Berlindung dari Setan
قُلۡ
أَعُوۡذُ بِرَبِّ النَّاسِ ١ مَلِكِ النَّاسِ
٢ اِلٰهِ النَّاسِ ٣ مِنۡ شَرِّ الۡوَسۡوَاسِ الۡخَنَّاسِ ٤ الَّذِيۡ
يُوَسۡوِسُ فِيۡ صُدُوۡرِ النَّاسِ ٥ مِنَ الۡجِنَّةِ وَالنَّاسِ ٦
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara
dan menguasai) manusia
2. Raja manusia
3. Sembahan manusia
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi
5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia
6. dari (golongan) jin dan manusia
(QS an-Nas [114]: 1-6)
Dalam Mushhaf al-Quran surah ini diletakkan
pada surat terakhir sesudah surah al-Falaq. Surah ini terdiri dari enam ayat.
Menurut Ibnu ‘Abbas, surat ini termasuk Makiyyah, sedangkan menurut Ibnu
az-Zubair Madaniyyah.1 Bersama-sama dengan surah al-Falaq, surah ini
juga disebut (اَلْمُعَوِّذَتَيْنِ) al-mu’awwidzatayn. Dari ‘Uqbah bin Amir
ra:
قَالَ لِيْ
رَسُوْلُ اللّٰهِ
صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنْزِلَ أَوْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَاتٌ لَمْ يُرَ
مِثْلُهُنَّ قَطُّ الْمُعَوِّذَتَيْنِ .
Rasulullah saw. bersabda kepadaku, “Telah diturunkan kepadaku
beberapa ayat yang tiada yang sebanding dengannya, yakni al-mu’awwidzatayn (HR Muslim dan Ahmad).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ)
Qul a’ûdzu bi Rabb an-nâs (Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan
[yang memelihara dan menguasai] manusia.”). Perintah (قُلْ) qul ditujukan
kepada Rasulullah saw.; tercakup pula di dalamnya adalah umatnya. Mereka
diperintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya. Kata (أَعُوْذُ) a’ûdzu bermakna (أَتَحَصَّنُ وَأَسْتَجِيْرُ) atahashshanu
wa astajîru (saya berlindung dan meminta
penjagaan).2 Permohonan perlindungan itu ditujukan kepada (رَبِّ النَّاسِ) Rabb an-nâs.
Kata ar-rabb (اَلرَّبّ) merupakan (مُشْتَق)
musytaq (kata bentukan) dari kata (اَلتَّرْبِيَة)
at-tarbiyah.3 Secara bahasa, kata ini mengandung beberapa
pengertian, yakni: (اَلْمَالِك) al-mâlik (pemilik), (اَلسَّيِّد) as-sayyid (tuan), (اَلْمُدَبِّر) al-mudabbir (pengatur), (اَلْمُرَبِّ)
al-murabbi (pendidik), (اَلْقَيِّم) al-qayyim (penanggung jawab), (اَلْمُنْعِم) al-mun’im (pemberi nikmat).4 Dipaparkan pula oleh Ibnu al-Manzhur
bahwa kata (اَلرَّبّ) ar-rabb terbagi menjadi
tiga bagian, yakni: (اَلْمَالِك) al-mâlik (pemilik); (اَلسَّيِّدُ الْمُطَاع)
as-sayyid al-muthâ’ (tuan yang ditaati), seperti dalam firman-Nya: Fayasqî
rabbahu khamr[an] (فَيَشْقِى
رَبَّهُ خَمْرًا) (akan
memberi minum tuannya dengan khamr/QS Yusuf [12]: 41); dan (اَلْمُصْلِح)
al-mushlih (yang memperbaiki).5
Kata (اَلرَّبّ)
ar-rabb, jika tanpa di-idhâfah-kan
(disandarkan) dengan kata lain,
hanya menunjuk kepada Allah SWT. Namun, jika di-idhâfah-kan dengan kata
lain bisa menunjuk kepada Allah SWT, seperti (رَبُّ الْعَالَمِيْنَ)
Rabb al-‘âlamîn; (رَبُّكُمْ
وَرَبُّ آبَائِكُمُ الْأَوَّلِيْنَ)
Rabbukum wa Rabb âbâikum al-awwalîn; bisa juga menunjuk kepada selain-Nya,
seperti (رَبُّ الدَّار
وَرَبُّ الْفَرَس) rabb
ad-dâr wa rabb al-faras (pemilik rumah dan pemilik kuda).6 Yang
dimaksud oleh (رَبُّ النَّاسِ) Rabb an-nâs dalam ayat
ini tak lain adalah Allah SWT. Sebab, Dialah Pemilik,
Tuan yang Ditaati, Pengatur, Pendidik, Penanggung Jawab dan Pemberi Nikmat bagi
seluruh manusia. Bahkan bukan hanya (رَبِّ النَّاسِ) Rabb al-nâs, namun
Dia adalah (رَبُّ الْعَالَمِيْنَ) Rabb
al-‘âlamîn (Tuhan alam semesta).
Kemudian Allah SWT berfirman: (مَلِكِ النَّاسِ) Malik an-nâs (Raja
manusia). Secara bahasa, kata (اَلْمَلِك) al-malik adalah (ذُو السُّلْطَانِ الْآمِرِ وَالنَّاهِى الْمُعْطِى الْمَانِعِ بِلَا مُمَانِعٍ
وَلَا مُنَازِعٍ) dzû al-sulthân al-âmir wa al-nâhi al-mu’thi
al-mâni’ bilâ mumâni’ walâ munâzi’ (yang memiliki
kekuasaan, yang memerintah dan melarang, yang memberi dan mencegah, tanpa bisa
ditolak dan ditentang).7 Yang dimaksudkan dengannya tidak lain
adalah Allah SWT. Dialah Raja yang sebenarnya lihat QS al-Mukminun [23]: 116,
فَتَعٰلَى
اللّٰهُ
الۡمَلِكُ
الۡحَقُّۖ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ رَبُّ الۡعَرۡشِ الۡكَرِيۡمِ ١١٦
Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain
Dia, Tuhan (Yang mempunyai) ´Arsy yang mulia (QS
al-Mukminun [23]:116),
Yang berkuasa atas seluruh manusia. Dialah Sang Pemilik kerajaan
langit dan bumi lihat QS al-Hadid [57]: 2, 6.
لَهُۥ
مُلۡكُ السَّمٰوَاتِ وَالۡاَرۡضِۖ يُحۡيِۦ وَيُمِيۡتُۖ وَهُوَ عَلىٰ كُلِّ شَيۡءٍ
قَدِيۡرٌ ٢
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan
mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu
(QS al-Hadid [57]:2)
Bersumber dari-Nya pula semua kekuasaan yang dimiliki manusia QS Ali
Imran [3]: 26.
قُلِ
اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الۡمُلۡكِ تُؤۡتِي الۡمُلۡكَ مَنۡ تَشَآءُ وَتَنۡزِعُ الۡمُلۡكَ
مِمَّنۡ تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَنۡ تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَنۡ تَشَآءُۖ بِيَدِكَ الۡخَيۡرُۖ
اِنَّكَ عَلىٰ كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيۡرٌ ٢٦
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Ali Imran [3]: 26).
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: (اِلٰهِ النَّاسِ) Ilâh an-nâs (Sembahan
manusia). Kata (اَلْإِلٰه) al-ilâh merupakan (مَصْدَر) mashdar yang
bermakna (مَفْعُوْل) maf’ûl. Kata
tersebut berasal dari kata (اَلَهَ يَأْلَهُ) alaha-ya’lahu, yang
semakna dengan kata (عَبَدَ يَعْبُدُ) ‘abada-ya’budu. Oleh karena itu, kata (اِلٰه) ilâh bermakna (مَأْلُوْه) ma’lûh atau (مَعْبُوْد) ma’bûd (yang
disembah, diibadahi).8 Sebagaimana dijelaskan Ibnu Manzhur, kata (اَلْإِلٰه) al-ilâh menunjuk kepada Allah ’Azza wa Jalla. Segala
sesuatu yang dijadikan sesembahan selain-Nya juga disebut sebagai (اِلٰه) ilâh bagi orang yang menyembahnya.9
Menurut al-Biqa’i, kata (اَلرَّبّ) ar-rabb dan (اَلْمَلِك) al-malik berdekatan
maknanya. Hanya saja, kata (اَلرَّبّ) ar-rabb lebih
mengandung kelembutan dan pendidikan, sedangkan (اَلْمَلِك) al-malik lebih
menunjukkan pada sifat memaksa dan mengalahkan; lebih menampakkan keadilan. Di
samping itu, ada (اَلرَّبّ) ar-rabb yang
kadang tidak menjadi (اَلْمَلِك) al-malik sehingga
tidak memiliki otoritas yang sempurna. Oleh karena itu, firman Allah SWT: (مَلِكِ النَّاس) Malik an-nâs
mengisyaratkan bahwa Dia memiliki wewenang penuh, dominasi kekuatan dan
kekuasaan yang sempurna. Dia pula yang dimintai pertolongan, bantuan,
perlindungan dan sandaran. Ketika ada (اَلْمَلِك) al-malik yang
bukan menjadi (اِلٰه) ilâh dan (اَلْاِلٰهِيَّة) al-ilâhiyyah itu
khusus yang tidak menerima sekutu dengan yang lain, maka untuk
menyempurnakannya sekaligus menjadi (غَايَةُ الْبَيَانِ) ghâyah
al-bayân (puncak penjelasan), Allah SWT pun
berfirman: (اِلٰهِ النَّاسِ) Ilâh an-nâs. Ini
mengisyaratkan, sebagaimana mereka mengesakan (رُبُوْبِيَّة) rububiyyah dan (مُلْكِيَّة) mulkiyyah dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, hal yang sama juga berlaku
dalam perkara (اِلٰه) ilâh mereka. Mereka pun harus mengesakan (اِلٰه) ilâh
mereka dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ini merupakan metode yang selalu digunakan al-Quran dalam berhujjah kepada
mereka yang telah mentauhidkan-Nya dalam (رُبُوْبِيَّة) rububiyyah dan (مُلْكِيَّة) mulkiyyah,
namun mengingkari-Nya dalam (اُلُوْهِيَّة) ulûhiyyah dan
ibadah. Barangsiapa yang menjadi (رَبّ) rabb dan (مَلِك) malik mereka,
dia tidak pantas menyembah dan meminta pertolongan selain kepada-Nya.10
Dalam surah ini, kata (رَبّ) rabb, (مَلِك) malik dan (اِلٰه) ilâh di-mudhâf-kan kepada
manusia, padahal Dia adalah (رَبُّ الْعَالَمِيْنَ) Rabb
al-‘âlamîn. Menurut al-Qurthubi, ini menunjukkan
dua hal. Pertama: menunjukkan kemuliaan manusia. Dengan menyebut bahwa
Allah adalah Tuhan mereka, berarti Dia memuliakan mereka.11 Kedua:
karena itu merupakan perintah untuk berlindung dari kejahatan mereka. Di
kalangan manusia ada yang disebut sebagai (مَلِك) malik dan
dijadikan (اِلٰه) ilâh yang disembah. Dalam surah ini
diingatkan bahwa Dia adalah Raja dan Sesembahan mereka. Kepada-Nya manusia
wajib berlindung dan meminta pertolongan, bukan kepada para raja dan pembesar
itu.12 Menurut Abu Hayyan, permohonan mereka untuk mendapatkan
perlindungan dari (رَبّ) Rabb, Raja, dan (اِلٰه) ilâh mereka adalah seperti seorang hamba
yang meminta perlindungan kepada tuannya dari perkara yang tiba-tiba datang
kepadanya.13
Setelah meminta
pertolongan Allah SWT dengan tiga sifat-Nya yang sempurna, kemudian disebutkan
perkara yang dimintakan perlindungan: (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ) min syarr al-waswâs al-khannâs (dari kejahatan
[bisikan] setan yang biasa bersembunyi). Menurut al-Biqai, kata (اَلْوَسْوَسَة)
al-waswasah berarti (اَلْكَلَامُ
الْخَافِى) al-kalâm
al-khâfiy (perkataan tersembunyi), yakni disampaikan maknanya ke dalam
hati, secara tersembunyi dan berulang-ulang.14
Adapun (اَلْخَنَّاس) al-khannâs merupakan
bentuk (مُبَالَغَة) mubâlaghah. Artinya,
yang banyak bersembunyi. Menurut az-Zamakhsyari dan al-Qurthubi, yang dimaksud
dengannya adalah setan.15 Disebut (اَلْخَنَّاس) al-khannâs karena
sifat setan yang banyak bersembunyi. Pengertian ungkapan ini juga digunakan
untuk menyebut bintang-bintang sebagaimana dalam firman Allah SWT: Falâ uqsimu
bi al-khunnâs (فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّاسِ) (Sungguh, Aku bersumpah
dengan bintang-bintang/QS at-Takwir [81]:15). Hal itu disebabkan karena
bersembunyi setelah tampak.16 Oleh karena itu, ayat ini disimpulkan
al-Qurthubi dengan ungkapan (مِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ) min syarr
asy-syaythân (dari kejahatan setan), yakni (مِنْ شَرِّ ذِى الْوَسْوَاسِ) min syarr dzî al-waswâs (dari kejahatan yang memiliki bisikan).17
Kemudian Allah SWT berfirman: (اَلَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ) al-ladzî
yuwaswisu fî shudûr an-nâs (yang membisikkan
[kejahatan] ke dalam dada manusia). Menurut al-Baghawi, maksud dari frasa ini
adalah perkataan pelan yang dipahami oleh hati tanpa didengarnya.18
Berkenaan dengan bisikan setan dalam dada manusia, terdapat hadis Nabi saw.
yang menjelaskan proses masuknya setan ke dalam diri manusia. Dari Ali bin
Husain, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ .
Sesungguhnya setan merasuk kepada manusia bersama dengan aliran
darah (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah
dan Ahmad).
Perkara yang dibisikkan tentulah perkara
kejahatan yang berisi ajakan menuruti hawa nafsu, ingkar dan berpaling dari
agama-Nya. Sebab, itulah yang diinginkan dan diperintahkan setan kepada
manusia. Setan berkeinginan menyesatkan manusia dengan kesesatan yang jauh
(lihat QS an-Nisa’ [4]: 60).
أَلَمۡ
تَرَ اِلَى الَّذِيۡنَ يَزۡعُمُوۡنَ أَنَّهُمۡ اٰمَنُوۡا بِمَآ أُنۡزِلَ اِلَيۡكَ
وَمَآ أُنۡزِلَ مِنۡ قَبۡلِكَ يُرِيۡدُوۡنَ أَنۡ يَتَحَاكَمُوٓاۡ اِلَى الطَّاغُوۡتِ
وَقَدۡ أُمِرُوٓاۡ أَن يَكۡفُرُوۡا بِهِۦۖ وَيُرِيۡدُ الشَّيۡطٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ
ضَلٰلًا بَعِيۡدًا ٦٠
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan
mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya (QS
an-Nisa’ [4]: 60).
Surah ini lalu ditutup dengan firman-Nya: (مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ) min al-jinnah wa an-nâs (dari [golongan) jin dan manusia). Menurut az-Zamakhsyari, ayat ini
merupakan (بَيَان) bayân (penjelasan)
mengenai pihak yang membisikkan kejahatan dalam dada manusia.19 Kata (اَلْجِنَّةِ) al-jinnah merupakan
bentuk jamak dari kata (اَلْجِنِّى) al-jinni, sebagaimana
kata (اِنْسٌ) ins[un] dan (اِنْسِيٌ) insiy[un].
Qatadah berkata, “Sesungguhnya dari manusia ada setan dan dari jin juga ada
syetan. Karena itu, kita berlindung dari mereka.20 Penjelasan
ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS al-An’am [6]: 112.
وَكَذٰلِكَ
جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيۡنَ الۡإِنۡسِ وَالۡجِنِّ يُوۡحِي
بَعۡضُهُمۡ اِلىٰ بَعۡضٍ زُخۡرُفَ الۡقَوۡلِ غُرُوۡرًاۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا
فَعَلُوۡهُۖ فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُوۡنَ ١١٢
Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan
jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan (QS al-An’am [6]: 112).
Doa, Bisikan Jahat dan Setan
Dalam
surah yang pendek ini terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik oleh
manusia. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, perintah
memohon perlindungan kepada Allah SWT. Perintah ini menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang lemah, terbatas dan memerlukan pertolongan. Yang layak
dimintai pertolongan tentulah pihak yang memiliki kemurahan dan kekuasaan
sehingga mau dan mampu memberikan pertolongan. Dialah Allah SWT. Sebab, Dia
adalah Pemilik dan Pengatur alam raya, Raja dan Penguasa kerajaan langit dan
bumi beserta isinya serta Zat yang wajib disembah seluruh makhluk-Nya. Keyakinan
inilah yang mengantarkan manusia untuk memohon dan berdoa kepada-Nya.
Dengan demikian, seorang hamba yang rajin
berdoa dan memohon kepada Allah SWT menunjukkan besarnya keyakinan tersebut.
Sebaliknya, ketika hamba merasa cukup dan tidak memerlukan pertolongan
dari-Nya, dia akan malas, bahkan menolak untuk berdoa dan memohon kepada-Nya.
Tindakan itu jelas merupakan kesombongan. Allah SWT murka terhadapnya. Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ لَمْ
يَسْأَلِ اللّٰهَ
يَغْضَبْ عَلَيْهِ .
Siapa saja yang belum meminta kepada Allah maka Dia murka kepadanya (HR al-Tirmidzi).
Di samping menjadi manifestasi keyakinan
tersebut, doa berfungsi sebagai ibadah sekaligus sarana untuk mendekatkan hamba
kepada Tuhannya. Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: (اَلدُّعَاءُ
مُخُّ الْعِبَادَةِ) Ad-Duâ’ mukhkh al-’ibâdah (Doa adalah otak ibadah/HR at-Tirmidzi).
Perintah untuk berdoa dan memohon kepada
Allah SWT disampaikan dalam beberapa ayat. Dalam banyak ayat dan hadis, manusia
juga diajari banyak doa yang baik. Tak hanya itu, Allah SWT pun berjanji akan
mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba kepada-Nya, lihat QS Ghafir
[40]:60, al-Baqarah [2]:186.
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادۡعُوۡنِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ الَّذِيۡنَ يَسۡتَكۡبِرُوۡنَ عَنۡ
عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُوۡنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيۡنَ ٦٠
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS Ghafir [40]:60),
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِيۡ عَنِّيۡ فَإِنِّيۡ قَرِيۡبٌۖ أُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا
دَعَانِۖ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِيۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِيۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ
١٨٦
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. (QS al-Baqarah [2]:186).
Kedua, besarnya bahaya bisikan jahat dalam dada manusia. Dalam surah
sebelumnya, QS al-Falaq, permohonan perlindungan kepada Allah hanya menyebut
satu sifat Allah, (رَبِّ
الْفَلَقِ) Rabb al-falaq,
untuk meminta perlindungan dari tiga keburukan dan kejahatan, yakni: (اَلْغَاسِق) al-ghâsiq (malam), (اَلنَّفّٰثٰتِ) al-naffâtsât (wanita tukang sihir) dan (اَلْحَاسِد) al-hâsid (orang yang dengki). Dalam
surah ini permohonan perlindungan itu dengan menyebutkan tiga sifat Allah SWT
sekaligus: ar-Rabb, al-Malik, dan al-Ilâh (اَلرَّبّ
، اَلْمَلِك
، اَلْإِلٰه). Padahal perkara yang dimintakan perlindungan hanya satu,
yakni (اَلْوَسْوَسَة) al-waswâsah (bisikan).
Menurut ar-Razi, perkara yang dimintakan perlindungan dalam surah yang pertama
menyangkut keselamatan jiwa dan badan. Adapun perkara yang dimintakan
perlindungan dalam surah kedua menyangkut keselamatan agama. Ini menjadi
peringatan bahwa bahaya yang menimpa agama, betapa pun kecilnya, lebih besar
daripada bahaya yang menimpa dunia, betapa pun besarnya.21
Ketiga, mewaspadai semua jenis setan. Dalam surah ini diberitakan bisikan
jahat yang dapat menjerumuskan manusia berasal dari setan. Wajar saja, sebab
setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Sebagaimana layaknya musuh, yang
dikehendaki setan adalah kecelakaan dan kesengsaraan. Tekad jahat itu sudah
dideklarasikan sejak Iblis menolak untuk mengikuti perintah Allah SWT, bersujud
kepada Adam as. Dengan tegas mereka mengatakan akan menyesatkan Adam dan
seluruh keturunannya hingga Hari Kiamat. Mereka pun diberi tangguh oleh Allah
SWT (lihat QS al-Isra’ [17]: 61-64).
وَإِذۡ
قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِكَةِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوٓاۡ اِلَّآ إِبۡلِيۡسَ
قَالَ ءَأَسۡجُدُ لِمَنۡ خَلَقۡتَ طِيۡنًا ٦١ قَالَ أَرَءَيۡتَكَ هٰذَا الَّذِيۡ
كَرَّمۡتَ عَلَيَّ لَئِنۡ أَخَّرۡتَنِ اِلىٰ يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ لَأَحۡتَنِكَنَّ
ذُرِّيَّتَهُۥٓ اِلَّا قَلِيۡلًا ٦٢ قَالَ اذۡهَبۡ فَمَنۡ تَبِعَكَ مِنۡهُمۡ
فَإِنَّ جَهَنَّمَ جَزَآؤُكُمۡ جَزَآءً مَّوۡفُوۡرًا ٦٣ وَاسۡتَفۡزِزۡ مَنِ اسۡتَطَعۡتَ
مِنۡهُمۡ بِصَوۡتِكَ وَأَجۡلِبۡ عَلَيۡهِمۡ بِخَيۡلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكۡهُمۡ
فِي الۡأَمۡوَالِ وَالۡأَوۡلَادِ وَعِدۡهُمۡۚ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيۡطٰنُ اِلَّا
غُرُوۡرًا ٦٤
61. Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para
malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali
iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau
ciptakan dari tanah?
62. Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah
orangnya yang Engkau muliakan atas diriku? Sesungguhnya jika Engkau memberi
tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku sesatkan
keturunannya, kecuali sebahagian kecil"
63. Tuhan berfirman: "Pergilah, barangsiapa di antara mereka
yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua,
sebagai suatu pembalasan yang cukup
64. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka
dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu
yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan
beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka
melainkan tipuan belaka (QS al-Isra’ [17]: 61-64).
Bertolak dari kenyataan tersebut, manusia
harus benar-benar waspada terhadap tipudaya musuh mereka, setan. Jangan sampai
mengikuti langkah-langkah mereka. Dalam surah ini kita diingatkan bahwa
kewaspadaan terhadap godaan setan tak terbatas pada setan dari jenis jin, namun
juga setan dari jenis manusia. Keberadaan setan selain disebutkan dalam QS
al-an’am [6]:112, juga dijelaskan dalam Hadis Nabi saw. Dari Abu Dzar ra, bahwa
Rasulullah saw. pernah bersabda kepada beliau:
يَا أَبَا
ذَرٍّ تَعَوَّذۡ
بِاللّٰهِ
مِنۡ
شَرِّ شَيَاطِيۡنِ
الۡإِنۡسِ
وَالۡجِنِّ
قَالَ قُلۡتُ
يَا رَسُوۡلَ
اللّٰهِ
وَلِلۡإِنۡسِ
شَيَاطِيۡنُ
قَالَ نَعَمۡ
.
“Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan
manusia dan setan jin.” Aku bertanya, “Apakah pada manusia ada setan?” Beliau
menjawab, “Ya.” (HR Ahmad).
Dalam QS
al-Mujâdilah [58]:19 juga diberitakan:
اِسۡتَحۡوَذَ
عَلَيۡهِمُ الشَّيۡطٰنُ فَأَنۡسَاهُمۡ ذِكۡرَ اللّٰهِ ۚأُوۡلٰٓئِكَ حِزۡبُ الشَّيۡطٰنِۚ
أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ الشَّيۡطٰنِ هُمُ الۡخٰسِرُوۡنَ ١٩
Syaitan telah menguasai mereka
lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (QS al-Mujâdilah [58]:19).
Bahwa orang-orang
yang telah dikuasai setan dan berhasil dibuat lupa mengingat Allah disebut
sebagai (حِزۡبُ الشَّيۡطٰنِۚ) hizb asy-syaythân (golongan
setan). Ditegaskan pula, bahwa mereka adalah orang yang
merugi.
Surah ini memberikan tuntunan agar kita
tidak terjerumus oleh bisikan jahat setan, kita harus senantiasa berlindung
kepada Allah SWT. Dialah Tuhan, Raja, dan Sesembahan kita. Wallâh a’lam bi
ash-shawâb. [22]
Catatan kaki:
1 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol.
5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 522.
2 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol.
3 (Madinah: Maktabah al-‘Ilm wa al-Hukm, 2003).
3 Ali ash-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân fî Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol 1 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 24 . Lihat juga
al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, tt), 184.
4 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 1 (Beirut: Dar al-Shadir,
tt), 399. Meski ada sedikit perbedaan, pengertian yang sama juga bisa dilihat
dalam al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr,
1998), 156.
5 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 1, 399. Pengertian itu juga
disebutkan oleh -Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (Madinah: Maktabah
al-’Ilm wa al-Hukm, 2003), 13. Kata al-rabb diartikan al-sayyid
al-mâlik al-mushlih al-ma’bûd (tuan, pemilik, yang memperbaiki, yang
ditaati).
6 Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât, 184. Penjelasan senada
juga disampaikan Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 1, 399.
7 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol.
1, 13.
8 Abu Bakr al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut:
Dar al-Fikr, 1993), 45.
9 Ibnu Manzhur, Lisân al-’Arab, vol.
13, 67.
10 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar, vol. 22
(Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 426-427.
11 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh:
Dar Alam al-Kutub, 2003), 260. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan
asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 522.
12 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 20, 260.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr
al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 535.
14 Al-Biqai, Nazhm ad-Durar, vol.
22, 430.
15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.
6 (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), 468.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 20, 262.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân, vol. 20, 261.
18 Al-Baghawi, Ma’âlim at-Ta’lîm,
vol. 8 (Riyad: Dar Thayyibah, 1992), 599.
19 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol.
6, 469.
20 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, vol. 8, 535.
21 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol.
32 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
22 Al-wa’ie / no.112/Desember 2009/Rubrik Tafsir/Ust Rokhmat S.
Labib. M.E.I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar