إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ، إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ
Sesungguhnya
 Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak. Karena itu, dirikanlah 
shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang 
membenci kamu, dialah yang terputus  (QS al-Kautsar [108]: 1-3).
Surat ini dinamakan al-Kautsar karena
 di dalam salah satu ayatnya—yakni ayat pertama—terdapat kata tersebut. 
Surat ini hanya terdiri dari tiga ayat dan oleh karena itu termasuk 
dalam surat terpendek dalam al-Quran selain al-’Ashr dan an-Nashr. 
Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Kalbi, dan Muqatil, surat ini tergolong 
Makkiyyah.1 Demikian juga menurut Aisyah. Ditegaskan al-Baihaqi, pendapat ini masyhur di kalangan mufassirin.2 Namun, al-Hasan, Ikrimah, Mujahid dan Qatadah menyatakan ayat tersebut sebagai Madaniyyah.3 Ini juga yang dipilih Ibnu Katsir. Menurut beliau, ini merupakan pendapat sebagian besar qurrâ.4 Ibnu Jubair menuturkan bahwa ayat ini turun pada Peristiwa Hudaibiyah, perjanjian damai dengan Qurays.5
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Innâ a’thaynâka al-Kautsar (Sesungguhnya Kami telah memberi kamu nikmat yang banyak). Kata innâ berasal dari harf ta’kîd inna (sesungguhnya) dan nahnu (kami). Dijelaskan az-Zuhaili, shîghah al-jam’i (bentuk jamak) tersebut menunjukkan makna at-ta’zhîm (mengagungkan, memuliakan).6 Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika dimaknai li at-ta’zhîm, itu
 merupakan penegasan tentang besarnya pemberian yang diberikan. Sebab, 
pemberinya adalah Penguasa langit dan bumi, dan pihak yang diberi adalah
 salah satu di antaranya. Inilah yang diisyaratkan dengan kâf al-khithâb dalam frasa innâ a’thaynâka. Adapun perkara yang diberikan adalah apa yang disebut sebagai al-kawtsar, yakni mubâlaghah dari kata al-katsrah (banyak). Ketika
 kata itu dirasakan menunjukkan betapa agungnya Sang Pemberi, pihak yang
 diberi dan perkara yang diberikan, maka kenikmatan apa lagi yang lebih 
besar dan lebih mulia daripadanya; kemuliaan apa lagi yang lebih tinggi 
daripadanya?7
Secara bahasa kata al-kawtsar berasal dari kata al-katsrah (banyak). Bentuk tersebut digunakan untuk menggambarkan li al-mubâlaghah, seperti an-nawfal dari kata an-nafl dan al-jawhar dari kata al-jahr. Orang Arab menyebut segala sesuatu yang banyak jumlah, kadar dan takarannya sebagai kawtsar.8 
Dalam konteks ayat ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu mengenai makna al-kawtsar. Ada yang memaknainya dengan makna bahasanya. Di antaranya adalah asy-Syaukani. Menurut beliau, ayat ini berarti: Sesungguhnya Kami telah memberi kamu —wahai Muhammad—kebaikan yang amat banyak hingga banyaknya mencapai puncaknya.9 
Ada pula yang menafsirkan al-katsrah
 di sini sebagai kenabian dan Kitab, seperti dinyatakan ‘Ikrimah; 
al-Quran, menurut al-Hasan; al-Islam menurut al-Mughirah; kemudahan 
al-Quran dan keringanan syariahnya; menurut al-Husain bin al-Fadhl; 
banyaknya sahabat, umat dan pengikutnya, menurut Abu Bakar bin ‘Iyas; 
dan beberapa penafsiran lainnya.10 
Menurut sebagian besar mufassir, al-kautsar adalah nama sebuah sungai atau telaga di surga, Penafsiran ini merujuk pada penjelasan Nabi saw. Anas ra. berkata: Pada
 suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, beliau mengantuk 
sekejap. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami pun
 bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Rasulullah 
lalu menjawab, “Baru saja turun kepadaku sebuah surat.” Lalu beliau 
membaca surat al-Kautsar hingga selesai. Kemudian beliau bertanya, 
“Tahukah kalian, apakah al-Kautsar itu?” Kami pun menjawab, “Allah dan 
Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda, “Al-Kautsar itu adalah
 sungai yang dijanjikan Rabb-ku ’Azza wa Jalla untukku. Di sana terdapat
 kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada 
Hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).
Anas bin Malik juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Apakah al-Kawtsar itu?” Beliau menjawab, “Itu
 adalah sungai yang akan diberikan Allah kepadaku di surga; lebih putih 
daripada susu dan lebih manis daripada madu. Di dalamnya terdapat burung
 yang lehernya seperti leher unta (HR at-Tirmidzi). 
Menurut Ibnu ’Athiyah, ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu ’Abbas dan jamaah Sahabat dan tabi’in.11 Ibnu Jarir ath-Thabari juga berkata, “Pendapat yang paling tepat menurutku adalah pendapat yang mengatakan bahwa al-kawtsar adalah nama sungai di surga yang dianugerahkan kepada Rasulullah di surga kelak. Allah menyebutkan ciri khasnya dengan sifat katsrah
 (melimpah ruah) sebagai pertanda ketinggian kedudukannya. Kami 
mengatakan ini sebagai penafsiran yang paling tepat lantaran banyaknya 
riwayat dari Rasulullah saw. yang menjelaskannya.”12
Setelah mengutip beberapa pendapat para mufassir mengenai makna al-kawtsar, al-Qurtubi pun menyimpulkan, “Penjelasan yang paling benar adalah pendapat yang pertama dan kedua (sungai dan telaga di surga, pen.), karena kedua perkataan tersebut ditetapkan oleh Nabi saw. dalam sebuah nas tentang al Kautsar.”13 
Namun, ada 
pula yang menggabungkan kedua makna tersebut. Inilah yang dilakukan oleh
 Ibnu ’Abbas dan Said bin Jubair (HR al-Bukhari).
Ibnu Athiyah juga mendukung pendapat ini seraya berkata, “Alangkah
 indahnya pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan alangkah 
baiknya penyempurnaan keterangan dari Ibnu Jubair. Masalah sungai (di 
surga) telah ditetapkan dalam hadis Isra (mi’raj) dan hadits lainnya. 
Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat-Nya kepada Muhammad dan 
semoga Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan hidayah-Nya.”14 
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir yang menyatakan, “Penafsiran ini bisa mencakup sungai dan selainnya. Sebab, al-Kawtsar berasal dari kata al-katsrah,
 yaitu kebaikan yang melimpah ruah; dan di antaranya adalah sungai 
sebagaimana telah diriwayatkan Ibnu ’Abbas, Said bin Jubair, Mujahid, 
Muharib bin Ditsar, al-Hasan bin Abu al-Hasan al-Bashri.”15
Digunakannya shîghah al-mâdhî (bentuk masa lampau) a’thaynâ (Kami telah memberi kamu) tidak menghalangi penafsiran al-kawtsar sebagai
 nama sungai di surga. Sebab, itu untuk menunjukkan kepastian terjadinya
 janji tersebut sehingga seolah-olah sudah terjadi dan teralisasi.16 
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Fashalli li Rabbika wa [i]nhar (Karena
 itu, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah). Perintah untuk
 shalat di sini mencakup shalat wajib dan shalat nafilah. Adapun an-nahr berarti al-hadi wa an-nusuk wa adh-dhahâyâ (sembelihan kurban dalam ibadah haji dan Idul Adha). Demikian penjelasan Abu Hayyan al-Andalusi.17 Penyebutan li Rabbika menunjukkan
 bahwa ibadah itu harus benar-benar dikerjakan semata untuk Allah SWT, 
bukan untuk selain-Nya. Muhammad bin Kaab berkata, “Sesungguhnya 
orang-orang mengerjakan shalat dan berkurban untuk selain Allah. Sungguh
 telah Kuberikan al-kawtsar, maka janganlah shalat dan kurbanmu untuk 
selain-Nya”18 
Secara 
keseluruhan, menurut Ibnu Katsir, ayat ini bermakna, “Sebagaimana telah 
Kami berikan kepadamu kebaikan yang melimpah-ruah di dunia dan di 
akhirat—dan di antaranya adalah sungai yang telah dijelaskan 
sifat-sifatnya—maka ikhlaskanlah untuk Tuhanmu dalam shalat wajib dan 
shalat sunnah serta berkurbanlah. Sembahlah Dia satu-satunya, tidak ada 
sekutu bagi Dirinya, dan berkurbanlah atas nama-Nya satu-satunya, 
sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah, 
“Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, 
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Demikian itulah yang 
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama 
menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS al-An’am [6]: 162-163).19
Sikap 
tersebut tentu bertentangan dengan kaum musyrik yang bersujud kepada 
selain Allah dan menyembelih atas selain nama-Nya, sebagaimana 
diberitakan dalam QS al-An’am [6]: 121.20 
Surat ini diakhiri dengan firman-Nya: Inna syâniaka huwa al-abtar (Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus). Kata syânia berarti al-mubghidh (yang membenci). Adapun al-abtar, jika disematkan kepada ar-rijâl,
 berarti laki-laki yang tidak memiliki anak. Jika disematkan pada 
binatang, berarti binatang yang tidak punya ekor. Semua perkara yang 
terputus dari kebaikan dan peninggalannya adalah abtar.21 Al-Qurthubi
 juga menyatakan bahwa bangsa Arab menyebut seseorang yang memiliki 
anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, kemudian semua anak 
laki-lakinya mati dan yang tersisa hanya anak-anak perempuan sebagai abtar.22 Secara ringkas, an-Nasafi memaknai al-abtar sebagai al-munqathi’ ‘an kulli khayr (yang terputus dari segala kebaikan).23
Ditegaskan 
dalam ayat ini bahwa orang-orang yang membenci Rasulullah saw. adalah 
orang yang terputus dari rahmat Allah meskipun mereka punya anak. 
Anak-anak mereka pun itu tidak bermanfaat bagi mereka.24 Meskipun menurut sebagian riwayat ayat ini turun berkenaan dengan Ash bin Wail yang mengolok-olok Rasululullah saw. sebagai abtar lantaran
 semua anak laki-laki beliau meninggal. Akan tetapi, ayat ini berlaku 
umum, mencakup semua orang yang membenci beliau. Sebab, pelajaran itu 
diambil dari umumnya lafal, bukan khususnya sebab.25 Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ungkapan, “Sesungguhnya
 orang yang membencimu, wahai Muhammad, dan membenci apa yang kamu bawa 
berupa petunjuk, kebenaran, bukti kebenaran, sinar dan cahaya yang 
terang adalah al-abtar; paling sedikit, paling hina dan terputus 
penyebutan terhadapnya.”26 
Kenikmatan dan Siksa
Sekalipun pendek, ayat ini mengandung pelajaran yang amat banyak dan penting bagi manusia. Di antaranya: Pertama,
 besarnya karunia dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada 
Rasulullah saw. Karunia tersebut disebut dalam ayat pertama sebagai al-kawtsar. Sebagaimana
 telah diungkap, kata tersebut menunjuk pada kenikmatan yang amat banyak
 dan melimpah-ruah, solah tak terputus: diutusnya beliau sebagai nabi 
dan rasul, bahkan kedudukannya sebagai sayyid al-anbiyâ’ wa al-mursalîn, risalah
 yang berlaku bagi seluruh manusia hingga akhir zaman, al-Quran yang 
penuh dengan petunjuk dan terus dipelihara kemurniannya, senantiasa 
mendapatkan shalawat dari Allah SWT dan para malaikat-Nya, dan berbagai 
kenikmatan lainnya yang tak terhitung jumlahnya hingga kenikmatan puncak
 yang tidak ada taranya, yakni surga dengan sungainya yang amat indah 
dan dipenuhi dengan kebaikan yang disebut sebagai al-kautsar. 
Melimpahnya 
kenikmatan itu tidak berhenti untuk beliau, namun juga mengalir kepada 
umatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di atas, sungai surga 
yang dijanjikan kepada Rasulullah saw. itu juga akan dinikmati oleh 
umatnya. 
Kedua,
 perintah untuk mensyukuri nikmat dengan beribadah kepada-Nya. Setelah 
dikabarkan mengenai besarnya kenikmatan yang telah diberikan, Allah SWT 
pun memerintahkan kepada beliau untuk mengerjakan shalat dan berkurban. 
Kedua ibadah itu dilakukan benar-benar ikhlas kepada-Nya. Perintah 
kepada Rasulullah saw. juga berlaku bagi umatnya.
Penyebutan 
kedua ibadah itu juga menunjukkan betapa agung dan pentingnya ibadah 
tersebut. Shalat merupakan ibadah yang menyangkut badan dan berkurban 
menyangkut harta. 
Ketiga,
 hukuman bagi orang yang membenci Rasulullah saw. dan risalahnya. Nasib 
mereka sangat kontradiktif dengan orang-orang yang mereka benci: 
Rusulullah saw. dan umatnya. Mereka bukan hanya tidak mendapatkan 
tetesan al-kawtsar, namun justru mendapatkan celaka. Dalam ayat
 ini ditegaskan, nasib mereka benar-benar akan terputus dari semua 
kebaikan; kebaikan dunia dan akhirat. Berbagai simbol-simbol duniawi 
yang mereka banggakan seperti harta, anak-anak, dan kekuasaan, sama 
sekali tidak berguna bagi mereka (lihat juga QS al-Haqqah [69]: 28-29, 
al-Mumtahanah [60] 3). Kita berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan 
mereka. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 216.
2  As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 695.
3  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 216; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 3 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tt), 244.
4  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 498; Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol.
 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 520; juga mengutip 
kesimpulan al-Hasan, ‘Ikrimah, dan Qatadah bahwa ini merupakan pendapat 
jumhur.
5  Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 529; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 705.
6  Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 433.
7  Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 32 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 121.
8  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 216; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol..5 (tt: Dar al-Wafa, tt), 677; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl. 
9  Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 677.
10  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 217-218.
11  Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001). 
12  Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Tawîl al-Qur’ân, vol. 24.
13  Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 218.
14  Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, ), 529
15  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503.
16  Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 433 
17  Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 521.
18  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 220.
19  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503.
20  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503.
21  Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 678.
22  Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 222.
23  An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001). 
24  Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 530
25  Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 678.
26  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 503
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar