فَلا أُقْسِمُ بِالشَّفَقِ، وَاللَّيْلِ وَمَا وَسَقَ، وَالْقَمَرِ إِذَا اتَّسَقَ، لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍ
Sesungguhnya Aku bersumpah dengan
cahaya merah pada waktu senja, dengan malam dan apa yang ia selubungi
serta dengan bulan saat purnama. Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi
tingkat (dalam kehidupan) (QS al-Isnyiqaq [84]: 16-19).
Ayat ini memberitakan perjalanan hidup
manusia, yakni bahwa manusia akan mengalami perpindahan dari satu
keadaan ke keadaan lainnya. Untuk menegaskan bahwa peristiwa itu
benar-benar terjadi, Allah SWT bersumpah dengan menyebut beberapa
makhluk-Nya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Falâ uqsimu bi asy-syafaq (Sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah pada waktu senja). Ayat ini diawali dengan kata yang secara sharîh menyebut kata yang bermakna sumpah: uqsimu (aku bersumpah). Frasa tersebut didahului dengan dua huruf, yakni fa dan lâ.
Menurut Mahmud Shafi, huruf al-fâ‘ merupakan istinâfiyyah, sedangkan lâ merupakan zâydah (tambahan).1 Dikatakan ash-Shabuni, huruf lâ tersebut berguna li ta’kîd al-qasam (untuk menegaskan sumpah). Artinya, “Aku bersumpah dengan sumpah yang ditegaskan.2
Penyebutan huruf lâ sebelum qasam terdapat dalam banyak ayat, seperti dalam firman Allah SWT: Lâ uqsimu bi hadzâ al-balad (QS al-Balad [90]: 1); Lâ uqsimu biyawm al-Qiyâmah (QS al-Qiyamah [75]: 1), dan lain-lain.
Yang disebutkan sebagai al-muqsam bih adalah
makhluk-makhluk-Nya. Ini untuk memuliakan makhluk-makhluk tersebut;
disodorkan untuk dijadikan sebagai pelajaran karena sumpah dengan
makhluk-makhluk tersebut dapat terbangkitkan darinya.3
Makhluk yang disebutkan pertama dalam sumpah ini adalah asy-syafaq. Kata asy-syafaq berarti al-hamrah (warna
merah). Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas,
Ubadah bin ash-Shamit, Abu Hurairah, Syaddad bin Aus, Ibu Umar, Muhammad
bin Ali bin al-Husain, Makhul, Bakar, Bakar bin Abdullah al-Muzani,
Bakir bin al-Asyaj, Malik, Ibnu Abu Dzaib, Abdul Aziz bin Abu Salamah
al-Majisyun dan lain-lain.4
Menurut yang lainnya, kata asy-syafaq tidak
menunjuk semua warna merah, namun warna merah yang keluar di ufuk, baik
sebelum matahari terbit—sebagaimana dikatakan oleh Mujahid—atau sesudah
matahari terbenam, sebagaimana dikenal oleh para ahli bahasa.5
Menurut Khalil bin Ahmad, asy-syafaq adalah warna merah di ufuk sejak matahari terbenam hingga waktu isya. Jika warna merah sudah tidak ada, syafaq telah lenyap. Al-Jauhari juga mengatakan bahwa asy-syafaq adalah sisa cahaya matahari yang berwarna merah pada permulaan malam dan hampir gelap. Ikrimah menuturkan, asy-syafaq adalah warna merah sisa cahaya matahari yang ada di antara waktu magrib hingga isya.6
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Asyhab, Abdullah bin al-Hakam, Yahya bin Yahya, dan lan-lain. Dikatakan dari Malik, “Asy-Syafaq adalah warna merah pada waktu maghrib. Jika warna merah itu lenyap maka waktu maghrib telah habis dan wajib shalat isya.”7
Dalam Shahih Muslim juga Rasulullah saw. bersabda:
وَ وَقْتُ صَلاَة الْمَغْرِبِ مَا لمَ يَغِبِ الشَّفَقُ
Waktu shalat maghrib adalah sebelum syafaq (cahaya merah di ufuk barat) habis (HR Muslim dari Abdullah bin Amru).
Beberapa mufassir yang berpendapat
sama adalah az-Zamakhsyari, aay-Syaukani, al-Alusi, Ibnu Athiyah, Ibnu
Juzyi, al-Baidhawi, al-Jazairi, dan aah-Shabuni.8
Kemudian Allah SWT berfirman: wa al-layl wa mâ wasaq (dengan malam dan apa yang ia selubungi). Huruf al-wâwu ini adalah athf. Karena itu kata sesudahnya, yakni al-layl,berkedudukan sebagai al-muqsam bih,sebagaimana kata sebelumnya: asy-syafaq.
Kata al-layl menunjuk pada waktu setelah siang hari, yakni sejak matahari terbenam hingga terbit.9 Adapun mâ merupakan ism al-mawshûl yang di-áthaf-kan pada kata al-layl.10Kata wasaq merupakan al-fi’l al-mâdhî dari kata al-wasq.
Menurut Raghib al-Asfahani, kata al-wasq berarti jam’u al-mutafarriq (mengumpulkan yang terpisah).11Dikatakan juga oleh asy-Syaukani, menurut ahli bahasa al-wasaq berarti dhamm al-syay‘ badhihi ilâ ba’dh (menggabungkan
sesuatu, sebagiannya dengan sebagian lainnya).12 Dengan demikian,
seperti dikemukakan az-Zamakhsyari, al-Alusi, Ibnu Athiyah, Ibnu Juzyi,
an-Nasafi, as-Samarqandi, dan lain-lain, wamâ wasaq berarti wamâ jama’a wa dhamma (apa yang dihimpunkan dan dikumpulkan).13
Dalam konteks ayat ini, kata wasaq berarti
mengumpulkan dan menghimpun segala sesuatu yang bertebaran pada siang
hari baik manusia, hewan ternak, maupun binatang buas. Hal itu karena
ketika malam tiba, segala sesuatu kembali ke tempatnya.14
Menurut as-Samarqandi, wa al-layl wa mâ wasaq berarti apa yang berkumpul bersama malam, yakni kegelapan dan bintang-bintang.15
Oleh karena itu, menurut ash-Shabuni, Allah SWT menyebut malam sebagai kebaikan atas hamba-Nya (QS al-An’am [6]: 96).
Saat pagi telah datang, mereka bertebaran, dan tatkala malam datang, semuanya kembali istrahat di tempat tinggalnya.16
Kemudian Allah SWT berfirman: wa al-qamar idza [i]ttasaq (dengan bulan saat purnama). Benda terakhir yang disebutkan sebagai al-muqsam bih adalah al-qamar (bulan). Ini adalah nama benda langit yang terbit pada malam hari dengan cahaya paling terang yang telah dikenal.
Kata [i]ttasaq merupakan bentuk ifta’ala dari kata al-wasq, artinya al-jam’u (mengumpulkan, menghimpun). Menurut al-Qurthubi kata ini bermakna: sempurna, berhimpun dan lurus. Al-Hasan berkata, “i[I]ttasaqa artinya imtala’a wa [i]jtama’a (penuh dan berkumpul).17
Saat dikaitkan dengan bulan, maknanya adalah bulan saat cahayanya penuh. Asy-Syaukani memaknai kata itu sebagai ijtama’a wa takâmala (berhimpun
dan sempurna).18 Ibnu Abbas berkata, “Saat bulan berhimpun dan rata.”
Pendapat yang sama juga dikemukakan Ikrimah, Mujahid, Said bin Jubair,
Masruq, Abu Shalih, adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid. Mereka juga memaknai kata
itu: idzâ [i]stawâ (saat rata). Al-Hasan berkata, “Saat berhimpun dan terisi penuh.” Qatadah, “Saat menjadi bulat.”
Setelah mengutip beberapa pendapat
tersebut, Ibnu Katsir menyimpulkan, “Semua pendapat mereka itu
menjelaskan bahwa bulan, jika cahayanya menjadi sempurna dan saat
purnama, menjadikannya sebagai lawan wa al-layl wa mâ wasaq.”
Bahwa al-muqsam bih dalam ayat
ini adalah bulan saat purnama dijelaskan pula oleh para mufassir lain
seperti al-Baidhawi, Ibnu Juzyi, as-Sa’di, dan lain-lain.19 Menurut
al-Farra’, itu terjadi pada tanggal tiga belas hingga enam belas.20
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Latarkabunna thabaq[an] ‘an thabaq (Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat [dalam kehidupan]). Ini merupakan jawâb al-qasam, yakni perkara yang disumpahkan.21
Dalam ayat ini, secara dhahir khithâb-nyaditujukan kepada Rasulullah saw. Meskipun demikian, khithâb tersebut juga berlaku bagi seluruh manusia.22 Sebab, tidak ada qarinah yang menunjukkan sebuah khithab hanya untuk Nabi saw. Kesimpulan itu makin kuat jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya: Yâ ayyuhâ al-insân (Wahai
manusia [ayat 6]). Yang diseru dalam ayat ini adalah manusia sebagai
suatu jenis. Makna ini pula yang terkandung dalam ayat ini. Menurut
an-Nasafi dan as-Sa’di, frasa latarkabunna (sungguh kamu akan melalui), yakni: ayuhâ al-nâs (wahai
manusia), dengan maksud untuk jenis. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh az-Zamakhsyari.23 Dengan demikian ayat ini memastikan
bahwa Rasulullah saw. dan umatnya akan melalui thabaq ‘an thabaq.
Menurut Ibnu Juzyi, kata ath-thabaq memiliki dua makna. Pertama: mâ thâbaqa ghayrahu (sesuatu yang bersesuaian atau setara dengan lainnya). Dikatakan: hadzâ thâbaqa hadzâ (ini sesuai dengan ini) saat bersesuaian. Kedua: merupakan bentuk jamak dari kata thabaqah (tingkat). Jika yang pertama, maka maknanya: Kamu berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain. Masing-masing dari keduanya bersesuaian. Jika yang kedua maka bermakna: Kamu berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain, yang keadaan lain di atas sebagian yang lain.24
Terdapat banyak penjelasan para mufassir tentang berbagai keadaan yang dialami manusia. Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata, “Melalui keadaan demi keadaan. Ini disabdakan oleh Nabi kalian saw.”
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ikrimah, Murrah ath-Thayyib, Mujahid, al-Hasan, al-Dhahhak, Masruq, dan Abu Shalih.25
Al-Hasan berkata, “Perkara demi perkara,
mudah setelah sukar, sukar setelah mudah, kaya setelah miskin, miskin
setelah kaya, sehat setelah sakit dan sakit setelah sehat.”26
Menurut as-Sa’di, berbagai keadaan yang dialami manusia adalah dari nuthfah, lalu menjadi mudhghah, kemudian ditiupkan ruh; setelah itu menjadi bayi, anak-anak, mumayyiz, kemudian berlaku baginya taklîf berupa
perintah dan larangan; lalu mati, kemudian dibangkitkan dan diberi
balasan atas amalan mereka. Menurut as-Sa’di, ini merupakan berbagai
tingkatan yang berbeda-beda yang dialami manusia. Itu semua menunjukkan
bahwa Dialah satu-satunya Yang disembah, Yang diesakan serta Yang
mengatur hamba-Nya dengan hikmah dan rahmat-Nya. Sesungguhnya manusia
lemah dan membutuhkan pengaturan Zat Yang Mahaperkasa lagi Maha
Penyayang.27
Semua penjelasan tersebut termasuk dalam cakupan berbagai keadaan yang dialami manusia dalam kehidupannya.
Perjalanan Kehidupan Manusia
Terdapat banyak pelajaran penting yang
dapat diambil dari ayat ini. Di antaranya adalah adanya berbagai keadaan
yang dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupannya. Menurut
al-Qurthubi, “Ayat ini merupakan petunjuk paling jelas tentang barunya
alam semesta sekaligus ketetapan tentang keberadaan Sang Pencipta. Para
ahli hikmah mengatakan bahwa siapa saja yang hari ini berada dalam suatu
keadaan, dan esoknya berada dalam keadaan yang lain, maka ketahuilah
bahwa di sana ada yang mengatur dirinya.”28
Firman Allah SWT latarkabunna thabaq[an] ‘an thabaq jelas
menunjukkan kesimpulan demikian. Sebagaimana telah dipaparkan, ayat ini
menerangkan berbagai keadaan yang dialami manusia. Manusia tidak
berhenti dalam suatu keadaan, tetapi melalui hâl[an] ba’da hâl, suatu keadaan setelah keadaan lain.
Manusia akan melalui berbagai keadaan
baik setara, berbeda-beda maupun lebih tinggi tingkatnya. Berkaitan
dengan perubahan fisik, tampak jelas manusia mengalami berbagai keadaan.
Manusia berawal dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu menjadi
segumpal darah, segumpal daging, hingga disempurnakan kejadiannya
setelah beberapa waktu yang telah Allah tetapkan. Kemudian Allah
mengeluarkan dia dari rahim ibunya sebagai bayi, kemudian menjadi
dewasa; lalu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan umurnya
sampai pikun (lihat QS al-Hajj [22]: 5).
Dalam hal kekuatan, manusia juga mengalami perubahan (lihat QS ar-Rum [30]: 59).
Keadaan besar yang pasti dialami manusia
adalah kematian. Peristiwa ini menghentikan perjalanan manusia hidup di
dunia. Namun, kematian bukanlah akhir perjalanan manusia. Saat Hari
Kiamat tiba, manusia kembali akan dihidupkan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Seperti yang diberitakan
dalam ayat sebelumnya, manusia akan mendapatkan kitab berisi catatan
amal perbuatan manusia; kemudian menerima balasan sesuai dengan amalnya
masing-masing. Ada yang dimasukkan ke dalam surga. Ada pula yang
dimasukkan ke dalam neraka. Itu semua adalah berbagai thabaq yang dilalui manusia.
Berbagai benda yang dijadikan sebagai
objek ayat-ayat ini makin mengukuhkan betapa Allah SWT berkuasa mengubah
berbagai keadaan yang dialami manusia. Benda pertama yang disebut
adalah warna merah di ufuk barat setelah matahari terbenam. Warna merah
menjadi penanda bagi berakhirnya siang hari. Berbagai aktivitas manusia
yang lazim dilakukan pada siang hari, suka atau tidak, harus berhenti
setelah matahari terbenam. Tak ada seorang pun bisa menunda, apalagi
mencegah peristiwa ini terjadi; termasuk ketika warna merah di ufuk
barat kemudian menghilang, yang menandakan malam makin larut.
Demikian pula dengan malam beserta semua
yang berkumpul ketika itu. Kehidupan di dunia tak hanya diisi dengan
siang yang terang-benderang, namun juga malam yang diselimuti dengan
kegelapan. Malam dan siang yang datang silih berganti adalah keadaan
yang terus-menerus di alami makhluk di dunia, termasuk manusia.
Pergantian itu juga menunjukkan perjalanan waktu bagi makhluk. Seiring
dengan itu, usia yang tersisa pada setiap makhluk terus berkurang hingga
akhirnya pada suatu saat habis. Saat itulah manusia harus meninggalkan
kehidupan dunia dan melanjutkan perjalanan berikutnya, yakni: alam
barzakh.
Bulan saat purnama yang disebutkan dalam ayat ini juga menjadi al-muqsam bih. Bulan
purnama adalah bulan berbentuk bundar dengan cahayanya yang sempurna.
Keberadan bulan purnama pada malam hari menjadi penerang yang pada
selainnya gulita. Kehadiran bulan purnama biasanya disambut dengan
gembira. Namun, harus diingat, bulan purnama hanyalah salah satu fase
yang terjadi pada bulan. Pada awalnya, bulan yang sebelumnya tidak
terlihat muncul sebagai bulan sabit. Terus membesar hingga bulat
sempurna. Perlahan bulatan itu terus berkurang hingga tak terlihat sama
sekali. Begitulah perubahan terus-menerus pada bulan.
Realitas alam itu pula yang dialami oleh
manusia. Ibarat hari, kehidupan manusia di dunia diawali dengan pagi
dan berakhir dengan matahari terbenam. Ibarat bulan, lahirnya manusia
sepertinya lahirnya bulan baru. Terus membesar hingga bentuk dan
cahayanya menjadi sempurna. Setelah fase itu dilalui, kemudian
berangsur-angsur berkurang, hingga akhirnya menghilang sama sekali dari
penglihatan. Semua itu terjadi atas kekuasaan Allah SWT. Tak ada sama
sekali peran manusia.
Begitulah berbagai keadaan dan fase
kehidupan manusia. Siapa pun yang mampu membaca tanda-tanda alam ini
dengan benar, niscaya akan segera melemparkan keangkuhan dan kesombongan
dari dirinya seraya merebahkan dirinya dalam ketaatan kepada Tuhan
semesta alam, Allah SWT.
Kita memohon kepada Allah SWT agar diberikan pertolongan dalam melewati semua keadaan yang kita hadapi.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Mahmud Shafi, Al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 283; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: 1994), 494.
2 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 512.
3 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 458.
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 358.
5 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 358.
7 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘an, vol. 10 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 275.
8 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 727; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 494; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 289-290; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 458; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li’Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 465; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1998), 298; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 545; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
9 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-Mu’âshrah, vol. 3(tt: ‘Alam al-Kutub, 2008), 2055.
10 Ahmad Ubaid, I’râb al-Qur‘ân al-‘Azhîm (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 432.
11 Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 871.
12 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 494
13 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 727; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 290; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 458; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li’Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 465; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 621; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 562;. Lihat juga ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
14 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 409; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 494.
15 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 562.
16 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
17 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 10 , 278; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 621; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li’ Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 466.
18 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495.
19 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5, 298; Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 466; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: al-Rsalah, 2000), 917.
20 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495.
21 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 495; ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, vol. 3, 512.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 358; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 290.
23 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3, 621; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 917; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 727.
24 Ibnu Juzyi, At-Tas-hîl li ’Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 466; An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 3, 621; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 290.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘an al-‘Azhîm, vol. 8, 359.
26 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 10, 279.
27 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 917.
28 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an, vol. 10, 279.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar