Sabtu, 06 Desember 2014

RASULULLAH SAW. DAN NASIB PEMBENCINYA

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ، إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ

Sesungguhnya Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak. Karena itu, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus  (QS al-Kautsar [108]: 1-3).

Surat ini dinamakan al-Kautsar karena di dalam salah satu ayatnya—yakni ayat pertama—terdapat kata tersebut. Surat ini hanya terdiri dari tiga ayat dan oleh karena itu termasuk dalam surat terpendek dalam al-Quran selain al-’Ashr dan an-Nashr. Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Kalbi, dan Muqatil, surat ini tergolong Makkiyyah.1 Demikian juga menurut Aisyah. Ditegaskan al-Baihaqi, pendapat ini masyhur di kalangan mufassirin.2 Namun, al-Hasan, Ikrimah, Mujahid dan Qatadah menyatakan ayat tersebut sebagai Madaniyyah.3 Ini juga yang dipilih Ibnu Katsir. Menurut beliau, ini merupakan pendapat sebagian besar qurrâ.4 Ibnu Jubair menuturkan bahwa ayat ini turun pada Peristiwa Hudaibiyah, perjanjian damai dengan Qurays.5
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Innâ a’thaynâka al-Kautsar (Sesungguhnya Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak). Kata innâ berasal dari harf ta’kîd inna (sesungguhnya) dan nahnu (kami). Dijelaskan az-Zuhaili, shîghah al-jam’i (bentuk jamak) tersebut menunjukkan makna at-ta’zhîm (mengagungkan, memuliakan).6 Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika dimaknai li at-ta’zhîm, itu merupakan penegasan tentang besarnya pemberian yang diberikan. Sebab, pemberinya adalah Penguasa langit dan bumi, dan pihak yang diberi adalah salah satu di antaranya. Inilah yang diisyaratkan dengan kâf al-khithâb dalam frasa innâ a’thaynâka. Adapun perkara yang diberikan adalah apa yang disebut sebagai al-kawtsar, yakni mubâlaghah dari kata al-katsrah (banyak). Ketika kata itu dirasakan menunjukkan betapa agungnya Sang Pemberi, pihak yang diberi dan perkara yang diberikan, maka kenikmatan apa lagi yang lebih besar dan lebih mulia daripadanya; kemuliaan apa lagi yang lebih tinggi daripadanya?7
Secara bahasa kata al-kawtsar berasal dari kata al-katsrah (banyak). Bentuk tersebut digunakan untuk menggambarkan li al-mubâlaghah, seperti an-nawfal dari kata an-nafl dan al-jawhar dari kata al-jahr. Orang Arab menyebut segala sesuatu yang banyak jumlah, kadar dan takarannya sebagai kawtsar.8
Dalam konteks ayat ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai makna al-kawtsar. Ada yang memaknainya dengan makna bahasanya. Di antaranya adalah asy-Syaukani. Menurut beliau, ayat ini berarti: Sesungguhnya Kami telah memberi kamu —wahai Muhammad­—kebaikan yang amat banyak hingga banyaknya mencapai puncaknya.9
Ada pula yang menafsirkan al-katsrah di sini sebagai kenabian dan Kitab, seperti dinyatakan ‘Ikrimah; al-Quran, menurut al-Hasan; al-Islam menurut al-Mughirah; kemudahan al-Quran dan keringanan syariahnya; menurut al-Husain bin al-Fadhl; banyaknya sahabat, umat dan pengikutnya, menurut Abu Bakar bin ‘Iyas; dan beberapa penafsiran lainnya.10
Menurut sebagian besar mufassir, al-kautsar adalah nama sebuah sungai atau telaga di surga, Penafsiran ini merujuk pada penjelasan Nabi saw. Anas ra. berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, beliau mengantuk sekejap. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami pun bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Rasulullah lalu menjawab, “Baru saja turun kepadaku sebuah surat.” Lalu beliau membaca surat al-Kautsar hingga selesai. Kemudian beliau bertanya, “Tahukah kalian, apakah al-Kautsar itu?” Kami pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Al-Kautsar itu adalah sungai yang dijanjikan Rabb-ku ’Azza wa Jalla untukku. Di sana terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada Hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).
Anas bin Malik juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Apakah al-Kawtsar itu?” Beliau menjawab, “Itu adalah sungai yang akan diberikan Allah kepadaku di surga; lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Di dalamnya terdapat burung yang lehernya seperti leher unta (HR at-Tirmidzi).
Menurut Ibnu ’Athiyah, ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu ’Abbas dan jamaah Sahabat dan tabi’in.11 Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Pendapat yang paling tepat menurutku adalah pendapat yang mengatakan bahwa al-kawtsar adalah nama sungai di surga yang dianugerahkan kepada Rasulullah di surga kelak. Allah menyebutkan ciri khasnya dengan sifat katsrah (melimpah ruah) sebagai pertanda ketinggian kedudukannya. Kami mengatakan ini sebagai penafsiran yang paling tepat lantaran banyaknya riwayat dari Rasulullah saw. yang menjelaskannya.”12
Setelah mengutip beberapa pendapat para mufassir mengenai makna al-kawtsar, al-Qurtubi pun menyimpulkan, “Penjelasan yang paling benar adalah pendapat yang pertama dan kedua (sungai dan telaga di surga, pen.), karena kedua perkataan tersebut ditetapkan oleh Nabi saw. dalam sebuah nas tentang al Kautsar.”13
Namun, ada pula yang menggabungkan kedua makna tersebut. Inilah yang dilakukan oleh Ibnu ’Abbas dan Said bin Jubair (HR al-Bukhari).
Ibnu Athiyah juga mendukung pendapat ini seraya berkata, “Alangkah indahnya pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan alangkah baiknya penyempurnaan keterangan dari Ibnu Jubair. Masalah sungai (di surga) telah ditetapkan dalam hadis Isra (mi’raj) dan hadits lainnya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat-Nya kepada Muhammad dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan hidayah-Nya.”14
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir yang menyatakan, “Penafsiran ini bisa mencakup sungai dan selainnya. Sebab, al-Kawtsar berasal dari kata al-katsrah, yaitu kebaikan yang melimpah ruah; dan di antaranya adalah sungai sebagaimana telah diriwayatkan Ibnu ’Abbas, Said bin Jubair, Mujahid, Muharib bin Ditsar, al-Hasan bin Abu al-Hasan al-Bashri.”15
Digunakannya shîghah al-mâdhî (bentuk masa lampau) a’thaynâ (Kami telah memberi kamu) tidak menghalangi penafsiran al-kawtsar sebagai nama sungai di surga. Sebab, itu untuk menunjukkan kepastian terjadinya janji tersebut sehingga seolah-olah sudah terjadi dan teralisasi.16
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Fashalli li Rabbika wa [i]nhar (Karena itu, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah). Perintah untuk shalat di sini mencakup shalat wajib dan shalat nafilah. Adapun an-nahr berarti al-hadi wa an-nusuk wa adh-dhahâyâ (sembelihan kurban dalam ibadah haji dan Idul Adha). Demikian penjelasan Abu Hayyan al-Andalusi.17 Penyebutan li Rabbika menunjukkan bahwa ibadah itu harus benar-benar dikerjakan semata untuk Allah SWT, bukan untuk selain-Nya. Muhammad bin Kaab berkata, “Sesungguhnya orang-orang mengerjakan shalat dan berkurban untuk selain Allah. Sungguh telah Kuberikan al-kawtsar, maka janganlah shalat dan kurbanmu untuk selain-Nya”18
Secara keseluruhan, menurut Ibnu Katsir, ayat ini bermakna, “Sebagaimana telah Kami berikan kepadamu kebaikan yang melimpah-ruah di dunia dan di akhirat—dan di antaranya adalah sungai yang telah dijelaskan sifat-sifatnya—maka ikhlaskanlah untuk Tuhanmu dalam shalat wajib dan shalat sunnah serta berkurbanlah. Sembahlah Dia satu-satunya, tidak ada sekutu bagi Dirinya, dan berkurbanlah atas nama-Nya satu-satunya, sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS al-An’am [6]: 162-163).19
Sikap tersebut tentu bertentangan dengan kaum musyrik yang bersujud kepada selain Allah dan menyembelih atas selain nama-Nya, sebagaimana diberitakan dalam QS al-An’am [6]: 121.20
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Inna syâniaka huwa al-abtar (Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus). Kata syânia berarti al-mubghidh (yang membenci). Adapun al-abtar, jika disematkan kepada ar-rijâl, berarti laki-laki yang tidak memiliki anak. Jika disematkan pada binatang, berarti binatang yang tidak punya ekor. Semua perkara yang terputus dari kebaikan dan peninggalannya adalah abtar.21 Al-Qurthubi juga menyatakan bahwa bangsa Arab menyebut seseorang yang memiliki anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, kemudian semua anak laki-lakinya mati dan yang tersisa hanya anak-anak perempuan sebagai abtar.22 Secara ringkas, an-Nasafi memaknai al-abtar sebagai al-munqathi’ ‘an kulli khayr (yang terputus dari segala kebaikan).23
Ditegaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang membenci Rasulullah saw. adalah orang yang terputus dari rahmat Allah meskipun mereka punya anak. Anak-anak mereka pun itu tidak bermanfaat bagi mereka.24 Meskipun menurut sebagian riwayat ayat ini turun berkenaan dengan Ash bin Wail yang mengolok-olok Rasululullah saw. sebagai abtar lantaran semua anak laki-laki beliau meninggal. Akan tetapi, ayat ini berlaku umum, mencakup semua orang yang membenci beliau. Sebab, pelajaran itu diambil dari umumnya lafal, bukan khususnya sebab.25 Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ungkapan, “Sesungguhnya orang yang membencimu, wahai Muhammad, dan membenci apa yang kamu bawa berupa petunjuk, kebenaran, bukti kebenaran, sinar dan cahaya yang terang adalah al-abtar; paling sedikit, paling hina dan terputus penyebutan terhadapnya.”26
Kenikmatan dan Siksa
Sekalipun pendek, ayat ini mengandung pelajaran yang amat banyak dan penting bagi manusia. Di antaranya: Pertama, besarnya karunia dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada Rasulullah saw. Karunia tersebut disebut dalam ayat pertama sebagai al-kawtsar. Sebagaimana telah diungkap, kata tersebut menunjuk pada kenikmatan yang amat banyak dan melimpah-ruah, solah tak terputus: diutusnya beliau sebagai nabi dan rasul, bahkan kedudukannya sebagai sayyid al-anbiyâ’ wa al-mursalîn, risalah yang berlaku bagi seluruh manusia hingga akhir zaman, al-Quran yang penuh dengan petunjuk dan terus dipelihara kemurniannya, senantiasa mendapatkan shalawat dari Allah SWT dan para malaikat-Nya, dan berbagai kenikmatan lainnya yang tak terhitung jumlahnya hingga kenikmatan puncak yang tidak ada taranya, yakni surga dengan sungainya yang amat indah dan dipenuhi dengan kebaikan yang disebut sebagai al-kautsar.
Melimpahnya kenikmatan itu tidak berhenti untuk beliau, namun juga mengalir kepada umatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di atas, sungai surga yang dijanjikan kepada Rasulullah saw. itu juga akan dinikmati oleh umatnya.
Kedua, perintah untuk mensyukuri nikmat dengan beribadah kepada-Nya. Setelah dikabarkan mengenai besarnya kenikmatan yang telah diberikan, Allah SWT pun memerintahkan kepada beliau untuk mengerjakan shalat dan berkurban. Kedua ibadah itu dilakukan benar-benar ikhlas kepada-Nya. Perintah kepada Rasulullah saw. juga berlaku bagi umatnya.
Penyebutan kedua ibadah itu juga menunjukkan betapa agung dan pentingnya ibadah tersebut. Shalat merupakan ibadah yang menyangkut badan dan berkurban menyangkut harta.
Ketiga, hukuman bagi orang yang membenci Rasulullah saw. dan risalahnya. Nasib mereka sangat kontradiktif dengan orang-orang yang mereka benci: Rusulullah saw. dan umatnya. Mereka bukan hanya tidak mendapatkan tetesan al-kawtsar, namun justru mendapatkan celaka. Dalam ayat ini ditegaskan, nasib mereka benar-benar akan terputus dari semua kebaikan; kebaikan dunia dan akhirat. Berbagai simbol-simbol duniawi yang mereka banggakan seperti harta, anak-anak, dan kekuasaan, sama sekali tidak berguna bagi mereka (lihat juga QS al-Haqqah [69]: 28-29, al-Mumtahanah [60] 3). Kita berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan mereka. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 216.
2 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 695.
3 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 216; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tt), 244.
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 498; Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 520; juga mengutip kesimpulan al-Hasan, ‘Ikrimah, dan Qatadah bahwa ini merupakan pendapat jumhur.
5 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 529; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 705.
6 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 433.
7 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 32 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 121.
8 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 216; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol..5 (tt: Dar al-Wafa, tt), 677; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl.
9 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 677.
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 217-218.
11 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001).
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Tawîl al-Qur’ân, vol. 24.
13 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 218.
14 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, ), 529
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503.
16 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 433
17 Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 521.
18 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 220.
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503.
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503.
21 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 678.
22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 222.
23 An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001).
24 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 530
25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 678.
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503

Tidak ada komentar:

Posting Komentar