قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى، بَلْ
تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir)
memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik
dan lebih kekal (QS al-A’la [87]: 14-17).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qad aflaha man tazakkâ (Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri). Kata aflaha berasal dari kata al-falâh. Menurut Ibnu Manzhur, secara bahasa al-falâh berarti al-fawz wa an-najâh wa al-baqâ’ fî an-na’îm (kemenangan, keberhasilan, dan kelanggengan dalam nikmat).1 Sihabuddin al-Alusi mengartikannya najâ min al-makrûh wa zhafara bimâ yarjûhu (selamat dari yang dibenci dan berhasil memperoleh apa yang diharapkan).2 Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi memaknainya sebagai fâza (berhasil); selamat dari azab dan bahagia dengan surga.3 Ditegaskan ayat ini, orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang tazakkâ.
Kata tazakkâ berasal dari kata zakâ. Secara bahasa, kata az-zakâ’ berarti an-namû (tumbuh). Oleh karena itu, al-Zujaj menafsirkan frasa ini dengan memperbanyak takwa. Alasannya, kata zâkî berarti an-nâmî al-katsîr (yang tumbuh banyak).4
Abu Hayyan al-Andalusi memaknai tazakkâ dengan tathahhara (membersihkan diri).5 Dalam
beberapa ayat, kedua kata disebutkan bersama-sama, seperti QS
al-Baqarah [2]: 232 dan at-Taubah [9]: 103. Ibnu ‘Abbas—dalam suatu
riwayat—memaknainya sebagai orang yang membersihkan diri dari syirik.6 Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas—dalam riwayat lain—berpendapat bahwa orang yang membersihkan diri adalah orang yang mengatakan kalimat lâ ilâha illal-Lâh.7
Menurut Qatadah, membersihkan diri itu adalah dengan amal shalih.8 Dalam
al-Quran ada beberapa amal shalih yang disebutkan berguna membersihkan
manusia. Zakat, misalnya, disebut dapat membersihkan dan menyucikan
pelakunya (lihat QS at-Taubah [9]: 103). Menahan pandangan dan
memelihara kemaluan dinyatakan dapat membuat pelakunya lebih suci (lihat
QS an-Nur [24]: 30).
Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa orang tersebut adalah orang yang membersihkan dirinya dari akhlak
yang buruk dan mengikuti apa yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.9 Asy-Syaukani
juga menafsirkannya, orang yang membersihkan diri dari syirik seraya
mengimani Allah SWT dan beramal dengan syariah-Nya.10 Secara keseluruhan, dijelaskan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat ini mengandung pengertian, “Sungguh telah menang dan memperoleh apa yang diinginkan orang
yang membersihkan diri dari kekufuran dan maksiat kepada Allah,
mengamalkan apa yang diperintahkan Allah, dan menunaikan berbagai
kewajiban.”11
Semua penafsiran tersebut
saling melengkapi. Intinya, orang yang menuai kesuksesan dan kemenangan
adalah orang yang membersihkan diri kekufuran, kemusyrikan dan
kemaksiatan; seraya mengimani akidah Islam dan beramal shalih dengan
menaati syariah-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya; dan itu dilakukan ikhlas semata karena Allah SWT.
Selain itu, orang tersebut juga: wa dzakara [i]sma Rabbihi fashallâ (dan
mengingat nama Tuhannya, lalu menunaikan shalat). Dijelaskan al-Alusi,
al-Baidhawi, dan al-Biqa’I, bahwa zikir kepada Allah ini meliputi hati
dan lisannya.12 Zikir hanya kepada Allah satu-satunya, tidak disertai kepada yang lainnya yang menjadi sekutu bagi-Nya.13 Itu
dilakukan dalam seluruh kehidupannya, baik ketika makan dan minum;
tidur maupun bangun; dalam shalat maupun di luar shalat; berupa tasbih,
tahmid, tahlil, dan takbir.14
Adapun yang dimaksud dengan shalat dalam frasa fashallâ adalah shalat lima waktu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan lain-lain dari Ibnu ‘Abbas.15 Pendapat yang sama juga dikemukakan al-Zamakhsyari.16 Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat wajib, namun juga shalat-shalat nafilah, seperti rawatib dan lain-lain.17 Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat al-Biqa’i yang mengatakan bahwa shalat tersebut meliputi semua shalat yang syar’iyyah.
Sebab, shalat merupakan zikir yang paling agung. Shalat juga merupakan
ibadah badan paling agung, sebagaimana zakat merupakan ibadah harta
paling agung.18 Dalam QS al-Mukminun [23]: 1-2 diberitakan bahwa di antara orang yang mendapatkan al-falâh adalah orang-orang yang khusuk dalam shalatnya.
Penjelasan cukup menarik
disampaikan oleh Fakhruddin ar-Razi. Menurutnya, ada tiga tingkatan amal
bagi orang mukallaf, dan ketiganya dijelaskan dalam ayat-ayat ini. Pertama: menghilangkan akidah yang rusak dari hati. Inilah yang dimaksudkan dengan at-tazkiyah (membersihkan diri) pada frasa man tazakkâ. Pengertian
membersihkan diri di sini adalah membersihkan dari apa yang disebutkan
oleh ayat sebelumnya, yakni membersihkan dari kekufuran. Kedua: menghadirkan ma’rifatul-Lâh beserta zat, sifat, dan asma’-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh frasa wa dzakara [i]sma Rabbihi. Sebab, zikir dengan hati tidak bisa dilakukan kecuali dengan ma’rifah. Ketiga: menyibukkan diri dengan berkhidmat kepada-Nya. Ini ditunjukkan oleh frasa fashallâ. Shalat merupakan ungkapan tawaduk dan khusuk.19
Allah SWT berfirman: bal tu’tsirûna al-hayâh al-dun-yâ (Namun, kalian [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi). Kata bal berfungsi sebagai idrâb, yakni
memalingkan dari kalimat sebelumnya. Artinya, kalian tidak melakukan
tindakan yang dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan itu. Namun
sebaliknya, justru tu’tsirûna dengan kehidupan dunia. Menurut as-Samarqandi, maksud frasa tersebut: Kalian lebih memilih beramal untuk dunia daripada beramal untuk akhirat.20 Tak jauh berbeda, al-Jazairi juga memaknainya: Kalian lebih mendahulukan dan mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.21 Al-Alusi
menafsirkannya sebagai sikap ridha dan tenteram dengan kehidupan dunia,
serta berpaling dari akhirat secara kesuluruhan (lihat QS Yunus [10]:
7).
Pilihan tersebut jelas salah. Sebab, kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi.
Allah SWT berfirman: Wa al-âkhirah khayr wa abqâ (Padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal). Menurut al-Qurthubi, kata khayr berarti afdhal (lebih utama), sedangkan abqâ berarti adwamu min al-dun-yâ (lebih kekal daripada dunia).22 Semua
telah maklum, kehidupan dunia merupakan kehidupan fana. Ketika manusia
dibangkitkan di akhirat kelak, manusia merasakan singkatnya hidup di
dunia itu. Demikian singkatnya hingga menurut mereka hidup di dunia itu
hanya sehari atau setengah hari (lihat QS al-Mukminun [23]: 113); hanya
sesore atau sepagi hari (lihat QS al-Nazi’at [79]: 46); atau bahkan
hanya sesaat saja di sing hari (lihat QS Yunus [1]: 45). Oleh karena
itu, sesungguhnya kenikmatan di dunia amat sedikit. Dalam hadis yang
diriwayatkan Muslim dan at-Tirmidzi, Rasulullah saw. mengumpa-makan
kehidupan dunia dibanding-kan dengan akhirat seperti jari telunjuk yang
dicelupkan di laut; air yang melekat di jari itulah kenikmatan dunia.
Yang lebih baik dan lebih
kekal itu bisa dimaknai pahalanya sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir.
Menurutnya, maksud ayat ini adalah pahala Allah di akhirat lebih baik
dan lebih kekal. Kehidupun dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat
mulia dan langgeng. Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih
yang fana daripada yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang
daripada kehidupan yang kekal dan langgeng?23 Oleh karena itu, ayat ini memberikan dorongan kepada manusia agar lebih memilih dan mengutamakan akhirat daripada dunia.
Sikap Manusia dan Balasannya
Di dalam ayat-ayat ini dan beberapa ayat sebelumnya terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama: sesungguhnya Allah telah memberikan petunjuk
dan peringatan kepada manusia. Dalam ayat 3 diberitakan bahwa Allah
telah menentukan kadar ciptaan-Nya dan memberikan petunjuk. Allah juga
telah membacakan al-Quran kepada Rasulullah dan tidak membuatnya lupa
(ayat 6). Telah maklum, al-Quran merupakan petunjuk buat seluruh manusia
(lihat QS al-Baqarah [2]: 185). Rasulullah saw. telah diperintahkan
memberikan peringatan kepada manusia (ayat 9). Semua itu menunjukkan
bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan petunjuk dan peringatan
kepada manusia.
Kedua:
sikap manusia dalam merespon petunjuk dan peringatan itu. Ada yang
menerima, mengimani dan mengamalkannya. Mereka yang bersikap demikian
adalah orang yang membersihkan diri. Mereka juga ingat kepada Allah
dalam setiap keadaan dan mengerjakan shalat (ayat 14-15). Mereka itulah
orang-orang yang bersedia menjadikan peringatan dan petunjuk Rasulullah
saw. sebagai pelajaran (ayat 10).
Ada
pula yang bersikap sebaliknya. Mereka ingkar dan menolak perintah
tersebut. Mereka diberitakan menjauhi peringatan tersebut (ayat 11).
Mereka juga lebih memilih dan mengutamakan kehidupan dunia daripada
kehidupan akhirat (ayat 16).
Kedua sikap yang
bertentangan tersebut termasuk dalam wilayah ikhtiar atau pilihan
manusia. Artinya, manusialah yang berperan secara langsung menerima atau
menolak peringatan itu, mengimani atau mengingkari, membenarkan atau
mendustakan, mengamal-kan atau menjauhinya. Demikian pula kesediaan
membersihkan diri atau mengotori diri dengan kekufuran dan kemaksiatan.
Banyak ayat maupun hadis
yang mengukuhkan kesimpulan tersebut. Kendati Rasulullah saw. diutus
menyucikan kaum dan umatnya (lihat QS Ali Imran [3]: 164), keputusan
akhir terletak pada orangnya. Buktinya, ketika ada orang yang tidak mau
membersihkan diri, beliau tidak mendapatkan celaan (lihat QS ‘Abasa
[80]: 7). Itu menunjukkan bahwa sikap menerima atau menolak menjadi
wilayah ikhtiar manusia. Ketika manusia sudah menentukan pilihannya,
Allah SWT memudahkan jalan bagi manusia untuk meraihnya (lihat QS al-Ala
[87]: 8; al-Lail 92 [5-10).
Ketiga:
sikap dalam merespon petunjuk dan peringatan tersebut menjadi penentu
nasib mereka. Orang-orang yang bersedia membersihkan diri, mengingat
Allah SWT dan mengerjakan shalat dinyatakan sebagai orang yang
mendapatkan falâh (kemenangan,
kesuksesan, selamat dari neraka, dan masuk surga). Penegasan yang sama
juga disebutkan dalam QS asy-Syams [91]: 9. Orang-orang yang memberikan
hartanya untuk menyucikan diri dan semata mencari ridha Allah juga
dijanjikan akan dijauhkan dari neraka yang menyala-nyala (lihat QS
al-Lail [92]: 17-20). Mereka juga dijanjikan dengan surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya (lihat QS Thaha
[20]: 76). Singkatnya, mereka itu akan menuai imbalan dari upaya yang
mereka kerjakan (lihat QS Fathir [35]: 18).
Sebaliknya, orang yang
berpaling dari peringatan itu akan celaka. Jika orang yang membersihkan
jiwanya dinyatakan sebagai orang yang menuai falâh maka orang
yang mengotorinya disebut telah merugi (lihat QS asy-Syams [91]: 9-10).
Mereka itu adalah orang-orang yang lebih memilih, mengutamakan dan
terbuai dengan kehidupan dunia, seraya melupakan akhirat. Sebagai
balasannya, mereka mendapatkan siksa neraka (lihat QS an-Naziat [79]:
37-39).
Bertolak dari paparan di
atas, jelaslah sikap mana yang harus kita pilih. Kita harus lebih
memilih dan mengutamakan akhirat, sebagaimana hadis dari Abu Musa
al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى
Siapa saja yang
mencintai dunianya, dia telah mendatangkan kerugian bagi akhiratnya.
Siapa yang mencintai akhiratnya, dia telah mendatangkan kerugian bagi
dunianya. Karena itu, pilih dan utamakanlah apa yang kekal daripada apa
yang fana (HR Ahmad, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Inilah sesungguhnya orang yang menuai sukses sejati dan meraih kebahagiaan hakiki. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Catatan Kaki:
1 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 2 (Beirut: Dar Shadir, tt), 547.
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30 (Beirut: Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, tt), 109.
3 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 2003), 557. Penjelasan yang sama juga disampaikan as-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, vol.
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 147.
5 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 484.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 373. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 109; al-Khazin, Lubâb at-Tanzî fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 235; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 8 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1989), 402. Menurut al-Zamkhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 6 (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1998), 359, di samping membersihkan diri dari syirik, juga dari maksiat.
7 Asy-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 15, Kairo: Markaz Hijr, 2003), 369.
8 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2003), 21; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 369.
9 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 2020.
10 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 425.
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 373
12 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 109; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. ; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 403; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Dar al-Fikr, 1996), 195.
13 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 484.
14 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 557.
15 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 30, 109.
16 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 6, 359.
17 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 557. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8, 455.
18 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21, 403.
19 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 148.
20 As-Samarqandi, Bahr al-Ulûm…
21 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 557.
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 24.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4, 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar