Senin, 01 Desember 2014

ANCAMAN TERHADAP PERUSAK AGAMA

 
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat (QS al-An’am [6]: 159).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna farraqû dînahum (Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya). Hamzah dan al-Kasa’i membacanya fâraqû dînahum sebagaimana Ali bin Abi Thalib ra.1 Ditegaskan ath-Thabari, kedua qirâ’ah itu, yakni farraqû dan fâraqû, dapat dibenarkan karena telah dikenal dan digunakan oleh para imam qirâ’ah.
Apabila dibaca fâraqû dînahum, pengertiannya adalah mereka keluar lalu murtad dari agama mereka.2 Sebab, kata al-mufâraqah berarti at-turk wa at-takhaliyyah (meninggalkan dan mengosongkan).3 Jika dibaca farraqû dînahum, maknanya adalah mereka menjadikan agamanya berpecah-belah, dengan mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.4 
Tak jauh berbeda, al-Baidhawi juga menuturkan, mereka mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lainnya.5 Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, mereka menceraiberaikan agama dan berpecah-belah di dalamnya. Masing-masing pihak menisbatkan dirinya pada nama-nama yang tidak berfaedah bagi manusia seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Bisa pula keimanan mereka tidak sempurna, dengan hanya mengambil suatu bagian dari syariah dan dijadikan sebagai agamanya; seraya meninggalkan bagian lainnya, bahkan lebih dari itu; seperti yang dilakukan firqah-firqah ahli bid’ah, al-dhalâl (sesat), dan mufarriq (pemecah-belah) bagi umat ini.6
Fakhruddin ar-Razi dan Nizhamuddin an-Naisaburi menghimpunkan makna dua qirâ’ah tersebut. Menurut mereka, orang yang farraqa dînahu—yang berarti membenarkan sebagian dan mengingkari sebagian lainnya—sesungguhnya telah fâraqahu (meninggalkan agamanya).7 
Hal serupa juga dikemukakan Ibnu Jarir ath-Thabari. Menurutnya, setiap orang yang sesat sesungguhnya telah menjadi mufâriq (orang yang memisahkan diri) bagi agamanya. Kelompok-kelompok itu memecah-belah agama Allah yang diridhai-Nya kepada hamba-Nya. Lalu sebagian ada yang menjadi Yahudi, sebagian lainnya menjadi Nasrani, dan lainnya lagi menjadi Majusi. Realitas inilah yang disebut dengan tafrîq. Para pengikutnya menjadi firqah-firqah yang terpecah-belah dan tidak bersatu (mutafarriqîn ghayra mujtami’în). Karena itu, terhadap Dinullah yang haq mereka telah menjadi mufâriq (meninggalkan) sekaligus mufarriq (memecah-belah) agamanya.8 
Kemudian Allah Swt. berfirman: wakânû syiya’[n] (mereka [terpecah] menjadi beberapa golongan). Kata syiya’ merupakan bentuk jamak dari kata syî’ah. Secara bahasa, kata syî’ah berarti kaum yang bersatu dalam suatu urusan. Karena itu, setiap kaum yang bertemu dalam sebuah urusan adalah syî’ah.9 Ibnu Katsir, al-Alusi, an-Nasafi, al-Biqa’i, as-Samarqandi, dan al-Qasimi pun memaknai kata syiya’ dalam ayat ini dengan firaq (jamak dari firqah).10 Masing-masing firqah mengikuti imam mereka sesuai dengan hawa nafsu mereka.11 
Terdapat perbedaan di kalangan mufassir mengenai siapa yang dimaksud ayat ini. Sebagian mufassir berpendapat, mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Qatadah, as-Sudi, dan ad-Dhahhak.12 Pendapat ini bersesuaian dengan firman Allah Swt.:
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ
Tidaklah berpecah-belah orang-orang yang didatangkan al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata (QS al-Bayyinah [98]: 4).13
Pendapat lainnya menyatakan, mereka adalah kaum musyrik yang menyembah berhala, malaikat, dan bintang. Penyembahan tersebut merupakan bentuk pemecahbelahan agama mereka. Ada pula yang berpendapat, mereka adalah orang sesat dari kalangan umat ini. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah mengatakan, mereka adalah ahli bid’ah dan syubhat, serta orang sesat dari kalangan umat ini.14 
Mufassir lainnya berpandangan, ayat ini bersifat umum sehingga mencakup semua orang kafir, pelaku bid’ah, dan mereka yang mengerjakan perkara yang tidak Allah perintahkan. Menurut asy-Syaukani dan al-Qinuji, pengertian ini yang lebih tepat. Alasannya, ungkapan ayat ini memberikan makna umum sehingga tercakup di dalamnya semua kelompok Ahlul Kitab, kelompok musyrik, dan para pelaku bid’ah dalam pemeluk Islam.15 
Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibnu Katsir, yang menegaskan bahwa lahiriah ayat ini meliputi semua orang yang meninggalkan agama Allah dan yang menyalahinya. Sesungguhnya Allah Swt. mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk mengalahkan semua agama.16 
Tampaknya, pendapat terakhir ini lebih dapat diterima. Sebab, dalil yang bersifat umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Berkaitan dengan topik ayat ini, tidak ditemukan dalil yeng mengkhususkannya.
Selanjutnya, para perusak agama itu diancam Allah Swt. dengan firman-Nya: lasta minhum fî syay’ (tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka). Frasa ini merupakan pemberitaan dari Allah Swt. kepada Rasul-Nya, bahwa Beliau berlepas diri dari pembuat bid’ah dan penyimpang agama di kalangan umatnya, dari kelompok-kelompok musyrik serta dari Yahudi dan Nasrani.17 Fakhruddin ar-Razi mengatakan bahwa takwil frasa ini: Engkau jauh dari ucapan dan madzhab mereka. Hukuman atas kebatilan itu hanya terbatas atas mereka dan tidak melampaui mereka.18 
Menurut al-Biqa’i, kata fî syay’ merupakan dorongan paling kuat agar bersatu sekaligus ancaman paling besar terhadap perilaku iftirâq (berpecah-belah).19 
Setelah Rasulullah saw. dinyatakan terlepas dari ulah mereka, ditegaskan pula bahwa penyimpangan mereka itu menjadi urusan mereka dengan Allah Swt. Allah Swt. berfirman: Innamâ amruhum ilâ Allâh (Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah). Kata al-amr di sini bermakna balasan. Artinya, Allah Swt. akan membalas mereka atas perbuatan buruk mereka. Menurut Ibnu ‘Athiyah, frasa ini hingga akhir ayat murni ancaman. Qarinah sebelumnya meniscayakan bahwa amrullâh (urusan Allah) adalah ancaman sebagaimana dalam QS al-Baqarah [2]: 275.20 
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: tsumma yunabbiuhum bimâ kânû yaf’alûna (kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat). Kata tsumma menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi di akhirat kelak.21 Bahwa di akhirat kelak, Allah Swt. akan memberitahukan kepada mereka tentang perbuatan mereka dan memberikan balasan atasnya.22 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Hajj [22]: 17.
Karena amal yang mereka kerjakan termasuk dalam keburukan, mereka pun mendapatkan keburukan yang setimpal. Inilah ketetapan Allah terhadap hamba-Nya. Berbeda halnya jika hamba-Nya melakukan kebaikan. Dia akan mengganjarnya dengan kebaikan yang berlipat-lipat sebagaimana ditegaskan dalam ayat selanjutnya (Lihat: QS al-An’am [6]: 160).
Dengan demikian, ayat ini memberikan dorongan agar kaum Muslim bersatu, tidak terpecah-belah dalam agama, dan tidak mengada-adakan bid’ah yang menyesatkan.23 

Menerima Secara Utuh
Islam diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Dengan petunjuk Islam, manusia dapat membedakan antara yang haq dan yang batil; yang baik dan yang buruk; yang terpuji dan yang tercela; yang halal dan yang haram. Apabila dipatuhi dan dijalani, niscaya manusia akan terhindar dari kesesatan dan kecelakaan; kesempitan hidup di dunia dan kecelakaan di akhirat (lihat QS Thaha [20]: 123-124). Mereka juga akan merasakan rahmat Islam bagi alam semesta (lihat QS al-Anbiya’ [21]: 107). Patut diingat, semua kebaikan Islam itu hanya dapat dirasakan ketika Islam diterima secara utuh dan totalitas; tidak  dikurangi, ditambahi, atau diubah.
Di titik ini, terlihat jelas urgensitas menjaga kemurnian Islam. Sebagaimana kaum Muslim diperintahkan untuk memasuki Islam secara kâffah—total dan menyeluruh—(lihat QS al-Baqarah [2]: 208), kaum Muslim juga dilarang keras melakukan tafrîq (pemecahbelahan) terhadap agamanya. Larangan inilah yang ditegaskan oleh ayat ini.
Tindakan mengurangi atau mengingkari bagian tertentu dari Islam termasuk dalam cakupan ayat ini. Karena itu, kaum Yahudi yang mengimani kerasulan Musa as. tetapi mengingkari kerasulan Isa as dan Muhammad saw. jelas termasuk di dalamnya. Demikian pula kaum Nasrani yang menolak kerasulan Muhammad saw. Tak terkecuali  orang-orang yang mengaku beriman terhadap al-Quran namun mengingkari as-Sunnah sebagai sumber hukum, seperti disuarakan kelompok inkâr as-Sunnah; orang-orang yang mengakui kewajiban shalat dan menolak kewajiban membayar zakat, seperti dilakukan sekelompok orang yang akhirnya diperangi oleh Khalifah Abu Bakar ra.; juga orang-orang yang mereduksi Islam hanya sebagai ajaran ritual dan moral, sementara syariah Islam yang mengatur ekonomi, sosial, pendidikan, pemerintahan, dan sanksi-sanksi hukum ditolak dan diingkari, seperti dipropagadandakan kaum ‘Islam Liberal’ dan semacamnya.
Itu semua jelas termasuk dalam tindakan ‘mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang lain.’ Allah Swt. mencela mereka. Mereka disebut sebagai orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. Allah Swt. pun mengancam mereka dengan siksaan yang menghinakan (lihat QS an-Nisa’ [4]: 150-151; lihat pula QS al-Baqarah [2]: 85).
Sebagaimana disampaikan para mufassir, ayat ini juga mencakup ahl al-bid’ah. Mereka menambahkan ‘syariah’ baru ke dalam Islam. Perkara baru yang dilekatkan pada Islam itu pun kemudian dianggap menjadi bagian dari Islam, seolah agama yang telah disempurnakan Allah Swt. itu membutuhkan penambahan Tindakan mengada-adakan yang baru itu sebut sebagai bid’ah dan seburuk-buruk perkara. Rasulullah saw. bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad; dan seburuk-buruk perkara  adalah mengada-adakan yang baru dan setiap bid’ah adalah sesat (HR Muslim dari Jabir bin Abdullah).
Ayat ini juga melarang umatnya berpecah-belah ke dalam firqah-firqah sesat dan menyimpang, yang berpijak pada Islam parsial, dan tidak berpegang teguh pada Islam kâffah. Larangan ayat ini sejalan dengan larangan dalam ayat lain kepada kaum Muslim menjadi kaum yang berpecah-belah (tafarruq) dan berselisih (ikhtilâf) dalam perkara yang amat jelas. Sebagai contoh, riba dan menikah dengan kaum musyrik yang jelas diharamkan Islam masih diperselisihkan. Jihad, hukuman qishah dan potong tangan atas pencuri masih diperdebatkan. Padahal dalil-dalil yang mewajibkannya amat jelas. Para pelakunya diancam dengan siksa yang berat (Lihat: QS Ali Imran [3]: 105).
Semua tindakan itu, baik mengurangi bagian dari Islam, menambahkan ‘syariah’ baru ke dalam Islam, bercerai-berai dan berselisih dalam perkara yang jelas dalam Islam, serta memecah-belah agama Allah menjadi firqah-firqah sesat merupakan tindakan merusak agama. Para pelaku perusakan agama itu diancam dengan azab yang pedih. Azab itu kian berlipat jika mereka mendapat pengikut yang meniru jejak kesesatannya.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:
  1. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 231. Demikian juga bacaan Qatadah. Demikian dikatakan ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 5  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 412.  
  2. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 288. Lihat juga al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 120.
  3. As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 225.
  4. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4, 288.
  5. Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 169. Tak jauh berbeda, as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 527 menyatakan, mereka mengimani sebagian rasul dan tidak mengimani sebagian lainnya.
  6. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993),
  7. Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 7; Nizhamudiin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 191.
  8. Ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 5 , 412.
  9.  Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, vol. 8 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt), 188.
  10.   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 249; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 309; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 299;  al-Biqa’i, Nazhm Durar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 20; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 527; al-Qasimi, Mahâsin atTa’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 550.
  11. Az-Zamaksyari, Al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 79 al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4, 550; al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 502.
  12. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 249; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 118-120; al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2, 501.
  13. Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4, 288.
  14. As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 3, 118-119; Wahbah al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 115.
  15. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 4, 288.
  16.  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 429.
  17. Ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân, vol. 5 , 412. Bahwa makna ayat ini memberitakan bebasnya Rasulullah saw. dari tindakan kaum perusak agama itu juga dikemukan oleh Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 429; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 4, 309; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 294; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 120; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 2 (Beirut: Dar  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 146.
  18. Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 14, 8; al-Thabari, Jâmi’al-Bayân, vol. 5, 412.
  19. Al-Biqa’i, Nazhm Durar, vol. 2, 20
  20.  Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 267.
  21. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 231. Kendati tidak disebutkan alasannya, kesimpulan yang sama juga disampaikan oleh al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 4, 310; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 120.
  22. Ath-Thabari, Jâmi’al-Bayân, vol. 5 , 412; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 7,115
  23. Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 177. Bahwa ayat ini memberikan dorongan kepada kaum Muslim untuk bersatu juga disampaikan oleh Nizhamudiin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3, 192.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar