يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا
بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain. Boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang
mengolok-olok. Jangan pula para wanita mengolok-olok wanita-wanita
lain. Boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok lebih baik daripada para
wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela diri kalian
sendiri. Jangan pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah
iman. Siapa saja yang yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang
yang zalim (QS al-Hujurat [49]: 11).
Sabab Nuzûl
Ahmad
menuturkan riwayat dari Abu Jabirah bin adh-Dhahak yang berkata: Nabi
saw. datang kepada kami. Ketika itu tidak ada seorang laki-laki pun di
antara kami kecuali memiliki satu atau dua laqab (julukan). Ketika beliau memanggil dengan salah satu laqab-nya, kami berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak suka dengan (panggilan) itu.” Lalu turunlah ayat ini.
Riwayat senada juga disampaikan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi.
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ yaskhar qawm min qawm (Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain). Seruan
ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin secara keseluruhan. Akan tetapi,
yang pertama kali diseru adalah kalangan laki-laki. Kata qawm pada
frasa ini menunjuk kepada laki-laki. Menurut az-Zamakhsyari, al-Razi,
al-Alusi dan an-Nasafi, hal itu karena laki-laki merupakan qawwâm atas urusan para wanita sebagaimana ditetapkan dalam QS an-Nisa’ [4]: 34.1 Penunjukan
itu makin dikuatkan dalam frasa sesudahnya yang memberikan perintah
yang sama kepada wanita. Mereka diperintahkan agar menjauhi tindakan as-sukhriyyah (bentuk mashdar dari kata yaskhar).
Menurut asy-Syaukani dan Ibnu ‘Athiyah, as-sukhriyyah bermakna al-istihzâ’ (menertawakan).2 Makna itu dapat dijumpai dalam QS al-An’am [6]: 10 dan al-Anbiya’ [21]: 41. Dalam kedua ayat itu, kata as-sukhriyyah dan al-istihzâ digunakan saling menggantikan.
Adapun Ibnu Katsir memaknainya dengan al-ihtiqâr wa al-istihzâ’ (meremehkan dan mengolok-olok).3 Menurut al-Qurthubi, as-sukhriyyah juga
bermakna mengumumkan aib dan kekurangan orang lain untuk dijadikan
bahan tertawaan; kadang diceritakan dengan ucapan, perbuatan, atau
isyarat; bisa pula diumumkan atau ditertawakan dengan perkataan yang
biasa digunakan untuk melecehkan.4
Ditegaskan oleh Abu Hayyan al-andalusi, kendati digunakan bentuk jamak (qawm dan nisâ’),
kandungan ayat itu juga berlaku untuk tiap-tiap individu. Penggunaan
bentuk jamak itu seolah-olah ada seseorang yang mengejek atau
mengolok-olok pihak lain dalam suatu majelis, lalu orang-orang lain ikut
tertawa dengan ucapannya; atau dia menyampaikan kepada banyak orang,
lalu mereka turut tertawa.5 Haramnya tindakan tercela itu dijelaskan dalam hadis. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasululllah saw. pernah bersabda:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia (HR Muslim).
Menurut Ibnu Katsir, ghamth an-nâs dalam hadis ini berarti ihtiqâruhum wa istighâruhum (meremehkan dan menyepelakan mereka). Tindakan tersebut termasuk haram.6 Ibnu Jarir ath-Thabari menegaskan, hukum itu mencakup semua tindakan yang termasuk dalam cakupan makna as-sukhriyyah. Karena
itu, haram seorang Mukmin mengolok-olok Mukmin lainnya, baik disebabkan
oleh kemiskinan, dosa yang dikerjakan maupun sebab lainnya.7
Kemudian Allah Swt. mengingatkan: ‘asyâ an yakûnû khayr[an] minhum (Boleh
jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang
mengolok-olok). Penilaian manusia terhadap manusia bisa jadi salah.
Apalagi jika parameter penilaian itu didasarkan pada hawa nafsu,
kekayaan materi, dan kedudukan duniawi. Karena itu, sangat mungkin
seseorang yang dianggap rendah dan remeh oleh manusia adalah orang yang
tinggi dan mulia di hadapan Allah Swt. Dialah Yang Mahatahu atas segala
yang ditampakkan dan disembunyikan manusia.
Setelah
menyeru kalangan laki-laki, larangan serupa juga ditujukan kepada para
wanita. Alasannya pun sama. Allah Swt. berfirman: Walâ nisâ’a[n] min nisâ’i[n] asyâ an yakûnna khayr[an] minhunna (Jangan
pula para wanita mengolok-olok wanita-wanita lain. Boleh jadi
wanita-wanita yang diolok-olok itu lebih baik daripada para wanita yang
mengolok-olok). Walhasil, terhadap sesama Mukmin, mereka pun dilarang
mengolok-olok, meremehkan, menertawakan, dan merendahkan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Walâ talmizû anfusakum (Janganlah kalian mencela diri kalian sendiri). Wahbah az-Zuhaili memaknainya dengan ath-tha’n wa at-tanbîh ilâ al-ma’âyib (mencela dan mengingatkan aib); baik dengan ucapan maupun isyarat; baik dengan tangan, mata atau yang lain.8 Orang yang gemar melakukan tindakan tersebut juga diancam oleh Allah Swt. (QS al-Humazah [104]: 1).
Frasa anfusakum menunjukkan
bahwa pihak yang dicela itu berasal dari satu jenis, yakni sesama kaum
Muslim. Penyebutan juga mengisyaratkan bahwa kaum Muslim itu laksana
satu jiwa (ka an-nafs al-wâhidah).
Karena menjadi satu jiwa, tindakan mencela atau mengungkit aib saudara
seakidah, sama halnya dengan mencela atau mengungkap aib diri mereka
sendiri.9
Dijelaskan oleh al-Alusi mengenai perbedaan as-sukhriyyah dengan al-lamz. As-Sukhriyyah bermakna melecehkan seseorang secara mutlak dalam rangka untuk ditertawakan di hadapannya. Al-Lamz bermakna mengungkit aib orang lain, sama saja apakah untuk bahan tertawaan atau tidak, di hadapannya atau tidak.10
Kemudian Allah Swt. berfirman: Walâ tanâbazû bi al-alqâb (Janganlah kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk). Al-Baghawi menyatakan, an-nabz dan al-laqab memiliki
satu makna, yakni panggilan seseorang bukan dengan nama yang
sebenarnya. Dengan kata lain, keduanya bermakna gelar atau julukan.
Meski demikian, kata nabz khusus digunakan untuk gelar atau julukan yang buruk atau yang tidak disukai.11 Ayat
ini melarang kaum Muslim saling memanggil dengan julukan yang buruk
atau yang tidak disukai oleh orang yang dipanggil. Bahkan Imam al-Nawawi
menyatakan bahwa para ulama sepakat tentang haramnya memanggil orang
dengan panggilan yang tidak disukai, baik karena sifatnya, ayahnya,
ibunya, atau yang lain.12
Menurut sebagian ulama, laqab yang dilarang itu adalah yang tidak disukai atau merupakan celaan. Namun, jika laqab itu sudah menjadi nama person, seperti al-A’masy (yang kabur penglihatannya) atau al-A’raj (yang pincang), serta tidak menyakiti orang yang dipanggil, maka itu dibolehkan. Jika laqab itu mengandung pujian, benar, dan jujur maka tidak masalah. 13 Rasulullah saw. juga menggelari Abu Bakar ra. dengan ash-shiddiq, Umar bin al-Khaththab dengan al-fâruq, Khalid bin al-Walid diberi gelar sayful-Llâh, Utsman bin Affan dengan dzû an-nûrayni (pemilik dua cahaya), dan sebagainya.
Kemudian Allah Swt. berfirman: Bi’sa al-ism al-fusûq ba’da al-îmân (Seburuk-buruk
panggilan ialah [panggilan] yang buruk sesudah iman). Frasa ini
menegaskan bahwa panggilan yang paling buruk adalah menyebut saudaranya
seakidah dengan sebutan fasik, padahal dia sudah bertobat; juga sebutan
atau panggilan lain yang senada, seperti, “Hai Munafik”, “Hai Musyrik,”
“Hai Kafir,” “Hai Yahudi”, “Hai Nasrani,” dan semacamnya. Padahal mereka
sudah beriman. Frasa bi’sa al-ism (seburuk-buruknya panggilan) menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.
Kesimpulan itu makin dikukuhkan dengan firman Allah Swt. selanjutnya: Waman lam yatub faulâika hum al-zhâlimûn (Siapa
saja yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim).
Bertobat adalah berhenti dari melakukan maksiat. Ditegaskan dalam frasa
ini, siapa pun yang tidak berhenti dari semua perbuatan tercela, mereka
termasuk dalam orang-orang zalim. Penegasan ini menunjukkan haramnya
tiga perbuatan yang dilarang dalam frasa sebelumnya.
Itulah
di antara adab bergaul dengan sesama Muslim yang wajib ditaati. Apabila
ketentuan ini ditaati setiap Muslim, benih-benih percekcokan dan
perseteruan kaum Muslim dapat dicegah sejak dini.
Adab Bergaul
Ukhuwah
islamiyah merupakan prinsip yang wajib dipegang erat. Agar tidak
berhenti dalam keinginan, harus ada upaya real untuk mewujudkannya.
Syariah telah menetapkan adab bergaul yang dapat merekatkan ukhuwah di
antara sesama Muslim. Ada yang berupa perbuatan yang diperintahkan,
seperti menyebarkan salam dan saling memberi hadiah. Dalam hal ini, Abu
Hurairah ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Kalian
tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidak beriman hingga
kalian saling mencintai. Maukah kalian saya tunjukkan tentang sesuatu
yang jika kalian kerjakan kalian akan saling mencintai: Sebarkan salam (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dengan redaksi menurut Muslim).
Diperintahkan
pula membantu kebutuhan saudaranya dan menghilangkan kesusahannya;
menutupi aibnya; melindungi kehormatan, harta, dan darahnya; menjaga
rahasia dan menunaikan semua amanahnya; menerima permintaan maaf
saudaranya; menampakan wajah berseri-seri ketika bertemu dengan
saudaranya; menasihatinya, dan lain-lain. Semua perintah itu apabila
dikerjakan akan dapat menambah persaudaraan, kecintaan, dan kasih-sayang
di antara sesama Muslim.
Ada juga yang berupa perbuatan yang dilarang. Di antaranya adalah yang digariskan dalam ayat ini. Pertama:
dilarang melakukan tindakan yang mengolok-olok saudaranya. Bagi pihak
yang diejek, tindakan tersebut tentu tidak menyenangkan. Secara naluriah
memang tidak ada seorang pun yang senang ditertawakan, diejek,
diremehkan, atau dihinakan orang lain. Terlebih jika pelakunya tidak
lebih baik dari dirinya. Jika tidak bisa menahan diri, dia pun akan
marah dan membalas tindakan serupa. Akibatnya bisa ditebak, percekcokan
dan pertengkaran pun akan terjadi di antara mereka.
Kedua:
tidak dibolehkan mencela saudaranya sekalipun celaan itu faktual.
Apalagi celaan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Bagi pihak yang
dicela, tindakan itu dapat menimbulkan sakit hati. Celaan itu pun bisa berbuntut pada pertikaian di antara kaum Mukmin.
Tindakan
mengolok-olok dan mencela orang lain berpangkal pada anggapan bahwa
dirinya sempurna, sementara pihak yang diolok-olok atau yang dicela
lebih buruk dan lebih rendah. Padahal anggapan itu belum tentu benar.
Bisa jadi orang yang diolok-olok dan dicela itu lebih baik dan lebih
mulia di hadapan Allah Swt. Dalam pandangan Allah Swt. kemulian
didasarkan kepada ketakwaan. Orang yang paling mulia adalah orang yang
paling takwa (QS al-Hujurat [49]: 13.
Ketiga: tidak boleh saling panggil dengan panggilan yang buruk. Laqab (julukan
atau gelar) biasanya diambil dari sifat yang menonjol dan tetap pada
seseorang. Memanggil seseorang dengan sifatnya yang buruk berarti
melekatkan sifat itu secara permanen kepada seseorang. Padahal bisa jadi
sifat buruk itu sudah ditinggalkan dan dikubur dalam-dalam. Tak menutup
kemungkinan, dia akan membalas dengan panggilan senada. Itu pun bisa
menjadi benih permusuhan di antara mereka.
Kaum Muslim justru diperintahkan memanggil saudaranya dengan panggilan yang dia senangi. Rasulullah saw. bersabda:
ثَلاَثٌ يَصِفِيْنَ لَكَ وَدَّ أََخِيْكَ تُسْلِمُ عَلَيْهِ إِذَا لَقَْيتَهُ، وَتُوْسِعُ لَهُ فِي الْمَجْلِسِ، وَتَدْعُوْهُ بَأَحَبِّ أَسْمَائِهِ إِلَيْهِ
Ada
tiga perkara yang menggambarkan kecintaanmu kepada saudaramu: kamu
mengucapkan salam kepadanya ketika bertemu dengannya; meluaskan tempat
untuknya dalam majelis; memanggilnya dengan nama yang paling disukainya (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Akhir
kalam, jika Anda termasuk di antara yang mendambakan terwujudnya
ukhuwah islamiyah, amalkan dan sebarkanlah adab bergaul ini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), 257; ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 28 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 113; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 26 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 304; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 584
2 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 64; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), 149.
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 1755.
4 Penjelasan al-Qurthubi ini disitir oleh al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 26, 303.
5 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), 112.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol., 1755. Kesimpulan hukum itu disampaikan oleh al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, volo. 5 (Madinah al-Munawwarah: Nahr al-Khair, 1993), 129
7 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
8 Wahbah az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 25 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 247
9 Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 181; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 26, 304.
10 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 26, 304.
11 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol. 2, 585; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 26, 304.
12 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 26, 304.
13 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4, 181. Lihat juga Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 , 112. Lihat juga: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmal-Qur’ân, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), 216.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar