مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ
وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ
مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka.
Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya,
lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, kemudian menjadi besarlah
dia dan tegak lurus di atas pokokny. Tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan kaum Mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih di antara mereka
ampunan dan pahala yang besar (QS al-Fath [48]: 29).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Muhammad[un] Rasûlullâh wa al-ladzîna ma’ahu (Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia). Ayat
ini diawali dengan penyebutan nama Nabi Muhammad saw. yang disertai
dengan kedudukannya sebagai rasul-Nya; bahwa Beliau benar-benar seorang
rasul tanpa ada keraguan sedikit pun.
Disebutkan pula orang-orang yang bersama Beliau: wa al-ladzîna ma’ahu. Menurut pendapat jumhur, kata tersebut menunjuk kepada seluruh Sahabat Nabi saw.1 Pendapat
ini lebih tepat dibandingkan dengan pendapat sebagian mufassir yang
membatasi hanya Sahabat yang hadir dalam Perjanjian Hudaibiyah.2
Kemudian
dijelaskan beberapa sifat mereka yang menonjol. Mereka semua, yakni
Nabi Muhammad saw dan para Sahabatnya, memiliki sifat yang sama,3 yakni: asyiddâ’u ‘alâ al-kuffâr ruhamâu baynahum. Kata asyiddâ’u merupakan bentuk jamak dari kata syadîd, maknanya al-ghalîth al-qâsî (keras, tidak belas kasihan).4 Para mufassir menggambarkan sifat keras kaum Muslim terhadap kaum kafir itu laksana singa terhadap mangsanya.5 Sifat
ini mereka miliki lantaran memang diperintahkan Allah Swt. (Lihat: QS
at-Taubah [9]: 73; at-Taubah [9]: 123; at-Tahrim [66]: 9).
Sebaliknya, terhadap sesamanya mereka bersikap ruhamâ’u. Kata tersebut berasal dari kata ar-rahmah yang berarti ar-riqqah wa ta’aththuf (perasaan iba dan belas kasihan).6 Menurut ar-Raghib al-Asfahani, ar-riqqah itu mengharuskan tindakan ihsân terhadap pihak yang dirahmati. Oleh karenanya, kata rahmah kadang digunakan untuk menunjukkan perasaan belas kasihan, kadang juga untuk menunjukkan tindakan ihsân.7
Kasih-sayang di antara mereka digambarkan para mufassir seperti kasih sayang orangtua kepada anaknya.8 Demikian
eratnya ikatan dan kasih-sayang mereka hingga mereka ditetapkan sebagai
saudara (lihat QS al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah saw. juga
mengumpamakan mereka laksana satu tubuh, yang jika ada salah satu organ
yang sakit, seluruh tubuh turut demam dan berjaga (HR Muslim).
Sifat lainnya adalah: tarâhum rukka’[an] sujjad[an] (Kamu
melihat mereka rukuk dan sujud). Ibnu Katsir menjelaskan, itu
menunjukkan bahwa mereka banyak beramal dan mengerjakan shalat, dan itu
adalah sebaik-baiknya amal.9 Al-Baidhawi dan al-Zuhaili menyatakan, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk shalat.10
Semua
sifat mereka yang tampak—baik keras terhadap kaum kafir, saling
kasih-sayang sesama Mukmin, dan ketekunan mereka dalam
beribadah—dilakukan bukan karena riya atau ingin dilihat manusia. Allah
Swt. yang mengetahui rahasia yang tersimpan dalam hati manusia
berfirman: yabtaghûna fadhl[an] minaLlâh wa ridwân[an] (mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya). Kata fadhl[an] berarti ziyâdah (keutamaan). Dalam konteks ayat ini, kata tersebut bisa berarti tsawâb (pahala) atau al-jannah (surga). Adapun ridwân[an] berarti ridha Allah ‘Azza wa Jalla.11 Dengan
demikian, ayat ini memastikan bahwa ketaatan mereka benar-benar
dilandasi niat ikhlas, semata-mata mencari pahala dan ridha-Nya.
Selain kedua sifat itu mereka juga dapat dikenali dengan sebuah tanda, yakni: sîmâhum fî wujûhihim min atsar al-sujûd (Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud). Kata sîmâhum berarti ‘alâmatuhum (tanda-tanda mereka).12 Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud bekas sujud
dalam wajah mereka. Sebagian mufassir berpendapat, bekas sujud itu
sudah terlihat di dunia sekarang. Asy-Syaukani, al-Qinuji, dan Ibnu
Juzyi menuturkan, tanda itu terdapat di kening mereka disebabkan karena
banyak melakukan sujud siang dan malam.13 Az-Zamakhsyari
memberikan catatan, apabila bekas sujud itu dihasilkan dengan sengaja
agar terlihat tanda di keningnya, maka hal itu terkategori sebagai riya’
dan nifak.14
Menurut Atha’, bekas itu tampak pada wajah mereka yang bersinar karena shalat tahajud.15 Mujahid dan lainnya menjelaskan, bekas itu tercermin dalam sikap mereka yang khusuk dan tawaduk.16 Tak
mengherankan jika shalat mereka melahirkan sikap demikian. Sebab,
shalat yang benar dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (lihat QS
al-Ankabut [29]: 45).
Sebagian
lainnya menjelaskan, bekas itu akan terlihat di akhirat kelak. Abu Ali
al-Fadhl meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa pada Hari Kiamat kelak
bagian tubuh yang digunakan untuk sujud akan terlihat paling putih.17 Dalam QS Ali Imran [3]: 106 memang diberitakan bahwa penghuni surga wajahnya putih berseri.
Sifat-sifat mulia mereka itu tidak hanya diberitakan dalam al-Quran, namun dalam kitab-kitab sebelumnya. Allah Swt. berfirman: Dzâlika matslahum fî at-Tawrah. Kata al-matsal di sini bermakna ash-shifah (sifat).
Sifat-sifat mereka yang agung itu telah diberitakan dalam Taurat, yakni
kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Berita yang sama juga
diberitakan kepada Nabi Isa as. dan umatnya, yakni dalam kitab Injil.
Allah Swt, berfirman: wa matsaluhum fî al-Injîl. Pemberitaan ini mengisyaratkan betapa agungnya sifat-sifat yang mereka miliki.
Selanjutnya ayat ini menggambarkan perkembangan dengan sebuah perumpamaan dalam firman-Nya: kazar’[in] akhraja syath’ahu faazarahu fa[i]staghlazha fa[i]stawâ ‘alâ sûqihi (yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat, kemudian menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya). Perumpamaan ayat ini menggambarkan permulaan Islam
dan perkembangannya. Awalnya mereka sedikit dan lemah, terus berkembang
hingga menjadi kuat dan berkuasa.18 Perkembangan tersebut juga diceritakan dalam QS al-Anfal [8]: 26.
Pada
awalnya Rasulullah saw. diutus hanya sendirian. Kemudian diikuti oleh
orang-orang yang mengimani Beliau dan menjadi Sahabat Beliau. Beliau
ibarat tanaman (al-zar’) yang mengeluarkan tunas-tunasnya (al-syath’).
Para Sahabat itu tidak tinggal diam. Setelah beriman, mereka juga turut
berjuang dan berdakwa. ‘Tunas-tunas’ yang tumbuh di samping kiri dan
kanannya itu kian lebat dan saling menguatkan. Ayat ini menyebutnya faazarahu (menguatkannya) yang bermakna a’ânahu wa qawâhu (membantu dan menguatkannya).19
Kian lama, jumlah mereka kian banyak. Tubuh mereka juga semakin besar dan kuat hingga terjadi: fa[i]staghlazha, yakni ‘berubah, dari lembut menjadi keras’.20 Sebagai
entitas, mereka semakin kokoh dan sempurna. Meskipun demikian, itu
tidak membuat mereka lupa. Sebaliknya, hati mereka semakin tertancap
dalam akidah Islam. ‘Tanam-tanaman’ itu dinyatakan: fa[i]stawâ ‘alâ sûqihi (tegak lurus di atas pokoknya). Menurut as-Sa’di, kata fa[i]stawâ berarti kuat dan lurus.21
Perkembangan spektakular itu mempesona penanamnya. Allah Swt. berfirman: yu’jibu al-zurrâ (Tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya). Mereka adalah para pengemban
dakwah yang menebarkan ‘benih’ Islam di tengah kehidupan. Mereka merasa
puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Kesempurnaan, keadilan, dan
keunggulan dan kekuatan kaum Muslim benar-benar menyenangkan hati para
pengemban dakwah itu.
Perasaan sebaliknya terjadi pada kaum kafir. Mereka amat benci dengan perkembangan tersebut. Allah Swt. berfirman: liyughîzha bihim al-kuffâr (karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir). Hal itu tentu tak
mengherankan. Sebab, mereka menolak Islam dan menentangnya. Mereka juga
melakukan berbagai upaya untuk melenyapkan tunas Islam yang baru tumbuh.
Akan tetapi, semua upaya mereka sia-sia. Atas pertolongan Allah Swt.,
Islam yang mereka benci bertambah subur, besar dan kuat. Sebagaimana
dijanjikan dalam ayat sebelumnya (QS al-Fath [48]: 28), agama ini akan
dimenangkan-Nya atas seluruh agama. Hal itu dimaksudkan untuk membuat
jengkel hati mereka.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wa’adallâh al-ladzîna âmanû wa amilû ash-shâlihât minhum maghfirat[an] wa ajr[an] ‘azhîm[an] (Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
di antara mereka ampunan dan pahala yang besar). Kata min dalam minhum bermakna li al-bayân (untuk menjelaskan) sebagaimana kata min dalam QS al-Hajj [22]: 30.22 Berarti, janji itu ditujukan kepada semua orang yang beriman dan beramal salih. Makna
tersebut sejalan dengan banyak ayat lainnya, seperti QS al-Baqarah [2]:
25, Ali Imran [3]: 57, an-Nisa’ [4]: 57, dan lain-lain.
Mereka akan mendapatkan magfirah (ampunan) atas dosa-dosa yang telah terlanjur mereka kerjakan. Ampunan
itu hanya berlaku bagi kaum Mukmin dan tidak bagi kaum kafir. Sebab,
ampunan Allah Swt. terbuka bagi semua dosa yang dikerjakan manusia, kecuali dosa perbuatan syirik (QS a-Nisa’ [4]: 4).
Selain ampunan, amal kebaikan kaum Mukmin juga diterima Allah Swt. Mereka pun diberi ajr[an] ‘azhîm[an] (pahala
besar) atas iman dan amal salih yang mereka lakukan. Demikian besarnya
hingga pahala yang diberikan itu terus mengalir tak terputus, ajr[un] ghayr mamnûn (lihat
QS Fushilat [41]: 8, al-Insyiqaq [84]: 25, dan al-Tin [95]: 6). Wajar
saja, sebagaimana disebutkan sebelumnya, karena mereka memang melakukan
berbagai amal salih itu untuk mencari pahala dan ridha-Nya.
Resep Kemenangan
Di
antara perkara yang diberitakan ayat ini adalah kemenangan yang diraih
Rasulullah saw. dan para Sahabatnya. Awalnya mereka adalah umat yang
sedikit dan lemah. Kemudian mereka bertambah banyak dan kuat. Mereka pun
berhasil meraih kekuasaan, menjadi umat yang disegani, dan
menjengkelkan kaum kafir. Sejarah mencatat, dalam waktu singkat mereka
berhasil menguasai wilayah yang amat luas. Imperium Persia, negara
adidaya saat itu, dengan mudah dapat ditaklukkan. Sebagian wilayah
imperium Romawi juga berhasil direbut.
Menarik
sekali, berita keberhasilan itu didahului dengan pemaparan sifat-sifat
mereka. Seolah mengisyaratkan, sifat-sifat itulah yang menjadi resep
untuk mengantarkan keberhasilan mereka. Jika kaum Muslim kini ingin
mendapatkan kemenangan serupa, mereka pun harus memiliki sifat-sifat itu
sebagaimana pendahulu mereka. Sifat-sifat itu antara lain:
Pertama,
memahami benar siapa yang menjadi kawan atau lawan mereka, serta
bagaimana memperlakukannya. Dalam pertarungan, pemahaman ini sangat
penting dimiliki. Kesalahan dalam mengidentifikasi kawan atau lawan,
pasti akan berakibat fatal. Betapa bahayanya jika ada seorang lawan,
namun dianggap kawan. Tentulah dia diperlakukan sebagai kawan. Perlakuan
itu jelas akan memudahkan bagi lawan untuk menikam dan mengalahkan
musuhnya. Demikian pula jika ada seorang kawan tetapi dianggap sebagai
lawan. Kawan itu pasti akan diperlakukan sebagai musuh yang dibenci dan
dicurigai. Akibatnya bisa telak. Kawan yang seharusnya menjadi bagian
dari kekuatan itu akan berubah menjadi lenyap berganti menjadi musuh.
Hal ini tentu akan melemahkan kekuatan.
Generasi awal kaum Muslim jelas memahami sikap demikian. Terhadap kaum kafir yang senantiasa memusuhi Islam dan memerangi umatnya, mereka bersikap keras, asiddâ’u.
Sikap keras itu amat diperlukan untuk menghentikan permusuhan kaum
kafir itu sehingga takut melakukan perlawanan. Sikap sebaliknya mereka
terapkan terhadap sesama kaum Mukmin. Terhadap orang-orang yang memiliki
kesamaan akidah dan berada dalam satu barisan perjuangan Islam,
generasi awal Islam mengembangkan sikap ruhamâ’ (lembut dan kasih sayang). Sikap demikian akan memperkuat soliditas barisan mereka.
Kedua, ketekunan mereka dalam beribadah. Demikian tekunnya hingga seolah hidup mereka dihabiskan untuk beribadah: tarâhum rukka’[an] sujjad[an]. Taqarrub mereka terhadap Allah Swt. tak berhenti dalam ibadah mahdhah, namun memberikan pengaruh besar dalam kehidupan mereka.
Patut
dicatat, dalam memenangkan agama-Nya dan mengalahkan musuh-musuh-Nya,
mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik dan menempuh sebab-sebab
material. Mereka juga ber-taqarrub kepada Allah Swt. seraya
memohon pertolongan-Nya. Allah Swt. pun mengabulkan permohonan mereka.
Ketika berhadapan dengan kaum kafir di Badar yang jumlahnya jauh lebih
besar, Allah memberikan pertolongan kepada kaum Muslim (lihat QS Ali
Imran [3]: 123). Demikian juga pada Perang Khandaq (lihat QS al-Ahzab
[33]: 9).
Ketiga,
keikhlasan mereka dalam beramal. Niat yang ikhlas akan menjadikan
pelakunya istiqamah dan pantang menyerah dalam berjuang, juga tak takluk
dengan ancaman dan celaan. Kerinduan mereka akan surga dan ridha-Nya
membuat mereka tak tergiur dengan godaan dunia. Bahkan mereka rela
mengorbankan aneka kenikmatan dunia demi meraih surga dan ridha-Nya.
Wajarlah jika mereka mendapatkan pertolongan-Nya. Sebab, mereka telah
bersungguh-sungguh menolong agama-Nya (lihat QS Muhammad [47]: 7,
al-Mukmin [40]: 51). Tak hanya kemenangan di dunia, mereka juga sukses
di akhirat. Mereka berhasil mendapatkan surga-Nya. Telah maklum, selain shawâb (sesuai dengan syariah), ikhlâsh (ikhlas karena Allah Swt.) juga menjadi syarat diterimanya suatu amal. Kedua syarat itu telah mereka penuhi.
Wallâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, MEI]
Catatan kaki:
1 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 140 ; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 69; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 353.
2 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 140; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 (Qathar: Idarah Ihya’ al-Turats al-islami, 1989), 119.
3 Pendapat ini dikemukakan oleh banyak mufassir seperti Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl,
vol. 2, 353. Ada pula yang berpendapat bahwa bahwa sifat itu hanya
merujuk kepada Sahabat. Rasulullah saw. tidak tercakup ke dalamnya
seperti pendapat Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 140. Tampaknya, pendapat pertama lebih dapat diterima.
4 Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih,vol. 3 (Zaqaziq: Dar al-Tafsir, 1992), 495; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Nahr al-Khair, 1993), 117.
5 Al-Baiqai, Nazhm ad-Durar, vol, 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 215; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 118; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 146 ; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 185; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 121.
6 Abu Bakr al-Razi, Tartîb Mukhtâr al-Shihah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 294
7 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 196.
8 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 118; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 4, 185; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4, 121; al-Zuhaili, at-Tafsîr al-Munîr, vol. 16 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 205; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 117
9 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 240.
10 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 314; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 16, 205
11 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,vol. 5, 117.
12 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 578; al-Baiqai, Nazhm ad-Durar, vol, 7, 216; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 510.
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 118; Ibnu Juzyi al-Kalbi, at-Tashîl, vol. 2, 353.
14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 338.
15 Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 153.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4, 240; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 8, 510.
17 Abu Ali al-Fadhl, Majma al- Bayân, vol. 8 (tt: Dar al-Ma’rifah, tt), 192. Pendapat senada juga disampaikan al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,vol. 5, 117
18 Dengan
ungkapan yang agak berbeda, demikianlah yang disampaikan para mufassir
ketika menjelaskan perumpaaan dalam ayat ini, seperti Ibnu Juzyi
al-Kalbi, al-Tashîl, vol. 2, 354; al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân,vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 398; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 121; al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 28 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 94; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 194
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 278.
20 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîll, vol. 2, 576; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13, 280; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 6 153.
21 Abdurrahman al-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân,vol. 5 (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1993), 66.
22 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 338; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîll, vol. 2, 578; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 102; al-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar