Persoalan Seputar Mazhab
Oleh M. Shiddiq Al-Jawi
Pengantar Redaksi:
Umat Islam sering menghadapi beberapa persoalan dan pertanyaan di seputar mazhab (fikih), misalnya: bagaimana sejarah lahirnya mazhab; apakah bermazhab itu dibolehkan atau tidak; bagaimanakah bermazhab secara benar; apakah Hizbut Tahrir suatu mazhab atau bukan?Tulisan ini bertujuan menjawab beberapa persoalan seputar mazhab tersebut. Maka dari itu, di sini akan ditelaah kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islâmiyyah Jilid I karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994) serta beberapa referensi lain yang terkait.
Pengertian Mazhab
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Sedangkan
menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid
yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang
rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl)
yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah,
1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.
Dengan
demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum
syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208).
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata,
“Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian
(tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395).
Lahirnya Mazhab
Berbagai
mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H
hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah
Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991:
209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat
telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para
imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu
Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H),
al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin
Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H),
Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur
(w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani,
1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).
Bagaimana
mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat
itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai
faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada
akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain:
Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.
Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.
Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha
Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm).
Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti
hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk
mengembangkan ilmu fikih.
Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama.
Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih
(Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182;
Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213).
Terbentuknya Mazhab
Bagaimana
terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya
perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm);
(2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian
kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392).
Penjelasannya sebagai berikut:
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:
1.Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah;
sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya)
berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985:
57-58).
2.Fatwa sahabat dan kedudukannya.
Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun
tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan
menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i
memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh
mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya.
(Khallaf, 1985: 58-59).
3.Kehujjahan Qiyas.
Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan
Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas
sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf,
1985: 59).
4.Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma.
Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan
hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang
menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi
hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang
menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap
Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi);
yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan
titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari
as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389).
Mengenai
perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna
nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha
Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash
yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal
(ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’
makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan
harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah
memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘(1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911).
Mengenai
perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini
terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam
bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).
Tentang Bermazhab
Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232).
Akan
tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan
menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya
(Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali
oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah
umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh
seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka
dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka
(An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang
dibenarkan syariat Islam?
An-Nabhani
menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini.
Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat
yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang
sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham
bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid),
bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini
adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani,
1994: 232).
Walhasil,
para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama;
sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah
hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang
bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah
dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i
sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla,
mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi
yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab
itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394).
Bermazhab Secara Benar
Para
pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang
bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2
(dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372),
yaitu:
Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub)
terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar,
ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama
mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis
yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74).
Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb)
ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang
benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan
agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa
Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90).
Al-Hakim
dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan
hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata,
“Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut
dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112).
Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373).
Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?
Satu
persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu
mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab,
melainkan sebuah partai politik yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir
adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang
diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur
interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22).
Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu,
pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab
An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau
adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah(1991:
267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid
yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak
mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya,
beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali
hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”
Wallâhu a‘lam. []
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda.
Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT).
Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera.
Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld. I. Beirut: Darul Ummah
As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr.
Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.
Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.
Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah
Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ
Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi.
Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif.
Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub.
Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-’Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar