat) yang tidak
diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa saja yang menjaga diri dari syubhat maka
ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang jatuh ke dalam
syubhat maka ia hampir terjatuh pada yang haram, seperti penggembala yang
menggembala di sekitar hima (daerah terlarang); hampir-hampir ia (terjatuh)
menggembala di dalamnya. Ingatlah, setiap raja memiliki hima. Ingatlah, hima
Allah adalah apa-apa yang Dia haramkan, dan ingatlah di dalam tubuh ada sekerat
daging, jika ia baik, seluruh tubuhpun baik dan jika ia rusak maka rusak
pulalah seluruh tubuh. Ingatlah itu adalah kalbu
(HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, Ibn Majah, Abu
Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi, al-Baihaqi).
Hadis dari an-Nu’man bin Basyir ini disepakati
kesahihannya. Menurut para ulama, hadis ini termasuk di antara pokok terpenting
dalam agama.
Hadis ini menjelaskan, bahwa sesuatu dan perbuatan itu ada
yang sudah jelas halal dan haramnya. Di antaranya ada yang samar (شُبْهَاتِ / syubhat); halal ataukah haram bagi
banyak orang, tetapi jelas bagi sebagian orang, yaitu ulama. Bagi siapa saja
yang halal-haramnya sesuatu atau perbuatan masih samar (syubhat), hendaknya ia
tidak mengambil atau melakukannya hingga jelas baginya bahwa itu halal,
khawatir terjerumus dalam keharaman.
Kesamaran (syubhat) tentang status hukum sesuatu atau
perbuatan itu bisa datang dari beberapa faktor. Pertama: faktor
nash, yaitu ketika (دَلَالَة) dalâlah nash-nash yang ada belum dipahami dengan jelas
menunjukkan halal atau haram. Misalnya, karena adanya dua nash yang terlihat
bertentangan, yang satu menunjukkan halal dan lain menunjukkan haram. Selama
belum jelas maka hendaknya menahan diri, tidak mengambil atau melakukannya,
sampai kemudian jelas halal atau haramnya, baik dengan menjamak (mempertemukan)
nash-nash itu atau akhirnya harus dilakukan (تَرْجِيْح) tarjîh. Tentu untuk melakukan
itu diperlukan ilmu syariah yang cukup sehingga hanya ulama yang bisa
melakukannya.
Kedua: faktor kesamaran terkait dengan
sesuatu itu sendiri. Ini ada beberapa hal:
1.
Karena prosesnya atau apa yang terjadi di dalamnya. Contoh: akad/transaksi yang
di dalam prosesnya ada kesamaran sehingga menimbulkan keraguan tentang halal
dan haramnya. Namun, syubhat itu tidak untuk semua orang. Bagi mereka yang
memiliki pemahaman memadai tentang fakta hukum (manâth) yang dideskripsikan
oleh nash tentang akad/transaksi dan memiliki kemampuan membedah fakta,
menganalisis dan memilah prosesnya sehingga bisa mendiagnosisnya dengan detil
dan tepat, akad/transaksi itu jelas halal dan haramnya. Contoh lain:
tempat-tempat yang sering/banyak dilakukan kemaksiatan di dalamnya sehingga
identik sebagai tempat maksiat, seperti night club, bioskop karena (اِخْتِلَاط) ikhtilâth (campur-baur) di
dalamnya, bar, dsb.
2.
Adanya kemiripan pada sesuatu itu. Contoh: riwayat Bukhari bahwa Saad bin Abi
Waqash dan ‘Abdu bin Zam’ah berselisih tentang perwalian Ibn Walidah Zam’ah.
Saad mengakuinya sebagai anak saudaranya, Utbah bin Abi Waqash, sesuai pesan
Utbah dan karena begitu mirip dengan ‘Utbah. Adapun ‘Abdu bin Zam’ah
mengakuinya sebagai saudaranya karena dilahirkan di tempat tidur Zam’ah. Rasul
saw. memutuskan, yang berhak atas perwalian Ibn Walidah Zam’ah adalah ‘Abdu bin
Zam’ah. Artinya, secara formal ia adalah saudaranya ‘Abdu bin Zam’ah dan Saudah
binti Zam’ah, Ummul Mukminin. Namun, karena adanya kemiripan dengan ‘Utbah bin
Abi Waqash, Rasul saw. menyuruh Saudah binti Zam’ah untuk berhijab kepada Ibn
Walidah Zam’ah.
3.
Karena kesamaran sebab perolehan atau kehalalannya. Contoh: riwayat al-Bukhari
dari Adi Bin Hatim. Ia berburu dengan anjing dan ketika melepasnya ia menyebut
asma Allah. Namun, saat anjingnya kembali, ada anjing lain yang juga ikut
menggigit hewan buruannya. Rasul saw. menyuruhnya untuk meninggalkan buruan itu
karena syubhat; jika anjingnya yang membunuh hewan itu maka ia halal; tetapi
jika anjing yang lain yang membunuhnya maka ia haram; sementara tidak bisa
diputuskan anjing yang mana yang melakukannya. Contoh lain: orang berburu
dengan senapan, namun buruannya jatuh terjebur air sehingga syubhat buruan itu
mati karena pelurunya atau karena terjebur air. Contoh lain: orang menyembelih
ayam dan langsung dicelupkan ke dalam air panas sehingga syubhat: ayam
itu mati karena disembelih atau dicelupkan air panas.
4.
Samar dalam kepemilikan atau adanya hak orang lain di dalamnya. Contoh: riwayat
bahwa Rasul menemukan sebutir kurma di rumah, dan Beliau hendak memakannya,
lalu Beliau urungkan, khawatir itu kurma sedekah; karena Beliau pernah membawa
kurma sedekah ke rumah sebelum dibagikan.
5.
Kesamaran tentang fisik bendanya. Contoh: Saat Abu Hanifah berbelanja, satu
keping dinarnya jatuh, saat beliau mau mengambilnya ternyata ada dua keping
dinar, maka beliau pun tidak jadi mengambilnya. Ketika si penjual bertanya
mengapa, beliau menjawab, “Yang mana uang dinarku?”. Contoh lain, harta yang
bercampur dengan harta yang haram dan tidak bisa dipisahkan yang halal dari
yang haram.
Siapa saja yang bersiap wara’ meninggalkan semua
syubhat itu, maka ia telah menyelamatkan agamanya, yakni selamat dari dosa dan
azab Allah, dan menyelamatkan kehormatannya, yaitu selamat dari
anggapan/penilaian buruk dari orang-orang. Wa mâ tawfîqi illâ biLlâh [Al-Wa'ie/Hadits
Pilihan/No112/Desember 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar